Saturday, February 16, 2008

Hukum Islam di Negeri Barat: Pelajaran dari Inggris

Ruzbihan Hamazani

Pada 7 Februari 2008 yang lalu, Uskup Canterbury, Dr. Rowan William, menyampaikan ceramah berjudul "Civil and Religious Law in England: a Religious Perspective" di hadapan The Royal Courts of Justice di London. Dalam ceramah itu, ia mengeluarkan pernyataan yang menyulut kontroversi berkepanjangan mengenai status hukum Islam atau shari'ah di Inggris. Dia, antara lain, menyatakan bahwa, mengutip majalah The Economist, "some accommodation between British law and sharia, or the Muslim legal tradition, was inevitable and should perhaps be made official." Dr. William pada intinya menegaskan bahwa pada akhirnya masyarakat dan negeri Inggris harus menyadari kenyataan bahwa di negeri mereka saat ini bermukim jutaan umat Islam yang menganut sistem kepercayaan dan tradisi hukum yang lain. Oleh karena itu tak ada alasan untuk menolak memberikan umat Islam keleluasaan untuk memakai hukum Islam sebagai referensi legal yang mengatur kehidupan sehari-hari mereka, terutama yang menyangkut masalah sipil atau perdata (seperti nikah dan cerai).

Pernyataan Dr. William ini langsung menyulut reaksi keras, baik dari kalangan "tradisionalis" Kristen maupun sekuler. Hal ini tentu bisa dimaklumi, sebab posisi Uskup Canterbury yang merupakan kepala gereja dalam wilayah keuskupan Canterbury itu sangat penting sekali. Uskup Canterbury langsung mengepalai Gereja Anglikan atau The Church of England, dan secara simbolik juga menjadi pimpinan gereja Anglikan sedunia. Oleh karena itu suara Rowan William sebagai kepala keuskupan Cantebury membawa bobot tersendiri, dan sudah tentu akan menentukan kebijakan publik di Inggris. Tak heran jika pernyataannya soal kedudukan hukum Islam itu menjadi bahan diskusi yang panas.

Kalangan Kristen tradisionalis menyatakan bahwa pernyataan itu sama sekali tak pantas keluar dari Uskup, sebab hal itu mengingkari kenyataan bahwa Inggris, walau merupakan negara sekuler, berdiri atas tradisi Kristen dan hukum Bibel. Mengakui kedudukan hukum Islam secara sah berarti sama dengan mengakui adanya "negara dalam negara".

Kalangan sekuler juga menentang Kardinal William. Mereka menyatakan bahwa kardinal sama sekali tak sadar implikasi dari pernyataan itu, juga tak mengetahui apa yang sebetulnya dimaksud dengan hukum Islam. Mengakui hukum Islam sama dengan mengakui diskriminasi atas perempuan yang merupakan salah satu sifat pokok dari hukum shari'ah itu. Mengakui hukum Islam juga sama dengan membenarkan hukuman badan yang keji warisan zaman barbar di masa lampau, seperti hukum potong tangan, lontar batu, atau bunuh (qishash). Selain itu, kalangan sekuler juga menyatakan bahwa hukum Islam sangat anti terhadap kaum gay dan lesbian, dan karena itu berwatak "homofobik". Hukum semacam ini tak boleh diberikan tempat dalam masyarakat sekuler.

Beberapa kalangan malah bergerak lebih jauh lagi dan menuntut agar Dr. William mundur dari jabatannya sebagai Kepala Gereja Anglikan saat ini.

Sebaliknya, dukungan pun juga bermunculan. Selain dari kalangan Islam sendiri (seperti disuarakan oleh Muslim Council of Britain), sejumlah kalangan dalam di Gereja Anglikan juga menyokong pendapat Dr. William. Bahkan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, menyatakan bahwa Dr. William adalah "a man of integrity" dan mendukung pendapatnya.

Sejarah gelap agama di Eropa

Saya sendiri mendukung penuh sikap Uskup Canterbury itu. Sikap ini, dengan baik sekali, menandai munculnya kesadaran akan pentingnya dimensi agama dalam kehidupan publik di masyarakat Barat. Negeri-negeri Barat, sejak fajar pencerahan terbit pada abad 18, pelan-pelan mengalami sekularisasi yang meminggirkan peran agama dari wilayah publik. Dalam bentuknya yang ekstrim, seperti di Perancis, sekularisme muncul dalam bentuk sikap bermusuhan dan benci pada agama. Istilah yang sering dipakai adalah "anti-klerikalisme", yakni sikap menentang lembaga resmi kegerejaan.

Tentu, sikap-sikap anti-klerikal dan benci pada agama ini secara historis bisa dimaklumi, karena sejarah gelap yang ditunjukkan oleh kekuasaan geraja Katolik/Kristen dalam masyarakat Eropa pada masa lampau. Kita tahu, misalnya, betapa gereja menunjukkan sikap otoriter pada masa lampau dan menindas para saintis dan filosof yang mengemukakan pandangan yang berbeda dengan gereja. Gereja Katolik melakukan kontrol ketat atas buku-buku yang terbit, karena dikhawatirkan akan melawan doktrin resmi gereja. Gereja Katolik dikenal karena mengeluarkan apa yang disebut dengan "index auctorum et librorum prohibitum" (dikenal dengan Index saja) atau daftar para pengarang dan buku-buku yang dilarang karena berlawanan dengan ajaran resmi agama Katolik. Tentu buku-buku kalangan saintis biasanya masuk dalam urutan pertama. Kalangan saintis yang membawa pandangan baru mengenai sejumlah gejala alam dianggap sebagai "heretik" atau, dalam bahasa Islam, "murtad".

Kita juga mengenal apa yang disebut dengan Tiga Puluh Tahun Perang Agama di Eropa antara umat Protestan dan Katolik. Perang ini dimulai dari Kerajaan Bohemia (sekarang masuk wilayah Cekoslovakia) pada tahun 1618 dan baru berakhir pada 1648 pada saat ditandatanganinya Perjanjian Westphalia pada 24 Oktober 1648. Perang ini melebar ke berbagai negeri Eropa dan membawa korban yang sangat banyak, konon nyaris memusnahkan sepertiga penduduk negeri Jerman. Ini semua terjadi karena sikap-sikap intoleransi yang ditunjukkan oleh sekte-sekte dalam agama Katolik atau pun Protestan. Sejarah agama yang gelap semacam ini membawa ingatan yang buruk bagi masyarakat Eropa tentang peran agama dalam wilayah publik. Karena sejarah buruk semacam ini, tak heran jika timbul sinisisme yang luas terhadap agama, terutama agama Katolik dan Protestan. Dengan latar seperti ini pula kita bisa memahami kenapa di Perancis saat ini, misalnya, ada larangan bagi siapapun untuk mengenakan simbol agama dalam sekolah dasar dan menengah negeri, antara lain larangan untuk memakai jilbab. Korban pertama dari sekularisme di Eropa bukanlah agama Islam atau agama-agama lain, tetapi adalah agama Katolik.

Saat ini terjadi perubahan yang cukup penting di negeri-negeri Barat. Membanjirnya imigrasi umat Islam ke sejumlah negara-negara Barat membuat masyarakat Eropa terbelalak kaget, karena tidak seperti yang mereka duga, agama ternyata tidak memudar dengan adanya arus modernisasi dan sekularisasi di segala bidang. Sekularisasi justru menciptakan arus balik yaitu bangktinya kembali agama. Bukan hanya itu, fenomena kebangkitan agama ini tidak saja terjadi di kalangan Islam, tetapi juga lebih-lebih di kalangan Kristen sendiri. Gejala bangkitnya kembali agama-agama ini oleh Gilles Kepel, seorang sarjana Perancis, disebut sebagai "balas dendam" Tuhan, la revanche du dieu. Tuhan yang semula terusir dari ruang publik gara-gara sekularisme, sekarang balik kembali dan ingin membalas dendam. Tentu istilah ini hanyalah kiasan saja, tak harus kita pahami secara harafiah.

Walaupun Eropa telah mengalami sekularisasi, bahkan untuk sejumlah negara tertentu proses ini berlangsung secara radikal, namun pengaruh budaya Kristen tetaplah kuat. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa Kristen secara kultural masih sangat kuat pengaruhnya di Eropa. Ini yang menjelaskan kenapa saat banjir imigrasi umat Islam ke Eropa berlangsung beberapa dekade terakhir ini, masyarakat Eropa mulai berpikir ulang tentang apa sebetulnya identitas Eropa. Sikap masyarakat Eropa secara umum terhadap Islam masih diwarnai oleh kecurigaan, antara lain karena untuk waktu yang cukup lama Islam, melalui Turki Usmani dahulu, pernah menjadi ancaman yang serius bagi Eropa-Kristen. Sebagai agama, Islam hingga kini tetap dipandang dengan penuh kecurigaan. Dari kalangan Kristen sendiri, Islam dipandang sebagai agama tandingan yang membahayakan. Di kalangan kaum sekuler, Islam juga dicurigai karena memiliki sejumlah ajaran yang dianggap "terbelakang", bahkan "barbar", karena bertentangan dengan nilai-nilai sekularisme, seperti ajaran yang mendiskriminasi perempuan, misalnya. Sejumlah praktek umat Islam seperti "bunuh kehormatan" (honor killing), misalnya, yang ternyata masih dibawa oleh sejumlah komunitas Islam di Eropa dari negeri asal mereka, kian memperkuat citra Islam sebagai agama yang terbelakang. Praktek Islam seperti ditunjukkan oleh pemerintah Taliban saat berkuasa di Afghanistan dulu juga makin menyokong pendapat umum selama ini tentang Islam sebagai agama yang tak ramah terhadap perempuan. Citra Islam di Eropa masih identik dengan kekerasan atau praktek hukuman badan (seperti potong tangan) yang dianggap "brutal" sebagaimana berlaku di Saudi Arabia. Setelah peristiwa 11 September 2001, citra semacam ini makin diperkuat. Masyarakat Eropa, saat mendengar kata "hukum Islam", akan langsung membayangkan hukum rajam dan potong tangan yang dianggap "keji" itu.

Inilah yang melatari reaksi keras sebagian masyarakat Inggris terhadap lontaran pendapat Dr. William itu. Gagasan Uskup Canterbury itu sebetulnya sangat sederhana: bahwa seseorang bisa memiliki sejumlah identitas secara serentak. Seseorang yang memiliki loyalitas terhadap norma atau tradisi agama tertentu bisa pada saat yang sama memberikan loyalitas pada hukum negara. Taat agama tidak secara langsung berarti bertentangan dengan taat pada negara. Dengan makin banyaknya komunitas Muslim yang tinggal di Inggris saat ini, muncul kebutuhan di beberapa kalangan Muslim agar sebagian dari kehidupan mereka diatur oleh hukum Islam atau shari'ah; tegasnya, aspek-aspek perdata seperti perkawinan dan perceraian. Umat Islam tidak harus dihadapkan pada dua pilihan yang saling menafikan: atau taat hukum negara, atau taat hukum Islam. Karena orang bisa memiliki identitas yang banyak pada saat yang sama, maka keislaman dan keinggrisan tidaklah harus diperlawankan. Berdasarkan pemikiran semacam ini, akomodasi terhadap hukum shari'ah dalam hal-hal yang menyangkut pedata tidak bisa dihindarkan lagi, dan bahkan harus dibuat resmi. Inilah sebetulnya gagasan utama Dr. William. Kalangan Kristen dan Yahudi di Inggris selama ini sudah menikmati "otonomi" untuk mengelola urusan "internal" komunitas mereka berdasarkan hukum atau norma legal yang dianut oleh kedua agama itu. Kenapa hal yang sama tak diberikan pula kepada umat Islam? Dengan kata lain, gagasan dasar yang dikehendaki oleh Dr. William adalah semacam versi baru dari sistem millet yang pernah berlaku dalam Kesultanan Usmaniah dahulu, di mana masing-masing komunitas agama di luar Islam diberikan keleluasaan dan kebebasan penuh untuk mengurus secara mandiri (lepas dari jurisdiksi hukum Islam yang berlaku secara umum) hal-hal yang berkaitan dengan ritual dan masalah perdata.

Dalam prakteknya, umat Islam di Inggris selama ini berhadapan dengan situasi yang penuh ambiguitas saat berurusan dengan masalah perdata. Jika seorang Muslim berhadapan dengan sengketa perdata, misalnya berkaitan dengan cerai, waris, atau wakaf, mereka biasanya cenderung menyelesaikannya melalui jalur "non-resmi", yaitu dengan meminta konsultasi kepada para imam masjid yang dianggap memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang hukum Islam. Hal ini ditempuh karena mereka ingin diatur dengan hukum Islam. Masalahnya adalah bahwa keputusan imam itu tidak dianggap mengikat oleh peradilan resmi di Inggris. Dengan kata lain, arbitrase melalui jalur hukum "agama" ini tidak dianggap legal dan sah dalam kerangka hukum di Inggris, sekurang-kurangnya dalam kasus umat Islam saat ini.

Tentu hal ini menimbulkan dilema yang rumit bagi umat Islam. Di satu pihak umat Islam ingin hidup sesuai dengan hukum Islam, tetapi di pihak lain "legal arrangement" atau kerangka hukum di Inggris tidak memungkinkan hal itu. Yang terjadi pada akhirnya adalah bahwa hukum Islam seperti dipraktekkan dalam "pasar gelap hukum": berjalan tetapi tak diakui secara resmi dan tidak mengikat. Masalah inilah yang ingin dicoba oleh Kardinal Canterbury untuk diatasi dengan terobosan yang cukup berani: negeri Inggris harus membuka diri terhadap kemungkinan menerima hukum Islam dalam soal-soal perdata.

Dua tantangan

Kita tak tahu hingga di mana bola ini akan bergulir. Masalah kultural yang muncul karena kehadiran umat Islam yang kian banyak di Eropa saat ini memang rumit sekali, dan tak mudah untuk diatasi dengan sekali pukul a la "tongkat Musa". Sekurang-kurangnya ada dua tantangan, di pihak masyarakat Eropa sendiri, dan juga di pihak umat Islam.

Pada pihak Eropa, tantangan yang dihadapi adalah mencoba menghapus citra negatif tentang Islam dan umat Islam yang sudah berurat-berakar selama ini. Kehadiran umat Islam di tanah Eropa saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat sekuler dan Kristen Eropa untuk belajar tentang kultur yang lain sama sekali, kultur yang lahir di luar tradisi pencerahan Eropa.

Di pihak umat Islam sendiri, tantangannya jauh lebih berat. Di satu pihak, umat Islam juga harus belajar bahwa tradisi pencerahan membawa dampak positif bagi toleransi agama secara umum di Eropa. Sekularisme lahir di Eropa sebagai akibat dari perang dan konflik agama selama berpuluh-puluh tahun pada masa lampau. Sistem sekuler muncul untuk menengahi konflik itu. Umat Islam mesti paham tentang konteks sejarah semacam ini. Tantangan lain yang cukup berat adalah berusaha merumuskan suatu interpretasi atas Islam yang sesuai dengan konteks Eropa. Islam a la Arab tentu tak layak dipakai dalam konteks negeri pencerahan itu. Beberapa hukum perdata Islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian memang jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap perempuan. Umat Islam haruslah berani melakukan "kritik" atas, serta mengubah, hukum-hukum semacam ini. Jika tidak, tuduhan masyarakat Eropa selama ini terhadap Islam sebagai agama yang mendiskriminasikan perempuan akan makin kuat.

Sementara itu, kekhawatiran kalangan sekuler di Inggris bahwa penerapan hukum perdata untuk umat Islam, jika diperbolehkan, akan merembet ke hukum pidana (dikenal dengan hukum "hudud" seperti potong tangan, rajam, dsb.) jelas berlebihan. Usulan Dr. William untuk mengakomodasi shari'ah hanya berlaku dalam konteks hukum perdata, itu pun tetap harus dalam kerangka hukum resmi di Inggris. Meskipun demikian, kekhawatiran kalangan sekuler semacam ini layak diperhitungkan secara serius oleh kalangan Islam, sebab memang ada dasar empiriknya. Sejumlah kalangan Islam fundamentalis yang juga menjamur di beberapa komunitas Islam di Inggris, percaya benar bahwa hukum pidana Islam, cepat atau lambat, juga harus dilaksanakan dengan penuh di negeri-negeri Barat. Bahkan mereka percaya bahwa Barat, suatu saat, harus "diislamkan" dan seluruh hukum Islam, perdata dan pidana, harus diadopsi secara resmi (enacted).

Kedua belah pihak memiliki tantangannya masing-masing. Kita berharap jika masing-masing pihak melaksanakan tugasnya secara baik untuk mengatasi tantangan itu, maka "benturan" antara Islam dan Barat di Eropa akan bisa dihindarkan. Langkah yang ditunjukkan oleh Uskup Canterbury itu menunjukkan niat baik dari pihak "Barat". Tinggal umat Islam sendiri: beranikah mereka menafsirkan ulang hukum-hukum Islam yang sudah tak sesuai dengan tantangan dan konteks zaman ini.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Wednesday, February 13, 2008

Hirarki Ilmu dalam Pandangan al-Ghazali dan Relevansinya Saat Ini

Ruzbihan Hamazani

Esei pendek ini akan mencoba melihat hirarki ilmu dalam pandangan al-Ghazali, seorang sarjana besar Islam yang hidup pada abad 12 Masehi. Sumber utama tulisan ini adalah bagian pembukaan dalam karya al-Ghazali yang sangat terkenal, "Al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushul", sebuah rujukan penting dalam kajian ushul fiqh, yakni teori hukum Islam. Karya al-Ghazali ini cukup menarik karena pada bab pembuka memuat suatu ulasan panjang lebar mengenai logika dan teori kebenaran atau teori pengetahuan (epistemologi). Bagi mereka yang tertarik dengan kajian tentang teori pengetahuan atau epistemologi Islam, karya ini adalah salah satu rujukan yang tak bisa diabaikan.

Dalam tulisan ini, saya memakai edisi Muhammad Abd al-Salam Abd al-Syafi yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-'Ilmiyya, Lebanon, 1993. Bagian yang menarik perhatian saya adalah "khuthbat al-kitab" atau pembukaan (hal. 3-4).

Dalam bagian itu, al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu. Pertama, ilmu rasional murni ('aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah sbb: aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Ilmu-ilmu rasional ini, menurut al-Ghazali, tidak dianjurkan oleh agama untuk dipelajari. Alasan yang ia kemukakan sangat menarik: ilmu-ilmu tersebut tidak seluruhnya benar; sebagian mengandung kebenaran, dan sebagian lagi hanyalah dugaan-dugaan atau spekulasi yang tak berdasar. Meski mengandung kebenaran, ilmu-ilmu itu, menurut al-Ghazali, tetap tiada guna karena hanya berurusan dengan kehidupan duniawi yang fana. Ilmu yang sungguh-sungguh berguna, bagi al-Ghazali, adalah yang berurusan dengan persiapan untuk menghadapi kehidupan di akhirat kelak, kehidupan yang kekal.

Kedua, adalah ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata "naqli" secara harafiah berarti sesuatu yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma'thur, yakni tafsir yang didasarkan pada hadis, pendapat para sahabat atau tabi'in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai "naqli" karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu. Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal. Menurut al-Ghazali, ilmu naqli boleh dianggap sebagai ilmu yang mudah (wa al-khathbu fi amthaliha yasir), sebab orang muda atau tua dapat menguasainya dengan gampang asal memiliki kekuatan ingatan atau memori (quwwat al-hifz) yang baik. Ilmu-ilmu naqli semacam hadis itu tak membutuhkan penalaran yang mendalam, sebab modal utamanya hanyalah "ingatan" yang kuat.

Ketiga adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Saya ingin menyebut ilmu semacam ini sebagai "aqnali" atau "al-'ulum al-'aqnaliyyah", yakni ilmu yang mengawinkan antara "naql" atau riwayat dan "'aql" atau akal sekaligus. Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menderivasi hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai ilmu "aqnali" sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula wahyu atau tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu yang statusnya lebih tinggi dan mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.

Al-Ghazali mengemukakan argumen tambahan untuk mendukung pendapatnya tentang keunggulan ilmu aqnali. Yakni, bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi ciri utama ilmu naqli, begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taklid atau meniru secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada akal semata juga tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah yang berdiri di tengah-tengah antara akal dan wahyu.

Hirarki atau tingkatan ilmu menurut al-Ghazali tampaknya mengikuti urut-urutan sebagai berikut. Pada tingkat paling atas adalah ilmu-ilmu "'aqnaliyyah" (baca: 'aqliyyah dan naqliyyah sekaligus), disusul oleh ilmu-ilmu naqliyyah, dan terakhir ilmu-ilmu 'aqliyyah.

Relevansi

Apa relevansi pandangan al-Ghazali mengenai hirarki ilmu ini dalam konteks kita saat ini, terutama bagi umat Islam di Indonesia yang hidup di awal abad 21?

Tentu tidak seluruh pendapat al-Ghazali di atas tepat. Pandangannya bahwa ilmu-ilmu rasional mengandung unsur-unsur spekulasi tidak seluruhnya bisa diterima. Jika yang dimaksud di sana adalah ilmu astrologi, mungkin ia benar. Meskipun agak aneh bahwa al-Ghazali memasukkan astrologi dalam kategori ilmu di sini, walaupun hal ini bisa dimaklumi dalam konteks di mana ia hidup. Mungkin pada kitaran abad-abad 12, astrologi masih dianggap memiliki reputasi sebagai ilmu yang terhormat. Di era modern, astrologi jelas tidak lagi dianggap sebagai ilmu yang serius, selain sebagai "khurafat" atau superstisi yang layak diabaikan. Dengan demikian, jika yang ia maksudkan sebagai ilmu yang mengandung spekulasi tak berdasar adalah astrologi, maka al-Ghazali jelas benar dalam hal ini.

Yang layak kita perhatikan adalah pendapat al-Ghazali yang menempatkan ilmu-ilmu 'aqnaliyyah pada kedudukan paling atas, mengungguli ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu tradisional seperti hadis. Dan lebih menarik lagi jika kita telaah alasan-alasan yang ia kemukakan. Dibaca dalam konteks sejarah umat Islam pada permulaan abad 21, pandangan al-Ghazali ini bisa menjadi semacam kritik terhadap sejumlah golongan dalam Islam saat ini:

(1) Kritik terhadap orang-orang yang menyebut dirinya sebagai kaum "salafi" yang menempatkan hadis sebagai ilmu paling utama. Kaum salafi menganggap bahwa ilmu hadis mencukupi kebutuhan pokok umat Islam dalam beragama. Jika mereka menjumpai sebuah hadis yang dianggap sahih atau valid, maka mereka langsung menjadikannya sebagai pegangan. Dibaca dalam konteks hirarki pengetahuan a la al-Ghazali di atas, pandangan kaum salafi semacam ini jelas sangat tidak tepat. Hadis semata tidak mencukupi. Suatu hadis, walau sahih/valid dari segi transmisi atau sanad, membutuhkan penalaran lebih jauh sebelum dijadikan sebagai pegangan.

Contoh sederhana adalah sebuah hadis terkenal yang memerintahkan untuk memanjangkan jenggot. Dalam sebuah hadis, Nabi menegaskan, "A'fu al-liha wa qasshu al-sharib," panjangkan jenggot dan potonglah kumis. Secara harafiah, hadis ini merupakan perintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Pertanyaannya: Apakah hadis ini semata cukup dijadikan landasan untuk mengharamkan cukur jenggot, seperti dipraktekkan oleh kelompok Taliban sat berkuasa di Afghanistan dulu, tanpa penalaran lebih jauh? Jawaban yang akan diberikan oleh al-Ghazali tentu jelas: tidak cukup! Hadis itu jelas harus dinalar lebih jauh.

Dalam konteks ini, kita harus membaca lagi dengan lebih kritis penegasan terkenal dari Imam Shafi'i, "iza shahha al-hadith fa huwa mazhabi," jika sebuah hadis terbukti sahih (dari segi sanad atau transmisinya?), maka pendapatku akan mengikuti hadis tersebut. Pendapat Imam Shafi'i ini jelas bias atau pro kelompok tradisional atau ahl al-hadith. Pandangan ini berbeda jauh dengan al-Ghazali yang berdiri di tengah-tengah, tidak condong terlalu jauh pada kelompok hadis, juga tak berlebihan membela kaum rasionalis. Dengan seluruh respek kita pada Imam Shaf'i sebagai pendiri mazhab fiqh yang menyandang namanya itu, tampaknya pendapat al-Ghazali jauh lebih masuk akal di sini.

(2) Kritik terhadap praktek taqlid, tanpa penalaran. Taqlid atau meniru orang-orang terdahulu tanpa dilandasi oleh pemahaman dan penalaran yang memadai jelas tidak dibenarkan baik oleh akal atau agama. Dalam Qur'an sendiri kita jumpai banyak sekali kritik terhadap kebiasaan masyarakat Arab yang taqlid buta terhadap tradisi leluhur mereka sehingga menolak dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad atau nabi-nabi terdahulu (baca misalnya QS 5:104, 7:28, 31:21, 43:22, 23). Kritik semacam ini jelas tidak hanya berlaku untuk masyarakat Arab pada saat itu, tetapi juga umat Islam secara umum saat ini yang tampaknya sudah terjerembab kembali dalam praktek taqlid, termasuk mereka yang selama ini menggembar-gemborkan sikap anti-taqlid. Saya tak usah menyebut kelompok mana yang berperangai seperti itu.

(3) Kritik terakhir tentu terarah pada kelompok yang semata-mata memakai akal dengan mengabaikan wahyu. Dengan kata lain, mereka yang meninggalkan sama sekali agama dan wahyu, dan melulu berpegangan pada rasio manusia. Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal manusia murni, seperti sains modern misalnya, mungkin berguna untuk memudahkan kehidupan manusia saat ini, tetapi kurang terlalu membantu dalam memberikan panduan untuk hidup secara bermoral. Sebagaimana dengan cukup baik dikemukakan oleh sosiolog modern Max Weber, ilmu-ilmu kealaman yang umumnya berlandaskan pada rasio murni (tentu melibatkan observasi empiris) hanya bersinggungan dengan pertanyaan pokok "what is" atau "apa yang secara empiris terjadi", tetapi tak menjawab "what ought to be" atau "apa yang seharusnya terjadi". Dengan kata lain, sains modern hanya bekerja pada wilayah fakta, bukan memberikan preskripsi moral.

Tentu ini semua tidak dikatakan secara eksplisit oleh al-Ghazali. Saya hanya mencoba menarik relevansi dari pendapatnya mengenai hirarki ilmu. Tentu kita layak belajar dari pendapat sarjana besar Islam klasik ini. Saya harus tegaskan: belajar, bukan taqlid.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Monday, February 11, 2008

Pada Dasarnya, Islam Adalah Agama yang Mudah: Catatan Pendek Akhir Minggu

Ruzbihan Hamazani

Apakah untuk menjadi Muslim seseorang harus serta menjadi anggota golongan ini atau itu? Apakah untuk menjadi Muslim ia harus percaya pada fatwa lembaga ini atau itu? Apakah untuk menjadi Muslim ia harus menjadi anggota partai A atau B? Apakah untuk menjadi Muslim ia harus mengkafirkan golongan ini atau itu? Adakah standar minimal untuk menjadi seorang Muslim yang baik?

Saat ini kita melihat begitu banyak golongan Islam bermunculan di mana-mana, begitu pula partai-partai yang mengatasnamakan Islam berserakan seperti sampah yang bertebaran di sudut-sudut kota Jakarta. Masing-masing kelompok merasa dirinya paling benar, dan menyalahkan, atau malah lebih jauh lagi mengafirkan golongan lain yang berbeda pendapat. Seorang Muslim awam, melihat keragaman kelompok dan golongan Islam yang menyerupai hutan belantara semacam itu, tentu akan kebingungan. Adakah cara sederhana untuk memahami Islam? Adakah "kompas" untuk menjadi panduan kita di tengah-tengah "lautan" keragaman ini?

Catatan pendek ini mencoba menjawab pertanyaan itu.

Islam pada dasarnya adalah agama yang sederhana, tidak ruwet dan membingungkan. Gara-gara umat Islam sendiri agama yang semula sederhana itu kemudian menjadi ruwet dan seperti makin dipersulit. Sebuah hadis yang terkenal menegaskan, "al-dinu yusrun". Artinya: agama itu mudah. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan, "yassiru wa la tu'assiru". Artinya: permudahlah, jangan kalian persulit. Sebuah ayat dalam Surah Al-Hajj menegaskan, "wa ma ja'ala 'alaikum fi al-din min haraj" (QS 22:78). Artinya: Tuhan tak akan menyebabkan kesulitan apapun dalam agama.

Semangat dasar dalam Islam adalah sangat jelas: membawa kemudahan bagi manusia, bukan menimbulkan kesulitan. Dalam praktek sehari-hari, yang kita lihat justru sebaliknya: umat Islam menciptakan kesulitan sendiri dalam agama, dengan mengadakan hal-hal yang sebetulnya tak ada dalam agama. Atau, dengan sejumlah tafsiran tertentu, mereka mencoba menarik-narik terlalu jauh sejumlah ajaran yang sederhana dalam Islam, sehingga akhirnya menjadi rumit.

Apa sebetulnya esensi dasar Islam itu? Pertanyaan yang sederhana tapi penting ini sering dilupakan banyak orang. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita tengok ayat-ayat pertama dalam Surah Al-Baqarah sbb:

Dzalik al-kitab la raiba fih, Hudan li 'l-muttaqin.
Alladhina yu'minun bi 'l-ghaib wa yuqimun al-shalat wa min ma razaqnahum yunfiqun.
Wa 'l-ladhina yu'minun bi ma unzila ilaika wa ma unzila min qablik, wa bi 'l-akhirah hum yuqinun.
Ula'ika 'ala hudan min rabbihim wa ula'ika hum al-muflihun (QS 2:2-4).

Artinya dalam terjemahan bebas:

Ini adalah kitab (baca: Qur'an) yang benar, tiada keraguan mengenainya,
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Yaitu orang-orang yang beriman kepada hal-hal yang ghaib, melaksanakan salat, dan memberikan sebagian dari harta mereka.
Dan orang-orang yang beriman kepada kitab Qur'an yang diberikan kepada kamu (wahai Muhammad), dan kitab-kitab yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum kamu.
Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Ayat-ayat itu, kalau kita "peras", akan memperlihatkan dengan baik esensi Islam. Ada tiga unsur utama dalam Islam. Pertama adalah percaya kepada hal-hal yang ghaib (al-ghaib). Kedua, percaya kepada "risalah" atau misi kenabian melalui mana kebenaran Tuhan disampaikan kepada umat manusia. Ketiga, melaksanakan ibadah, baik individual atau sosial.

Percaya pada hal-hal ghaib mencakup sejumlah hal, seperti percaya pada keberadaan Tuhan, malaikat, sorga dan neraka. Kita tak dituntut oleh agama untuk mencari tahu lebih jauh seperti apa Tuhan atau malaikat itu, seperti apakah sorga dan neraka itu. Maksud utama kita percaya pada hal-hal ghaib adalah untuk memberi-tahu kita bahwa kehidupan fisik bukanlah segala-galanya. Materialisme dan positivisme dalam pengertian bahwa segala-galanya berhenti pada dunia fisik ini, ditolak oleh agama. Pandangan hidup yang materialistis adalah sangat sempit sekali, reduksionistis. Islam dan agama-agama secara umum ingin memperluas cakupan pandang manusia sehingga melampaui kehidupan materi. Ada kehidupan lain yang melampaui kehidupan fisik ini. Percaya pada Tuhan pada dasarnya adalah percaya bahwa kehidupan fisik yang serba sementara ini mempunyai landasan yang absolut, yakni Tuhan yang Maha Adil, Tuhan yang hukum-hukumnya tak berubah, Tuhan yang Mengetahui segala hal, Tuhan yang serba penuh kasih sayang, tetapi juga menuntut keadilan.

Percaya pada sorga dan neraka bukan sekedar percaya akan adanya "kenikmatan" fisik di hari kelak, di mana orang-orang beriman akan menikmati puluhan bidadari molek dan minum arak yang lezat sebagaimana digambarkan dalam Qur'an selama ini. Penggambaran sorga yang serba fisik dan "jasadiah" itu hanya untuk memberi visualisasi pada orang-orang awam saja. Penggambaran semacam itu tak terlalu penting. Inti percaya pada sorga dan neraka adalah percaya pada prinsip keadilan Tuhan. Bahwa suatu hari, tindakan kita di dunia ini akan dimintai tanggung-jawab (hisab), dan masing-masing orang akan mendapatkan balasan yang setimpal. Tuhan tak akan membiarkan kezaliman berlalu begitu saja. Jika seseorang yang melakukan suatu kezaliman tak dapat dibalaskan dengan setimpal di dunia ini, maka di hari kelak nanti, Tuhan akan menjadi Hakim Agung yang akan mengadili orang itu. Tidak semua orang jahat atau despot/tiran di dunia ini mendapatkan hukuman atas ulah mereka. Banyak para tiran, koruptor, dan orang-orang jahat yang hidup mewah dan dimanjakan oleh hukum dunia. Orang-orang ini boleh saja "leha-leha" di dunia, tetapi di hari kelak nanti, mereka akan dihukum oleh Tuhan.

Dengan kata lain, percaya pada sorga dan neraka adalah bagian dari prinsip umum tentang keadilan Tuhan, atau keadilan per se.

Inti kedua dalam Islam adalah percaya pada "risalah" atau kerasulan. Manusia tentu tak bisa bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Ketentuan Tuhan hanya bisa disampaikan oleh suatu perantara, yaitu para rasul dan nabi. Umat Islam diharuskan untuk percaya kepada adanya rasul dan nabi, bukan hanya Nabi Muhammad saja, tetapi seluruh nabi yang pernah diutus oleh Tuhan ke dunia ini. Dalam Qur'an ditegaskan sbb: "wa ma min ummatin illa khala fiha nadhir" (QS 35:24). Artinya: tak ada suatu bangsa kecuali pada mereka pernah berlalu seorang pembawa peringatan (tentang kebenaran). Ayat ini dengan jelas sekali menegaskan bahwa Tuhan mengutus "juru terang" atau pengingat (nadhir) yang mengabarkan kebenaran kepada semua bangsa di dunia ini. Berdasarkan ayat ini, saya dengan penuh kemantapan hati percaya bahwa para orang-orang bijak dari Timur yang membawa agama Hindu, Budha, Konfusianisme, atau para filsuf Yunani yang membawa ajaran kebenaran, atau guru-guru bijak lain yang bertebaran di segala penjuru dunia yang tak pernah kita kenal namanya, adalah para utusan Tuhan. Oleh karena itu, seorang beriman sudah seharusnya belajar tentang kebenaran dari orang-orang bijak yang bertebaran di seluruh dunia itu. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Ali ibn Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi Muhammad sendiri, "al-hikmah dhallat al-mu'min, anna wajadaha akhadhaha". Artinya: ajaran kebijaksanaan adalah barang hilang milik orang beriman; di mana pun mereka menjumpainya, mereka sebaiknya segera memungutnya. Seorang Muslim tidak kehilangan keislamannya karena belajar kebenaran dari agama-agama lain. Justeru itulah yang diperintahkan oleh agama. Kebenaran adalah berasa dari sumber yang sama, yaitu Tuhan yang satu. Kita tak selayaknya menghindar dari kebenaran hanya gara-gara kebenaran itu berasal dari agama lain.

Inti Islam yang ketiga dan terakhir adalah ibadah. Ibadah ada dua hal, ibadah murni yang disebut dengan "ritual" atau 'ibadah mahdah, seperti salat, puasa, dan haji; dan ibadah yang bersifat sosial seperti berzakat, atau melaksanakan kontrak dan hubungan sosial yang fair dan adil. Ibadah yang bersifat ritual mempunyai aturan yang ketat, dan kita tak diperbolehkan menciptakan tata aturan ibadah sendiri yang menyimpang dari aturan yang sudah diajarkan oleh agama Islam. Misalnya, salat wajib atau fardhu hanyalah diselenggarakan lima kali sehari dengan tata aturan yang sudah pasti. Misalnya, salat Subuh dua raka'at, Lohor empat raka'at, Asar lima raka'at, Maghrib tiga raka'at, Isya' empat raka'at. Kita tak boleh melaksanakan salat subuh tiga raka'at, misalnya, kecuali jika kita lupa. Adapun salat harus memakai bahasa Arab atau tidak, itu perkara sekunder. Kita tak usah mempersulit diri dengan mengharuskan salat memakai bahasa Arab. Salat memakai bahasa Arab tentu sangat baik; tetapi jika seorang Jawa merasa lebih akrab berkomunikasi dengan Tuhan via salat dengan bahasa Jawa, tentu boleh-boleh saja. Kita tak usah membuat onar dengan mempersoalkan tindakan orang itu. Yang penting adalah kita melaksanakan salat dengan khusyu' dan ikhlas. Inti salat bukan di bahasa, tetapi di hati kita masing-masing. Banyak orang yang salat dengan memakai bahasa Arab dengan fasih sekali, tetapi hatinya "gentayangan" ke mana-mana. Nabi Muhammad memang salat dengan memakai bahasa Arab, tetapi itu suatu kebetulan saja karena beliau adalah orang Arab. Tentu tak adil jika kita mengharap Nabi salat dengan bahasa Sunda. Betul? Jika Nabi Muhammad muncul di tanah Parahyangan, sudah tentu beliau akan mengajarkan ibadah dalam bahasa Sunda. Jadi, kita tak usah mempersoalkan bahasa apa yang harus dipakai dalam ibadah. Ingat: al-dinu yusrun, agama adalah mudah dan kemudahan.

Ibadah ritual atau 'ibadah mahdhah dapat dianggap sah jika memenuhi dua syarat pokok: dari segi tata-aturan mengikuti tata-laksana yang sudah diajarkan oleh agama, dan dilaksanakan dengan ikhlas, alias hanya untuk Tuhan semata. Ibadah ritual mengajari kita untuk terus mengorientasikan diri pada sumber kehidupan, yakni Tuhan. Hidup yang bermakna adalah hidup yang didasari oleh tujuan yang jelas dan terus diorientasikan pada tujuan itu. Tujuan yang paling utama atau "ultimate" adalah Tuhan itu sendiri. Yang mengetahui apakah kita melaksanakan ibadah dengan ikhlas atau tidak adalah kita sendiri dan Tuhan. Kita boleh jadi tampak khusyu' melaksanakan ibadah salat sesuai dengan tata-laksana yang diajarkan oleh Nabi. Tetapi Tuhan lah yang tahu, apakah salat itu kita laksanakan dengan niat yang ikhlas, atau sekedar biar tampak saleh atau "cari muka" di hadapan masyarakat sekitar. Salat yang sekedar untuk "carmuk" (cari muka) semacam itu tak ada gunanya, karena hanya bersifat lahiriah belaka. Ibadah ritual mengajarkan pada kita agar kita mendidik diri terus berkomunikasi dan mengorientasikan diri kepada Tuhan yang Maha Mutlak.

Sementara itu, ibadah yang bersifat sosial memiliki dua dasar yang penting: tak melanggar aturan agama, dan diselenggarakan sesuai dengan asas "fairness" atau adil. Malah, kalau kita mau peras lagi, dasar utama ibadah sosial adalah keadilan itu sendiri. Ibadah sosial itu kita kenal selama ini sebagai mu'amalah atau interaksi/transaksi sosial. Segala bentuk transaksi adalah halal asal tak melanggar aturan agama, dan diselenggarakan dengan "fair". Oleh karena itu, Islam, misalnya, menghalalkan segala bentuk jual beli, asal adil. Dalam hal ini, saya ingin menyinggung sedikit soal riba. Selama ini banyak orang secara keliru menganggap bunga bank sebagai riba. Itu jelas tidak tepat. Bunga bank adalah bagian dari jual beli biasa, dalam bentuk utang-piutang, dan karena itu adanya keuntungan (interest) di sana tak dilarang sama sekali. Yang dilarang dalam Islam adalah riba, yakni bunga yang mecekik debitor atau si penghutang (dalam istilah Qur'an "adh'afan mudha'afah", QS 3:130). Dalam kehidupan sehari-hari, riba semacam itu kita kenal dalam praktek "lintah darat" atau rentenir, di mana seseorang bisa memungut bunga hutang hingga lebih dari 50% dari hutang pokok. Saat larangan riba turun pada zaman Nabi, umumnya semua praktek utang-piutang adalah dalam konteks hutang untuk konsumsi; pada zaman itu belum ada institusi bank yang memberikan hutang untuk tujuan produktif dengan bunga yang dilihat dari standar atau praktek "lintah darat" sangat rendah sekali. Saya menghormati mereka yang percaya bahwa bunga bank masuk dalam kategori riba. Tetapi, saya berpendapat lain: bunga bank bukanlah riba, dan umat Islam tak usah mempersulit diri dengan menghindari transaksi di bank umum atau konvensional karena takut melanggar larangan riba. Toh bank Islam yang kita kenal selama ini juga menerapkan "bunga terselubung" sekedar untuk mengakali larangan riba.

Itulah inti ajaran Islam. Sekedar untuk mengingatkan kembali, inti Islam adalah tiga: iman kepada hal ghaib, iman kepada kerasulan, dan ibadah. Di luar itu, akhlak, atau etika adalah sangat penting. Sebagaimana sudah saya tulis dalam artikel terpisah, etika sangat penting kedudukannya dalam agama. Bahkan Nabi sendiri menegaskan bahwa misi utamanya adalah untuk menyempurnakan akhlak (Lihatlah artikel saya yang lain di blog ini dengan judul "Di Manakah Akhlak Kalian, Wahai Umat Islam?"). Dalam hal ini, kita, umat Islam, perlu mengingatkan diri kita bahwa akhlak umat Islam belum sepenuhnya memenuhi harapan yang dikehendaki oleh agama kita. Terutama jika kita tengok akhlak sosial masyarakat Islam di Indonesia saat ini. Lihat, betapa buruknya akhlak kita di jalan raya di kota-kota besar seperti Jakarta. Lihatlah betapa buruknya akhlak pejalan kaki kita yang suka menyeberang jalan di luar tempat yang disediakan. Lihatlah betapa buruknya akhlak kita dalam memperlakukan lingkungan. Lihatlah betapa buruknya akhlak kita dalam soal urusan keuangan sehingga menimbulkan korupsi. Lihatlah betapa buruknya akhlak sebagian khatib-khatib Jum'at kita sehingga menjelek-jelekkan agama dan umat agama lain di mimbar. Lihatlah, lihatlah, lihatlah...

Menjadi seorang Muslim adalah mudah sekali: beriman, beramal yang baik, dan hidup sesuai dengan etika. Itu saja. Untuk menjadi seorang Muslim, kita tak diharuskan menjadi anggota NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PKS, Salafi, atau yang lain. Kita boleh masuk ke ormas atau partai apapun, asal saling menghormati dan tak saling meledek atau malah lebih buruk lagi mengafirkan. Untuk menjadi seorang Muslim yang baik kita tak diharuskan untuk masuk ke dalam salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Untuk menjadi seorang Muslim yang baik kita tak diharuskan menjadi seorang anggota sekte Asy'ariyah, Salafiyyah, Mu'tazilah atau sekte-sekte yang lain. Mengikuti mazhab atau sekte tertentu adalah baik, asal kita menerapkan etika pergaulan sosial yang baik, yakni tak saling mengafirkan. Saling kritik tentu boleh, tetapi saling menyesatkan dan mengafirkan adalah tidak baik.

Menjadi seorang Muslim yang baik juga tidak berarti harus ikut fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Fatwa, dalam tradisi fikih (hukum Islam) yang kita kenal selama ini, bukanlah sesuatu yang bersifat mengikat. Fatwa adalah pendapat. Kita boleh ikut fatwa MUI, NU atau Muhammadiyah, misalnya. Tetapi kita tak boleh merasa paling benar sendiri dengan fatwa tertentu.

Inilah dasar-dasar menjadi seorang Muslim yang sangat sederhana. Sekali lagi, menjadi seorang Muslim adalah mudah, dan jangan dipersulit dengan pendapat-pendapat yang menambah ruwet dan menyulitkan kita sendiri. Pendapat tentu boleh dikemukakan, tetapi etika "tepa selira" atau menghormati pendapat orang lain juga penting.

Dengan mengatakan ini semua, saya tak hendak menyalahkan orang-orang Islam yang dengan sengaja ingin mempersuit diri sendiri. Misalnya, ada sejumlah orang Islam yang merasa belum Islam penuh jika tak memakai jilbab a la orang Arab, atau menutup seluruh tubuh bahkan hingga wajah, a la pakaian "burqa" dari Afghanistan itu. Atau, ada sebagian orang yang merasa belum Islam penuh kalau tak memelihara jenggot, memakai pakaian serba putih, jubah, atau pakaian a la Arab yang lain. Atau, ada orang yang belum merasa Islam penuh jika tak ikut dalam sebuah ormas yang memperjuangkan khilafah Islamiyah (negara atau kekaisaran Islam sedunia), misalnya. Atau, ada orang yang belum merasa Islam penuh kalau tidak percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, dan karena itu kelompok Ahmadiyah harus disesatkan. Yang diminta oleh Islam dari kita adalah percaya bahwa Nabi Muhammad adalah "utusan Tuhan". Soal Nabi Muhammad adalah nabi terakhir atau tidak, kurang terlalu penting. Islam tak akan kurang nilainya jika ada orang percaya bahwa setelah Nabi Muhammad ada nabi lain. Kenapa umat Islam takut jika ada nabi baru? Kenapa?

Saya tak menyalahkan itu semua. Saya hanya mengajak kita kembali kepada dasar Islam yang sederhana dan menegakkan kehidupan sosial yang etis dan penuh toleransi. Sudah terlalu lama umat Islam didera oleh percekcokan internal yang tiada guna. Mari kita bangun kembali ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan Islam yang benar-benar inklusif. Bukan hanya itu, sudah saatnya kita membangun pula ukhuwwah wathaniyyah atau persaudaraan tanah air, dan ukhuwwah insaniyyah atau persaudaraan kemanusiaan.

Pada akhirnya kita harus bertanya pada diri sendiri dengan jujur: apa maksud utama beragama? Apakah beragama dimaksudkan agar kita saling cek-cok? Bukankah memalukan jika orang-orang mengaku beragama dengan taat sekali, sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka justeru menimbulkan keributan dan onar dalam masyarakat, atas nama agama lagi? Apakah ada gunanya agama semacam itu?

Agama yang baik akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari pemeluknya. Sebagaimana biji yang baik akan tercermin dari pohon yang muncul daripadanya.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Saturday, February 2, 2008

Toleransi Internal Lebih Sulit Ketimbang Toleransi Eksternal

Ruzbihan Hamazani

Tolerani internal ternyata lebih susah dilaksanakan ketimbang tolernasi eksternal. Inilah gejala yang bisa kita lihat sekurang-kurangnya dalam konteks umat Islam saat ini. Umat Islam, pada umumnya, cenderung lebih mudah menerima keberadaan kelompok-kelompok lain yang jelas-jelas berbeda agama ketimbang kelompok-kelompok dalam Islam sendiri tetapi beda sudut pandang, mazhab atau sekte. Tokoh-tokoh Islam, terutama dari kalangan ormas yang biasa menyebut diri sebagai moderat, lebih mudah berdialog dengan kalangan Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha, tetapi mereka sulit sekali bisa menerima kelompok-kelompok dalam Islam sendiri yang mereka anggap sesat seperti Ahmadiyah, misalnya.

Perseteruan intragama kadang-kadang juga jauh lebih keras ketimbang permusuhan antaragama. Ini bisa kita lihat dalam banyak kasus. Waktu awa berdirinya Muhammadiyah pada pemulaan abad 20, misalnya, tentangan yang dilancarkan oleh kalangan NU terhadap organisasi kaum Muslim "modernis" itu sangat keras sekali. Permusuhan antara kedua ormas itu begitu mendalam dan bertahan lama, seolah-olah mereka bukan berasal dari agama yang sama. Ini bisa kita lihat pula dalam permusuhan yang berkepanjagan antara kelompok yang menyebut dirinya "salafi" dengan kalangan Ikhwanul Muslimin. Perseteruan yang bermula dari Timur Tengah itu terbawa pula ke Indonesia. Kaum "salafi" kerap mengejek orang-orang yang mereka sebut sebagai "sururi" atau "hizbi", yakni kalangan yang seolah-olah salafi tatpi "mind-set" atau gaya berpikirnya masih dipengaruhi oleh cara berpikir Ikhwanul Muslimin. Kalau kita membaca literatur dan ceramah-ceramah kalangan salafi, kita akan tahu betapa mendarah-dagingnya permusuhan mereka terhadap kelompok Ikhwan. Kebencian mereka terhadap ulama Ikhwan seperti Yusuf Qardawi, misalnya, jauh lebih mengerikan ketimbang kebencian mereka pada tokoh-tokoh di luar Islam.

Terakhir, kita melihat permusuhan yang hebat antara kalangan Islam "arus utama" dan kalangan Ahmadiyah. Permusuhan ini bahkan melibatkan lembaga negara seperti Departemen Agama, sesuatu yang tak mestinya terjadi. Depag, sebagai lembaga publik, mestinya bersikap netral dan mengayomi semua pihak, bukan malah mendukung "fatwa diskriminatif" yang dikeluarkan oleh MUI mengenai sesatnya Ahmadiyah. Bagi kalangan Islam pada umumnya, Ahmadiyah dianggap jauh lebih berbahaya ketimbang agama lain seperti Kristen. Cara berpikir mereka sangat menarik kita amati. Logika yang bekerja di sini adalah bahwa sekte-sekte menyimpang seperti Ahmadiyah sangat berbahaya karena mereka memakai simbol dan nama Islam, sehingga bisa menipu kalangan awam. Sementara Kristen dan agama-agama lain di luar Islam tidak terlalu berbahaya sebab mereka jelas-jelas berada di luar Islam dan mudah dikenali. Karena itu, mereka dengan gigih sekali memaksa kalangan Ahmadiyah "keluar" dari Islam, mendirikan agama sendiri secara terpisah, ketimbang berada dalam Islam tetapi menipu banyak orang. Dengan kata lain, mereka memandang bahwa kelompok seperti Ahmadiyah adalah semacam "musang berbulu ayam". Kelompok semacam ini, bagi mereka, jauh lebih berbahaya ketimbang "musang biasa" yang jelas-jelas bisa dikenali.

Hal semacam ini juga terjadi dalam konteks agama lain. Dalam Kristen, misalnya, permusuhan antar denominasi dan sekte jauh lebih keras ketimbang permusuhan yang mereka tunjukkan terhadap agama-agama di luar Kristen. Dalam Kristen, dikenal istilah "heretik". Kata itu berasal dari bahasa Yunani "heiresis" yang berarti pilihan atau memilih. Heretik adalah orang atau kelompok yang memilih untuk menganut pandangan mereka sendiri, berlawanan dengan pandangan resmi yang dianut oleh gereja, terutama gereja Katolik. Seseorang disebut sebagai "heretik" jika dia menganut suatu pandangan yang bertentangan dengan pandangan resmi kaum ortodoks. Kaum heretik bukanlah orang-orang yang berbeda agama. Mereka adalah orang Kristen juga, hanya saja menganut pandangan yang berbeda, sehingga, memakai bahasa MUI, dianggap "sesat". Demikianlah, dalam sejarah agama Katolik, kita melihat persekusi dan pemberangusan terhadap kelompok dan orang-orang yang dianggap heretik. Hukuman bagi mereka sangat bervariasi, mulai dari yang sederhana seperti ekskomunikasi, yakni dikeluarkan dari jemaat atau komunitas, sampai hukuman mati dengan cara digantung dan dicekik (strangling) atau dibakar.

Bagi kalangan Islam arus utama, orang-orang yang berpikiran berbeda dan berseberangan dengan akidah atau doktrin yang dianut oleh lembaga ortodoks juga dianggap sebagai orang "murtad", sesat, atau, jika memakai istilah Katolik, "heretik". Mereka lebih benci dan memusuhi kaum heretik semacam ini ketimbang kalangan yang datang dari luar Islam sama sekali.

Melihat kenyataan-kenyataan semacam ini, tampaknya usaha menegakkan toleransi internal jauh lebih penting diupayakan ketimbang toleransi eksternal. Tentu dua hal itu layak dikerjakan secara serentak, tetapi upaya membangun toleransi antar kelompok-kelompok dalam Islam sendiri jauh lebih urgen saat ini. Dialog intraagama juga jauh lebih penting diupayakan ketimbang dialog antaragama. Selama ini, kalangan Islam "moderat" sudah sering mengadakan dialog antara Islam dan Kristen, misalnya. Tetapi dialog antara kelompok-kelompok dalam Islam sendiri masih jarang dilakukan secara sadar dan sistematis. MUI selama ini memang berusaha menampung kalangan Islam yang sering disebut sebagai "garis geras" dengan tujuan agar mereka tidak mengalami marginalisasi terus-menerus.

Demikianlah, MUI, misalnya, berusaha merangkul kelompok-kelompok seperti FPI, Hizbut Tahrir, MMI, dlll. Tetapi anehnya, sikap serupa tidak dipertunjukkan MUI terhadap kelompok-kelompok yang selama ini disebut dengan kalangan "liberal" atau "progresif". MUI juga tidak menujukkan sikap yang sama terhadap kalangan "non-arus utama" seperti Syi'ah. Dalam hal ini, MUI jelas mempraktekkan sikap "partisanship" atau memihak. Tentu kita tak keberatan MUI melakukan pemihakan semacam itu seandainya lembaga ini tidak diam-diam didukung oleh pemerintah. Kita keberatan terhadap sikap MUI yang "diskriminatif" seperti ini justru karena kita tahu bahwa lembaga ini didanai oleh pemerintah, melalui Departemen Agama, dan mendapatkan dukungan dari negara. Sehingga kita dapat menyebut bahwa MUI adalah lembaga semi-pemerintah. Sikap MUI yang memihak kepada Islam main-stream itu jelas tidak sehat dari sudut penegakan toleransi internal dalam tubuh umat Islam sendiri. Sebagai lembaga semi-negara, MUI seharusnya bersikap netral dan mengayomi semua pihak. Jika MUI mau tetap bertahan dengan sikapnya semacam ini, kita menghendaki lembaga itu disapih sepenuhnya dari dana pemerintah, dan berdiri penuh sebagai lembaga independen.

Toleransi ineternal dalam tubuh umat Islam sangat penting bukan saja bagi umat Islam sendiri, tetapi juga dari sudut konsolidasi kultur demokrasi di Indonesia secara keseluruhan. Karena umat Islam merupakan pihak mayoritas di Indonesia, keberhasilan mereka untuk memupuk kultur toleransi dalam tubuh mereka sendiri sangat penting maknanya bagi kehidupan toleransi antaragama secara umum di Indonesia. Tiada demokrasi yang mapan tanpa ada dukungan kultur tolernasi yang kokoh dalam masyarakat, sebab salah satu inti demokrasi adalah kesediaan untuk mengakomodasi keragaman dalam masyarakat. Kultur toleransi itu tak akan dengan kokoh tertanam dalam masyarakat jika umat Islam sendiri tidak memberikan sokongan yang "genuine" dan penuh semangat. Jika yang berkembang dalam umat Islam adalah "budaya eksklusi" yakni mudah menolak mereka yang dianggap berbeda seperti ditunjukkan oleh MUI dan didukung oleh banyak ormas Islam selama ini, maka kita khawatir ini akan menjadi halangan yang serius bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.