Saturday, May 3, 2008

MUI, Humor dan Sindiran

Ruzbihan Hamazani

Alkisah, suatu hari Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah dan Sekjen MUI, mengatakan bahwa menurut fatwa MUI, umat Islam dilarang mengawini gadis sekantor. Pernyataan ini langsung menyulut kontroversi luas. Media massa tergoda untuk mengadakan wawancara eksklusif dengan Pak Din untuk mengklarifikasi fatwa yang membingungkan ini. Bagaimana mungkin seseorang dilarang menikahi gadis sekantor? Apakah ada dalilnya dalam Qur'an atau hadis?

Lalu terjadilah wawancara berikut ini:

Wartawan: Pak Din, apakah betul MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang menikahi gadis sekantor?

Din Syamsuddin: Betul.

Wartawan: Apa dasarnya? Apakah ada dalilnya dalam Qur'an dan hadis?

Din Syamsuddin: Dasarnya sederhana saja. Wong kawin dengan satu gadis saja sudah repot, apalagi mengawini gadis sekantor. Bayangkan, kalau di kantor ada 100 gadis, apakah kita mampu menikahi mereka semua. Lagi pula, itu kan jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Islam hanya membolehkan kawin dengan empat orang perempuan, maksimal.

*****

Kisah di atas itu saya peroleh baru-baru ini dari seorang teman via email. Judul email itu membuat saya terangsang membaca: "MUI mengharamkan nikah dengan gadis sekantor". Saya berkata dalam hati: wah, berita ini menarik. Setelah membaca keseluruhan email itu, saya akhirnya tahu, isinya hanyalah "joke" atau guyonan semata. Pesannya sangat jelas: menyindir MUI yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang rajin dan bersemangat memproduksi fatwa. Sebagai guyonan, tentu isi email itu hanyalah rekaan belaka. Tak ada fatwa "konyol" seperti itu dalam dunia riil. Dan tentu, MUI tak akan sembrono mengeluarkan fatwa semacam itu, kecuali jika mau menjadi sasaran damprat dan kritik.

Guyonan-guyonan semacam ini bukan barang baru. Kita seringkali menjumpai plesetan, parodi, dan sindiran (baik kasar atau halus) yang diarahkan kepada lembaga "resmi", entah lembaga politik atau lembaga agama. Pada zaman rezim Orde Baru dulu masih berkuasa, kita kerap menjumpai anekdot-anekdot lucu tentang pemerintah Orba: ada anekdot tentang Soeharto dan keluarga Cendana, ada anekdot lain tentang Harmoko --menteri Penerangan yang dikenal karena sisiran rambutnya yang rapi dan licin, serta ucapannya "menurut petunjuk Bapak Presiden" itu--, ada anekdot lain tentang Golkar, dan seterusnya. Kalangan aktivis mahasiswa yang menentang kediktatoran rezim Soeharto dulu paling suka menular-nyebarkan anekdot-anekdot lucu semacam ini melalui penerbitan bawah tanah (dikenal dengan "samizdat"--istilah yang dulu dikenal di kalangan oposisi bawah tanah di Rusia zaman Partai Komunis masih berjaya di sana). Dengan penuh semangat sekali, masyarakat saat itu menyambut buku saku berjudul "Mati Ketawa Cara Rusia" yang berisi kisah-kisah lucu dari Rusia. Hampir sebagian besar guyonan dari Rusia itu adalah berisi sindiran halus terhadap rezim totaliter komunis yang berkuasa di sana. Kalangan aktivis penentang pemerintah pada masa Soeharto dulu menerbitkan versi Indonesia dari anekdot-anekdot serupa dengan judul "Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto".

Humor dan guyonan memang memiliki banyak fungsi dalam masyarakat. Secara umum, humor dibutuhkan untuk mengendurkan otot yang tegang karena rutinitas pekerjaan atau tekanan hidup. Setelah kerja seminggu penuh, masyarakat dulu menikmati acara Aneka Ria Safari yang disiarkan di TVRI, satu-satunya kanal TV yang ada pada zaman dulu. Pada kesempatan itulah masyarakat bisa menikmati guyonan Bagio cs, Jojon dkk, dan belakangan tokoh Gepeng dalam Srimulat. Hingga saat ini, kelompok Srimulat masih bertahan dan menghibur masyarakat setiap minggu. Jenis humor dan komedi melalui media elektronik sekarang malah makin bervariasi, antara lain dengan munculnya figur Tukul Arwana melalui acara "Empat Mata" yang menghebohkan itu.

Tetapi, humor juga bisa memiliki fungsi politis, yakni sebagai cara untuk menyindir "the power that be", atau kekuasaan yang ada pada saat itu. Kekuasaan di sini bisa merupakan kekuasaan politik, ekonomi, budaya atau agama. Tentu sindiran lewat komedi tidak akan membuat suatu kekuasaan akan rubuh secara mendadak. Komedi hanyalah strategi berkomunikasi. Dia bukanlah "hard power" atau kekuasaan material yang bisa melukai fisik obyek yang menjadi sasaran komedi itu. Dia hanya cara masyarakat menyampaikan kritik tak langsung terhadap kekuasaan. Biasanya, humor dipakai sebagai alat menyampaikan pesan manakala saluran-saluran yang ada macet atau mampet. Karena rezim Soeharto dulu menerapkan kebijakan komunikasi yang serba menutup segala bentuk kritik, maka cara lain untuk menerobos blokade itu adalah dengan "strategi halus" a la Punokawan, yakni guyonan.

Yang menarik buat saya adalah masyarakat mulai memakai "strategi humor" untuk menyindir MUI, lembaga yang mewakili kepentingan kaum Islam ortodoks di Indonesia saat ini. Kenapa strategi ini ditempuh? Apakah saluran informasi di masyarakat kita sudah mulai mampet? Bukankah ini adalah zaman reformasi, zaman kebebasan berbicara? Bukankah sekarang kritik terhadap MUI bisa disampaikan secara terbuka? Jika bisa mengkritik secara terbuka, kenapa mesti memakai cara tersembunyi seperti itu? Apa makna guyonan seperti ini? Itulah sejumlah pertanyaan menarik yang menggelitik saya untuk menulis catatan pendek ini.

*****

Boleh jadi, anggapan bahwa kita sekarang sudah berada dalam era demokrasi dan kebebasan berbicara, tidaklah sepenuhnya tepat menggambarkan kenyataan yang ada. Secara umum, memang kebebasan berbicara sudah menjadi norma dalam masyarakat. Media massa kita sudah tak lagi menghadapi ancaman bredel seperti pada zaman Soeharto dulu. Departemen Penerangan yang sempat "diistirahatkan" sebentar lalu hidup kembali menjadi "Kominfo" (Kementerian Komunikasi dan Informatika) itu tidak lagi seperkasa pada zaman Harmoko dahulu kala. Tetapi, hancurnya rezim "blokade informasi" ini bukan berarti hilangnya seluruh halangan komunikasi yang ada dalam masyarakat. Yang hancur dalam era reformasi saat ini adalah blokade informasi yang berasal dari pemerintah atau rezim politik yang berkuasa. Blokade informasi bisa datang dari pemerintah, tetapi juga bisa berasal dari masyarakat sipil atau kalangan masyarakat bisnis.

Saat ini, tampaknya mulai muncul "kekuasaan-kebenaran" baru di luar pemerintah. Salah satu sumber kekuasaan-kebenaran yang potensial menyebabkan tersumbat dan terdistorsinya saluran komunikasi adalah dua pihak: kalangan bisnis dan kalangan agama. Kalangan bisnis bisa mendistorsikan komunikasi melalui "mesin uang" yang mereka miliki. Ini adalah cerita yang sudah sering kita dengar di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, tetapi terutama di negeri-negeri maju. Begitu pula, kalangan agama bisa memainkan simbol agama untuk memobilisasi ketakutan masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang dari agama.

Bukan rahasia lagi, setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, kita menyaksikan maraknya politik agama, terutama yang diinspirasikan oleh identitas Islam. Dalam konteks inilah, MUI, lembaga yang semula dibikin oleh Soeharto untuk menjadi "corong pemerintah" untuk menaklukkan perlawanan sebagian kalangan Islam yang "mbalelo" itu, kini menemukan momentum kembali. Cara yang ditempuhnya sangat menarik: memobilisasi simbol agama untuk merehabilitasi nama-baiknya yang tercemar dulu. Salah satu sarana paling efektif adalah mendaya-gunakan "fatwa". Pada 29 Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa secara "ombyokan" yang kemudian menimbulkan kontroversi luas. Ada sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Juga fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah. Hingga sekarang, fatwa-fatwa ini masih menjadi bahan perbincangan yang riuh di kalangan umat Islam dan non-Islam sekaligus.

Yang menarik dicatat adalah bahwa dengan fatwa-fatwa ini, MUI seperti "menemukan kembali suaranya". MUI seperti mendapatkan peran yang tepat di tengah-tengah perubahan sosial-politik yang deras akhir-akhir ini. Umat Islam yang kebingungan berhadapan dengan "situasi panta rei" ini, tentu dengan senang hati menyambut kehadiran MUI yang memberikan semacam "kompas budaya" kepada mereka itu. Pelan-pelan, MUI hadir sebagai kiblat baru di mata sebagian kalangan Islam.

Tetapi, bersamaan dengan naik daunnya MUI sebagai lembaga yang mewakili aspirasi kalangan Islam ortodoks, muncul pula kelompok-kelompok lain dalam masyarakat yang menganggap kehadiran MUI sebagai "versi baru" dari rezim Orba dulu dalam bidang agama. Dengan kata lain, MUI dianggap pula sebagai ancaman bagi keragaman aspirasi dalam masyarakat Islam. Apalagi kaum penentang MUI ini melihat bahwa lembaga itu mulai menampung suara-suara kalangan "radikal" dalam Islam. Sudah menjadi rahasia umum, dalam kepengurusan MUI saat ini ada unsur dari kelompok radikal, yakni HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memperjuangkan khilafah Islamiyyah itu. Sementara itu, MUI sama sekali tak memberi ruang kepada kalangan "sekte" minoritas seperti Syi'ah, misalnya. Kalangan Islam yang berpikiran "kritis" juga selalu dipojokkan oleh lembaga ini, entah melalui fatwa atau pernyataan para tokoh MUI. Dengan kata lain, MUI hendak menegakkan ortodoksi Islam di tanah air. Bahkan kalau bisa, MUI juga hendak mewakili satu-satunya suara umat Islam.

Dengan makin kuatnya reputasi MUI sekarang ini, timbul pula semacam suasana "ketakutan" saat isu-isu menyangkut Islam dibicarakan secara terbuka dan kritis. Orang mulai khawatir jika suara-suara kritik itu dikemukakan secara publik, MUI akan "intervensi" dengan sebuah fatwa penyesatan. Bahasa "sesat" sekarang ini dengan piawai dipakai oleh MUI untuk memobilisasi suara umat Islam awam. Menghadapi situasi semacam inilah, kita bisa memahami munculnya guyonan seperti di atas. Guyonan itu hanyalah isyarat kecil bahwa sekarang masyarakat mulai merasakan kekhawatiran akan terkena "cekal" ketika menyuarakan gagasan yang kritis mengenai Islam. Guyonan itu adalah semacam kritik atas situasi yang timbul karena adanya "fatwa-speak" (jika boleh memodifikasi istilah terkenal dari George Orwell itu--newspeak).

Memang fatwa untuk melarang nikah dengan gadis sekantor tidak akan dikeluarkan oleh MUI. Tetapi, sindiran yang terkandung dalam guyonan yang dikirim oleh teman saya itu, pada hemat saya, sangat mengena pada keadaan yang kita hadapi saat ini. Jangan kaget, jika di masa-masa mendatang kita akan menjumpai lagi sindiran-sindiran serupa mengenai MUI, apalagi jika lembaga ini makin "sembrono" memakai senjata fatwanya dalam menanggapi kasus-kasus yang berkembang dalam masyarakat.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Thursday, May 1, 2008

Preman Berjubah, Ahmadiyah dan Pemerintah

Ade Armando

”Bunuh, bunuh, bunuh, BUNUH! PERANGI AHMADIYAH, BUNUH AHMADIYAH, BERSIHKAN AHMADIYAH DARI INDONESIA! Ahmadiyah halal darahnya! Persetan HAM! Tai kucing HAM! Allahu Akbar”

Kalimat-kalimat penuh kebencian itu dilontarkan Sobri Lubis. Dia adalah seorang tokoh Front Pembela Islam (FPI) yang berpidato dalam tabligh akbar di Banjar, Jawa Barat, 14 Februari 2008.

Saya memiliki rekaman pidatonya saat Sobri tampil dengan didampingi beberapa tokoh lainnya di hadapan ribuan umat Islam. Selain Sobri, ada pula Ir. M. Khattath, pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia, yang dengan lebih tenang -- dan dengan senyum dinginnya -- menyatakan bila pengikut Ahmadiyah tidak mau bertobat, hukumannya mati. Juga ada Abu Bakar Baasyir yang juga dengan tenang menyatakan hukuman bagi nabi palsu sederhana: kalau ditemukan, tangkap, potong leher.

Kutipan-kutipan di atas sengaja diangkat untuk menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai masih adanya gerakan-gerakan radikal yang menghalalkan kekerasan dalam umat Islam di Indonesia bukanlah omong kosong. Inilah kalangan yang atas nama agama merasa berhak menghabisi mereka yang berada di luar kelompoknya. Dalam kasus terakhir ini, mereka secara bergelombang berusaha memaksa pemerintah untuk tunduk pada keyakinan mereka: bubarkan Ahmadiyah, nyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang, paksa mereka tobat!

Kalau pemerintah tidak mau membubarkan, bagaimana? Di sini, pantas lagi dikutip pernyataan seorang aktivis yang menyebut dirinya Panglima Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII). Bernama asli Abdul Haris Umarela, orang yang sekarang mengubah namanya menjadi Abdurrahman Assegaf itu berfatwa: ”Darah Ahmadiyah halal,” Lalu, Umarela ini berkata pula: ”Insya Allah, dalam waktu dekat, bila pemerintah tidak menutup Ahmadiyah, jangan kami disalahkan bila kami akan memberantas mereka ...”

Saya bukan penganut Ahmadiyah. Saya duga sebagian besar dari pembaca artikel ini bukanlah penganut Ahmadiyah. Tapi saya ingin mengingatkan Anda semua untuk melihat ancaman yang sangat nyata dari kelompok-kelompok preman berjubah – dengan menggunakan istilah Ahmad Syafii Maarif – tersebut terhadap pertama-tama, Ahmadiyah, dan juga pada gilirannya nanti, pada keragaman dalam Islam dan juga kebhinekaan di negara ini.

Dalam kasus Ahmadiyah ini, suasananya menjadi lebih menakutkan karena gerakan radikal ini Islam memanfaatkan MUI yang memang kerap dijadikan rujukan dalam soal-soal keislaman. Dan lebih menakutkan lagi kemudian karena mereka sudah memanfaatkan tangan-tangan negara seperti Bakorpakem, yang melalui sebuah proses pemantauan yang tak memiliki pertanggungjawaban publik yang jelas, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah memang ajaran yang sesat.

Saat ni, pemerintah belum mengeluarkan kata akhir. Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditunggu-tunggu kaum radikal itu belum lagi disahkan. Tapi, dalam waktu yang sempit ini, mari kita mengingatkan bahwa bila pembubaran Ahmadiyah terwujud maka sebenarnya kita sedang membiarkan terjadinya penzaliman terhadap jutaan warga Indonesia serta mmbiarkan kekuatan anti-demokrasi berkedok agama unjuk gigi mengarahkan politik di negara ini.

Adalah sangat penting bahwa seluruh bangsa di negara ini diyakini bahwa ini adalah negara hukum yang tidak bersikap diskriminatif. Kaum preman berjubah itu memang bisa saja berteriak, “Tai kucing itu HAM!” Masalahnya, mereka harus sadar bahwa, terlepas dari senang atau tidak, Indonesia adalah sebuah negara hukum yang percaya pada perlindungan HAM sebagaimana tertuang dalm deklarasi Universal HAM dan UUD 1945. Banyak dari para ulama itu juga berargumen bahwa di negara-negara seperti Pakistan dan Saudi Arabia, Ahmadiyah dilarang. Para ulama yang buicara seperti itu lupa dua negara itu adalah negara Islam. Indonesia bukan.

Karena itu alasan untuk membubarkan sebuah ajaran – kalau itu memang bisa dilakukan – haruslah merujuk pada konstitusi. Dalam hal ini, terlepas dari para ulama MUI bilang apa, tak ada alasan untuk membubarkan Ahmadiyah. Kalau saja Ahmadiyah adalah sebuah gerakan yang memprovokasi kekerasan dan mendorong para pengikutnya menyerang pihak lain, organisasi itu sebaiknya memang dibubarkan. Masalahnya, Ahmadiyah tidak bergaya begitu.

Ahmadiyah itu sudah ada di Indonesia sejak 1920an. Pernahkah kita mendengar mereka melakukan aksi kekerasan dan menyerang pihak lain? Tidak. Dan ini bisa dijelaskan dengan merujuk pada salah satu dasar ajaran Ahmadiyah. Mereka memang anti menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan Islam. Istilah jihad dalam komunitas Ahmadiyah dipercaya sebagai penyebaran ajaran dengan cara dakwah dan persuasif. Justru karena sikap anti-kekerasan inilah, Ahmadiyah dulu kerap dituduh sebagai gerakan pro kaum penjajah Barat.

Secara ironis harus ditunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, umat Ahamdiyah justru menjadi korban penindasan oleh kekuatan-kekuatan yang melecehkan hukum dan pemerintah. Permukiman mereka dihancurkan, mereka diusir dan sebagian sampai sekarang harus ditempat pengungsian, masjid-masjid mereka diluluhlantakkan, secara fisik warga Ahmadiyah dipukuli, diteror. Dalam hal ini, sangat tidak masuk di akal bila dikatakan bahwa Ahmadiyah meresahkan masyarakat karena tindakan-tindakan mereka.

Karena itu, satu-satunya alasan untuk mempersoalkan kehadiran Ahmadiyah adalah soal penafsiran Islam. MUI memang sudah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Dalam konteks demokrasi, mereka tentu berhak untuk mengeluarkan pernyataan semacam itu. Tapi itu tentu saja sebatas penilaian sejumlah ulama yang selalu mungkin salah. Bukankah untuk menentukan kapan Iedul Fitri saja, ulama bisa berbeda pendapat?

Celakanya, sebagian pihak berusaha meyakinkan orang bahwa karena MUI sudah berkesimpulan begitu, itulah kebenaran absolut. Ini menggelikan. Seandainya kita sempat membaca beragam ensiklopedi otoritatif di berbagai negara, terbaca jelas bahwa Ahmadiyah senantiasa dianggap sebagai sebuah aliran dalam Islam. Ensiklopedi Islam yang disusun Prof. Dr. Azyumardi Azra saja jelas-jelas menulis Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam. Kalau Ahmadiyah memang sebuah aliran yang mengada-ada, masakan di dunia ada puluhan juta umat Ahamdiyah?

Perdebatan soal Ahmadiyah adalah murni soal penafsiran. Ahmadiyah sepenuhnya mengakui rukun Islam dan rukun iman, sebagaimana diyakini mayoritas umat Islam lainnya. Ahmadiyah mengakui Muhammad SAW sebagai rasul terakhir dan Al-Qur’an sebagai kitab suci mereka. Namun penganut Ahmadiyah juga meyakini bahwa di abad 19 lalu, lahir Mirza Ghulam Ahmad yang kemudian menerima wahyu dari Allah untuk merevitalisasi ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad itu untuk menyelamatkan dunia Islam yang saat itu sedang terpuruk. Karena itulah, umat Ahmadiyah meyakini Gulam Ahmad sebagai penyelamat yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an.

Semua penganut Ahmadiyah tidak percaya bahwa Ghulam Ahmad sejajar dengan Nabi Muhammad dan rasul-rasul lainnya. Mereka hanya percaya bahwa 6-7 abad setelah Nabi Muhamad wafat, Allah menununjuk seorang terpilih – yakni Ghulam Ahmad – untuk memimpin umat Islam meraih kembali kejayaan Islam.

Para ulama di MUI itu bisa saja tidak percaya dengan segenap klaim itu. Tapi di sini kita masuk dalam tataran penafsiran dan keyakinan. Selama seabad terakhir debat tentang kesahihan klaim Ghulam Ahmad merupakan salah satu isu yang penting dan terus hidup dalam dunia Islam. Tidak pernah ditemukan
titik temu. Sekarang pertanyaannya, kalau ada perselisihan penafsiran dalam sebuah agama, pantaskah pemerintah campur tangan dan menentukan panafsiran mana yang benar?

Eropa pernah memberi pelajaran yang sangat baik soal ini. Sekitar sepuluh abad yang lalu, para pemuka gereja diberi kewenangan seperti yang dimiliki MUI dalam kasus Ahmadiyah ini. Para petinggi gereja saat itu memiliki kewenangan untuk memfatwakan siapa yang disebut sebagai menyimpang dari ajaran Kristen dan dengan itu dapat menggunakan negara untuk menghukum mereka yang dinyatakan para petinggi agama itu sebagai murtad, kafir, dan sesat.

Karena hubungan negara dan agama yang mesra dan saling memanfaatkan ini Eropa mengalami abad-abad kegelapan terburuknya, yang diwarnai dengan penindasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penzaliman mereka yang berada di luar ajaran Kristen resmi. Eropa terpuruk ketika petinggi agama berkuasa.

Kita tahu semua, abad kegelapan itu juga sekaligus adalah abad keterbelakangan Eropa. Di bawah para petinggi agama yang dengan yakin merasa menjalankan amanat Tuhan untuk menjaga kesucian dunia, rakyat hidup dalam ketakutan – takut berpikir, berbicara, mencari ilmu pengetahuan, berkarya. Lebih buruknya lagi, tatkala tahu bahwa tidak ada kontrol terhadap mereka, para petinggi agama itu justru kemudian menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengangkangi berbagai kenikmatan duniawi. Mereka menjadi korup!

Karena konteks itulah, setelah abad itu dilalui, Eropa tidak pernah lagi memberikan ruang bagi para petinggi agama untuk mengambil keputusan dalam kehidupan politik. Dalam demokrasi, agama adalah agama, negara adalah negara. Agama disingkirkan karena dianggap tidak memberi ruang bagi hak untuk memiliki keragaman pendapat – sesuatu yang justru sangat esensial dalam demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia.

Ini yang sekarang persis terlihat dalam kasus gerombolan ’preman berjubah’ di Indonesia ini. Mereka nampaknya percaya bisa menyetir negara ini sesuai dengan tafsiran sempit mereka. Mereka seperti bermimpi bisa menempati kedudukan menakutkan para petinggi gereja abad kegelapan yang justru adalah pangkal keterbelakangan Eropa.

Sekarang, semua bergantung kepada pemerintah. Secara sederhana, ada kubu pilihan. Yang satu adalah kubu yang menghalalkan kekerasan atas nama agama, yang percaya pada gagasan yang menolak keberagaman, gagasan bahwa hanya ada satu tafsiran tunggal seraya meniadakan yang lain. Di sisi lain,
ada kubu yang percaya pada arti penting hak asasi manusia, pada hak berbeda pendapat dan keyakinan, serta hidup dalam suasana yang tidak merestui kekerasan.

Semoga pemerintah mengambil pilihan yang benar.

Catatan:

Tulisan ini semula dimuat di Majalah Madina. Ade Armando adalah anggota redaksi majalah tersebut. Artikel ini dimuat di blog ini tanpa sepengetahuan penulis. Pemberitahuan dan permintaan izin sedang dalam proses.