Saturday, May 3, 2008

MUI, Humor dan Sindiran

Ruzbihan Hamazani

Alkisah, suatu hari Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah dan Sekjen MUI, mengatakan bahwa menurut fatwa MUI, umat Islam dilarang mengawini gadis sekantor. Pernyataan ini langsung menyulut kontroversi luas. Media massa tergoda untuk mengadakan wawancara eksklusif dengan Pak Din untuk mengklarifikasi fatwa yang membingungkan ini. Bagaimana mungkin seseorang dilarang menikahi gadis sekantor? Apakah ada dalilnya dalam Qur'an atau hadis?

Lalu terjadilah wawancara berikut ini:

Wartawan: Pak Din, apakah betul MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang menikahi gadis sekantor?

Din Syamsuddin: Betul.

Wartawan: Apa dasarnya? Apakah ada dalilnya dalam Qur'an dan hadis?

Din Syamsuddin: Dasarnya sederhana saja. Wong kawin dengan satu gadis saja sudah repot, apalagi mengawini gadis sekantor. Bayangkan, kalau di kantor ada 100 gadis, apakah kita mampu menikahi mereka semua. Lagi pula, itu kan jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Islam hanya membolehkan kawin dengan empat orang perempuan, maksimal.

*****

Kisah di atas itu saya peroleh baru-baru ini dari seorang teman via email. Judul email itu membuat saya terangsang membaca: "MUI mengharamkan nikah dengan gadis sekantor". Saya berkata dalam hati: wah, berita ini menarik. Setelah membaca keseluruhan email itu, saya akhirnya tahu, isinya hanyalah "joke" atau guyonan semata. Pesannya sangat jelas: menyindir MUI yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang rajin dan bersemangat memproduksi fatwa. Sebagai guyonan, tentu isi email itu hanyalah rekaan belaka. Tak ada fatwa "konyol" seperti itu dalam dunia riil. Dan tentu, MUI tak akan sembrono mengeluarkan fatwa semacam itu, kecuali jika mau menjadi sasaran damprat dan kritik.

Guyonan-guyonan semacam ini bukan barang baru. Kita seringkali menjumpai plesetan, parodi, dan sindiran (baik kasar atau halus) yang diarahkan kepada lembaga "resmi", entah lembaga politik atau lembaga agama. Pada zaman rezim Orde Baru dulu masih berkuasa, kita kerap menjumpai anekdot-anekdot lucu tentang pemerintah Orba: ada anekdot tentang Soeharto dan keluarga Cendana, ada anekdot lain tentang Harmoko --menteri Penerangan yang dikenal karena sisiran rambutnya yang rapi dan licin, serta ucapannya "menurut petunjuk Bapak Presiden" itu--, ada anekdot lain tentang Golkar, dan seterusnya. Kalangan aktivis mahasiswa yang menentang kediktatoran rezim Soeharto dulu paling suka menular-nyebarkan anekdot-anekdot lucu semacam ini melalui penerbitan bawah tanah (dikenal dengan "samizdat"--istilah yang dulu dikenal di kalangan oposisi bawah tanah di Rusia zaman Partai Komunis masih berjaya di sana). Dengan penuh semangat sekali, masyarakat saat itu menyambut buku saku berjudul "Mati Ketawa Cara Rusia" yang berisi kisah-kisah lucu dari Rusia. Hampir sebagian besar guyonan dari Rusia itu adalah berisi sindiran halus terhadap rezim totaliter komunis yang berkuasa di sana. Kalangan aktivis penentang pemerintah pada masa Soeharto dulu menerbitkan versi Indonesia dari anekdot-anekdot serupa dengan judul "Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto".

Humor dan guyonan memang memiliki banyak fungsi dalam masyarakat. Secara umum, humor dibutuhkan untuk mengendurkan otot yang tegang karena rutinitas pekerjaan atau tekanan hidup. Setelah kerja seminggu penuh, masyarakat dulu menikmati acara Aneka Ria Safari yang disiarkan di TVRI, satu-satunya kanal TV yang ada pada zaman dulu. Pada kesempatan itulah masyarakat bisa menikmati guyonan Bagio cs, Jojon dkk, dan belakangan tokoh Gepeng dalam Srimulat. Hingga saat ini, kelompok Srimulat masih bertahan dan menghibur masyarakat setiap minggu. Jenis humor dan komedi melalui media elektronik sekarang malah makin bervariasi, antara lain dengan munculnya figur Tukul Arwana melalui acara "Empat Mata" yang menghebohkan itu.

Tetapi, humor juga bisa memiliki fungsi politis, yakni sebagai cara untuk menyindir "the power that be", atau kekuasaan yang ada pada saat itu. Kekuasaan di sini bisa merupakan kekuasaan politik, ekonomi, budaya atau agama. Tentu sindiran lewat komedi tidak akan membuat suatu kekuasaan akan rubuh secara mendadak. Komedi hanyalah strategi berkomunikasi. Dia bukanlah "hard power" atau kekuasaan material yang bisa melukai fisik obyek yang menjadi sasaran komedi itu. Dia hanya cara masyarakat menyampaikan kritik tak langsung terhadap kekuasaan. Biasanya, humor dipakai sebagai alat menyampaikan pesan manakala saluran-saluran yang ada macet atau mampet. Karena rezim Soeharto dulu menerapkan kebijakan komunikasi yang serba menutup segala bentuk kritik, maka cara lain untuk menerobos blokade itu adalah dengan "strategi halus" a la Punokawan, yakni guyonan.

Yang menarik buat saya adalah masyarakat mulai memakai "strategi humor" untuk menyindir MUI, lembaga yang mewakili kepentingan kaum Islam ortodoks di Indonesia saat ini. Kenapa strategi ini ditempuh? Apakah saluran informasi di masyarakat kita sudah mulai mampet? Bukankah ini adalah zaman reformasi, zaman kebebasan berbicara? Bukankah sekarang kritik terhadap MUI bisa disampaikan secara terbuka? Jika bisa mengkritik secara terbuka, kenapa mesti memakai cara tersembunyi seperti itu? Apa makna guyonan seperti ini? Itulah sejumlah pertanyaan menarik yang menggelitik saya untuk menulis catatan pendek ini.

*****

Boleh jadi, anggapan bahwa kita sekarang sudah berada dalam era demokrasi dan kebebasan berbicara, tidaklah sepenuhnya tepat menggambarkan kenyataan yang ada. Secara umum, memang kebebasan berbicara sudah menjadi norma dalam masyarakat. Media massa kita sudah tak lagi menghadapi ancaman bredel seperti pada zaman Soeharto dulu. Departemen Penerangan yang sempat "diistirahatkan" sebentar lalu hidup kembali menjadi "Kominfo" (Kementerian Komunikasi dan Informatika) itu tidak lagi seperkasa pada zaman Harmoko dahulu kala. Tetapi, hancurnya rezim "blokade informasi" ini bukan berarti hilangnya seluruh halangan komunikasi yang ada dalam masyarakat. Yang hancur dalam era reformasi saat ini adalah blokade informasi yang berasal dari pemerintah atau rezim politik yang berkuasa. Blokade informasi bisa datang dari pemerintah, tetapi juga bisa berasal dari masyarakat sipil atau kalangan masyarakat bisnis.

Saat ini, tampaknya mulai muncul "kekuasaan-kebenaran" baru di luar pemerintah. Salah satu sumber kekuasaan-kebenaran yang potensial menyebabkan tersumbat dan terdistorsinya saluran komunikasi adalah dua pihak: kalangan bisnis dan kalangan agama. Kalangan bisnis bisa mendistorsikan komunikasi melalui "mesin uang" yang mereka miliki. Ini adalah cerita yang sudah sering kita dengar di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, tetapi terutama di negeri-negeri maju. Begitu pula, kalangan agama bisa memainkan simbol agama untuk memobilisasi ketakutan masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang dari agama.

Bukan rahasia lagi, setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, kita menyaksikan maraknya politik agama, terutama yang diinspirasikan oleh identitas Islam. Dalam konteks inilah, MUI, lembaga yang semula dibikin oleh Soeharto untuk menjadi "corong pemerintah" untuk menaklukkan perlawanan sebagian kalangan Islam yang "mbalelo" itu, kini menemukan momentum kembali. Cara yang ditempuhnya sangat menarik: memobilisasi simbol agama untuk merehabilitasi nama-baiknya yang tercemar dulu. Salah satu sarana paling efektif adalah mendaya-gunakan "fatwa". Pada 29 Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa secara "ombyokan" yang kemudian menimbulkan kontroversi luas. Ada sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Juga fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah. Hingga sekarang, fatwa-fatwa ini masih menjadi bahan perbincangan yang riuh di kalangan umat Islam dan non-Islam sekaligus.

Yang menarik dicatat adalah bahwa dengan fatwa-fatwa ini, MUI seperti "menemukan kembali suaranya". MUI seperti mendapatkan peran yang tepat di tengah-tengah perubahan sosial-politik yang deras akhir-akhir ini. Umat Islam yang kebingungan berhadapan dengan "situasi panta rei" ini, tentu dengan senang hati menyambut kehadiran MUI yang memberikan semacam "kompas budaya" kepada mereka itu. Pelan-pelan, MUI hadir sebagai kiblat baru di mata sebagian kalangan Islam.

Tetapi, bersamaan dengan naik daunnya MUI sebagai lembaga yang mewakili aspirasi kalangan Islam ortodoks, muncul pula kelompok-kelompok lain dalam masyarakat yang menganggap kehadiran MUI sebagai "versi baru" dari rezim Orba dulu dalam bidang agama. Dengan kata lain, MUI dianggap pula sebagai ancaman bagi keragaman aspirasi dalam masyarakat Islam. Apalagi kaum penentang MUI ini melihat bahwa lembaga itu mulai menampung suara-suara kalangan "radikal" dalam Islam. Sudah menjadi rahasia umum, dalam kepengurusan MUI saat ini ada unsur dari kelompok radikal, yakni HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memperjuangkan khilafah Islamiyyah itu. Sementara itu, MUI sama sekali tak memberi ruang kepada kalangan "sekte" minoritas seperti Syi'ah, misalnya. Kalangan Islam yang berpikiran "kritis" juga selalu dipojokkan oleh lembaga ini, entah melalui fatwa atau pernyataan para tokoh MUI. Dengan kata lain, MUI hendak menegakkan ortodoksi Islam di tanah air. Bahkan kalau bisa, MUI juga hendak mewakili satu-satunya suara umat Islam.

Dengan makin kuatnya reputasi MUI sekarang ini, timbul pula semacam suasana "ketakutan" saat isu-isu menyangkut Islam dibicarakan secara terbuka dan kritis. Orang mulai khawatir jika suara-suara kritik itu dikemukakan secara publik, MUI akan "intervensi" dengan sebuah fatwa penyesatan. Bahasa "sesat" sekarang ini dengan piawai dipakai oleh MUI untuk memobilisasi suara umat Islam awam. Menghadapi situasi semacam inilah, kita bisa memahami munculnya guyonan seperti di atas. Guyonan itu hanyalah isyarat kecil bahwa sekarang masyarakat mulai merasakan kekhawatiran akan terkena "cekal" ketika menyuarakan gagasan yang kritis mengenai Islam. Guyonan itu adalah semacam kritik atas situasi yang timbul karena adanya "fatwa-speak" (jika boleh memodifikasi istilah terkenal dari George Orwell itu--newspeak).

Memang fatwa untuk melarang nikah dengan gadis sekantor tidak akan dikeluarkan oleh MUI. Tetapi, sindiran yang terkandung dalam guyonan yang dikirim oleh teman saya itu, pada hemat saya, sangat mengena pada keadaan yang kita hadapi saat ini. Jangan kaget, jika di masa-masa mendatang kita akan menjumpai lagi sindiran-sindiran serupa mengenai MUI, apalagi jika lembaga ini makin "sembrono" memakai senjata fatwanya dalam menanggapi kasus-kasus yang berkembang dalam masyarakat.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

1 comment:

Anonymous said...

Tulisannya menarik sekali. Salam kenal!