Monday, April 14, 2008

Amin al-Khuli tentang "Tajdid": Koreksi

Ruzbihan Hamazani

Artikel saya tentang Amin al-Khuli mengandung sebuah kekeliruan yang fatal, dan untuk itu saya perlu memberikan koreksi. Kekeliruan itu menyangkut penerjemahan kutipan dari al-Khuli, "awwal al-tajdid qatl al-qadim bahthan". Saya semula menerjemahkan ungkapan "qatl al-qadim bahthan" sebagai pembunuhan atas yang lama. Terjemahan ini ternyata salah sama sekali setelah saya merujuk ke kamus al-Mu'jam al-Wasit.

Dalam kamus itu, saya temukan ungkapan idiomatik yang berbasis kata "qatala" yang artinya semula memang "membunuh". Tetapi, ketika dipakai dalam konteks idiom, kata "qatala" menjadi bermakna lain. Ungkapan idiomatik itu adalah, "qatala al-shai'a 'ilman". Ungkapan ini secara harafiah bisa dimengerti sebagai, "seseorang membunuh sesuatu dengan pengetahuan, atau secara sadar". Tetapi pengertian ungkapan itu, secara idiomatik, bukanlah demikian. Dalam kamus tersebut, ungkapan idiomatik itu berarti: "ta'ammaqa fi bahthihi fa 'alimahu 'ilman tamman", yakni, meneliti sesuatu itu secara mendalam sehingga ia mengetahu sesuatu tersebut secara baik.

Dengan demikian, makna ungkapan al-Khuli yang saya kutip itu adalah: permulaan sebuah pembaharun adalah dengan cara meneliti dan memeriksa tradisi atau yang lama secara mendalam. Pembaharuan dimulai bukan dengan membunuh tradisi, tetapi dengan menelitinya secara mendalam, cermat, kritis, tetapi sekaligus juga secara empatik. "Bertaklid" saja pada tradisi tidaklah memadai untuk mencapai pembaharuan; tetapi mengabaikan sama sekali tradisi juga tak tepat.

Tajdid, dengan demikian, adalah hasil dari tiga tindakan sekaligus: menengok ke dan meneliti masa lampau, melihat konteks masa kini, untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik di masa depan. Warisan pemikiran Islam yang ditinggalkan oleh sarjana Islam di masa lampau adalah titik tolak yang sangat baik untuk umat Islam guna merancang kembali peradaban Islam di masa mendatang. Warisan itu harus dibaca kembali, bukan untuk diikuti secara harafiah, tetapi untuk ditafsirkan dan dipahami kembali secara kontekstual.

Kembali kepada Qur'an dan sunnah (ruju' ila al-kitab wa al-sunnah) saja, seperti dikatakan oleh banyak kalangan Islam selama ini, tidak cukup. Umat Islam butuh kembali kepada Qur'an dan sunnah; tetapi juga sekaligus warisan intelektual yang mencerminkan usaha sarjana Islam terdahulu untuk memahami dua sumber itu. Qur'an, sunnah, dan tradisi penafsiran harus dibaca kembali secara kritis dan empatik sekaligus. Inilah jalan tajdid atau pembaharuan. Hanya dengan cara seperti inilah Islam akan menjadi agama yang tak terasing di zaman ini. Itulah tafsiran yang lebih tepat atas kutipan dari al-Khuli.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Sukidi Mulyadi dan Mun'im A. Sirry yang telah menunjukkan kekeliruan saya dalam memahami kutipan dari al-Khuli di atas. Koreksi mereka disampaikan melalui diskusi di milis Pluralitas.

Wa al-Lahu a'lam bi a-shawab.

No comments: