Monday, April 28, 2008

Membela Ahmadiyah yang Dizalimi


Imam Ghazali Said *

Satu jam setelah Forum Lintas Agama (FLA) memilih saya menjadi jubir dalam konferensi pers 24 April 2008, telepon dan ponsel saya terus berdering; mempertanyakan mengapa saya membela aliran sesat? Karena itu, perkenankan saya memberikan penjelasan berikut.

Pertama, Ahmadiyah, baik aliran Lahore, di Indonesia populer dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun aliran Qodiyan, yang populer dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), telah berkiprah dan berinteraksi dengan tokoh nasionalis Indonesia, baik yang muslim maupun yang sekuler sejak 1920-an sampai 1980-an.

Dalam rentang waktu itu GAI dan JAI telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam mencerdaskan bangsa. Sayid Syah M. Muballig (ketua panitia pemulihan Pemerintahan RI dan penyusun program bahasa Urdu RRI Jakarta, 1950), Erfan Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan), Abu Bakar Ayub, Abd. Wahid, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh GAI dan JAI yang punya jasa besar dalam perjuangan dan mengisi kemerdekaan RI dengan cara bergabung dalam BKR, TKR, Kowani, dan KNI.

Dalam rentang waktu tersebut, mereka intens berinteraksi, baik sosial, politik, ekonomi, dan teologis dengan tokoh-tokoh dan organisasi Islam terpopuler di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Bahkan, dialog teologis pernah terjadi antara wakil GAI-JAI dengan A. Hassan (Persis) dan KH A. Wahid Hasyim (NU). Hasilnya? GAI dan JAI adalah saudara kita sesama muslim yang tinggal di negara tercinta Indonesia.

Lebih dari itu, tokoh GAI R. Sudewo Parto Kusumo (1905-1970) sangat berjasa secara intelektual dan spritual dalam mengader kaum muda muslim terpelajar yang tergabung dalam Jong Islamitenbond (JIB). Juga masih banyak tokoh GAI dan JAI yang kemudian berjuang dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Beranikah kita menilai mereka itu "aliran sesat" dan "bukan muslim" hanya karena mereka punya teologi yang sedikit berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia?

Kedua, setelah melakukan kajian mendalam, membaca dan memahami kitab-kitab tentang aliran-aliran dalam Islam, di antaranya al-Farq Baina al-Firaq (al-Baghdadi), al-Milal wa al-Nihal (Syahrastani), al- Fishal Baina al-Milal wa al-Nihal (Ibn Hazm), al-Iqtishad fi al-I’tiqad (al-Ghazali), Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin (al-Asy’ari), dan lain-lain, bersama kiai pesantren yang mewakili seluruh provinsi di Indonesia yang difasilitasi Komunitas Mata Air pimpinan Gus Mus dan Wahid Institute pimpinan Gus Dur, pada 22-25 Maret 2008 di Jakarta menyimpulkan, "bahwa manusia yang berucap dua kalimah syahadat, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, sekaligus tidak menentang satu pun dari dua rukun iman dan Islam itu, wajib dianggap dan dinilai sebagai saudara kita sesama muslim, yang hak-hak sipilnya harus kita lindungi".

GAI dan JAI, setelah saya melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, saya konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk "Membela JAI" tanpa mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah atau tidak.

Ketiga, fatwa penyesatan dan penilaian di luar Islam oleh MUI terhadap Ahmadiyah Qodiyan, 1 Juni 1980, dan diperkuat fatwa MUI 15 Juli 2005, itu muncul setelah aliran tertentu yang mengaku paling Islam, menyerang kantor pusat JAI di Parung, Bogor.

Selanjutnya, tindak kekerasan menyebar ke berbagai daerah, kantor-kantor JAI diserang, sehingga menimbulkan korban. Saya menilai fatwa MUI tersebut telah memberi legitimasi diperkenankannya tindak kekerasan terhadap JAI yang tak pernah mengganggu secara fisik -apalagi menyerang- kelompok Islam lain yang berbeda.

Realita ini menggugah nurani saya untuk menyatakan bahwa JAI telah dizalimi dan hak-hak sipilnya digangu. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita UUD ’45 pasal 29, ayat 1 dan 2, di samping mengabaikan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Keempat, status ormas JAI yang sudah berbadan hukum dengan SK Menkeh RI No JA 5/23, tanggal 13-3-1953 tidak dengan mudah akan dibatalkan melalui SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, hanya berdasarkan tekanan kelompok yang merasa "paling Islam" dan rekomendasi fatwa MUI dan Bakorpakem. Sebab, eksistensi MUI dan JAI itu sejajar dan keberadaan Bakorpakem tidak punya landasan hukum dan konstitusi yang kuat.

Kelima, MUI mestinya mengeluarkan fatwa bagi penyerang (pelaku pidana), bukan menyesatkan pihak yang diserang (korban pidana). Hemat penulis, MUI tidak adil dalam klarifikasi data. Yang menjadi pedoman MUI banyak berdasarkan yang dikemukakan Amin Jamaluddin (LPII) dalam bukunya: Ahmadiyah Membajak Alquran, dan buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ahmadiyah Punya Nabi dan Kitab Suci Baru.

Mengapa MUI -sebelum mengeluarkan fatwa- tidak mengklarifikasi tentang isi dan substansi dua judul buku tersebut pada PB JAI?

Keenam, MUI dan organisasi-organisasi Islam yang lain mestinya menyadari bahwa vonis "luar Islam" akan berakibat tindak kekerasan dan mengurangi secara drastis persentase umat Islam Indonesia.

Menurut data JAI, jumlah pengikutnya secara nasional antara 2-3 juta jamaah, yang di sensus KTP tertulis Islam. Itu selain umat Konghucu yang dalam KTP-nya juga mencantumkan Islam. MUI-lah yang paling bertanggung jawab atas penurunan persentase umat Islam Indonesia.

Ketujuh, pembatalan badan hukum JAI hanya bisa diterima lewat keputusan pengadilan. Karena itu, jika SKB pembubaran JAI terbit, saya menganjurkan agar JAI menempuh jalur hukum. Menggugat SKB tersebut ke pengadilan. Dengan demikian, SKB itu belum punya kekuatan hukum tetap.

Kasus JAI ini akan menjadi tolok ukur tahannya konstitusi kita menghadapi gelombang makin menguatnya kelompok muslim "Kanan" yang menginginkan formalisme syariah dalam kehidupan negara. Menurut saya hal itu menjadi ancaman serius bagi eksistensi NKRI dengan semua perangkat konstitusinya.

*. Imam Ghazali Said, pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) "An-Nur" dan ketua FKUB Surabaya.


Catatan:

Tulisan ini semula dimuat di Jawa Pos, 28 April 2008. Sedikit suntingan dilakukan atas ejaan judul sejumlah buku yang dikutip di sana. (Ruzbihan Hamazani)

Saturday, April 26, 2008

Abu Ishaq al-Shirazi: Apakah Nabi Mungkin Berbuat Salah?

Ruzbihan Hamazani

Apakah Nabi Muhammad boleh melakukan ijtihad? Jika boleh, apakah ijtihadnya selalu benar, atau mungkin salah? Jika ijithad Nabi mungkin salah, apakah ini tak bertentangan dengan doktrin "infalibilitas" ('ishmah), yakni doktrin tentang kesucian dan kesempurnaan Nabi, atau ketidakmungkinannya melakukan kesalahan?

Ini adalah salah satu tema yang pernah didiskusikan dengan ramai di kalangan sarjana Islam di masa lampau. Esei pendek ini akan mencoba melihat diskursus kesarjanaan Islam klasik mengenai tema ini dan apa yang bisa kita pelajari dari sana. Secara spesifik, esei ini akan mengulas pendapat Abu Ishaq al-Shirazi, salah satu juris atau sarjana hukum yang sangat dihormati di kalangan mazhab Shafii yang luas diikuti oleh umat Islam di Indonesia.

Saya akan mulai dengan keterangan biografis pendek mengenai al-Shirazi dan kedudukannya di lingkungan mazhab Shafii. Setelah itu, saya akan mengulas pendapatnya mengenai ijtihad Nabi dalam kitabnya yang terkenal, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh (secara harafiah: Penjelasan tentang Ushul Fiqh). Ini adalah karya al-Shirazi yang cukup penting di bidang ushul fiqh (teori hukum Islam) selain karyanya yang lain yang lebih dikenal di Indonesia, yaitu al-Luma' (secara harafiah: Kilatan-Kilatan Cahaya). Esei ini akan saya tutup dengan ulasan pendek tentang apa yang bisa kita pelajari dari perdebatan ini.

Siapakah dia?

Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn 'Ali ibn Yusuf al-Firuzabadi al-Shirazi, atau dikenal luas sebagai Abu Ishaq al-Shirazi. Ia adalah seorang sarjana fikih besar yang berasal dari kota Shiraz, Persia (sekarang Iran). Ia lahir pada tahun 393 H/1003 M dari keluarga yang sangat sederhana. Ia memulai studinya dalam bidang hukum Islam (fiqh) di kota kelahirannya sendiri, Shiraz, dan kemudian Basrah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di dua kota itu untuk belajar hukum Islam dan cabang-cabang pengetahuan Islam yang lain. Ia kemudian melanjutkan studinya ke Baghdad, ibu kota pengetahuan dan politik pada saat itu. Di sana, ia menjadi murid seorang sarjana besar, al-Qadhi Abu al-Thayyib al-Thabari (w. 450 H/1058 M), dan belakangan menjadi "mu'id" atau asistennya. Ia juga berguru pada sarjana lain yang cukup penting dalam mazhab Shafii, yakni al-Qazwini.

Karir al-Shirazi sebagai sarjana menanjak cepat. Sejak 459 H/1066 M dan seterusnya, dia mengajar di sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash'ariyyah. Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni. Al-Shirazi wafat pada 21 Jumada al-Akhir, 476/4 November, 1083 M.

Sumbangan penting Abu Ishaq al-Shirazi dalam pengembangan mazhab Shafii tercermin melalui dua karyanya yang sangat penting. Yang pertama adalah al-Muhazzab (secara harafiah: Inti Sari), karya yang bisa dianggap sebagai salah satu rujukan paling penting di lingkungan mazhab Shafii. Kedudukan penting karya ini tidak bisa kita apresiasi dengan baik kalau kita tak mengetahui konteks perkembangan mazhab Shafii pada masa itu, yakni pada periode abad kedua, ketiga dan keempat Hijriyah. Sebagaimana kita tahu, dalam setiap mazhab selalu kita jumpai pendapat yang bermacam-macam, entah yang dikeluarkan oleh pendiri mazhab itu sendiri, atau murid-muridnya yang sering disebut sebagai "ashhab". Setiap mazhab selalu mengenal situasi "pluralisme juristik" yang kadang-kadang sangat ekstrim. Seorang penganut mazhab Shafii, misalnya, akan dibuat repot oleh perbedaan pendapat seperti ini. Pertanyaan yang harus dia hadapi adalah: mana pendapat yang harus diikuti. Karya al-Shirazi ini dianggap penting karena berusaha untuk "menyaring" berbagai ragam pendapat yang ada dalam mazhab Shafii, dan kemudian memilih mana yang dianggap paling kuat argumennya (al-ashahh atau al-azhar) menurut para sarjana dalam mazhab tersebut. Dengan kata lain, karya al-Shirazi ini berusaha melakukan semacam standardisasi dan "kanonisasi" mazhab Shafii. Karena kedudukannya yang begitu penting, banyak sarjana yang menulis komentar (sharh) atas karya al-Shirazi ini, antara lain yang paling terkenal adalah komentar yang ditulis oleh Sharaf al-Din al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) berjudul al-Majmu' (secara harafiah: Kompendium). Bersama al-Muhazzab, komentar al-Nawawi ini dianggap sebagai dua karya penting dalam mazhab Shafii. Bagi mereka yang ingin mempelajari mazhab ini, dua karya tersebut merupakan "kanon wajib" yang tak bisa dilompati begitu saja.

Karya kedua adalah al-Luma' yang sudah saya sebut di atas, tentang ushul fiqh. Sebagaimana sudah saya singgung di atas pula, al-Shirazi memiliki dua karya penting dalam bidang teori hukum Islam: al-Luma' dan al-Tabshirah yang akan menjadi bahan kajian dalam esei ini. Al-Luma' lebih luas dikenal karena ditulis setelah al-Tabshirah, sehingga ia bisa dianggap mencerminkan pendapat al-Shirazi yang sudah mapan. Dalam al-Luma', al-Shirazi kerapkali mengoreksi pendapatnya sendiri yang pernah dikemukakan dalam karya sebelumnya, al-Tabshirah. Al-Shirazi juga menulis sendiri komentar atas al-Luma'. Karena sifatnya yang ringkas dan padat, al-Luma' beserta komentarnya menjadi "teks kuliah wajib" di madrasah-madrasah di seluruh dunia Islam yang mengajarkan mazhab Shafii sejak abad ke-11, bahkan hingga sekarang.

Sekedar catatan kecil: mungkin perlu ada suatu penelitian terpisah tentang kurikulum madrasah/pesantren saat ini untuk melihat apakah karya-karya klasik seperti al-Luma' ini masih tetap diajarkan. Penelitian ini tentu menarik untuk melihat aspek kontinuitas dan diskontinuitas dalam perkembangan pemikiran di lingkungan umat Islam pada era modern, terutama pemikiran hukum.

Bolehkah Nabi ber-ijitihad?

Pertanyaan yang menarik perhatian al-Shirazi adalah: apakah Nabi boleh melakukan ijtihad atau penalaran rasional sendiri di luar wahyu yang ia terima dari Tuhan? Pertanyaan ini sangat relevan karena mempertimbangkan kenyataan bahwa Nabi telah mendapatkan wahyu. Jika sudah ada wahyu, apakah masih relevan bagi Nabi untuk melakukan ijtihad? Bukankah wahyu sudah cukup?

Dalam al-Luma' (hal. 266-277), al-Shirazi menyebut dua pendapat di kalangan sarjana Islam, terutama di lingkungan mazhab Shafii, mengenai masalah ini. Ada kalangan yang mengatakan bahwa Nabi boleh berijtihad, tetapi ada kalangan lain yang berpendapat: tidak. Argumen kelompok yang pertama menarik untuk kita telaah. Mereka mengatakan: jika para sahabat boleh berijtihad pada saat Nabi masih hidup (ingat hadis Mu'adz ibn Jabal yang dikenal dengan pernyataanya, "ajtahidu ra'yi wa la alu", saya akan ber-ijtihad dengan memakai akal saya, dan saya akan berusaha sekuat tenaga), maka Nabi tentu jauh lebih berhak untuk berijtihad. Dengan kata lain: jika sahabat yang merupakan pengikut Nabi boleh melakukan ijtihad, kenapa Nabi tidak? Al-Shirazi lebih berpihak pada pendapat ini. Beberapa murid Imam Shafii yang lain (al-Razi menyebutnya sebagai "ashhabuna") berpendapat bahwa Nabi tak boleh berijtihad, sebab wahyu sudan mencukupi.

Jika Nabi mungkin dan boleh melakukan penalaran rasional atau ijtihad sendiri, pertanyaan berikutnya adalah: apakah ijtihadnya itu selalu benar atau mungkin salah? Di sini, para sarjana Islam di lingkungan mazhab Shafii juga memiliki beberapa pendapat.

Sekurang-kurangnya ada dua pendapat mengenai masalah ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Shirazi dalam al-Tabshirah (hal. 524-525). Pendapat pertama lebih disokong oleh al-Shirazi, yakni Nabi mungkin melakukan kesalahan dalam ijtihad. Hanya saja, kesalahan itu akan dikoreksi oleh wahyu, dan tidak mungkin kesalahan itu berlalu begitu saja tanpa koreksi ("illa annahu la yuqarru 'alaihi, bal yunabbahu 'alaihi"; artinya: tetapi dia [Nabi] tak akan dibiarkan tetap berada dalam kesalahan itu, sebaliknya dia akan diingatkan [oleh Tuhan melalui wahyu] atas kesalahannya itu).

Pendapat pertama ini disokong oleh banyak sarjana lain di luar mazhab Shafii, seperti sarjana-sarjana di lingkungan mazhab Hanbali, para sarjana hadis, al-Jubba'i (salah satu tokoh penting dalam sekte Mu'tazilah) dan beberapa tokoh Mu'tazilah yang lain.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Nabi tak mungkin melakukan kesalahan dalam ijtihad. Agumen kelompok ini tak asing di telinga kita saat ini karena sudah sering kita dengar dari beberapa kelompok Islam yang berpandangan serupa. Mereka mengatakan: jika Nabi mungkin melakukan kesalahan dalam ijtihad, maka hal itu akan memaksa kita untuk "tawaqquf", artinya diam, serba tidak menentu. Jika hal itu mungkin terjadi, maka kita akan menghadapi keragu-raguan (al-shakk) saat menerima suatu ajaran tertentu dari Nabi, sebab bukan tak mustahil ajaran itu berasal dari ijtihad Nabi yang mungkin salah. Jika tak ada jaminan bahwa apa yang dikatakan Nabi adalah mutlak benar, bukankah ini akan menimbulkan situasi ketidakpastian dalam agama?

Tanggapan kelompok pertama menarik untuk kita simak: secara faktual Nabi pernah melakukan kesalahan, bahkan sangat fatal, sehingga mendapat peringatan yang keras dari Tuhan. Sekurang-kurangnya ada dua kebijaksanaan penting di mana Nabi melakukan kesalahan yang langsung dikoreksi melalui wahyu. Yang pertama adalah saat Nabi memutuskan untuk mengambil tebusan untuk sejumlah pasukan Mekah yang ditawan oleh pasukan Islam saat perang Badar (berlangsung pada 17 Ramadan, 2 H/17 Maret, 624 M). Kedua, saat Nabi memberi izin kepada beberapa orang "munafik" yang minta izin untuk tak ikut dalam ekspedisi Tabuk (tahun ke-9 Hijriyah) dengan berbagai-bagai alasan yang dibuat-buat. Ijtihad Nabi dalam dua momen itu dianggap sebagai kurang tepat atau salah oleh Tuhan, dan mendapatkan peringatan yang cukup keras (baca misalnya QS 9:43).

Kemungkinan Nabi melakukan kesalahan dalam ijtihad tidak berarti menimbulkan situasi ketidak-menentuan atau "tawaqquf" seperti dikira oleh kelompok kedua. Jawaban balik kelompok pertama sangat menarik karena membuat analogi dengan kedudukan seorang mufti atau pemberi fatwa. Mereka mengatakan: Bukankah kita tak harus ragu menerima fatwa seorang mufti, padahal kita semua tahu bahwa dia mungkin salah? Jika kita tak ragu menerima fatwa seorang mufti, padahal dia mungkin salah, maka begitu pula kita tak boleh ragu menerima ajaran dari Nabi hanya karena kemungkinan adanya kesalahan dalam ijtihadnya. Apalagi, ada jaminan bahwa Nabi akan mendapatkan koreksi langsung saat melakukan ijtihad yang salah.

Bertentangan dengan doktrin kesucian?

Apakah pendapat tentang kemungkinan adanya kesalahan dalam ijithad Nabi ini tidak bertentangan dengan doktrin tentang "kesucian" Nabi yang dikenal dengan 'ishmah? Sebagaimana kita tahu, umat Islam memiliki doktrin yang hampir serupa dengan doktrin kesucian Paus ("papal infallibility") yang dikenal luas oleh umat Katolik. Dalam pandangan umat Islam, Nabi tidak mungkin berbuat kesalahan atau perbuatan lain yang bisa dianggap dosa dalam pandangan agama. Doktrin ini dikenal sebagai doktrin 'ishmah (secara harafiah berarti: keterjagaan atau keterhindaran Nabi dari perbuatan dosa dan salah). Doktrin ini dianut secara luas oleh banyak sekte Islam, terutama Sunni dan Mu'tazilah. Kalangan Shi'ah bahkan memperluas doktrin kesucian ini sehingga mencakup imam-imam yang mereka anggap sebagai penerus Nabi. Bagi kalangan Shi'ah, yang ma'shum atau terjaga dari kesalahan bukan hanya Nabi, tetapi juga para imam dua belas (dalam konteks Shi'ah Itsna 'Ashariyyah).

Doktrin ini sendiri tak disebutkan dengan jelas dan terus terang, baik dalam Qur'an maupun koleksi hadis yang "kanonik". Doktrin ini dirumuskan belakangan oleh para sarjana Islam, terutama oleh kalangan Syi'ah pada paroh pertama abad kedua Hijriyah, dan belakangan diikuti oleh kalangan Mu'tazilah dan diteruskan oleh kalangan teolog Ash'ariyyah. Di kalangan Mu'tazilah, orang yang pertama merumuskan doktrin ini adalah al-Nazzam (w. 220 H/835 M-230 H/845 M) pada akhir abad kedua Hijriyah. Dengan kata lain, ini adalah doktrin yang dirumuskan sendiri oleh sarjana Islam belakangan, antara lain untuk mengatasi kemelut doktrinal-cum-politik yang timbul karena perbedaan sektarian pada masa perdana Islam.

Sekali lagi: apakah pendapat yang diikuti oleh al-Shirazi tentang kemungkinan kesalahan dalam ijtihad Nabi itu tidak bertentangan dengan doktrin 'ishmah tersebut?

Al-Shirazi sendiri tidak mengulas masalah ini secara jelas, baik dalam al-Luma' atau al-Tabshirah. Tetapi, pertanyaan ini bisa jadi kurang relevan, ataupun, kalau relavan, tidak terlalu sulit untuk dijawab, kalau kita menelaah pendapat yang berkembang di kalangan sarjana Islam sendiri tentang apa yang dimaksud dengan doktrin 'ishmah itu.

Pandangan sarjana Islam klasik tentang masalah ini sama sekali tidak tunggal, tidak seperti dikira oleh kebanyakan umat Islam saat ini. Dalam lingkungan sekte Ash'ariyah yang banyak diikuti oleh umat Islam saat ini (di Indonesia, pengikut sekte ini adalah warga Nahdlatul Ulama, Perti, dan beberapa kelompok lain), terdapat banyak perbedaan. Pertama, terdapat diskusi yang panjang, apakah Nabi terjaga dari kesalahan hanya setelah resmi menjadi Nabi, atau juga sebelum itu (ba'da al-nubuwwah aw qablaha). Kedua, apakah Nabi terjaga dari seluruh dosa, baik kecil atau besar, baik disengaja atau tak disengaja, ataukah hanya terjaga dari dosa besar saja, atau dosa-dosa yang disengaja? Ketiga, apakah Nabi terjaga dari kesalahan dalam segala hal, atau hanya saat menyampaikan wahyu saja? Dalam tiga masalah itu, para teolog atau sarjana Islam secara umum mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

Al-Baqillani (w. 403 H/1012 M), salah satu teolog penting dalam sekte Asha'riyyah, berpendapat bahwa Nabi terjaga dari kesalahan hanya sebatas dalam menyampaikan wahyu. Di luar itu, ada kemungkinan Nabi berbuat kesalahan, terutama kesalahan yang tak disengaja atau lupa. Pandangan Al-Baqillani ini diikuti oleh beberapa teolog belakangan. Ibn Furak (w. 406 H/1015 M), salah satu teolog Ash'ariyyah lain, berpendapat bahwa Nabi mungkin melakukan dosa kecil secara sengaja, tetapi bukan dosa besar. Pendapat ini juga diafirmasi oleh Al-Juwaini (w. 478 H/1085M), seorang teolog penting dalam sekte Ash'ariyyah dan guru dari Imam Ghazali (w. 1111).

Di lingkungan mazhab Hanbali, yang berkembang justeru pendapat yang justru kurang bersahabat dengan doktrin ini. Ibn Battah (w. 387 H/997 M) berpendapat bahwa Nabi mungkin berbuat dosa. Ibn Taymiyah (w. 728/1328 M) dan muridnya, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M), berpendapat bahwa Nabi hanya terjaga dari kesalahan sebatas menyangkut tugas penyampaian wahyu. Di luar itu, Nabi mungkin berbuat kesalahan.

Dengan melihat perbedaan yang sangat beragam ini, kita bisa dengan mudah menjelaskan pendapat yang diikuti oleh al-Shirazi di atas. Pendapat itu sama sekali tidak bertentangan dengan doktrin kesucian Nabi yang dianut oleh mayoritas umat Islam, sebab doktrin itu dimengerti secara berbeda-beda. Kebalikan dari apa yang disangkakan sebagian besar umat Islam saat ini, doktrin itu juga sama sekali tak memustahilkan adanya kesalahan pada Nabi, atau kemungkinan Nabi melakukan tindakan yang bisa dipandang dosa dalam kaca mata agama. Dalam pandangan al-Shirazi, Nabi memang mungkin berbuat salah, tetapi Tuhan akan langsung "turun tangan" untuk memberikan koreksi.

Pandangan semacam ini, dalam padangan saya, jauh lebih konsisten dengan pandangan yang dikemukakan dalam Qur'an. Dalam QS 18:110, terdapat sebuah ayat yang sangat menarik, "qul innama ana basyarun mitslukum yuha ilayya...". Artinya: Katakan (wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanya seorang manusia seperti kalian yang diberikan wahyu. Seluruh nabi dan rasul selain Nabi Muhammad juga digambarkan dengan cara serupa seperti terbaca dalam QS 14:11. Dengan kata lain, seluruh nabi adalah manusia biasa yang menjadi "perantara linguistik" antara Tuhan dan manusia. Mereka bukanlah suatu genus yang lain sama sekali. Sebagai manusia, mereka tak terbebas dari segala kelemahan yang melekat pada manusia pada umumnya. Sebagai manusia pula, mereka juga tunduk pada keterbatasan sejarah dan konteks sosial yang melingkupi mereka. Mereka adalah aktor sejarah yang hidup dalam batas-batas konteks yang jelas. Mereka, dengan kata lain, adalah "agen yang kontingen", subyek sejarah yang terbatas dan terbatasi.

Tentu Nabi memiliki kualitas yang membedakannya dengan manusia pada umumnya. Seperti dikatakan al-Shirazi, Nabi selalu dalam arahan Tuhan. Meskipun ia bisa dan mungkin bertindak salah, tetapi ia akan langsung mendapat teguran dari Tuhan.

Pelajaran apa yang dapat kita peroleh?

Diskusi yang begitu ramai serta perbedaan sarjana Islam klasik yang begitu beragam mengenai masalah ini memperlihatkan bahwa apa yang disebut sebagai diskursus pemikiran Islam tidaklah sesederhana seperti dikira oleh kebanyakan orang pada saat ini. Dalam diskursus Islam modern, Nabi digambarkan sebagai subyek yang suci dan tak mungkin berbuat salah, begitu rupa sehingga Nabi nyaris mengalami proses "deifikasi" atau penuhanan. Ini bisa kita lihat misalnya dalam reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh banyak golongan umat Islam berkenaan dengan figur Nabi. Sebagaimana sudah saya tunjukkan dengan baik dalam esei ini, penggambaran seperti itu sama sekali tidak tepat. Dalam perdebatan di kalangan sarjana Islam klasik, masalah ini didiskusikan dengan cukup intensif, dan pendapat para ulama sama sekali tidak monolitik atau tunggal.

Tampaknya umat Islam perlu menengok kembali khazanah Islam klasik yang begitu kaya untuk belajar tentang keragaman pendapat di kalangan para ulama di masa lampau. Kalangan Islam konservatif selalu ingin menggambarkan Islam secara monolitik, seolah-olah hanya ada satu pendapat saja dalam segala hal; seolah-olah hanya ada satu model Islam saja. Penggambaran semacam ini selain tidak tepat, juga berbahaya karena akan menutup diskusi.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Catatan bibliografis:

Dalam esei ini, saya memakai sejumlah rujukan. Rujukan utama adalah dua karya Abu Ishaq al-Shirazi, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh (diedit oleh Muhyiddin Dib Masto dan Yusuf Ali Badiwi, terbit 1995) dan al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh (diedit oleh Muhammad Hasan Hito, terbit 1983). Selain itu, saya merujuk kepada tafsir Jami' al-Bayan karya al-Tabari melalui situs al-Tafsir. Saya juga memakai sejumlah artikel yang relevan dalam Encyclopaedia of Islam.

Kenapa Seseorang Memeluk atau Pindah Agama?

Ruzbihan Hamazani

Kenapa seseoang memeluk agama tertentu, dan bukan agama lain? Kenapa seseorang menjadi Muslim, yang lain Kristen, yang lain lagi Hindu, yang lainnya lagi Budha, dan seterusnya? Apakah keanggotaan seseoang dalam agama tertentu adalah hasil keputusan yang bersangkutan, atau karena "kebetulan sosial"? Kalau seseorang lahir dalam keluarga Muslim, apakah tidak dengan sendirinya ia akan menjadi Muslim pula? Jika orang yang sama lahir dalam keluarga Kristen, bukankah kemungkinan besar dia akan menjadi Kristen? Jika benar demikian, apakah agama adalah sesuatu yang "diberikan" oleh masyarakat, bukan sesuatu yang kita pilih sendiri secara bebas?

Esei pendek ini akan mencoba menjawab masalah ini. Isu ini sebetulnya telah menjadi bahan studi tersendiri di kalangan sarjana dalam rubrik besar yang disebut dengan "konversi" atau gejala pindah agama. Konversi bukan saja fenomena individual, tetapi juga komunal, sosial, dan bahkan memiliki implikasi lebih luas lagi pada level "pembentukan sebuah peradaban". Studi-studi mengenai masalah ini bisa dibaca melalui beberapa buku seperti Conversion to Christianity: Historical and Anthropological Perspectives on a Great Transformation (1993) yang disunting oleh Prof. Robert Hefner. Buku lain yang lebih menyoroti aspek konversi dalam konteks Islam adalah Conversion to Islam (1979) suntingan Nehemia Levtzion.

Kenapa seseorang memeluk atau pindah ke agama tertentu bisa dijawab dengan dua pendekatan. Yang pertama adalah pendekatan dari "dalam", dan kedua pendekatan dari "luar". Pendekatan dari dalam maksudnya adalah melihat masalah ini dari sudut pandang pemeluk agama tertentu; sementara pendekatan dari luar mencoba melihatnya dari kaca-mata sosiologis, yakni meletakkan masalah ini sebagai gejala sosial yang dapat kita amati bersama, tanpa memperdulikan bagaimana sudut pandang pemeluk agama itu.

Saya akan mulai dari sudut pandang dari dalam. Dilihat dari "dalam", fakta bahwa seseorang memeluk agama tertentu biasanya dijelaskan dengan berbagai cara. Dalam konteks Islam, misalnya, hal itu dijelaskan dengan konsep "hidayah" atau petunjuk. Dalam pandangan seorang Muslim, seseorang menjadi Muslim, entah sejak lahir atau sesudah dewasa, karena yang bersangkutan mendapat petunjuk (hidayah) dari Tuhan. Konsep ini mengandaikan bahwa yang bersangkutan, sebelum masuk Islam, berada dalam keadaan tersesat (dlalal). Dalam Islam dikenal konsep tentang "jalan yang lurus" (al-sirat al-mustaqim). Meskipun istilah ini sering dipakai oleh umat Islam dalam konteks eskatologi (doktrin atau ajaran tentang hari akhir--yaum al-qiyama), tetapi konsep tersebut juga sering dipakai untuk menunjuk agama Islam itu sendiri. "Jalan yang lurus", dengan demikian, bukan saja merujuk kepada "jembatan ujian" ("titian serambut dibelah tujuh", meminjam judul film arahan Asrul Sani dulu) yang terbentang di atas neraka kelak untuk menguji iman seseorang, tetapi juga merujuk kepada agama Islam. Islam adalah jalan yang lurus. Seseorang yang tidak mengikuti jalan ini dianggap sebagai berada dalam jalur yang sesat, menyimpang. Jika seseorang masuk Islam, ia mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang lempang dan benar.

Konsep serupa, meskipun tidak mirip sama, kita temukan dalam agama Kristen. Di sana, misalnya, dikenal konsep tentang keselamatan. Seseorang yang memeluk agama Kristen dilihat sebagai orang yang terselamatkan. Manusia sering digambarkan sebagai domba-domba (sheep), sementara para pendeta dan pelayan Tuhan disebut sebagai gembala (sheperd). Dalam Injil Yohanes 10:11, misalnya, Yesus menyebut dirinya sebagai "gembala yang baik" (I am the good sheperd, demikian dikatakan dalam John 10:11). Oleh karena itu, dalam kalangan Kristen lazim kita kenal ungkapan "domba-domba yang tersesat", yakni manusia yang belum mengikuti jalan Kristus. Jika seseorang mengikuti jalan itu, maka ia disebut sebagai "domba yang terselamatkan". Konsep ini kurang lebih mirip dengan konsep "hidayah" dalam Islam. Keduanya melihat mereka yang bergabung dalam komunitas agama sebagai orang-orang yang berada dalam jalan lurus, jalan keselamatan menuju sorga. Mereka yang ada di luar itu adalah tersesat.

Dalam konsep hidayah sebagaimana dikenal dalam Islam, terkandung suatu gagasan tentang "intervensi Tuhan". Seseorang masuk dalam Islam bukan semata-mata karena keputusan dia sendiri, tetapi juga intervensi Tuhan. Seseorang bisa saja mengetahui dengan baik bahwa Islam adalah agama yang benar, tetapi belum tentu ia mau masuk ke dalamnya. Contoh yang sering dipakai oleh kalangan Islam adalah kaum orientalis, yakni sarjana non-Muslim yang dengan tekun dan simpatik (atau boleh juga non-simpatik) mempelajari Islam, tetapi ia tidak menjadi Muslim. Oleh umat Islam, gejala seperti ini dijelaskan dengan konsep "hidayah": karena orientalis bersangkutan belum mendapat petunjuk dari Tuhan, maka dia tak mau masuk Islam, walau dia telah belajar tentang ajaran Islam secara mendalam.

Berkaitan dengan soal "hidayah" ini, ada sebuah anekdot yang menarik. Seorang antropolog "bule" dari Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian lapangan di pesantren Darut Tauhid asuhan da'i kondang, KH. Abdullah Gymnastiar atau dikenal sebagai Aa Gym. Melihat si bule dengan simpatik melakukan penelitian tentang pesantren, kegiatan dakwah Aa Gym, dan Islam secara umum, salah seorang santri di sana terheran-heran: kalau si bule itu meneliti kegiatan dakwah Islam dengan penuh simpatik, kenapa dia tak masuk Islam saja. Lalu si santri itu memberanikan diri bertanya, "Tuan, kenapa anda tak masuk Islam saja, toh anda kelihatan begitu simpatik pada agama kami, dan mengetahui dengan baik tentang agama kami?" Si bule rupanya tak pernah berpikir akan menghadapai pertanyaan seperti itu. Dia datang ke Pesantren Darut Tauhid untuk melakukan penelitian ilmiah. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang dakwah Islam, dia harus masuk ke dalam komunitas yang menyelenggarakan dakwah, dan mencoba memahaminya secara simpatik, bukan menilainya menurut standar nilai yang berasal dari luar. Itulah sikap ilmiah yang dikenal dalam kajian antropologi. Karena bingung mencari jawaban, si bule punya ide agak "nakal". Dia bilang, "Saya belum mendapatkan hidayah, sehingga saya tidak masuk Islam". Si santri langsung diam. Jawaban si bule, rupanya, tepat mengenai sasaran dan dapat dimengerti oleh si santri yang memahami dengan baik hubungan antara konsep hidayah dengan keputusan seseorang untuk masuk Islam.

Bagaimana penjelasan dari luar? Bagaimana menjelaskan seseorang masuk suatu agama tertentu dari sudut pandangan sosiologis?

Kalau kita menelaah dengan cermat bagaimana sesearang masuk kedalam komunitas agama tertentu, akan kelihatan pola-pola berikut ini. Pertama, umumnya seseorang masuk atau pindah agama karena faktor keluarga atau masyarakat sekitar. Seorang yang lahir dalam keluarga Muslim dengan sendirinya akan menjadi Muslim. Begitu pula yang lahir dalam keluarga Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain, ia akan mengikuti agama keluarga itu. Dengan kata lain, seseorang menjadi, katakanlah, Muslim bukan karena faktor "kebetulan sosial". Umumnya orang-orang Muslim memeluk agam Islam bukan karena pilihan yang bebas, tetapi karena faktor eksternal, yakni keluarga dan masyarakat.

Kedua, konversi atau pindah agama karena keputusan dan pilihan yang bebas adalah gejala yang jarang terjadi. Kalau kita lihat sejarah perkembangan Islam sendiri pada masa Nabi, pola serupa bisa kita temukan pula. Setelah Nabi berhasil menaklukkan kota Mekah pada 8 Ramadan, 10 H atau Januari 630 M, puluhan ribu orang Arab berbondong-bondong masuk Islam. Umumnya, mereka masuk Islam bukan karena "pilihan yang bebas", tetapi karena melihat suatu kenyataan yang tak bisa mereka tolak, yakni Islam menjadi agama yang secara "politik" menang di tanah Arab. Bergabung dalam agama "baru" itu tentu akan lebih menguntungkan ketimbang bertahan dalam "agama lama" yang sudah kalah dan merosot. Dengan kata lain, mereka yang masuk Islam karena alasan politik pada saat itu jauh lebih banyak ketimbang masyarakat Arab yang masuk Islam karena "kesadaran intrinsik" seperti kasus yang terjadi pada sejumlah sahabat utama yang masuk Islam pada era awal. Contoh yang terkenal adalah Umar ibn Khattab yang masuk Islam karena suatu "momen puitis" yang mengharukan. Sebagaimana kita tahu, Umar masuk Islam setelah mendengar lantunan ayat Qur'an yang dibacakan oleh saudara perempuannya. Mendengar ayat-ayat Qur'an yang "tak lazim", Umar seperti terserang "setrum" karena takjub atas ayat-ayat itu. Ia langsung memeluk agama baru itu. Menjadi Muslim a la Umar ini sudah jarang terjadi pada masa-masa dakwah Nabi paska-penaklukan Mekah. Itulah yang menjelaskan kenapa begitu Nabi wafat, ribuan orang-orang Arab meninggalkan Islam dan kembali ke agama mereka yang lama. Mereka masuk Islam lebih karena alasan politik, dan karena itu Islam tidaklah masuk dan menghunjam dalam jiwa mereka. Dalam masyarakat pra-modern, pindah agama karana alasan politik, komunal, atau hubungan-hubungan sosial yang lain sangat lazim.

Pada masa lampau, masyarakat biasanya mengikuti agama sang raja. Dalam Eropa abad pertengahan, dikenal suatu ungkapan Latin, cuius regio eius religio, siapa memliki wilayah, ia memiliki agama pula. Dengan kata lain, siapapun yang berkuasa dalam suatu negara, maka ia berhak menentukan agama yang harus dipeluk oleh seluruh penduduk dalam negara itu. Inilah yang menjelaskan kenapa pada zaman pra-modern dulu, seorang raja yang pindah ke agama baru akan diikuti oleh sebagian besar penduduknya. Bagi kaum misionaris, hal ini tentu menguntungkan sekali. Jika seorang misionaris atau da'i berhasil meyakinkan sang raja untuk masuk ke agama tertentu, maka keuntungan yang diperoleh bisa berlipat-lipat: bukan hanya raja saja yang akan pindah agama, tetapi juga seluruh, atau sekurang-kurangnya sebagian besar, penduduk. Selain, agama itu akan mendapat pengaruh politik yang lebih luas.

Ini adalah contoh pindah agama karena faktor politik yang lazim dan sering terjadi dalam sejarah pra-modern, bukan hanya dalam kasus Islam, tetapi juga agama-agama lain.

Gejala pindah agama karena keputusan yang bebas makin sering kita lihat dalam era modern sekarang ini. Ini tentu berkaitan dengan makin kuatnya konsep individualisme, selain konsep hak asasi yang cenderung memandang agama dan keyakinan sebagai pilihan pribadi. Gejala ini makin luas terjadi di negeri-negeri Barat. Ribuan orang di Amerika, misalnya, menjadi Muslim setiap tahun, bukan karena paksaan keluarga atau masyarakat, tetapi karena pilihan pribadi yang bebas. Begitu juga kita melihat ribuan orang Amerika yang meminati ajaran Budha dan ajaran-ajaran spiritualitas dari Timur; semuanya itu karena pilihan yang bebas.

Tetapi, gejala pindah agama secara sukarela itu tetap lebih kecil dan terbatas jika dibandingkan dengan pola beragama yang konvensional yang sudah kita kenal selama ini, yakni beragama karena mengikuti tradisi keluarga atau masyarakat yang ada. Dengan kata lain, secara sosiologis, umumnya seseorang menjadi Muslim, Kristen, Hindu, Budha atau yang lainnya bukan karena hidayah, petunjuk, pencerahan yang datang dari Tuhan, karena intervensi dari "atas", tetapi karena lingkungan sosial. Kalau mau, anda bisa mengatakan: karena "kebetulan sosial".

Ketiga, seseorang yang memeluk agama karena faktor komunal atau lingkungan sosial bukan berarti ia memeluk agama itu dengan terpaksa. Ia memang menerima agama dari keluarga atau lingkungan sosial di sekitarnya, dan untuk itu dia tak bisa memilih. Tetapi, setelah dewasa, ia pelan-pelan mempelajari agama itu dan melakukan internalisasi atau pembatinan atas doktrin-doktrinnya. Agama yang semula ia terima secara "alamiah", kemudian mengalami internalisasi. Setelah dewasa, ia bisa memilih tetap dalam agamanya, atau keluar. Ketika memilih tetap berada dalam agama yang ia peroleh dari lingkungan sekitar, maka di situ dia telah mengambil suatu keputusan. Dengan kata lain,setelah yang bersangkutan beranjak dewasa, agama yang semula "diberikan" oleh lingkungan, menjadi agama yang ia "pilih" dengan bebas.

Tetapi, gejala lain juga layak kita perhitungkan. Banyak pula kita saksikan orang-orang yang menerima agama dari keluarga dan lingkungan sekitar sejak kecil, dan ia tak berusaha lebih lanjut untuk mempelajari dengan baik agama itu, sehingga dengan demikian ia mampu mengubah agama yang semula "terberi" menjadi agama yang dipilih dengan bebas. Dalam konteks Islam, kita mengenal istilah "Muslim nominal", misalnya, yakni seseorang yang memeluk Islam dari segi nama saja, tanpa memahami ajaran agama itu dengan baik. Muslim nominal adalah bentuk dari keberagamaan komunal yang lazim kita lihat dalam masyarakat. Bagi mereka, agama bukan merupakan "tindakan rohaniah" yang melibatkan keputusan yang bebas dan penuh kesadaran, tetapi identitas komunal belaka. Mereka bisa marah luar biasa saat simbol-simbol agama yang ia peluk dicederai oleh orang lain, terutama "orang lain" yang dianggap musuh, walaupun ia tak pernah menjalankan ibadah dengan baik.

Wa al-Lahu a'lam bi al-Shawab.


Friday, April 25, 2008

Apakah Masalahnya Selesai Jika Ahmadiyah Menjadi Agama Baru?

Ruzbihan Hamazani

Keberatan sejumlah kelompok Islam terhadap Ahmadiyah, antara lain, adalah bahwa sekte ini menganut ajaran yang berlawanan dengan akidah Islam, terutama kepercayaan tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Ini berlawanan dengan doktrin standar Islam tentang finalitas kenabian Muhammad. Mereka mengatakan: jika Ahmadiyah mau tetap diakaui sebagai bagian dari umat Islam, maka sekte itu harus kembali ke ajaran Islam yang benar. Dengan kata lain, harus meninggalkan doktrin kenabian mereka. Jika tidak, mereka harus mendirikan agama baru di luar Islam.

Banyak tokoh Islam yang berpandangan bahwa masalah Ahmadiyah akan selesai jika kelompok ini mau memisahkan diri dengan baik-baik dari Islam, dan mendirikan agama baru. Pandangan ini tampaknya mendapat banyak pengikut di kalangan tokoh-tokoh Islam. Mulai dari Ketua MPR, anggota DPR, menteri agama, sejumlah tokoh dalam MUI, dan tokoh-tokoh Islam lain pernah mengemukakan hal ini secara publik lewat media massa.

Pertanyaannya: apakah betul jika Ahmadiyah menjadi agama baru, masalahnya akan selesai? Apakah benar, jika kelompok ini menyatakan diri sebagai agama baru di luar Islam, dia tidak dimusuhi lagi oleh sejumlah kelompok dalam Islam sebagaimana kita lihat saat ini?

Saya, terus terang, ragu sama sekali. Argumen ini dikemukakan oleh banyak kalangan Islam (terutama yang konservatif dan fundamentalis) sebagai "taktik sementara" untuk melumpuhkan Ahmadiyah sebagai sebuah jamaah. Saya tidak yakin, kalangan Islam yang memakai argumen ini benar-benar memiliki komitmen untuk tidak mengganggu Ahmadiyah setelah sekte itu benar-benar memisahkan diri sebagai agama baru. Sejak awal, kelompok ini memusuhi ide toleransi dan anti pluralisme. Bagaimana mungkin kita bisa berharap mereka akan bersikap "pluralis" dan toleran terhadap Ahmadiyah setelah sekte ini benar-benar menjadi agama baru? Bagaimana mungkin kita berharap orang-orang seperti Khalil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, FUI, MMI, HTI bisa bersikap pluralis? Mengharap mereka bersikap demikian sama saja berharap "dua ditambah dua sama dengan lima", alias mustahil.

Taruhlah Ahmadiyah benar-benar menjadi agama baru, meskipun pengandaian ini sangat sulit terjadi, maka sejumlah masalah baru akan tetap muncul kembali. Sebagaimana kita tahu, Ahmadiyah masih memakai Qur'an dan hadis sebagai dua sumber utama dalam kepercayaan mereka. Mereka juga masih beribadah persis dengan umat Islam yang lain. Mereka masih menjadikan Nabi Muhammad sebagai panutan utama. Seluruh akidah mereka di luar masalah kenabian sama persis dengan akidah umat Islam yang lain. Kalau pun ada perbedaan, paling jauh hanya menyangkut interpretasi mengenai beberapa hal yang kurang terlalu penting (misalnya soal kematian Nabi Isa di mana mereka memiliki interpretasi sendiri yang berbeda dari umumnya kalangan Islam dan Kristen).

Jika Ahmadiyah menjadi agama baru, umat Islam "ortodoks" bisa jadi akan mengangkat masalah baru yang tak kalah rumitnya. Mereka bisa saja mempersoalkan penggunaan doktrin, ajaran, simbol dan atribut Islam oleh Ahmadiyah yang sudah menjadi "agama" baru itu. Ingat protes sejumlah kalangan Islam beberapa waktu lalu atas komunitas Kristen di Jakarta yang memakai simbol Islam dalam ibadah natal, seperti baju koko dan peci, dua jenis pakaian yang dianggap sebagai milik khas umat Islam. Jika umat Kristen memakai baju koko saja diprotes karena dianggap "mencuri" simbol Islam, apa yang terjadi nanti jika Ahmadiyah menjadi agama baru, sementtara jamaahnya masih beribadah dan berkeyakinan sama persis dengan umat Islam yang lain?

Pertanyaan yang sulit dijawab oleh kalangan Islam adalah: bagaimana mungkin "agama baru" (yakni Ahmadiyah) memiliki akidah, ajaran, dan ibadah yang sama persis dengan Islam? Bagaimana mungkin seorang Ahmadiyah yang melaksanakan salat, puasa, zakat, dan haji sama persis dengan umat Islam yang lain dianggap mengikuti agama lain hanya gara-gara perkara kecil, yakni interpretasi soal kenabian?

Masalah lain: jika Ahmadiyah menjadi agama baru, apakah mereka masih diperbolehkan mendirikan masjid dan beribadah dengan cara yang sama dengan umat Islam yang lain? Apakah jamaah Ahmadiyah masih diperbolehkan memakai Qur'an dan hadis sebagaimana umat Islam yang lain? Apakah mereka masih diperbolehkan melaksanakan haji yang masih mereka anggap sebagai kewajiban agama, sebagaimana keyakinan umat Islam yang lain?

Jika tuntuntan agar Ahmadiyah menjadi agama baru adalah meminta jamaah Ahmadiyah meninggalkan seluruh doktrin dan atribut Islam, dan sebaliknya menciptakan agama baru yang sama sekali beda dengan Islam dalam segala hal, maka ini permintaan yang konyol. Sebaliknya, jika permintaan itu hanya sebatas Ahmadiyah mendeklarasikan diri sebagai agama baru karena persoalan doktrin kenabian, pertanyaannya: apakah setelah itu ada jaminan tak ada gangguan lagi pada mereka di masa mendatang?

Jaminan itu jelas tak ada sama sekali. Sebagaimana kita tahu, agama resmi yang jelas-jelas sudah diakui negara seperti Kristen saja masih mengalami banyak kesulitan untuk mendirikan tempat ibadah, misalnya, dengan alasan melanggar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dibuat begitu rupa sehingga menguntungkan umat Islam yang mayoritas; jika Kristen saja mengalami banyak kesulitan, apalagi Ahmadiyah yang tentunya jauh lebih kecil ketimbang agama Kristen. Saya menduga, jikapun Ahmadiyah menjadi agama baru nantinya, mereka akan mengalami tekanan yang jauh lebih berat daripada yang mereka hadapi saat ini. Mereka kemungkinan besar akan dihalangi untuk membangun masjid karena dianggap akan bisa menyesatkan kalangan awam. Mereka akan dilarang untuk berdakwah, dengan alasan bahwa dengan memakai doktrin dan ajaran Islam yang sama dengan ajaran yang dianut oleh umat Islam yang lain, dakwah itu bisa menyesatkan masyarakat luas. Ingat, Ahmadiyah di Pakistan yang dipaksa menjadi kelompok di luar Islam, hingga saat ini masih mengalami masalah dengan kolompok Islam arus utama yang lain.

Dengan kata lain, dengan menjadi agama baru, Ahmadiyah menjadi lebih mudah dijadikan sasaran empuk untuk diserang oleh kalangan Islam. Selama Ahmadiyah masih berada di dalam Islam, kalangan Islam konsevatif-fundamentalis itu masih mengalami kesulitan untuk melancarkan "serangan penuh" atas Ahmadiyah. Begitu Ahmaidyah resmi keluar dari Islam dan menjadi agama baru, mereka bisa diserang dengan lebih leluasa.

Harus kita ingat, kebencian kelompk Islam konservatif-fundamentalis Islam tidak terbatas pada Ahmadiyah. Saya melihat, Ahmadiyah hanya sasaran antara saja. Jika mereka berhasil "melumpuhkan" sekte kecil ini, mereka akan melancarkan eksperimen serupa untuk menyerang kelompok-kelomok lain yang mudah dijadikan sasaran tembak, seperti sekte Syi'ah, atau kalangan pemikir Islam yang berpikir kritis yang selama ini juga sudah sering mereka benci.

Tujuan kalangan konservatif adalah: mereka mau menjadi pemilik tunggal merek "Islam". Mereka mau menjadi "diktator keyakinan".

Allahumma inna na'udhu bika min al-ghuluwwi fi al-din, wa na'udhu bika min al-mutasyadidin wa al-mutatharrifin.


Tuesday, April 22, 2008

Raja Abdullah dan Dialog Antaragama

Ruzbihan Hamazani

Kerajaan Saudi Arabia selalu dikenal oleh dunia luar karena orientasi keagamaannya yang sangat konservatif, kaku, dan eksklusif, antara lain karena ideologi resmi negeri itu, yakni Wahabisme. Tetapi kali ini, kita mendengar berita yang sama sekali lain dari kerajaan yang "menaungi" dua tanah suci Islam itu.

Pada 24 Maret 2008 yang lalu, Raja Abdullah ibn Abdul Aziz, mengemukakan ajakan tentang tentang pentingnya dialog antaragama, terutama antara Islam, Yahudi dan Kristen. Ajakan ini disampaikan oleh Raja Abdullah dalam sebuah seminar tentang "Budaya dan Penghargaan Atas Agama-Agama" yang diadakan di Ryadh pada bulan Maret lalu. Ia, antara lain, mengemukakan tentang perlunya tokoh-tokoh antaragama untuk duduk dalam satu meja untuk mendiskusikan tantangan bersama yang dihadapi oleh agama-agama besar dunia saat ini, antara lain merosotnya institusi keluarga dan maraknya ateisme. Ajakan Raja Abdullah ini menarik, karena di sana ia menyebut tokoh-tokoh antaragama mereka yang percaya pada Tuhan yang sama. Raja Abdullah juga berkunjung ke Vatikan pada November tahun lalu, dan berdiskusi dengan Paus Benediktus XIV tentang isu serupa.

Langkah Raja Abdullah ini mungkin tidak terlalu istimewa jika dilakukan oleh kepala negara Islam yang lain, misalnya Indonesia, Malaysia, atau Mesir. Ide tentang dialog antaragama bukan sesuatu yang asing dalam beberapa negara dengan penduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Tetapi, bobot ajakan ini menjadi sama sekali lain ketika keluar dari kerajaan Saudi, karena beberapa alasan.

Pertama, sikap ortodoksi agama di Saudi terhadap agama-agama lain di luar Islam masih sangat keras dan penuh kebencian. Jangankan bersikap positif terhadap agama lain di luar Islam, bahkan terhadap sesama sekte dalam Islam sendiri, para ulama Saudi masih sangat keras dan kaku. Ulama Saudi dikenal paling sengit melancarkan kampanye melawan sekte Syi'ah yang dianggap sesat. Penganut Syi'ah tidak bisa melaksanakan keyakinannya dengan bebas di Saudi hingga sekarang. Mereka tak diperbolehkan mendirikan masjid, madrasah, atau lembaga-lemabaga lain secara otonom. Simbol-simbol Syi'ah dilarang keras untuk muncul ke permukaan. Fatwa mengenai sesatnya sekte Ahmadiyah juga bermula dari negeri ini. Fatwa itu dikeluarkan pada 1974 dalam sebuah konferensi yang diadakan oleh Liga Dunia Muslim (Rabitha al-'Alam al-Islami, World Muslim League), sebuah lembaga internasional yang didirikan oleh Kerajaan Saudi pada 1962 sebagai "angkutan" untuk mengekspor ideologi Wahabi ke seluruh dunia, terutama dunia Islam. Fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah kemungkinan besar diilhami oleh, dan merujuk pada fatwa "internasional" yang muncul di Saudi itu.

Hingga sekarang, di seluruh kerajaan Saudi berlaku larangan untuk mendirikan gereja atau tempat ibadah agama lain. Padahal, dengan makin banyaknya orang asing yang bekerja di negeri itu, kebutuhan masyarakat non-Muslim untuk memiliki tempat ibadanya sendiri makin meningkat.

Meski kedengaran lucu, hingga saat ini negeri Saudi menerapkan larangan bagi perempuan untuk menyetir mobil. Tentu larangan ini didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana diinterpretasikan oleh ulama di sana. Perempuan juga tidak bisa melakukan perjalanan jika tidak ditemani oleh seorang lelaki kerabat dekatnya (muhrim). Pembatasan atas perempuan di ruang publik berlaku begitu luas, sehingga mereka nyaris kehilangan kebebasan sipil yang selayaknya mereka nikmati sebagai seorang warga negara.

Kedua, negara Saudi memiliki tempat yang sangat istimewa di mata dunia Islam. Negeri Saudi, bagaimanapun, tetap dilihat oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai tanah kelahiran agama mereka; juga negeri di mana dua tanah suci Islam, Mekah dan Madinah, berada. Ke negeri inilah, jutaan umat Islam menghambur setiap tahun untuk melaksanakan ibadah haji. Di negeri ini pula terdapat sejumlah institusi pendidikan Islam yang menjadi tujuan ribuan mahasiswa Islam dari seluruh dunia untuk belajar bahasa Arab dan, tentu, Islam. Meskipun tidak seluruhnya persis, Saudi Arabia adalah semacam "Vatikan" bagi dunia Islam. Oleh karena itu, perubahan-perubahan di negeri itu akan dipantau dengan penuh minat dan semangat oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Jika terjadi reformasi pemikiran keagamaan di negeri Saudi menuju kepada arah yang lebih terbuka dan toleran, maka dapat diduga bahwa hal ini akan memiliki pengaruh yang cukup penting di dunia Islam secara umum.

Ajakan Raja Abdullah untuk dialog antaragama ini menandakan terjadinya perubahan yang sangat penting dalam diskursus keagamaan di negeri Saudi. Yang menarik, Raja Abdullah juga menyebut bahwa beberapa ulama di Saudi telah memberikan "lampau hijau" untuk gagasannya yang sangat tak lazim dalam konteks pemikiran keagamaan di Saudi itu. Jika hal ini benar, maka inisiatif dialog ini bukan semata-mata merupakan pikiran pribadi Raja Abdullah, tetapi juga menggambarkan suatu semangat baru yang berkembang di kalangan ulama Saudi. Tentu, kita tak bisa berharap banyak akan terjadi perubahan "revolusioner" di kalangan ulama Saudi yang sudah berpuluh-puluh tahun tumbuh dalam indoktrinasi Wahabisme. Tetapi, setiap ide tentu bisa berubah. Konteks sosial baru saat ini memaksa para ulama dan sarjana Islam di Saudi untuk memikirkan ulang sejumlah tafsiran Islam yang sudah mapan selama ini.

Jika kita ikuti media Saudi saat ini, kita akan menjumpai suatu perdebatan yang menarik di kalangan para intelektual, sarjana dan ulama Saudi. Perdebatan ini menandai adanya semacam opsisi terhadap sejumlah pandangan keagamaan yang telah mapan. Dengan kata lain, angin perubahan dalam wacana agama mulai bertiap kencang di negeri itu. Perdebatan ini sebetulnya sudah berlangsung lama, tetapi karena media dan lingkungan intelektual sama sekali represif, perubahan wacana itu tidak bisa muncul ke permukaan. Momentum perubahan terjadi karena konstelasi dunia internasional yang berubah sama sekali setelah peristiwa 11 September. Tekanan dari dunia luar begitu keras atas negeri Saudi untuk melakukan perubahan dalam kebijakan politik dan arah pendidikan keagamaan. Kritik dari dunia luar juga sangat deras terarah kepada ideologi resmi kerajaan Saudi, Wahabisme, yang dianggap sebagai "biang kerok" sikap-sikap keagamaan yang eksklusif dan benci kolompok lain.

Tentu perubahan dalam diskursus keagamaan di Saudi itu bukan semata-mata diakibatkan oleh tekanan dari dunia luar. Tekanan itu hanyalah pemicu saja. Yang lebih penting adalah bahwa generasi baru di Saudi mulai berani mengkritik otoritas keagamaan di sana, serta mengemukakan pendapat yang berbeda. Kita bisa membaca suara-suara "disonan" atau oposisi ini dalam koran-koran terkemuka, seperti Al-Wathan, misalnya. Sejumlah situs juga bertebaran di dunia virtual untuk menyuarakan perubahan ini. Salah satu situs yang menarik adalah Aafaq (secara harafiah artinya: horison) dan Tanweer (secara harafiah: pencerahan). Di sana kita bisa melihat perubahan yang signifikan dalam pemikiran keagamaan di kalangan generasi baru Arab.

Sebagaimana di Indonesia, angin perubahan berkenaan dengan pemikiran keagamaan bertiup kencang saat ini di Arab Saudi. Raja Abdullah dikenal karena sikapnya yang cenderung kepada perubahan dan reformasi (ishlah) ini. Ajakan Raja Abdullah untuk dialog antaragama adalah cerminan dari iklim pemikiran yang sudah mulai berubah itu.

Sebagaimana di Indonesia pula, perubahan ini harus menghadapi perlawanan para ulama ortodoks yang memandang diri mereka sebagai "penjaga kebanaran". Tuduhan yang mereka kemukakan selalu klise di mana-mana: ide-ide baru menyimpang dari konsensus ulama (ijma'; atau meminjam istilah kaum ortodoks selama ini "ma'lum min al-din bi al-darurah"), melawan ajaran Islam, menghina Allah dan RasulNya, membahayakan akidah, dst. Ajakan Raja Abdullah untuk dialog ini juga ditentang olah banyak kalangan ulama Saudi yang konservatif.

Kita berharap kerajaan Saudi berubah pelan-pelan, baik dari segi politik dan budaya, sehingga pemikiran keagamaan yang baru dan lebih terbuka yang muncul di kalangan generasi belakangan ini pelan-pelan muncul ke permukaan. Jika Saudi bisa memberi contoh kepada dunia Islam tentang corak Islam yang moderat, toleran, pluralis, dan terbuka, tentu hal ini akan sangat besar pengaruhnya bagi umat Islam di luar Saudi.

Selama ini, ketika mendengar kata "Saudi Arabia", kesan cepat yang langsung terbit di benak sebagian besar umat Islam di Indoensia adalah hal-hal berikut: tanah suci, air zamzam, kurma, salat tarawih yang selalu ditayangkan langsung setiap bulan puasa, padang pasir, unta, pekerja TKI (berikut pelecehan terhadap mereka), dst. Di masa mendatang, kita berhadap, saat mendengar kata "Saudi Arabia", umat Islam akan membayangkan sejumlah gagasan penting: toleransi, dialog antaragama, penghormatan atas hak-hak perempuan, demokrasi, kebebasan berpikir, dst.

Wa al-Lahu a'lam bi al-shawab.

Sunday, April 20, 2008

Betulkah Doktrin Ahmadiyah Bisa Dianggap "Blasphemy"?

Ruzbihan Hamazani

Saya terpaksa menulis sekali lagi tentang Ahmadiyah, dan kali ini yang ingin saya soroti bukan mengenai aspek kebebasan agama seperti saya tulis dalam artikel sebelumnya. Kali ini, titik pusat pembahasan saya adalah mengenai kaitan antara ajaran Ahmadiyah dan "blasphemy" atau pelecehan dan penodaan ajaran agama, sebagaimana dituduhkan oleh beberapa kalangan.

Salah satu alasan yang dipakai oleh Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat untuk melarang kegiatan Ahmadiyah adalah penodaan ajaran agama Islam. Dalam pandangan Badan Pengawas itu, ajaran Ahmadiyah, persisnya mengenai adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad, bertentangan dengan ajaran standar sekte dominan Islam di Indonesia, yakni sekte Sunni. Bukan hanya itu, doktrin Ahmadiyah itu juga dianggap sebagai menodai ajaran sekte tersebut.

Cara berpikir ini tentu mudah diikuti oleh kalangan awam. Argumen ini juga bisa dengan mudah dipakai sebagai propaganda untuk memberangus kalangan yang berbeda pendapat dengan doktrin resmi yang dianut oleh golongan yang dominan dalam masyarakat, dengan alasan yang sederhana: menghina ajaran agama.

Argumen semacam ini sangat berbahaya dan tak boleh dibiarkan gentayangan dalam masyarakat sehingga akhirnya menimbulkan suasana yang sama sekali tak toleran terhadap perbedaan.

Pandangan Ahmadiyah bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad memang berlawanan dengan pandangan umum yang dianut oleh umat Islam di mana-mana. Tetapi, menganggap pandangan itu sebagai penghinaan atas ajaran Islam jelas tak masuk akal, selain berbahaya. Pandangan Ahmadiyah ini lahir karena suatu interpretasi yang berbeda atas konsep kenabian dalam Islam. Kita tak bisa menganggap bahwa seseorang telah menodai agama hanya karena melakukan interpretasi atas ajaran agama, dan kemudian interpretasinya itu membawa dia kepada pandangan yang berbeda dengan doktrin resmi Islam. Interpretasi dan re-interpretasi adalah proses wajar yang selalu terjadi dalam masyarakat agama. Ajaran agama selalu rentan ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda oleh anggotanya.

Menafsir bukanlah menodai agama. Jika seseorang atau golongan bisa dihukum karena membawa tafsiran yang berbeda dengan doktrin resmi dalam agama itu, maka ini bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi, juga oleh agama Islam sendiri (tentu Islam sebagaimana diinterpretasikan oleh kalangan yang berpikiran terbuka; bukan kalangan fundamentalis). Jika menafsir dan berbeda pendapat dengan sekte dominan dianggap sebagai penodaan agama, maka banyak kelompok Islam di Indonesia yang harus dilarang. Pertama-tama yang harus dilarang adalah kalangan Syi'ah karena sekte ini membawa pandangan tentang "kepemimpinan" (imamah) yang berbeda dengan pandangan dominan di kalangan Sunni. Para intelektual Islam yang mencoba memberikan tafsiran yang lebih kontekstual tentang larangan nikah beda agama, misalnya, juga bisa dianggap menodai agama, karena pandangannya berbeda dengan doktrin resmi kalangan Sunni ortodoks di Indonesia saat ini.

Jika ini diterus-teruskan, maka kita akan menyaksikan "kediktatoran doktrin Sunni" di Indonesia, atau tepatnya "kediktatoran MUI", persis seperti yang berjalan di Saudi Arabia. Jika seseorang dengan mudah dianggap menodai agama hanya karena berlawanan dengan doktrin agama yang standar, maka kita membiarkan negeri kita terjerembab ke dalam "negeri Taliban" yang memalukan itu.

Kalangan Islam konservatif di Indonesia memang dengan sengaja ingin mendesak negara Indonesia mengarah ke sana. Kita tak boleh membiarkan ini terjadi. Kita harus mengkritik kecenderungan "otoriter" seperti ini. Yang harus dikembangkan dalam masyarakat adalah bukan membangkitkan "paranoia" dan ketakutan terhadap ajaran sekte tertentu. Cara-cara yang ditempuh oleh kalangan pembenci Ahmadiyah di Indonesia sekarang ini persis seperti metode yang dipakai oleh Presiden Bush di Amerika Serikat saat ini: yakni menyebarkan ketakutan di kalangan masyarakat Amerika terhadap bahaya terorisme, Usamah bin Ladin, dsb, agar masyarakat terus dikuasai oleh paranoia, dan dengan demikian mudah digiring untuk terus memilih Partai Republik. Cara ini juga sekarang ditempuh oleh kalangan Islam konservatif-fundamentalis di Jakarta dan beberapa kota saat ini: mereka menebarkan ketakutan tentang Ahmadiyah di mana-mana, sehingga dengan demikian mereka bisa beralasan bahwa masyarakat dirundung keresahan dan kebingungan. Padahal merekalah yang "memprovokasi" masyarakat agar resah. Dengan alasan itu, mereka bisa meminta pemerintah untuk "mendisiplinkan" Ahmadiyah. Ini adalah cara kotor, dan tak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai "strategi Machiavellian" untuk meraih dukungan masyarakat.

Yang harus dikembangkan dalam masyarakat adalah sikap terbuka untuk menerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti harus setuju dengan pandangan orang lain yang kita anggap "salah" atau "sesat". Sikap itu hanya ingin mengajarkan kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah hal yang wajar, dan harus disikapi dengan rasional, kepala dingin, dan kritis, bukan dengan ketakutan dan paranoia.

Sekali lagi, berpendapat dan menafsir bukanlah kejahatan dan penodaan agama.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.


Saturday, April 19, 2008

Masalah Ahmadiyah dan Kebebasan Keyakinan

Ruzbihan Hamazani

Masalah yang dihadapi oleh jamaah Ahmadiyah di Indonesia saat ini bukan semata-mata masalah sekte kecil yang disesatkan oleh banyak kelompok Islam itu. Ini bukan sekedar apakah kita setuju Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, benar-benar nabi "baru" atau tidak. Masalah Ahmadiyah menyangkut soal yang jauh lebih besar dan mendasar, yakni kebebasan agama dan keyakinan.

Saat ini, tuntutan pembubaran Ahmadiyah berkumandang di beberapa kota. "Aktor (non)intelektual" yang berada di balik gerakan ini adalah orang-orang dan kelompok yang sama yang sudah sering kita dengar: Abdurrahman Assegaf, Kholil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, HTI, MMI, FUI, dll. Ancaman terhadap warga Ahamadiyah juga meningkat di banyak tempat. Sulit ditolak, bahwa MUI, secara tak langsung, berada di balik gejala peningkatan kekerasan ini. Pada 29 Juni 2005, MUI mengeluarkan sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan ajaran Ahmadiyah. Fatwa ini seperti memberi justifikasi tak langsung terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang selama ini mengancam secara fisik jamaah Ahmadiyah. Pihak MUI memang selalu menolak keras jika dianggap bertanggungjawab atas kekerasan itu. Tetapi bahwa MUI tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencegah kekerasan itu, sebaliknya hanya melemparkan tanggungjawab kepada pihak kepolisian, adalah tanda yang sangat jelas bahwa lembaga ini memberi "stempel tak langsung" terhadap kekerasan tersebut.

Baru-baru ini, rapat Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (selanjutnya: Badan Pengawas) memutuskan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, dan menyarankan agar diterbitkan Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan sekte ini di Indonesia. Salah satu pihak yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu adalah Departemen Agama. Dalam hal ini, saya menduga, Depag-lah yang paling berperan penting dalam memutuskan Ahmadiyah sebagai sekte sesat. Peserta lain dalam rapat tersebut, seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian dalam Negeri, tampaknya kurang mempunyai otoritas dalam masalah yang menyangkut kepercayaan orang Islam ini. Satu-satunya kemungkinan yang paling masuk akal adalah Depag. Bukan tak mustahil, pendapat Depag dipengaruhi, antara lain, oleh fatwa MUI. Jika ini benar, maka pengaruh fatwa MUI sangat besar sekali dalam membentuk kebijakan pemerintah mengenai masalah agama (baca: Islam).

Bagaimana kita menyikai perkembangan masalah Ahmadiyah ini?

Sekali lagi harus ditegaskan bahwa masalah Ahmadiyah ini bukan melulu soal sebuah sekte kecil, tetapi menyangkut masalah yang lebih besar, yakni kebebasan beragama dan keyakinan yang dijamin konstitusi negeri kita. Ini adalah jaminan yang berlaku untuk seluruh warga negara. Keyakinan, apalagi menyangkut iman yang sangat pribadi, tidak bisa dipaksakan oleh siapapun. Negara juga tidak bisa memaksakan keyakinan tertentu kepada penduduknya. Selama suatu keyakinan tidak menimbulkan akibat yang melanggar hukum negara, maka negara wajib memberikan perlindungan kepada pemeluk keyakinan itu, tak peduli apakah keyakinan itu dianggap benar atau sesat oleh kelompok tertentu.

Prinsip ini perlu ditegaskan terus-menerus, sebab di tengah merebaknya konservatisme agama saat ini, banyak orang lupa bahwa Indonesia bukan milik golongan tertentu, bukan pula monopoli sekte agama tertentu. Indonesia adalah milik semua golongan dan kelompok yang hidup di negeri ini. Jika suatu kelompok agama menganggap ajaran kelompok lain sesat, maka negara tak boleh ikut campur dengan memihak salah satu golongan. Jika negara memihak kelompok yang anti-Ahmadiyah, lalu melarang kegiatan sekte ini sama sekali, maka pelan-pelan Indonesia sudah menjadi negara semi-teokrasi, atau sekurang-kurangnya semi-agama, berlawanan dengan watak dasar negeri kita sebagai negara nasional berdasarkan Pancasila dan konstitusi. Negara Indonesia memang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dalam sila pertama Pancasila. Tetapi negara Indonesia tidak memihak salah satu keyakinan, mazhab, atau tafsir tertentu terhadap suatu agama.

Dengan kata lain, menghadapi keragaman keyakinan dalam masyarakat, negara harus netral. Perbedaan penafsiran dalam agama adalah hal biasa. Dalam perbedaan itu, tidak jarang satu kelompok menyesatkan yang lain. Itu semua adalah gejala yang lumrah pada semua agama. Masalah sesat-menyesatkan bukan hanya ada pada Islam. Dalam Kristen, hal itu juga ada, meskipun istilah yang dipakai mungkin berbeda. Di mata banyak gereja-geraja arus-utama di Indonesia, sekte-sekte seperti Saksi Jehovah, misalnya, dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Kristen "ortodoks".

Begitu pula, di mata sebagian kalangan Islam, praktek ziarah kubur, misalnya, dianggap sebagai tindakan khurafat dan syirik. Kita semua tahu, syirik adalah dosa terbesar dalam Islam, mungkin malah lebih besar dari sekedar beranggapan bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad. Sementara itu, salah satu golongan Islam yang melestarikan tradisi ziarah kubur adalah Nahdlatul Ulama. Apakah pemerintah akan melarang kegiatan NU karena dianggap "sesat" oleh kelompok Islam lain gara-gara mengamalkan praktek syirik ini?

Di mata umat Islam, agama Kristen jelas mengandung doktrin yang mengarah kepada syirik, misalnya trinitas. Dengan memakai standar doktrin Islam, jelas Kristen dan sejumlah agama lain adalah agama sesat. Apakah dengan demikian pemerintah akan melarang kegiatan agama-agama itu?

Kalau pihak Badan Pengawas ingin melarang Ahmadiyah karena alasan sesatnya sekte tersebut, maka banyak sekte, golongan dan mazhab yang harus dilarang di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama. Tentu, pemerintah tak akan bertindak konyol seperti itu, lalu melarang seenaknya semua sekte yang dianggap "sesat". Jika ini terjadi, Indonesia sudah berbalik 180 derajat menjadi negara agama yang melakukan inkwisisi atau pengadilan keyakinan seperti dalam sejarah Eropa pada zaman kegelapan dulu.

Hal lain yang perlu dipersoalkan adalah: atas alasan apa suatu sekte dianggap sesat? Sudah tentu, sesat tidaknya suatu sekte atau golongan biasanya ditentukan oleh kelompok yang dominan. Karena sekte dominan di Indonesia adalah Sunni, maka keyakinan Ahmadiyah dianggap sesat. Tetapi, belum tentu pendapat umat Islam mengenai hal ini sama. Saya yakin, tidak semua kelompok-kelompok Islam di Indonesia menganggap Ahmadiyah sebagai sesat. Keputusan Badan Pengawas untuk menganggap JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia) sebagai kelompok sesat jelas didasarkan pada pendapat sekte dominan dalam Islam yang diwakili oleh MUI. Tetapi, MUI tidak bisa dianggap mewakili aspirasi seluruh umat Islam Indonesia.

Taruhlah bahwa Ahmadiyah memang "sesat" dalam kaca-mata doktrin Sunni yang dipeluk oleh sebagian besar umat Islam. So what? Seperti sudah saya katakan sebelumnya, kelompok yang dianggap sesat dalam Islam banyak sekali. Masing-masing kelompok sudah biasa menyesatkan kelompok lain. Apakah dengan demikian negara akan turun tangan untuk melarang kelompok-kelompok itu?

Masalah Ahmadiyah ini biarlah menjadi urusan rumah tangga umat Islam sendiri. Biarlah umat Islam berdiskusi terus hingga kiamat soal doktrin finalitas kenabian Muhammad itu. Setiap agama selalu memiliki sejumlah "isu panas" yang selalu mereka diskusikan dalam zaman ke zaman. Negara sebagai lembaga publik yang netral tidak selayaknya mencampuri urusan rumah tangga agama itu.

Sungguh menyedihkan bahwa pejabat tinggi negara seperti Menteri Agama, anggota DPR, dan para pejabat yang ikut dalam rapat Badan Pengawas itu tidak mengerti prinsip yang sederhana ini. Kalau Menteri Agama sebagai pribadi punya pandangan bahwa Ahmadiyah adalah sekte sesat, silahkan saja. Tetapi dia tidak bisa memakai aparat negara untuk melarang sekte sesat itu. Begitu juga, jika ada anggota DPR secara pribadi memiliki keyakinan yang sama, itu hak dia sepenuhnya. Tetapi dia tak bisa memakai jabatannya sebagai anggota lembaga publik (baca: parlemen) untuk mempengaruhi kebijakan publik yang berakibat pada perampasan kebebasan dasar warga negara, dhi. kebebasan berkeyakinan.

Keyakinan adalah hal yang sangat pribadi dan mendasar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang dihalangi untuk menjalankan keyakinannya akan mengalami situasi yang serupa dengan orang yang dihalangi dari hak miliknya. Dalam kedua situasi itu, orang tersebut mengalami perampasan dari harga dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Tugas pokok negara adalah melindungi setiap keyakinan, sebab hanya dengan begitulah warga negara bisa hidup sebagai manusia yang bermartabat.

Sungguh menggelikan anjuran Menteri Agama, sebagian anggota parlemen, dan tokoh-tokoh Islam lain agar warga Ahmadiyah meninggalkan keyakinannya dan "kembali ke jalan yang benar", yakni mengikuti keyakinan kaum Sunni. Anjuran seperti ini sama saja dengan menganjurkan kepada umat Kristen agar masuk Islam saja, sebab agama Kristen adalah sesat.

Seseorang tentu mempunyai kebebasan yang penuh untuk memeluk keyakinan yang ia anggap pas untuk dirinya dan "selera intelektual"-nya. Tak selayaknya keyakinan orang itu dihakimi berdasarkan standar keyakinan orang lain. Negara juga tak boleh turut campur dalam masalah yang sifatnya sangat pribadi itu.

Kita berharap pemerintah tetap konsisten menjalankan konstitusi, melindungi kebebasan keyakinan bagi siapapun tanpa pandang bulu. Kita juga berharap, Surat Keputusan Bersama untuk melarang kegiatan Ahmadiyah sebagaimana direkomendasikan oleh pihak Badan Pengawas itu tidak menjadi kenyataan. Sebagaimana kita juga berharap pemerintah bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok Islam garis keras yang menimbulkan keonaran dengan mengancam keselamatan fisik jamaah Ahmadiyah itu.

Last but not least, Islam sendiri mempunyai prinsip yang tegas: tidak ada paksaan dalam agama, tentu juga dalam keyakinan secara umum. Jaminan konstitusi kita terhadap kebebasan beragama dan keyakinan bukan saja sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia, tetapi juga dengan ajaran Islam.

Al-haqqu min rabbika fa la takunanna min al-mumtarin.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.



Monday, April 14, 2008

Amin al-Khuli tentang "Tajdid": Koreksi

Ruzbihan Hamazani

Artikel saya tentang Amin al-Khuli mengandung sebuah kekeliruan yang fatal, dan untuk itu saya perlu memberikan koreksi. Kekeliruan itu menyangkut penerjemahan kutipan dari al-Khuli, "awwal al-tajdid qatl al-qadim bahthan". Saya semula menerjemahkan ungkapan "qatl al-qadim bahthan" sebagai pembunuhan atas yang lama. Terjemahan ini ternyata salah sama sekali setelah saya merujuk ke kamus al-Mu'jam al-Wasit.

Dalam kamus itu, saya temukan ungkapan idiomatik yang berbasis kata "qatala" yang artinya semula memang "membunuh". Tetapi, ketika dipakai dalam konteks idiom, kata "qatala" menjadi bermakna lain. Ungkapan idiomatik itu adalah, "qatala al-shai'a 'ilman". Ungkapan ini secara harafiah bisa dimengerti sebagai, "seseorang membunuh sesuatu dengan pengetahuan, atau secara sadar". Tetapi pengertian ungkapan itu, secara idiomatik, bukanlah demikian. Dalam kamus tersebut, ungkapan idiomatik itu berarti: "ta'ammaqa fi bahthihi fa 'alimahu 'ilman tamman", yakni, meneliti sesuatu itu secara mendalam sehingga ia mengetahu sesuatu tersebut secara baik.

Dengan demikian, makna ungkapan al-Khuli yang saya kutip itu adalah: permulaan sebuah pembaharun adalah dengan cara meneliti dan memeriksa tradisi atau yang lama secara mendalam. Pembaharuan dimulai bukan dengan membunuh tradisi, tetapi dengan menelitinya secara mendalam, cermat, kritis, tetapi sekaligus juga secara empatik. "Bertaklid" saja pada tradisi tidaklah memadai untuk mencapai pembaharuan; tetapi mengabaikan sama sekali tradisi juga tak tepat.

Tajdid, dengan demikian, adalah hasil dari tiga tindakan sekaligus: menengok ke dan meneliti masa lampau, melihat konteks masa kini, untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik di masa depan. Warisan pemikiran Islam yang ditinggalkan oleh sarjana Islam di masa lampau adalah titik tolak yang sangat baik untuk umat Islam guna merancang kembali peradaban Islam di masa mendatang. Warisan itu harus dibaca kembali, bukan untuk diikuti secara harafiah, tetapi untuk ditafsirkan dan dipahami kembali secara kontekstual.

Kembali kepada Qur'an dan sunnah (ruju' ila al-kitab wa al-sunnah) saja, seperti dikatakan oleh banyak kalangan Islam selama ini, tidak cukup. Umat Islam butuh kembali kepada Qur'an dan sunnah; tetapi juga sekaligus warisan intelektual yang mencerminkan usaha sarjana Islam terdahulu untuk memahami dua sumber itu. Qur'an, sunnah, dan tradisi penafsiran harus dibaca kembali secara kritis dan empatik sekaligus. Inilah jalan tajdid atau pembaharuan. Hanya dengan cara seperti inilah Islam akan menjadi agama yang tak terasing di zaman ini. Itulah tafsiran yang lebih tepat atas kutipan dari al-Khuli.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Sukidi Mulyadi dan Mun'im A. Sirry yang telah menunjukkan kekeliruan saya dalam memahami kutipan dari al-Khuli di atas. Koreksi mereka disampaikan melalui diskusi di milis Pluralitas.

Wa al-Lahu a'lam bi a-shawab.

Sunday, April 13, 2008

Amin al-Khuli tentang "Tajdid"

Ruzbihan Hamazani


[Catatan: Artikel ini mengandung kesalahan fatal, dan saya sudah mengoreksinya dalam tulisan terpisah. Jadi, tolong artikel ini dibaca sekaligus dengan koreksinya. Terima kasih.]


Amin al-Khuli adalah salah satu pemikir penting dari Mesir yang dikenal karena usahanya untuk mengenalkan pendekatan baru dalam tafsir Qur'an. Dia dianggap sebagai salah satu tokoh pembaharu, "mujaddid". Dia juga salah satu murid Muhammad Abduh dan mewarisi gagasan-gagasan pembaharuan yang ia kenalkan selama ini. Salah satu kontribusi penting Amin al-Khuli adalah dalam bidang metode tafsir Qur'an. Dia, antara lain, dikenal karena metode literer (al-manhaj al-adabi) dalam penafsiran Qur'an yang kemudian diterapkan oleh sejumlah sarjana seperti A'ishah bint al-Shathi', isterinya sendiri, dan Muhammad Ahmad Khalafullah yang menulis disertasi tentang kisah-kisah dalam Qur'an yang kemudian dicekal oleh pihak al-Azhar itu.

Nama Amin al-Khuli muncul kembali dan menjadi populer, antara lain, karena sering dirujuk oleh salah seorang sarjana Mesir yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu lalu, yakni Prof. Nasr Hamid Abu Zayd.

Amin al-Khuli dikenal karena beberapa pernyataannya yang menarik. Antara lain adalah, "awwal al-tajdid qatl al-qadimi bahtsan". Pembaharuan, kata al-Khuli, biasa dimulai dengan cara membunuh sesuatu yang lama. Jika yang lama terus dipertahankan, sudah tentu pembaharuan tak akan terjadi. Oleh karena pembaharuan adalah sebentuk "pembunuhan", sudah pasti ia akan menimbulkan perlawanan dari pihak-pihak yang mempertahankan sesuatu yang lama itu, dari kaum "konservatif", yakni mereka yang berusaha mempertahankan (coserve) hal-hal yang telah mapan.

Selanjutnya, al-Khuli menyatakan sesuatu yang menarik sekali sebagai berikut:

"Tu'addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharabu, thumma tushbihu ma'a al-zamani mazhaban, bal 'aqidatan wa ishlahan takhthu bihi al-hayatu khathwatan ila al-amam".

Artinya: pada suatu waktu, pemikiran dianggap sebagai kafir, dan karena itu diharamkan dan dimusuhi; tetapi dengan perkembangan waktu, pemikiran itu kemudian menjadi sebuah mazhab, bahkan akidah dan pembaharuan yang membuat kehidupan terus maju ke depan.

Kalau kita tengok sejarah ide-ide di manapaun di dunia ini, kita akan melihat suatu pola yang nyaris berulang terus-menerus. Sebuah gagasan yang hendak memperbaiki keadaan biasanya bermula sebagai sebuah ide yang dianggap "nyleneh" dan menyimpang. Mula-mula, gagasan itu dimusuhi dan disatroni di mana-mana, dianggap sebagai suatu kekafiran. Tetapi pelan-pelan, gagasan itu, jika sukses mendapatkan pendukung dan dianggap mampu menjawab tantangan zaman, akan menjadi sebuah mazhab yang diikuti oleh banyak orang; dengan kata lain, menjadi sebuah berkah yang membawa kemajuan zaman.

Ini persis dengan sabda Nabi sendiri, "Ja'a al-Islamu ghariban wa saya'udu ghariban kama bada'". Artinya: Islam, sebagai sebuah ide dan gagasan pembaharuan, mula-mula hadir sebagai sesuatu yang asing, dan nantinya akan menjadi asing kembali. Sabda Nabi ini menarik karena memperlihatkan suatu kesadaran tentang sejarah perkembangan sebuah ide. Hadis Nabi ini bisa menjadi semacam "hukum sosial" yang berlaku universal. Kita semua tahu, setiap gagasan baru (bukan hanya Islam) selalu merupakan "benda asing" yang seolah-olah datang dari luar angkasa. Karena ia merupakan sesuatu yang asing, maka ia dimusuhi di mana-mana. Tetapi, itu hanya tahap permulaan. Jika sebuah ide sukses mendapatkan pengaruh sosial yang luas, ia tak menjadi asing lagi. Ia menjadi sebuah "aliran" atau "mazhab" yang diikuti oleh orang banyak, seperti diutarakan oleh Amin al-Khuli itu.

Bagaimana kita menafsirkan bagian terakhir dalam hadis Nabi itu, "wa saya'udu ghariban ka ma bada'a" (dan Islam akan kembali menjadi benda asing seperti pada permulaan)?

Penggalan sabda Nabi ini mengandung banyak kemungkinan tafsir. Salah satu penafsiran yang sering diutarakan oleh kalangan ulama Islam adalah bahwa pada akhir zaman, Islam akan ditinggalkan dan karena itu menjadi ajaran yang terasing. Mereka mengatakan bahwa zaman sekarang ini adalah salah satu indikasi pembenar dari hadis itu, sebab saat ini orang-orang mulai menjauhi Islam seperti keadaan pertama saat agama itu lahir ke dunia.

Saya mengajukan tafsir lain atas hadis itu. Menurut saya, makna hadis itu adalah bahwa pada perkembangannya Islam memang benar-benar akan menjadi sesuatu yang asing kembali. Tetapi "keasingan" di sana terjadi bukan karena orang-orang menjauhi kebenaran yang dibawa oleh Islam. Keasingan itu terjadi karena umat Islam (dhi. sarjana dan pemikir Islam) gagal melakukan penafsiran kembali atas Islam begitu rupa sehingga agama itu terus kontekstual dan sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Karena Islam "dibekukan" pada jenis-jenis penafsiran tertentu yang sudah kedaluwarsa, maka Islam akan menjadi benda asing dan aneh dalam masyarakat.

Contoh yang paling baik adalah praktek Islam seperti pernah dicontohkan oleh Taliban di Afghanistan dulu. Kelompok Taliban ingin menerapkan corak penafsiran Islam zaman pertengahan yang sudah sama sekali kedaluwarsa: misalnya, melarang perempuan kerja, menghukum orang yang mencukur jenggot, memotong tangan pencuri, dan melaksanakan hukum bunuh atau qishas di depan publik, menghancurkan patung Budha di Bamiyan karena dianggap sebagai "berhala" (meniru tindakan Nabi menghancurkan berhala saat penaklukan Mekah dahulu), dst. Tindakan-tindakan Taliban itu diproyeksikan seolah-olah sebagai tindakan yang dibenarkan Islam. Sebagaimana kita tahu, tindakan Taliban itu menyebabkan Islam menjadi agama yang diolok-olok dunia, menjadi benda asing. Sebabnya sederhana: karena kaum Taliban gagal menafsirkan kembali ajaran Islam secara kontekstual.

Keadaan seperti ini bukan khas Taliban, tetapi gejala yang umum di mana-mana, sehingga kita bisa menyebutnya sebagai "talibanisme". Sejarah ide, gagasan, aliran, dan mazhab besar di dunia selalu menunjukkan hal ini. Setelah suatu gagasan berhasil memapankan diri sebagai sebuah mazhab atau agama yang dikawal ketat oleh kaum "ortodoks", maka gagasan itu mengalami apa yang oleh George Lukacs, teoritisi Marksis, sebagai "reifikasi" atau pembendaan dan pembekuan. Ketika gagasan membeku, ia menjadi reaksioner dan anti kepada kemajuan. Pelan-pelan, gagasan itu menjadi asing bagi masyarakat. Jika suatu mazhab ingin terus bertahan, maka tak ada cara lain kecuali melakukan pembaharuan diri dan meninggalkan cara pandang "talibanisme".

Dengan demikian, jika Islam hendak menjadi agama yang tak asing bagi masyarakat, maka usaha pembaharuan (tajdid) adalah niscaya setiap saat. Dan pembaharuan, sebagaimana kata al-Khuli, adalah dengan cara membunuh "yang lama". Tentu yang lama dibunuh untuk kemudian dihidupkan kembali dengan cara lain, yakni dengan cara ditafsirkan ulang.

Wa al-Lahu a'lam bi al-shawab.

Sunday, April 6, 2008

Allahu Akbar: Munajat di Akhir Minggu

Ruzbihan Hamazani

Sejak kecil, aku diajar oleh guru-guruku dan orang-orang di sekitarku untuk memanggilMu dengan nama yang sederhana dan indah: Allah. Tetapi orang tuaku, terutama ibuku, tak pernah berani menyebut namaMu secara telanjang tanpa embel-embel. Ibuku tak pernah menyebutMu Allah saja. Ia selalu membubuhkan sebuah kata penghormatan: Gusti. Ibuku selalu memanggilMu: Gusti Allah. Itulah sebutan yang selalu aku pakai ketika memanggilMu setiap hari, saat salat, usai salat, atau saat aku mengeluh dan meraung karena nasib yang buruk, atau marak dalam kegembiraan karena nasib yang mujur. Puji bagiMu: sumber hidup dan pengharapan, sumber kebajikan dan segala bentuk ajaran moral.

Tetapi aku juga tahu, bahwa Engkau tak bisa diringkus hanya dalam satu nama. Aku tahu, Engkau dinamai dengan pelbagai nama oleh jutaan manusia ciptaanMu di muka bumi ini. Semua nama itu adalah baik adanya. Semua nama itu memperlihatkan perbedaan sudut pandang yang dipakai oleh masing-masing orang dalam memahami dan mendekatiMU. Banyak orang yang khilaf. Banyak orang mengira bahwa Allah, Gusti Hyang Widi, Tian, Yahweh, atau nama-nama lain adalah penanda untuk Zat dan Tuhan yang berbeda-beda. Mereka mengira saat orang Yahudi menyebutMu Yahweh, mereka sedang menyembah Tuhan yang berbeda. Mereka tak pernah tahu, bahwa nama yang berbagai-bagai itu adalah sebutan untuk Tuhan yang sama.

Kadang perih dan sedih merajamku hingga pilu, karena melihat orang-orang bertengkar gara-gara sebutan yang berbagai-bagai dan berbeda-beda itu. Di mataku, mereka yang bertengkar karena ingin "mendefinisikan" Engkau itu adalah seperti anekdot kuno tentang orang buta yang hendak menakrifkan gajah. Si Fulan (yang buta, tentunya!) kebetulan menyentuh telinga gajah yang pipih dan lebar, lalu menyebut gajah sebagai binatang yang menyerupai daun. Si Fulan yang lain kebetulan menyentuh kaki si gajah, lalu menyebutnya sebagai binatang yang mirip batang pohon. Dan seterusnya. Perangai "orang-orang buta" itu tentu menimbulkan keheranan di mata orang-orang yang memiliki penglihatan yang sehat. Gajah tidak bisa didefinisikan berdasarkan penggalan-penggalan tubuhnya. Gajah adalah keseluruhan.

Engkau, Gusti Allah, adalah keseluruhan yang lebih besar dari sebutan-sebutan yang seringkali dipakai oleh hambaMu selama ini. Bahkan sebutan Allah itu pun tak kuasa menggambarkan keseluruhanMu. Ketika hamba-hambaMu menyerukan sejumlah nama yang berbagai-bagai tentang Engkau, mereka hanya menunjuk sebagian dari keseluruhanMu, keseluruhan yang tak dapat kami rengkuh-penuh-seluruh. Mereka hanya melaksanakan suatu cara-berucap yang sering disebut "pars pro toto". Mereka seperti orang-orang buta itu: menyebut sebagian dari diriMu, tetapi mereka merasa telah merengkuh keseluruhanMu.

Lama sekali aku merenungkan makna frasa suci pembuka sembahyang orang-orang Islam, sembahyang yang selalu aku lakukan dengan khusyuk tiap hari: Allahu Akbar. Frasa itu seringkali diterjemahkan oleh orang-orang di sekitarku sebagai: Allah Maha Besar. Tiap kali mendengar ucapan ini saat aku masih kanak-kanak dulu, aku selalu terpicu membayangkan suatu benda besar, besar sekali, di langit yang jauh, yang biru, yan putih. Aku membayangkan diriMU seperti bapakku, tentu bapak yang besar, bahkan besar sekali. Kadang-kadang Engkau menakutkan sekali dalam bayangan kanak-kanakku.

Hingga sekarang, ucapan takbir itu selalu menjadi misteri bagiku. Engkau Maha Besar. Apakah makna "besar" di situ? Apakah engkau "besar" dalam pengertian "big" atau "great" atau "magnificent", jika aku boleh memakai perbandingan dalam bahasa Inggris? Dalam bahasa Jawa, bahasa ibuku sendiri, kata "akbar" selalu diterjemahkan sebagai "agung". Kami, di lingkungan masyarakat Jawa dulu, kerap menyebutMu sebagai Sing Maha Agung. "A" dalam "Maha" diucapkan seperti "a" dalam kata "Diponegoro". Aku kira, kata "agung" lebih tepat menerjemahkan kata "akbar".

Meski demikian, aku belum terlalu paham apa arti "agung" di sana.

Hingga pada suatu hari, sebuah pikiran berkilat cepat di benakku. Allahu Akbar. Bukankah kata "akbar" adalah bentuk komparatif atau superlatif (af'al tafdhil). Kata itu sama dengan kata "ahsan" yang artinya lebih baik atau "ajwad" yang artinya lebih bagus. Apakah dengan begitu, kata "akbar" lebih tepat diterjemahkan sebagai "lebih agung" atau "lebih besar"?

Allahu Akbar. Engkau lebih besar...

Lalu aku merenung kembali. Engkau lebih besar. Lebih besar dari apakah gerangan? Apakah ada sesuatu yang bisa menjadi bandingan bagi diriMu? Bukankah Engkau mengatakan di ujung Kitab SuciMu itu: wa lam yakun lahu kuf'an ahad? Engkau tak memiliki bandingan. Engkau adalah sendiri, unik, einmalig, mutawahhid. Jika tak ada bandingan bagi diriMu, maka tak mungkin kami membandingkan diriMu dengan yang lain-lain. Kami tak bisa melakukan "komparasi" atas diriMu. Sebab, diriMu adalah "incomparable", tak dapat disebandingkan. Sebab Engkau adalah "yang lain" yang menyeluruh, perbedaan yang begitu sempurna dari seluruh sudut. Engkau tak mungkin ditunjuk. Jari-jari kami kelu hendak mengarahkan isyarat ke arahMu.

Bagaimana aku memahami Allahu Akbar-Mu?

Ucapan itu tetap misteri bagiku hingga sekarang ini. Yang aku dapat katakan hanyalah berikut ini. Barangkali maksudnya adalah Engkau lebih besar dari segala bayangan dan citraan manusia tentang diriMu. Karena Engkau adalah keseluruhan yang tak terjangkau, segala yang kami ucapkan tentang diriMu selalu lebih kecil dari keseluruhan itu. Engkau lebih besar dari segala teori dan rumusan "skolastik" yang dibuat oleh banyak kaum teolog dari banyak agama itu. Engkau lebih besar dari gambaran diriMu yang ditorehkan oleh para penyair. Bahkan, Engkau juga lebih besar dari "akidah" yang didedah oleh kaum ulama, fukaha, ahli hadis, ahli tafsir, kaum sufi, dsb. Engkau lebih besar dari "ajaran resmi" yang hendak dipaksakan kepada kami oleh kaum bigot-fundamentalis-fanatik yang mau memenjarakan hakekatMu dalam huruf-huruf mati Kitab Suci. Engkau lebih besar dari alfabet manusia. Melalui alfabet, manusia ingin menoreh batas-batas yang jelas hingga Engkau nampak "nyata" bagi manusia yang memiliki pandangan serba terbatas ini. Kami rabun, myopik, dan karena itu kami butuh kaca pembesar, butuh "surya kanta". Kaum ulama seringkali menyediakan surya kanta itu, agar Engkau Yang Maha Rahasia, Maha Ghaib, itu dapat terlihat. Engkau, Gusti, lebih besar dari citraan yang dihasilkan oleh surya kanta kaum ulama itu. Allahu Akbar...

Kini, aku dengan sedih menyaksikan pemandangan yang memilukan hati: sebagian hamba-hambaMu meneriakkan ucapan itu dengan muka merah padam, dengan mulut mecucu, dengan kepalan tangan yang siap menyambar siapapun yang dianggap "kafir"; mereka meneriakkan Allahu Akbar untuk meneror kami, untuk menimbulkan ketakutan, untuk melumpuhkan moral orang-orang yang mereka anggap sesat. Di mataku, orang-orang semacam itu tak ada bedanya dengan pengikut Hiter yang berteriak "Heil Hitler!"

Saat aku kanak-kanak dulu, orang-tuaku kerap menyebut suatu kata yang misterius untuk ukuran akal kanak-kanakku saat itu: loh atau tablet yang terjaga, al-lauh al-mahfudh. Konon, seluruh tindakan manusia sejak manusia pertama hingga manusia terakhir akan dicatat dalam sebuah buku log besar, dalam register raksasa yang ada di langit. Saat aku kecil dulu, orang-tuaku selalu mengatakan bahwa segala yang indah dan besar ada di langit: sorga yang besar dan luas, malaikat yang besar dan raksasa, kursi Tuhan yang maha-agung dan "majestik", gunung Qaf yang besarnya bukan main; semuanya ada di langit. Register raksasa pencatat tindakan manusia itu tersimpan di loh itu. Lauh mahfuz adalah "komputer" pencatat segala gerak-gerik alam dan manusia. Ia seperti "disk raksasa" penyimpan segala rupa informasi mengenai "universum", alam raya, 'alamin.

Tablet yang terjaga, yang rahasia, lauh mahfuz. Aku mulai memikirkan istilah-istilah itu kembali. Apakah artinya itu semua? Konon, menurut kisah yang beredar di kalangan umat Islam, Qur'an yang ada di bumi saat ini, semula disemayamkan di loh itu selama waktu yang begitu panjang dan tak terpermanai, hingga pada suatu hari, di malam ketujuh belas bulan puasa, rahasia purba itu Engkau kuakkan pelan-pelan, berupa wahyu yang turun setindak-demi-setindak kepada hamba kesayanganMu, Muhammad (semoga Engkau mengucurkan berkat dan damai atas ia). Apakah aku boleh mengatakan bahwa Qur'an yang ada di tanganku saat ini adalah "karbon kopi" dari naskah asli yang ada di loh di langit ketujuh itu? Jika ya, apakah Qur'an-ku, ya aku mangatakan Qur'an-ku, saat ini sama persis dengan naskah asli yang ada di atas sana? Apakah Kitab Suci yang Engkau "turunkan" kepada Muhammad itu mencakup seluruh pengetahuan tentang kebenaran yang Engkau miliki? Apakah Qur'an adalah segala-galanya? Apakah Qur'an, karena disebut sebagai buku terakhir, akan menghalangi petualanganku, petualangan manusia, untuk mencari kebenaran yang tanpa ujung itu?

Allahu Akbar. Engkau lebih besar...

Apakah Engkau lebih besar dari gambaran-diriMu yang ada dalam Qur'an?

Aku terus mencari, dan akan terus mencari. Mungkin jari-jemariku tak akan pernah mampu melingkarkan definisi di sekitar diriMu yang terus merupakan misteri. Tapi, aku tak akan lelah. Sebab, pencarian itu sendiri adalah suatu kenikmatan, suatu berkah yang tiada tergambarkan.

Jangan-jangan Engkau memang tak menuntut kami untuk sampai kepada suatu kesimpulan akhir, sebab setiap kesimpulan akhir yang kami peroleh bukanlah benar-benar sesuatu yang "akhir"; sebab Engkau selalu lebih besar dari kesimpulan akhirku. Jangan-jangan yang Engkau kehendaki dari diriku adalah sebatas mencari itu sendiri, tak puas dengan segala yang ada. Jangan-jangan yang Engkau kehendaki adalah agar aku terus melampaui setiap batas yang aku sentuh dan rengkuh.

O, Engkau yang maha, Engkau yang tak terengkuh, Engkau yang seluruh, tunjukilah aku jalan menuju rahasiaMu, menuju seluruhMu.

Ihdina al-sirath al-mustaqim.