Tuesday, April 22, 2008

Raja Abdullah dan Dialog Antaragama

Ruzbihan Hamazani

Kerajaan Saudi Arabia selalu dikenal oleh dunia luar karena orientasi keagamaannya yang sangat konservatif, kaku, dan eksklusif, antara lain karena ideologi resmi negeri itu, yakni Wahabisme. Tetapi kali ini, kita mendengar berita yang sama sekali lain dari kerajaan yang "menaungi" dua tanah suci Islam itu.

Pada 24 Maret 2008 yang lalu, Raja Abdullah ibn Abdul Aziz, mengemukakan ajakan tentang tentang pentingnya dialog antaragama, terutama antara Islam, Yahudi dan Kristen. Ajakan ini disampaikan oleh Raja Abdullah dalam sebuah seminar tentang "Budaya dan Penghargaan Atas Agama-Agama" yang diadakan di Ryadh pada bulan Maret lalu. Ia, antara lain, mengemukakan tentang perlunya tokoh-tokoh antaragama untuk duduk dalam satu meja untuk mendiskusikan tantangan bersama yang dihadapi oleh agama-agama besar dunia saat ini, antara lain merosotnya institusi keluarga dan maraknya ateisme. Ajakan Raja Abdullah ini menarik, karena di sana ia menyebut tokoh-tokoh antaragama mereka yang percaya pada Tuhan yang sama. Raja Abdullah juga berkunjung ke Vatikan pada November tahun lalu, dan berdiskusi dengan Paus Benediktus XIV tentang isu serupa.

Langkah Raja Abdullah ini mungkin tidak terlalu istimewa jika dilakukan oleh kepala negara Islam yang lain, misalnya Indonesia, Malaysia, atau Mesir. Ide tentang dialog antaragama bukan sesuatu yang asing dalam beberapa negara dengan penduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Tetapi, bobot ajakan ini menjadi sama sekali lain ketika keluar dari kerajaan Saudi, karena beberapa alasan.

Pertama, sikap ortodoksi agama di Saudi terhadap agama-agama lain di luar Islam masih sangat keras dan penuh kebencian. Jangankan bersikap positif terhadap agama lain di luar Islam, bahkan terhadap sesama sekte dalam Islam sendiri, para ulama Saudi masih sangat keras dan kaku. Ulama Saudi dikenal paling sengit melancarkan kampanye melawan sekte Syi'ah yang dianggap sesat. Penganut Syi'ah tidak bisa melaksanakan keyakinannya dengan bebas di Saudi hingga sekarang. Mereka tak diperbolehkan mendirikan masjid, madrasah, atau lembaga-lemabaga lain secara otonom. Simbol-simbol Syi'ah dilarang keras untuk muncul ke permukaan. Fatwa mengenai sesatnya sekte Ahmadiyah juga bermula dari negeri ini. Fatwa itu dikeluarkan pada 1974 dalam sebuah konferensi yang diadakan oleh Liga Dunia Muslim (Rabitha al-'Alam al-Islami, World Muslim League), sebuah lembaga internasional yang didirikan oleh Kerajaan Saudi pada 1962 sebagai "angkutan" untuk mengekspor ideologi Wahabi ke seluruh dunia, terutama dunia Islam. Fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah kemungkinan besar diilhami oleh, dan merujuk pada fatwa "internasional" yang muncul di Saudi itu.

Hingga sekarang, di seluruh kerajaan Saudi berlaku larangan untuk mendirikan gereja atau tempat ibadah agama lain. Padahal, dengan makin banyaknya orang asing yang bekerja di negeri itu, kebutuhan masyarakat non-Muslim untuk memiliki tempat ibadanya sendiri makin meningkat.

Meski kedengaran lucu, hingga saat ini negeri Saudi menerapkan larangan bagi perempuan untuk menyetir mobil. Tentu larangan ini didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana diinterpretasikan oleh ulama di sana. Perempuan juga tidak bisa melakukan perjalanan jika tidak ditemani oleh seorang lelaki kerabat dekatnya (muhrim). Pembatasan atas perempuan di ruang publik berlaku begitu luas, sehingga mereka nyaris kehilangan kebebasan sipil yang selayaknya mereka nikmati sebagai seorang warga negara.

Kedua, negara Saudi memiliki tempat yang sangat istimewa di mata dunia Islam. Negeri Saudi, bagaimanapun, tetap dilihat oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai tanah kelahiran agama mereka; juga negeri di mana dua tanah suci Islam, Mekah dan Madinah, berada. Ke negeri inilah, jutaan umat Islam menghambur setiap tahun untuk melaksanakan ibadah haji. Di negeri ini pula terdapat sejumlah institusi pendidikan Islam yang menjadi tujuan ribuan mahasiswa Islam dari seluruh dunia untuk belajar bahasa Arab dan, tentu, Islam. Meskipun tidak seluruhnya persis, Saudi Arabia adalah semacam "Vatikan" bagi dunia Islam. Oleh karena itu, perubahan-perubahan di negeri itu akan dipantau dengan penuh minat dan semangat oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Jika terjadi reformasi pemikiran keagamaan di negeri Saudi menuju kepada arah yang lebih terbuka dan toleran, maka dapat diduga bahwa hal ini akan memiliki pengaruh yang cukup penting di dunia Islam secara umum.

Ajakan Raja Abdullah untuk dialog antaragama ini menandakan terjadinya perubahan yang sangat penting dalam diskursus keagamaan di negeri Saudi. Yang menarik, Raja Abdullah juga menyebut bahwa beberapa ulama di Saudi telah memberikan "lampau hijau" untuk gagasannya yang sangat tak lazim dalam konteks pemikiran keagamaan di Saudi itu. Jika hal ini benar, maka inisiatif dialog ini bukan semata-mata merupakan pikiran pribadi Raja Abdullah, tetapi juga menggambarkan suatu semangat baru yang berkembang di kalangan ulama Saudi. Tentu, kita tak bisa berharap banyak akan terjadi perubahan "revolusioner" di kalangan ulama Saudi yang sudah berpuluh-puluh tahun tumbuh dalam indoktrinasi Wahabisme. Tetapi, setiap ide tentu bisa berubah. Konteks sosial baru saat ini memaksa para ulama dan sarjana Islam di Saudi untuk memikirkan ulang sejumlah tafsiran Islam yang sudah mapan selama ini.

Jika kita ikuti media Saudi saat ini, kita akan menjumpai suatu perdebatan yang menarik di kalangan para intelektual, sarjana dan ulama Saudi. Perdebatan ini menandai adanya semacam opsisi terhadap sejumlah pandangan keagamaan yang telah mapan. Dengan kata lain, angin perubahan dalam wacana agama mulai bertiap kencang di negeri itu. Perdebatan ini sebetulnya sudah berlangsung lama, tetapi karena media dan lingkungan intelektual sama sekali represif, perubahan wacana itu tidak bisa muncul ke permukaan. Momentum perubahan terjadi karena konstelasi dunia internasional yang berubah sama sekali setelah peristiwa 11 September. Tekanan dari dunia luar begitu keras atas negeri Saudi untuk melakukan perubahan dalam kebijakan politik dan arah pendidikan keagamaan. Kritik dari dunia luar juga sangat deras terarah kepada ideologi resmi kerajaan Saudi, Wahabisme, yang dianggap sebagai "biang kerok" sikap-sikap keagamaan yang eksklusif dan benci kolompok lain.

Tentu perubahan dalam diskursus keagamaan di Saudi itu bukan semata-mata diakibatkan oleh tekanan dari dunia luar. Tekanan itu hanyalah pemicu saja. Yang lebih penting adalah bahwa generasi baru di Saudi mulai berani mengkritik otoritas keagamaan di sana, serta mengemukakan pendapat yang berbeda. Kita bisa membaca suara-suara "disonan" atau oposisi ini dalam koran-koran terkemuka, seperti Al-Wathan, misalnya. Sejumlah situs juga bertebaran di dunia virtual untuk menyuarakan perubahan ini. Salah satu situs yang menarik adalah Aafaq (secara harafiah artinya: horison) dan Tanweer (secara harafiah: pencerahan). Di sana kita bisa melihat perubahan yang signifikan dalam pemikiran keagamaan di kalangan generasi baru Arab.

Sebagaimana di Indonesia, angin perubahan berkenaan dengan pemikiran keagamaan bertiup kencang saat ini di Arab Saudi. Raja Abdullah dikenal karena sikapnya yang cenderung kepada perubahan dan reformasi (ishlah) ini. Ajakan Raja Abdullah untuk dialog antaragama adalah cerminan dari iklim pemikiran yang sudah mulai berubah itu.

Sebagaimana di Indonesia pula, perubahan ini harus menghadapi perlawanan para ulama ortodoks yang memandang diri mereka sebagai "penjaga kebanaran". Tuduhan yang mereka kemukakan selalu klise di mana-mana: ide-ide baru menyimpang dari konsensus ulama (ijma'; atau meminjam istilah kaum ortodoks selama ini "ma'lum min al-din bi al-darurah"), melawan ajaran Islam, menghina Allah dan RasulNya, membahayakan akidah, dst. Ajakan Raja Abdullah untuk dialog ini juga ditentang olah banyak kalangan ulama Saudi yang konservatif.

Kita berharap kerajaan Saudi berubah pelan-pelan, baik dari segi politik dan budaya, sehingga pemikiran keagamaan yang baru dan lebih terbuka yang muncul di kalangan generasi belakangan ini pelan-pelan muncul ke permukaan. Jika Saudi bisa memberi contoh kepada dunia Islam tentang corak Islam yang moderat, toleran, pluralis, dan terbuka, tentu hal ini akan sangat besar pengaruhnya bagi umat Islam di luar Saudi.

Selama ini, ketika mendengar kata "Saudi Arabia", kesan cepat yang langsung terbit di benak sebagian besar umat Islam di Indoensia adalah hal-hal berikut: tanah suci, air zamzam, kurma, salat tarawih yang selalu ditayangkan langsung setiap bulan puasa, padang pasir, unta, pekerja TKI (berikut pelecehan terhadap mereka), dst. Di masa mendatang, kita berhadap, saat mendengar kata "Saudi Arabia", umat Islam akan membayangkan sejumlah gagasan penting: toleransi, dialog antaragama, penghormatan atas hak-hak perempuan, demokrasi, kebebasan berpikir, dst.

Wa al-Lahu a'lam bi al-shawab.

No comments: