Sunday, March 30, 2008

Film "Fitna" dan Dua Corak Fundamentalisme

Ruzbihan Hamazani

Geert Wilders, anggota tweede kamer atau parlemen Belanda dari Partai untuk Kemerdekaan (Partij voor de Vrijheid), akhirnya meluncurkan film pendek yang sudah sejak lama menjadi kontroversi di Belanda dan Eropa, yakni dokumenter berdurasi lima belas menit dengan judul "Fitna" (secara harafiah artinya "chaos" atau kekacauan). Film ini secara terus terang menunjukkan kebencian pada Islam yang menurut Wilders dianggap sebagai agama kekerasan.

Selama ini, Wilders memang dikenal di kalangan publik Belanda karena komentar-komentarnya yang sengit sekali terhadap Islam. Ia, antara lain, mengatakan bahwa umat Islam, kalau mau tetap tinggal di Belanda, harus merobek separoh Qur'an. Menurutnya, separoh Qur'an mengandung ajaran kekerasan yang berbahaya bagi masyarakat modern. Wilders juga menganggap Qur'an sebagai "kitab fasis" dan menyamakannya dengan buku karangan Hitler, "Mein Kampf". Oleh karena itu, dia mengusulkan agar Qur'an dilarang di Belanda karena mengajarkan kebencian kepada kelompok lain.

Bagaimana kita, sebagai umat Islam menanggapi fenomena Wilders ini? Bagaimana kita meletakkan fenomena Wilders ini dalam konteks hubungan antara Islam dan Barat? Apakah Wilders ini perlu kita pandang sebagai gejala serius, atau sebetulnya hanya cetusan kekhawatiran sesaat di kalangan masyarakat Eropa melihat banjir imigran Muslim yang melanda hampir semua negara-negara Eropa barat saat ini?

Sejak dokumenter itu diluncurkan di internet, pelbagai bentuk reaksi sudah muncul dari dunia Islam. Sejumlah ormas Islam dari Indonesia, antara lain NU dan Muhammadiyah, sudah mengirim surat resmi kepada pemerintah Belanda yang menyatakan keberatan terhadap film yang jelas-jelas menghina Islam ini. Tiga intelektual Muslim dari Indonesia, Amerika dan Yordania, menulis sebuah kolom yang menarik di koran International Herald Tribune pada 25 Maret 2008, sesaat sebelum film itu diluncurkan. Mereka --yakni, Din Syamsuddin, Hamzah Yusuf Hanson, dan Pangeran Hasan bin Talal-- menulis kolom pendek berjudul "Another Provocation". Mereka, antara lain, menyatakan bahwa film ini tak lain adalah sejenis provokasi baru yang hanya menimbulkan disinformasi tentang Islam. Mereka juga menyatakan bahwa tugas umat Islam saat ini bermata dua: ke luar memberikan informasi yang benar tentang Islam, dan ke dalam mendidik anak-anak muda Islam supaya tak terjatuh ke dalam cengekeraman ideologi-ideologi ekstremis.

Reaksi-reaksi lain juga muncul dari banyak negeri Islam. Semuanya mengungkapkan rasa marah dan tersinggung karena film yang dianggap melecehkan Islam ini. Reaksi-reaksi semacam ini jelas wajar dan dapat kita maklumi. Dalam era di mana politik identitas memainkan peran yang sangat penting dalam masyarakat saat ini, provokasi yang menyinggung agama jelas rentan menimbulkan kemarahan dan polarisasi. Agama adalah salah satu unsur paling penting dalam pembentukan identitas saat ini. Simbol-simbol yang berkaitan dengan agama juga mengandung potensi ledakan yang besar jika dilecehkan dengan cara yang sembrono. Bahkan hubungan antar negara bisa mengalami gangguan yang serius hanya karena pelecehan simbol agama. Kasus kartun Nabi Muhammad di Denmark masih terngiang-ngiang di telinga kita hingga saat ini.

Hanya saja, tersinggung dan marah karena fenomena semacam Wilders ini, dalam pandangan saya, sama sekali tak cukup. Reaksi dari ketiga sarjana Muslim di atas, bagi saya, juga sangat tidak memadai. Fenomena Wilders ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi kita, umat Islam, juga bagi masyarakat Barat sendiri, untuk melakukan kritik dan otokritik.

Dilihat dari segi manapun, sikap Wilders yang membenci Islam ini tak lain adalah cerminan dari kebodohan dan ketidak-mengertian terhadap kompleksitas agama (agama apapun, bukan hanya Islam). Wilders sama sekali tak tahu bahwa kekerasan adalah elemen yang "embedded" atau menempel dalam setiap agama, sekurang-kurangnya dalam tiga agama Semitik: Yahudi, Kristen dan Islam sendiri. Kalau kita telaah teks-teks Kitab Suci ketiga agama itu, kita akan jumpai sejumlah ayat yang jika dipahami secara dangkal dan superfisial bisa dijadikan alat justifikasi untuk membenarkan tindakan kekerasan. Saya sebagai seorang Muslim, sama sekali tak bisa menolak adanya ayat-ayat kekerasan dalam Qur'an. Kita juga menjumpai sejumlah ayat yang bisa menimbulkan kebencian terhadap umat agama lain.

Tetapi, ayat serupa, dengan derajat yang berbeda-beda, bisa kita jumpai baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Apakah dengan demikian, Wilders yang berlatar-belakang Katolik itu menghendaki agar umat Yahudi dan Kristen merobek sejumlah halaman Bibel yang mengandung ajaran kekerasan dan kebencian pada umat lain, pada kaum "gentiles" (dalam istilah agama Yahudi)?

Setiap Kitab Suci mengenal sejarah penafsiran yang kompleks. Boleh jadi kita menjumpai ayat-ayat dalam Qur'an yang mengarah kepada kekerasan. Ambil contoh, sebuah ayat yang sering menjadi "kontroversi" di kalangan para pembenci Islam di Barat, yaitu ayat nomor 29 dalam Surah al-Taubah (9:29). Ayat ini jelas berisi perintah untuk memerangi umat Kristen hingga mereka takluk dan membayar upeti. Atau, contoh lain adalah sebuah hadis yang sangat terkenal, "umirtu an uqatila al-nasa hatta yaqulu la ilaha illa 'l-Lah" (aku [masukdunya Nabi] diperintahkan untuk memerangi "manusia" hingga mereka mengucapkan syahadat).

Ayat dan hadis semacam ini memang mengarah kepada kekerasan jika dipahami secara dangkal dan superfisial. Setiap Kitab Suci, menurut pandangan saya, mengandung ayat-ayat yang "bermasalah" jika dipahami secara kurang tepat. Yang dilupakan oleh orang-orang semacam Wilders adalah bahwa setiap umat beragama mengenal apa yang disebut sebagai "community of interpreters" atau masyarakat penasfir. Masyarakat ini mengembangkan metode penafsiran yang canggih dan rumit untuk memahamai ayat-ayat dalam Kitab Suci. Meskipun ada ayat-ayat yang mengarah kepada kekerasan dan kebencian kepada kelompok lain, bukan berarti bahwa ayat-ayat itu langsung "ditelan mentah-mentah" oleh pemeluk agama bersangkutan. Metode penafsiran ini juga terus berkembang sepanjang masa.

Ayat 9:29 di atas tidak langsung membuat umat Islam "kalap" dan membunuhi umat Kristen di manapun mereka berada. Sebagaimana kita tahu, umat Islam selama berabad-abad membangun peradaban yang sangat toleran terhadap umat agama lain. Peradaban Islam yang mekar selama beberapa abad di Spanyol, dikenang sebagai kegemilangan bukan saja bagi umat Islam tetapi juga bagi umat Yahudi yang menikmati kebebasan cukup luas. Pemikiran filsafat dan hukum Yahudi mekar dan berkembang cukup subur di Spanyol di bawah peradaban Islam.

Kesalahan fatal Wilders adalah menganggap bahwa ayat-ayat kekerasan dalam Qur'an itu dipahami secara harafiah oleh seluruh umat Islam. Di mata dia, ayat itu akan membuat umat Islam di seluruh dunia menjadi orang-orang fasis dan totaliter yang ingin menundukkan dunia kepada iman Islam. Dalam hal ini, Wilders adalah sama dengan kaum fundamentalis Islam yang memahami ayat-ayat semacam itu secara harafiah. Dengan kata lain, Wilders berada di kapal yang sama dengan kaum fundamentalis Islam seperti Usamah bin Ladin: mereka sama-sama memandang ayat-ayat Kitab Suci sebagai "licence to kill", lisensi untuk membunuh orang-orang yang berbeda iman.

Masyarakat Barat sudah lama mengidap kecurigaan yang mendalam pada Islam. Orang-orang seperti Wilders ini hanya menjadikan satu-dua ayat dalam Qur'an sebagai alasan pembenar untuk kebencian mereka terhadap Islam. Setelah peristiwa 11/9, memang tingkat kecurigaan masyarakat Barat terhadap Islam meningkat tajam. Ini diperparah dengan tindakan sejumlah kalangan Islam "ekstrim" yang justru memperburuk citra Islam di Barat.

Kecurigaan pada Islam di Eropa saat ini, dalam tingkat tertentu, juga merupakan sisi lain dari kecurigaan terhadap orang-orang asing. Dengan kata lain, kebencian pada Islam adalah bagian dari gejala senofobia atau benci orang asing yang meruyak di beberapa negeri Eropa karena membanjirnya imigran asing, termasuk imigran Muslim yang datang sebagian dari bekas koloni negeri-negeri Eropa (seperti Al-Jazair dalam kasus Perancis, atau India, Pakistan dan Bangladesh dalam kasus Inggris).

Fenomena Wilders ini menantang masyarakat Eropa untuk mengatasi prasangka-prasangka buruk mereka terhadap Islam selama ini. Ini adalah momen yang tepat bagi masyarakat Barat untuk terus belajar tentang Islam dan masyarakat Islam secara lebih baik. Proses "ingin memahami Islam secara simpatik" ini sebetulnya sudah berlangsung di Barat. Meskipun masih ada prasangka negatif terhadap Islam, secara umum pandangan masyarakat Barat terhadap Islam jauh lebih baik dibandingkan dengan seabad yang lampau misalnya. Kita mengenal, misalnya, penulis-penulis populer non-Muslim di Barat yang mengenalkan Islam secara simpatik kepada publik Barat, seperti Karen Armstrong.

Di pihak lain, tantangan yang dihadapi oleh umat Islam juga tak kalah besarnya. Jika umat Islam selama ini mengeluh karena masyarakat Barat memiliki prasangka buruk terhadap Islam, mereka juga harus sadar sesadar-sadarnya bahwa umat Islam juga mengidap prasangka yang tak kalah buruknya terhadap Barat, agama Kristen, dan peradaban Kristen di Barat secara keseluruhan. Lihat saja buku-buku populer yang menjadi bacaan umat Islam awam dan dijual di pinggir-pinggir jalan atau di depan masjid menjelang dan usai salat Jum'at. Lihat sejumlah khutbah para da'i dan khatib Jumat yang tak jarang "membakar-bakar" kebencian umat Islam terhadap umat lain. Paradoks yang mestinya membuat umat Islam malu adalah berikut ini: sementara masyarakat Barat bisa menghasilkan sejumlah sarjana dan penulis yang bisa menyuguhkan informasi yang simpatik tentang Islam kepada publik Barat seperti Karen Armstrong itu, umat Islam sendiri tak kunjung menghasilkan sarjana atau penulis Islam yang dapat memahami agama Kristen secara simpatik, bukan secara apologetis seperti kita lihat selama ini.

Jika umat Islam ingin masyarakat Barat atau orang-orang non-Muslim memahami Islam secara simpatik, umat Islam juga harus bertindak yang sama. Asas hidup dalam masyarakat adalah sederhana sekali: yaitu prinsip resiprokalitas. Jika anda ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain, anda juga harus berlaku yang sama. Tidak bisa kita mengharapkan masyarakat Barat untuk bersikap simpatik terhadap Islam dan umat Islam, sementara kita sendiri membiarkan ideologi ekstrim yang anti orang-orang "kafir" berkeliaran di tubuh kita sendiri, tubuh umat Islam.

Sementara itu, kita, umat Islam, haruslah sadar bahwa di tengah-tengah umat kita sendiri tumbuh subur paham-paham keagamaan yang ekstrim, fundamentalistik dan membenci orang-orang dari agama lain. Kita harus sadar pula bahwa ada banyak orang Islam yang percaya bahwa ayat 9:29 di atas adalah perintah bunuh tanpa pandang bulu terhadap orang-orang kafir. Karena definisi "kafir" mulur-mungkret, dan bisa direntang "semau gue", maka sebutan itu juga bisa mengenai orang-orang Islam sendiri yang mereka anggap menyimpang dari ajaran yang "benar". Lihatlah praktek umat Islam di mana-mana yang dengan mudah menuduh "kafir" dan "murtad" kalangan pemikir Muslim yang berpandangan kritis terhadap Islam.

Film "Fitna" ini menyadarkan kita tentang "patos modern", tentang penyakit dalam masyarakat saat ini, yakni, tentang adanya dua corak fundamentalisme: di sebelah kanan, kita lihat fundamentalisme a la Usamah bin Ladin, di sebelah kiri fundamentalisme a la Geert Wilders. Dua corak fundamentalisme ini sama sekali berbahaya bagi dialog antarperadaban dan antaragama. Masyarakat Barat ditantang untuk mengatasi "sindrom Wilders", sementara umat Islam ditantang untuk mengatasi "sindrom Usamah".

Jika masyarakat Barat mengharap umat Islam melakukan kritik-diri tetapi tak mampu mengatasi "sindrom Wilders" itu, ini jelas tak fair. Begitu juga, saat umat Islam mengutuk Barat karena memiliki pandangan yang buruk dan melecehkan Islam dan umat Islam, sementara tak mau menyadari tentang "penyakit Usamah" yang menggerogoti agama mereka, itu juga tak adil.

Mampukah masing-masing pihak menyadari penyakitnya masing-masing?

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.