Sunday, April 6, 2008

Allahu Akbar: Munajat di Akhir Minggu

Ruzbihan Hamazani

Sejak kecil, aku diajar oleh guru-guruku dan orang-orang di sekitarku untuk memanggilMu dengan nama yang sederhana dan indah: Allah. Tetapi orang tuaku, terutama ibuku, tak pernah berani menyebut namaMu secara telanjang tanpa embel-embel. Ibuku tak pernah menyebutMu Allah saja. Ia selalu membubuhkan sebuah kata penghormatan: Gusti. Ibuku selalu memanggilMu: Gusti Allah. Itulah sebutan yang selalu aku pakai ketika memanggilMu setiap hari, saat salat, usai salat, atau saat aku mengeluh dan meraung karena nasib yang buruk, atau marak dalam kegembiraan karena nasib yang mujur. Puji bagiMu: sumber hidup dan pengharapan, sumber kebajikan dan segala bentuk ajaran moral.

Tetapi aku juga tahu, bahwa Engkau tak bisa diringkus hanya dalam satu nama. Aku tahu, Engkau dinamai dengan pelbagai nama oleh jutaan manusia ciptaanMu di muka bumi ini. Semua nama itu adalah baik adanya. Semua nama itu memperlihatkan perbedaan sudut pandang yang dipakai oleh masing-masing orang dalam memahami dan mendekatiMU. Banyak orang yang khilaf. Banyak orang mengira bahwa Allah, Gusti Hyang Widi, Tian, Yahweh, atau nama-nama lain adalah penanda untuk Zat dan Tuhan yang berbeda-beda. Mereka mengira saat orang Yahudi menyebutMu Yahweh, mereka sedang menyembah Tuhan yang berbeda. Mereka tak pernah tahu, bahwa nama yang berbagai-bagai itu adalah sebutan untuk Tuhan yang sama.

Kadang perih dan sedih merajamku hingga pilu, karena melihat orang-orang bertengkar gara-gara sebutan yang berbagai-bagai dan berbeda-beda itu. Di mataku, mereka yang bertengkar karena ingin "mendefinisikan" Engkau itu adalah seperti anekdot kuno tentang orang buta yang hendak menakrifkan gajah. Si Fulan (yang buta, tentunya!) kebetulan menyentuh telinga gajah yang pipih dan lebar, lalu menyebut gajah sebagai binatang yang menyerupai daun. Si Fulan yang lain kebetulan menyentuh kaki si gajah, lalu menyebutnya sebagai binatang yang mirip batang pohon. Dan seterusnya. Perangai "orang-orang buta" itu tentu menimbulkan keheranan di mata orang-orang yang memiliki penglihatan yang sehat. Gajah tidak bisa didefinisikan berdasarkan penggalan-penggalan tubuhnya. Gajah adalah keseluruhan.

Engkau, Gusti Allah, adalah keseluruhan yang lebih besar dari sebutan-sebutan yang seringkali dipakai oleh hambaMu selama ini. Bahkan sebutan Allah itu pun tak kuasa menggambarkan keseluruhanMu. Ketika hamba-hambaMu menyerukan sejumlah nama yang berbagai-bagai tentang Engkau, mereka hanya menunjuk sebagian dari keseluruhanMu, keseluruhan yang tak dapat kami rengkuh-penuh-seluruh. Mereka hanya melaksanakan suatu cara-berucap yang sering disebut "pars pro toto". Mereka seperti orang-orang buta itu: menyebut sebagian dari diriMu, tetapi mereka merasa telah merengkuh keseluruhanMu.

Lama sekali aku merenungkan makna frasa suci pembuka sembahyang orang-orang Islam, sembahyang yang selalu aku lakukan dengan khusyuk tiap hari: Allahu Akbar. Frasa itu seringkali diterjemahkan oleh orang-orang di sekitarku sebagai: Allah Maha Besar. Tiap kali mendengar ucapan ini saat aku masih kanak-kanak dulu, aku selalu terpicu membayangkan suatu benda besar, besar sekali, di langit yang jauh, yang biru, yan putih. Aku membayangkan diriMU seperti bapakku, tentu bapak yang besar, bahkan besar sekali. Kadang-kadang Engkau menakutkan sekali dalam bayangan kanak-kanakku.

Hingga sekarang, ucapan takbir itu selalu menjadi misteri bagiku. Engkau Maha Besar. Apakah makna "besar" di situ? Apakah engkau "besar" dalam pengertian "big" atau "great" atau "magnificent", jika aku boleh memakai perbandingan dalam bahasa Inggris? Dalam bahasa Jawa, bahasa ibuku sendiri, kata "akbar" selalu diterjemahkan sebagai "agung". Kami, di lingkungan masyarakat Jawa dulu, kerap menyebutMu sebagai Sing Maha Agung. "A" dalam "Maha" diucapkan seperti "a" dalam kata "Diponegoro". Aku kira, kata "agung" lebih tepat menerjemahkan kata "akbar".

Meski demikian, aku belum terlalu paham apa arti "agung" di sana.

Hingga pada suatu hari, sebuah pikiran berkilat cepat di benakku. Allahu Akbar. Bukankah kata "akbar" adalah bentuk komparatif atau superlatif (af'al tafdhil). Kata itu sama dengan kata "ahsan" yang artinya lebih baik atau "ajwad" yang artinya lebih bagus. Apakah dengan begitu, kata "akbar" lebih tepat diterjemahkan sebagai "lebih agung" atau "lebih besar"?

Allahu Akbar. Engkau lebih besar...

Lalu aku merenung kembali. Engkau lebih besar. Lebih besar dari apakah gerangan? Apakah ada sesuatu yang bisa menjadi bandingan bagi diriMu? Bukankah Engkau mengatakan di ujung Kitab SuciMu itu: wa lam yakun lahu kuf'an ahad? Engkau tak memiliki bandingan. Engkau adalah sendiri, unik, einmalig, mutawahhid. Jika tak ada bandingan bagi diriMu, maka tak mungkin kami membandingkan diriMu dengan yang lain-lain. Kami tak bisa melakukan "komparasi" atas diriMu. Sebab, diriMu adalah "incomparable", tak dapat disebandingkan. Sebab Engkau adalah "yang lain" yang menyeluruh, perbedaan yang begitu sempurna dari seluruh sudut. Engkau tak mungkin ditunjuk. Jari-jari kami kelu hendak mengarahkan isyarat ke arahMu.

Bagaimana aku memahami Allahu Akbar-Mu?

Ucapan itu tetap misteri bagiku hingga sekarang ini. Yang aku dapat katakan hanyalah berikut ini. Barangkali maksudnya adalah Engkau lebih besar dari segala bayangan dan citraan manusia tentang diriMu. Karena Engkau adalah keseluruhan yang tak terjangkau, segala yang kami ucapkan tentang diriMu selalu lebih kecil dari keseluruhan itu. Engkau lebih besar dari segala teori dan rumusan "skolastik" yang dibuat oleh banyak kaum teolog dari banyak agama itu. Engkau lebih besar dari gambaran diriMu yang ditorehkan oleh para penyair. Bahkan, Engkau juga lebih besar dari "akidah" yang didedah oleh kaum ulama, fukaha, ahli hadis, ahli tafsir, kaum sufi, dsb. Engkau lebih besar dari "ajaran resmi" yang hendak dipaksakan kepada kami oleh kaum bigot-fundamentalis-fanatik yang mau memenjarakan hakekatMu dalam huruf-huruf mati Kitab Suci. Engkau lebih besar dari alfabet manusia. Melalui alfabet, manusia ingin menoreh batas-batas yang jelas hingga Engkau nampak "nyata" bagi manusia yang memiliki pandangan serba terbatas ini. Kami rabun, myopik, dan karena itu kami butuh kaca pembesar, butuh "surya kanta". Kaum ulama seringkali menyediakan surya kanta itu, agar Engkau Yang Maha Rahasia, Maha Ghaib, itu dapat terlihat. Engkau, Gusti, lebih besar dari citraan yang dihasilkan oleh surya kanta kaum ulama itu. Allahu Akbar...

Kini, aku dengan sedih menyaksikan pemandangan yang memilukan hati: sebagian hamba-hambaMu meneriakkan ucapan itu dengan muka merah padam, dengan mulut mecucu, dengan kepalan tangan yang siap menyambar siapapun yang dianggap "kafir"; mereka meneriakkan Allahu Akbar untuk meneror kami, untuk menimbulkan ketakutan, untuk melumpuhkan moral orang-orang yang mereka anggap sesat. Di mataku, orang-orang semacam itu tak ada bedanya dengan pengikut Hiter yang berteriak "Heil Hitler!"

Saat aku kanak-kanak dulu, orang-tuaku kerap menyebut suatu kata yang misterius untuk ukuran akal kanak-kanakku saat itu: loh atau tablet yang terjaga, al-lauh al-mahfudh. Konon, seluruh tindakan manusia sejak manusia pertama hingga manusia terakhir akan dicatat dalam sebuah buku log besar, dalam register raksasa yang ada di langit. Saat aku kecil dulu, orang-tuaku selalu mengatakan bahwa segala yang indah dan besar ada di langit: sorga yang besar dan luas, malaikat yang besar dan raksasa, kursi Tuhan yang maha-agung dan "majestik", gunung Qaf yang besarnya bukan main; semuanya ada di langit. Register raksasa pencatat tindakan manusia itu tersimpan di loh itu. Lauh mahfuz adalah "komputer" pencatat segala gerak-gerik alam dan manusia. Ia seperti "disk raksasa" penyimpan segala rupa informasi mengenai "universum", alam raya, 'alamin.

Tablet yang terjaga, yang rahasia, lauh mahfuz. Aku mulai memikirkan istilah-istilah itu kembali. Apakah artinya itu semua? Konon, menurut kisah yang beredar di kalangan umat Islam, Qur'an yang ada di bumi saat ini, semula disemayamkan di loh itu selama waktu yang begitu panjang dan tak terpermanai, hingga pada suatu hari, di malam ketujuh belas bulan puasa, rahasia purba itu Engkau kuakkan pelan-pelan, berupa wahyu yang turun setindak-demi-setindak kepada hamba kesayanganMu, Muhammad (semoga Engkau mengucurkan berkat dan damai atas ia). Apakah aku boleh mengatakan bahwa Qur'an yang ada di tanganku saat ini adalah "karbon kopi" dari naskah asli yang ada di loh di langit ketujuh itu? Jika ya, apakah Qur'an-ku, ya aku mangatakan Qur'an-ku, saat ini sama persis dengan naskah asli yang ada di atas sana? Apakah Kitab Suci yang Engkau "turunkan" kepada Muhammad itu mencakup seluruh pengetahuan tentang kebenaran yang Engkau miliki? Apakah Qur'an adalah segala-galanya? Apakah Qur'an, karena disebut sebagai buku terakhir, akan menghalangi petualanganku, petualangan manusia, untuk mencari kebenaran yang tanpa ujung itu?

Allahu Akbar. Engkau lebih besar...

Apakah Engkau lebih besar dari gambaran-diriMu yang ada dalam Qur'an?

Aku terus mencari, dan akan terus mencari. Mungkin jari-jemariku tak akan pernah mampu melingkarkan definisi di sekitar diriMu yang terus merupakan misteri. Tapi, aku tak akan lelah. Sebab, pencarian itu sendiri adalah suatu kenikmatan, suatu berkah yang tiada tergambarkan.

Jangan-jangan Engkau memang tak menuntut kami untuk sampai kepada suatu kesimpulan akhir, sebab setiap kesimpulan akhir yang kami peroleh bukanlah benar-benar sesuatu yang "akhir"; sebab Engkau selalu lebih besar dari kesimpulan akhirku. Jangan-jangan yang Engkau kehendaki dari diriku adalah sebatas mencari itu sendiri, tak puas dengan segala yang ada. Jangan-jangan yang Engkau kehendaki adalah agar aku terus melampaui setiap batas yang aku sentuh dan rengkuh.

O, Engkau yang maha, Engkau yang tak terengkuh, Engkau yang seluruh, tunjukilah aku jalan menuju rahasiaMu, menuju seluruhMu.

Ihdina al-sirath al-mustaqim.

1 comment:

Anonymous said...

Allahu Akbar! "Engkau lebih besar"