Monday, December 31, 2007

"Nyanyian" Para Mantan Islam dan Kristen

Ada fenomena menarik yang layak kita perhatikan sejenak: orang Kristen pindah agama, masuk Islam, lalu kampanye ke mana-mana menjelek-jelekkan "mantan" agamanya dulu. Sebaliknya, ada pula orang Islam, keluar, lalu pindah ke Kristen dan menjelek-jelekkan Islam. Fenomena ini lucu, sebab mengingatkan kita pada fenomena serupa yang kita lihat dalam kehidupan kepartaian.

Dulu, di kampung saya, ada seorang kiai yang fanatik sekali dengan Partai Ka'bah, yakni PPP. Begitu fanatiknya, sampai-sampai dia menuduh kafir mereka yang mencoblos Golkar. Beberapa tahun kemudian, karena satu dan lain perkara, ia loncat pagar meninggalakan PPP, dan tanpa kikuk serta rasa malu bergabung dengan Golkar. Setelah di Golkar, dengan sengit dan penuh semangat empat-lima ia menjelek-jelekkan PPP. Masyarakat akhirnya tahu sejauh mana kualitas kiai semacam itu.

Inilah fenomena yang kita lihat pada orang seperti Irena Handono. Konon ia mantan biarawati, keluar dari Kristen, lalu masuk Islam. Setelah itu, dengan penuh semangat ia menjelek-jelekkan Kristen. Tentu orang Islam senang sekali mendengar mantan Kristen menjelek-jelekkan agama itu, "Tuh lihat, orang Kristen aja menjelek-jelekkan agama itu. Berarti agama Yesus ini memang salah."

Fenomena ini juga terjadi untuk kasus sebaliknya. Ada orang yang namanya Muhammad Ali Makrus al-Tamimi. Konon, ini orang Arab. Melihat nama marganya, al-Tamimi, tampaknya orang ini memang keturunan Arab, meskipun masih harus dibuktikan. Menurut sas-sus yang belum tentu benar, ia pernah bergabung dengan FPI. Wow! Mantan FPI masuk Kristen. Ini benar-benar memenuhi prinsip pemberitaan yang laku di pasar, "A man bites a dog!" Kalau ini benar, tentu menarik sekali. Orang Kristen tentu senang bukan alang-kepalang, "Nih, orang FPI yang "fundamentalis" aja bertobat dan mengikuti jalan Yesus. Berarti jalan Yesus memang benar adanya."

Baik ceramah Irena maupun Al-Tamimi beredar luas di pasaran dalam bentuk kaset, VCD, DVD, juga transkripsi di internet. Irena bahkan menerbitkan sejumlah buku. Saya mendengarkan dan membaca beberapa. Kesan pertama saya secara spontan: keduanya tidak memiliki pengetahuan yang mendalam baik tentang agama yang dulu dipeluknya, apalagi agama yang baru diikuti. Apa yang mereka utarakan baik mengenai "isteri lama" atau "isteri baru", sama-sama dangkal. Orang awam yang suka dengan sensasi boleh jadi tertarik dengan ceramah apologetik semacam itu. Tetapi ceramah dan tulisan mereka sama sekali tak membantu masing-masing pihak dalam Islam dan Kristen untuk memiliki pemahaman yang lebih baik dan simpatik mengenai pihak lain.

Kalau orang hendak belajar Islam yang baik, tentu harus membaca sumber-sumber dari Islam sendiri, penafsiran yang ditulis oleh sarjana Islam. Begitu pula, kalau anda mau belajar Kristen dengan baik, dengarkanlah apa kata orang "dalam" Kristen sendiri, bagaimana para "exegete" atau penafsir Injil memahami ayat-ayat dalam kitab suci itu. Sebagaimana lucu sekali memahami Islam dari orang yang benci Islam, begitu pula sangat lucu jika orang Islam memahami Kristen melalui sumber-sumber yang benci Kristen.

Do I make myself clear? Oke, saya akan berikan beberapa contoh sederhana.

Irena Handono, misalnya, menulis buku untuk menjawab buku polemis karangan seorang pendeta "fundamentalis-evangelis" dari Amerika, Robert Morey, "The Islamic Invasion: Confronting the World's Fastest Growing Religion". Buku ini konon diterjemahkan oleh kalangan Kristen dan disebarkan ke mana-mana sebagai semacam polemik-tandingan dari pihak Kristen terhadap Islam. Kalau orang luar Islam mau belajar tentang Islam, tentu buku Morey bukanlah rujukan yang baik. Begitu juga ketika seseorang mau belajar Kristen dengan baik, tentu buku-buku polemik karangan orang-orang macam Ahmad Deedat atau Irena Handono sendiri bukan sumber yang tepat. Dua-duanya adalah sumber informasi yang bias, bahkan penuh kebencian.

Sejarah hubungan Islam dan Kristen memang sarat dengan kecurigaan, bahkan kebencian. Orang Islam menuduh pihak Kristen melakukan disinformasi dan kampanye buruk mengenai Islam, tetapi orang Islam lupa bahwa mereka juga melakukan hal yang sama pada Kristen. Kalau umat Islam dan Kristen hendak membangun dialog yang simpatik, saran saya hanya satu: baik bukunya Deedat dan Morey sebaiknya diistirahatkan di pojok kamar, masukkan dalam koper, dan bacalah buku-buku yang ditulis dengan sungguh-sungguh, mendalam, dan simpatik mengenai dua agama itu.

Kalau mau, boleh juga dibaca buku perbandingan agama yang ditulis dengan simpatik, seperti bukunya Huston Smith, The Religions of Man, terbit pertama kali pada 1958. Belakangan, judul buku ini diubah menjadi "The World's Religions: Our Great Wisdom Traditions". Judul yang lama dianggap kurang sensitif terhadap aspek jender. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada dekade 80an oleh Djohan Effendi, terbit oleh Penerbit Obor. Dengarlah salah satu kalimat sederhana yang simpatik dari Prof. Smith yang beragama Kristen ini:

Looking at the difference between pre- and post-Islamic Arabia we are forced to ask whether history has ever witnessed a comparable ethical advance among so many people in so short a time. Before Muhammad there was virtually no restraint on inter-tribal violence...Within a half century there was effected a remarkable change in the moral climate on each of these counts. (Religions of Man, Perennial Library, 1965, hal. 242).

Dengan penuh simpati, Smith menunjukkan bahwa Islam telah berjasa besar karena berhasil melakukan perubahan besar dalam waktu yang singkat di tanah Arab, memajukan kesadaran etis masyarakat Arab, dan mengubah lingkungan moral mereka yang bobrok sebelumnya. Simpati seperti ini ditunjukkan oleh Smith kepada agama-agama besar lain di dunia.

Orang seperti Smith inilah yang kita butuhkan untuk memupuk hubungan yang dialogis antara Islam dan Kristen. Buku-buku seperti karangan Smith itulah yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Bukan buku-buku yang menimbulkan salah-paham, kecurigaan, dan rasa saling tak-percaya antar dua komunitas agama seperti karangan Deedat atau Morey itu.

Baik umat Islam atau umat Kristen tak membutuhkan orang-orang seperti Irena Handono atau al-Tamimi. Mereka hanyalah kaum apologetis yang jualan "kecap" untuk memuji agama sendiri, seraya menjelek-jelekkan agama lain. Apakah yang kita peroleh dari orang-orang semacam ini selain disinformasi dan kesalahpahaman yang akan memupuk rasa curiga antaragama?

Allahumma hal ballaghtu? Allahumma fa-syhad...

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Sunday, December 30, 2007

Nota Buat Adian Husaini

Ruzbihan Hamazani

Adian Husaini adalah salah satu penulis yang sangat digemari banyak kalangan Islam. Ia menulis rutin setiap minggu di Majalah Hidayatullah. Kolom-kolom mingguannya dibahas di Radio Dakta. Sebagai bekas wartawan, ia memang memiliki ketrampilan menulis yang cukup baik, enak dibaca, dan renyah. Kelemahan Adian hanya satu: sering memeragakan logika yang janggal. Ala kulli hal, salut untuk Adian Husaini.

Baru-baru ini, ia menulis sebuah kolom di situs Hidayatullah, "Mitos-Mitos tentang Perayaan Natal Bersama". Tulisan ini beredar di banyak milis. Dalam tulisannya itu, ia mengkritik Prof. Din Syamsuddin yang menghadiri Perayaan Natal Bersama. Tulisan pendek ini ingin sekedar memberikan catatan pada kolomnya itu.

Tokoh kerukunan?

Saya ingin mulai dengan hal yang sederhana. Adian mengenalkan dirinya di ujung tulisan sebagai Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Pusat. Saya berteriak dalam hati: What? Bagaimana orang seperti Adian menjadi seorang pejabat penting di MUI pusat untuk mengurus soal kerukunan umat beragama? Apakah saya tak salah? Apakah kata "kerukunan" mempunyai arti lain di sini? Kata "kerukunan" berasal dari akar kata "rukun" yang artinya kira-kira laras, harmonis, serasi, damai, dsb. Kata rukun berlawanan dengan sejumlah kata lain: tengkar, cekcok, curiga, dst.

Setahu saya, tulisan-tulisan Adian Husaini selama ini penuh dengan rasa curiga pada agama lain, terutama Kristen, nyinyir pada kelompok-kelompok Islam yang memperjuangkan dialog antaragama dan pluralisme, dst. Dia dulu juga pernah menjadi salah satu pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), lembaga Islam yang kita kenal membenci orang Kristen, dan selalu dengan mudah menuduh pihak "lawan debat" dengan istilah antek Yahudi (seperti terjadi pada Cak Nur). Bagaimana orang dengan rekam jejak seperti ini diserahi tugas untuk mengurus kerukunan antar umat beragama? Apakah ini tidak sama dengan meminta seorang koruptor menjadi anggota KPK? Apakah mungkin sapu kotor membersihkan lantai? Bukankah faqid al-shai' la yu'thihi, kata pepatah Arab (orang yang tak punya sesuatu, tak akan bisa memberikan sesuatu itu)?

Nada tulisan Adian soal mitos-mitos perayaan Natal bersama itu sendiri, seperti anda bisa baca, kuat sekali diwarnai dengan nada eksklusivisme, curiga pada kelompok lain, dan sama sekali antidialog.

Jika MUI memang benar-benar memiliki komitmen untuk membangun kerukunan antaragama di Indonesia, tampaknya lembaga itu perlu berpikir ulang untuk mempertahankan Adian Husaini dalam komisi kerukunan tersebut. Alih-alih memperjuangkan kerukunan, orang seperti Adian ini hanya akan mempertahankan kecurigaan dan kebencian. Kecuali jika MUI memang niatnya sejak awal adalah mendirikan Komisi Kecurigaan Umat Beragama. Jika benar demikian, tentu saya seratus persen mendukung Adian Husaini bertahan selama-lamanya di sana.

Mitos Adian atau mitos sungguhan?

1.

Adian mengemukakan sejumlah mitos di sekitar perayaan natal bersama (PNB). Sekarang marilah kita memeriksa satu per satu mitos-mitos yang dikemukakan oleh Adian.

Pertama, dia mengatakan bahwa ada mitos tentang keharusan mengikuti PNB. "Mitos ini seperti sudah begitu berurat berakar, bahwa PNB adalah enak dan perlu," ujarnya. Saya sungguh tak tahu, dari manakah Adian memetik mitos ini: Apakah dari pohon mangga di belakang rumahnya, atau dari kebun milik temannya? Tak ada seorang pun mewajibkan ikut perayaan Natal bersama. Orang boleh ikut, boleh tidak. Tak ada undang-udang yang mengharuskan, juga tak ada kewajiban sosial untuk melakukannya. Teman-teman saya yang beragama Kristen sama sekali mengerti jika saya tak ikut perayaan Natal, karena khawatir dianggap memaksakan iman. Tetangga saya yang Kristen yang hampir setiap tahun mengucapkan Selamat Idul Fitri tak pernah meminta "balas jasa" kepada saya untuk mengucapkan Selamat Natal setiap bulan Desember tiba.

Jadi, dari mana Adian dengan begitu cemerlangnya menemukan mitos ini? Jika mitos ini benar-benar ada, tentu Adian layak mendapat pernghargaan yang setinggi-tingginya atas penemuan yang cerdas ini. Mungkin ia layak dimasukkan di musium rekor Indonesia (MURI). Yang sungguh menakjubkan, Adian mengatakan bahwa mitos ini telah berurat berakar dalam masyarakat. Saya tak tahu, masyarakat mana yang sedang dibicarakan Adian.

Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat?

Istilah Perayaan Natal Bersama sebetulnya mudah ditelusuri asal-usulnya. Masyarakat kita mengenal adat-bertetangga yang bentuknya macam-macam. Kalau anda hidup di desa, adalah hal yang lumrah jika tetangga anda sedang punya perhelatan, anda diundang untuk datang dalam acara itu. Adat seperti ini berlaku tanpa mengenal perbedaan agama. Kalau tetangga saya yang Kristen sedang "mantu" dia akan mengundang saya. Saat saya mengadakan pertemuan RT di rumah yang kadang disertai dengan membaca ratib, barzanji atau yasinan, saya juga akan mengudang tetangga saya yang Kristen itu.

Adat ini yang kemudian diteruskan pada tingkat yang lebih besar lagi. Saat Idul Fitri, umat Islam mengadakan acara halal bihalal di kantor atau perusahaan tempat mereka kerja. Tentu tak enak kalau acara ini hanya dihadiri karyawan yang Muslim saja. Lalu, diundanglah karyawan lain yang beragama Kristen. Bagus. Rukun. Begitu juga sebaliknya, saat Natal tiba, karyawan yang Kristen mengadakan natalan. Yang Muslim diundang pula. Ini berlaku pula untuk agama-agama yang lain.

Kebiasaan ini dilanjutkan pada level kenegaraan. Karena negara kita bukan hanya milik orang Islam saja, tetapi milik semuanya, maka setiap ada hari raya agama tertentu, diadakanlah upacara. Ada halal bihalal, mauludan, rajaban, dst. Ada acara natalan, waisakan, nyepi, imlek, dst. Tentu sudah selayaknya jika pejabat publik yang menjadi milik semua bangsa Indonesia datang dalam acara-acara seperti itu. Kalau presiden dikritik karena mendatangi acara natalan, padahal dia seorang Muslim, maka hanya ada dua kemungkinan: mungkin si pengkritik itu adalah orang a-sosial yang tak mengerti adat bertetangga dalam masyarakat, orang kuper yang hanya tahu dirinya sendiri saja; atau dia sedang terkena "sihir" ideologi tertentu yang membuatnya berpikir aneh seperti itu.

2.

Mitos kedua yang disebut oleh Adian adalah bahwa PNB adalah sarana untuk memupuk kerukunan antar umat beragama. Nada tulisan Adian ingin menggiring kita untuk percaya bahwa PNB sama sekali tak akan memupuk kerukunan. Saya tak tahu, apakah Adian juga menghendaki agar kita percaya bahwa bukan hanya tak memupuk kerukunan, tetapi PNB bisa menimbulkan pertikaian antar agama? Kalau yang terakhir ini benar, saya tak tahu lagi, sistem logika mana yang dipakai oleh anggota Komisi "Kerukunan" ini. Maksud saya tentu kerukunan dalam tanda kutip.

Tentu jalan untuk memupuk kerukunan banyak sekali, antara lain lewat pertukaran kunjungan saat hari raya. Kalau kita kembali ke contoh mikro dalam kehidupan sehari-hari, maka saya akan mengatakan bahwa ada banyak cara yang bisa saya tempuh untuk menjadi tetangga yang baik bagi tetangga saya yang beragama Kristen, Budha, Konghucu, atau lainnya. Cara itu meliputi banyak hal. Misalnya: kalau tetangga saya sedang selamatan untuk promosi jabatan baru, saya akan datang. Kalau saya mengadakan selamatan walimatus safar untuk pergi haji, dia saya undang. Begitulah seterusnya.

Ini juga berlaku pada level kenegaraan. Sudah tentu, jika presiden atau menteri yang beragama Muslim datang dalam acara natalan, masyarakat Kristen akan merasa lega, sebagaimana saya akan lega jika melihat tokoh Kristen datang ke acara-acara Islam. Sebagaimana umat Islam di Amerika merasa senang saat Presiden Bush mengadakan ifthar atau buka bersama di Gedung Putih, begitu pula umat Kristen di Indonesia akan merasa senang jika Pak Presiden yang Muslim dan berpeci datang di acara natalan. Inilah yang dalam studi-studi mengenai multikulturalisme disebut sebagai "the politics of recognition" , politik pengakuan. Apakah kita akan mengatakan kepada Presiden Bush bahwa anda salah melakukan buka bersama di Gedung Putih, sebab itu sama saja anda mengakui kebenaran agama Islam? Inikah logika yang hendak dipakai oleh Pak Wakil Komisi "Kerukunan" MUI?

Dalam politik pengakuan, simbol dan budaya memainkan peran penting. Begitu pula simbol memainkan peran yang sangat penting dalam masyarakat plural. Karena itu, tak salah, bahkan penting sekali memainkan simbol untuk memupuk kerukunan antaragama. Salah satu simbol yang sangat penting di mata masyarakat adalah simbol-simbol yang berkaitan dengan agama. Upacara-upacara keagamaan memiliki makna yang penting. Dengan memainkan simbol ini secara tepat, kerukunan dalam masyarakat bisa dipupuk dan diperkokoh. Ini hal sederhana yang bisa diketahui oleh semua orang awam. Saya tak tahu, bagaimana seorang anggota Komisi "Kerukunan" MUI bisa tak mengerti hal yang simpel seperti ini.

Adian menyebut bahwa dalam PNB ditegaskan keyakinan Kristen tentang Yesus sebagai anak Tuhan. Pertanyaan awam yang harus diajukan adalah: Apakah jika seseorang datang ke perayaan Natal dengan sendirinya percaya pada doktrin dan akidah Kristen? Saat Presiden Bush mengadakan buka bersama di Gedung Putih, apakah dia serta merta percaya pada dasar akidah Islam yaitu tauhid/monoteisme? Saat tetangga saya yang Kristen datang ke rumah untuk menghadiri acara yasinan, apakah dia kemudian berubah iman?

Kalau orang Islam takut dengan histeris datang ke perayaan Natal karena khawatir "tertular" akidah Kristen, ini sungguh mengherankan: Betapa lemahnya akidah umat Islam? Di mana dakwah ulama selama ini? Apakah dakwah Islam gagal mencetak Muslim dengan akidah yang kokoh? Ataukah yang bermasalah sebetulnya para "elit" agama yang tak mempercayai kualitas iman umat Islam yang sebetulnya tak sekeropos yang mereka kira?

Adian juga menyebut sejumlah ayat dalam Injil serta dokumen Kristen tentang keselamatan tunggal melalui Yesus. Apakah Adian lupa bahwa dalam Islam juga ada doktrin serupa, bahwa agama satu-satunya yang benar adalah Islam (inna al-dina 'inda 'l-Lahi al-Islam)? Jadi di mana letak soalnya? Saat orang Kristen datang ke kantor Muhammdiyah atau PBNU untuk menghadiri acara keagamaan, tentu tidak dengan sendirinya ia meninggalkan doktrin keselamatan tunggal lewat Yesus dan mempercayai "keselamatan" lewat Islam. Dia datang sebagai bagian dari etiket sosial.

Kalau kemudian ia dapat hikmah dari kehadirannya di acara itu, alhamdulillah. Begitu juga sebaliknya, kalau seorang Muslim datang ke acara natalan, dan mendapatkan hikmah dari acara di sana, tentu sangat baik. Bukankah tidak semua hal dalam Kristen salah dalam pandangan Islam? Banyak sekali ajaran kebenaran dalam agama Kristen. Bukankah "al-hikmah dhallat al-mu'min, ainama wajadaha akhadzaha" (kebijaksanaan adalah barang hilang milik seorang beriman; di manapun ia menjumpainya, sudah selayaknya ia memungutnya) ? Jadi apatah yang ditakutkan, wahai Adian?

3.

Mitos ketiga: Adian menyebut bahwa dalam PNB, seorang Muslim hanya menghadiri upacara non-ritual. Menurut Adian, ini adalah mitos. Seorang yang menghadiri natalan sekaligus menghadiri upacara ibadah atau misa. Alasan yang dikemukakan Adian sungguh menarik sekali: bahwa dalam Kristen tak ada beda yang tegas antara aspek ritual dan non-ritual. Definisi ibadah dalam Kristen berbeda-beda dari satu sekte ke sekte yang lain.

Harap diketahui, Adian bukanlah pakar mengenai agama Kristen. Jadi, apa yang ia katakan mengenai agama Kristen tak perlu didengarkan dengan serius. Kalau kita ingin tahu mengenai agama Kristen dan batas-batas antara aspek-aspek ritual dan non-ritual dalam acara natalan, sebaiknya tanya langsung kepada pakar Kristen. Sementara itu, kita ikuti saja cara berpikir anggota Komisi "Kerukunan" MUI ini.

Adian mengutip pendapat Huston Smith, pakar mengenai perbandingan agama, seperti berikut ini: "Christianity, is basically a historical religion. It is founded not in abstract principles, but in concrete events, actual historical happenings." Saya tak tahu, apa kaitan antara kutipan ini dengan apa yang sedang ia bicarakan. Kutipan itu menegaskan bahwa Kristen adalah agama yang bersifat historis, bukan agama yang ditegakkan atas prinsip-prinsip abstrak. So? Apa kaitannya? Saya tahu apa yang mau dituju oleh Adian: karena agama Kristen adalah agama historis, maka dia akan menyesuaikan diri dengan perkembangan sejarah; tak mengenal doktrin dan ritual yang tetap, selalu berubah. Kalau benar ini yang dimaksud, saya ragu apakah benar semua hal dalam Kristen berubah terus. Dalam setiap agama, selalu ada aspek yang tetap, permanen, dan ada hal yang bisa diubah. Agama yang baik adalah yang bisa memainkan keseimbangan antara hal-hal yang permanen dan berubah. Seberapa jauh agama mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, atau "aggiornamento" dalam istilah Katolik, sangat menentukan nasib agama itu. Secara umum, makin agama mampu berubah dan menyesuaikan diri, tanpa kehilangan jati diri tentunya, makin baik.

Yang menarik adalah Adian mengutip dari Prof. Huston Smith, seorang sarjana yang memiliki simpati luar biasa pada Islam, juga pada agama-agama yang lain. Buku Smith, "The World's Religion", dipuji di mana-mana sebagai salah satu buku yang membantu kita memahami dengan simpatik agama-agama besar di dunia saat ini. Pendekatan Smith dalam buku itu adalah mencoba mengembangkan simpati pada semua agama, sebab pada intinya semua agama membawa "benih" yang sama, yakni jalan menuju kepada yang transenden. Semangat seperti dikembangkan Smith inilah yang layak dihayati oleh orang-orang yang hendak memupuk kerukunan antaragama.

Betapa jauhnya semangat Prof. Smith ini dengan nada hampir sebagian besar tulisan Adian yang apologetik, curiga pada agama lain, curiga pada wacana pluralisme, dan tak nyaman dengan dialog antaragama.

Yang menarik lagi adalah Adian mengutip tulisan Remi Silado yang mengkritik ritual natalan. Menurut Remi, tradisi Natal merupakan kelanjutan dari tradisi pagan dan istiadat kafir. Kita semua tahu, walau dikenal dengan puisi-puisi mbeling dulu pada dekade 70an, tetapi Remi tetaplah seorang Kristen yang taat. Dia kritis pada tradisi dalam Kristen sendiri, tetapi tak kehilangan komitmen pada agama itu. Kritik atas Natal yang diungkapkan oleh Remi ini sudah diketahui luas oleh kalangan Kristen sendiri. Pihak Kristen tidak kalang kabut dengan kritik seperti itu. Betapa bedanya semangat seperti ini dengan semangat tulisan-tulisan Adian selama ini yang apologetik dan defensif saat ada orang-orang yang mengkritik tradisi tertentu dalam Islam. Bisakah Adian bersikap seperti Remi Silado yang dikutipnya itu?

4.

Mitos terakhir: dalam perayaan natalan, menurut Adian, terselip misi kristenisasi. Di sini terbuka kedok sesungguhnya yang dikenakan Adian. Dia sama sekali bukanlah orang yang menghayati semangat dialog ataragama dan tugas membangun kerukunan antaragama. Mindset Adian adalah selalu mencurigai agama lain sebagai agama yang akan melakukan ekspansi. Acara natalan dicurigainya sebagai alat untuk kristenisasi. Sebagai bekas pengurus DDII tentu kita tak perlu kaget dengan watak Adian seperti ini. Tetapi, sungguh amat kita sayangkan orang seperti ini diserahi tugas membina kerukunan umat beragama di Indonesia. Kerukunan seperti apakah yang akan lahir dari orang seperti ini?

Mendakwahkan agama adalah tugas mulia setiap agama. Umat Islam sudah seharusnya mendakwahkan agamanya. Umat Kristen idem ditto. Begitu pula umat agama-agama lain. Asal dakwah dijalankan dengan beradab dan fair, tentu kita dukung. Dakwah yang menggunakan cara-cara yang curang, tentu kita tentang. Membujuk orang Islam agar masuk Kristen dengan diiming-imingi materi, misalnya, tentu kita tentang. Kalangan Krsiten sendiri mencela cara-cara culas seperti itu.

Tetapi ini semua tentu beda dengan sikap paranoid yang mencurigai setiap kegiatan sosial umat Kristen sebagai alat kristenisasi. Mencurigai acara natalan sebagai alat kristenisasi tak lain adalah bentuk dari paranoia. Kenapa kita tak bisa menggunakan pendekatan "positive thinking", bahwa acara natalan, lebaran, mauludan, dan sebagainya, adalah sarana untuk memupuk kerukunan dan solidaritas kebangsaan?

Membina kerukunan antaragama membutuhkan positive thinking, bukan negative thinking seperti diperagakan oleh Wakil Ketua Komisi "Kerukunan" MUI itu.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Catatan Kecil tentang Natal

I

Dalam blog ini saya sudah mencoba menulis beberapa artikel yang berkenaan dengan Natal. Masalah ini sebetulnya sangat sepele, tak perlu menyita banyak waktu umat Islam untuk berdiskusi dan bertikai. Tetapi, kenyataannya memang lain. Di lapangan kita bertemu dengan orang-orang yang hendak menjadikan masalah sepele ini menjadi masalah akidah, sehingga dunia menjadi geger seperti mau kiamat.

Masalahnya akan menjadi sederhana kalau umat Islam mau memakai akal sehat biasa. Orang awam dengan nalar yang sederhana akan tahu bahwa hak-hak bertetangga adalah hal elementer dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita bertetangga dengan orang lain, kita memiliki sejumlah hak yang harus kita tunaikan. Jika tetangga kita sedang susah, kita selayaknya menolong. Jika sedang gembira, kita layak ikut menikmati kegembiraan itu. Jika butuh bantuan, kita perlu mengulurkan tangan. Kita melakukan semua ini atas dasar kemanusiaan, tanpa melihat agama, suku, warna kulit, atau budaya. Jika tetangga kita sakit, kita wajib menolong, tak peduli apa agamanya.

Sekali lagi, ini semua kita lakukan sebagai bagian dari hak-hak bertetangga. Semua orang, dengan nalar biasa dan sederhana, tahu mengenai hal ini.

Dengan nalar seperti ini, saya ingin mengatakan bahwa apa salahnya jika saya, seorang Muslim, mengulurkan tangan, mengucapkan Selamat Natal, kepada tetangga saya yang beragama Kristen. Apa salahnya saya, jika diundang, ikut dalam perayaan Natal yang diadakan tetangga saya itu? Saya tahu dan sadar, saat melakukan itu, saya ingin menghormati tetangga saya. Saya tak langsung akan menjadi Kristen saat saya mengucapkan Selamat Natal itu. Saya juga tak akan langung menyetujui akidah dia ketika saya diundang dalam acara Natal yang dia adakan.

Saat tetangga saya yang Kristen mengucapkan Selamat Lebaran atau Idul Fitri kepada saya, saya tahu betul bahwa ia mengucapkannya sebagai cara untuk menghoramti saya. Ia melakukannya sebagai bagian dari sopan-santun sosial. Tak ada soal akidah di sini. Ini bagian dari proses hidup bermasyarakat yang wajar. Orang yang menjadikan masalah ini sebagai isu akidah hanya mempersulit diri sendiri saja.

II

Ada banyak teman saya yang mengatakan bahwa merayakan Natal pada 25 Desember adalah penipuan. Yesus tidak lahir pada tanggal itu. Perayaan Natal adalah bagian dari tradisi pagan atau kafir. Kalau kita ikut-ikutan mengucapkan Selamat Natal kepada teman Kristen pada tanggal itu, kita sama saja dengan ditipu.

Saya senyum-senyum saja mendengar keterangan teman saya ini. Sejarah mengenai perayaan Natal sebagai kelanjutan dari tradisi pagan sudah diketahui oleh orang Kristen sejak lama. Kajian mengenai hal ini sudah ditulis oleh sarjana Kristen sendiri. Kesan saya, teman-teman saya yang Muslim merasa seolah-olah mengetahui rahasia besar yang tak diketahui oleh orang Kristen. Informasi tentang perayaan Natal sebagai kelanjutan dari tradisi pagan seolah-olah barang baru yang hanya diketahui oleh orang Islam, sementara orang Kristen sendiri tak mengetahuinya. Ini jelas salah besar.

Tetapi, ada masalah lain yang menggelikan dalam cara berpikir sebagian umat Islam. Taruhlah benar bahwa 25 Desember bukanlah tanggal persisnya Yesus atau Nabi Isa lahir. So what gitu loh...(meminjam bahasa anak-anak remaja Jakarta). Tak ada keharusan orang merayakan hari lahir persis pada tanggal kelahirannya. Saya bisa lahir 17 Desember, lalu merayakan ultah pada 30 Desember. Apa yang salah di sana. Umat Islam tahu benar bahwa Nabi Muhammad lahir pada 12 Rabi' al-Awwal, karena itu mereka membaca barzanji atau mawlid pada tanggal itu. Tetapi, mereka juga membaca mawlid di luar tanggal itu. Apakah ini salah? Tentu tidak toh?

III

Sebagian teman saya yang lain mengatakan bahwa dengan merayakan Natal pada 25 Desember, sebetulnya agama Kristen melakukan kompromi dengan budaya kafir. Perayaan Natal sebetulnya adalah kelanjutan budaya Romawi untuk merayakan datangnya musim dingin. Yesus tak lahir pada tanggal itu. Buktinya Kristen ortodoks Timur, misalnya, merayakan Natal pada 7 Januari. Dengan kata lain, perayaan ini, jika memakai istilah Islam, adalah bid'ah, persis seperti tradisi ziarah kubur yang merupakan sisa-sisa dari budaya animisme pra-Islam.

Umat Kristen tahu dari awal, bahwa asal-usul perayaan Natal ini diadakan oleh gereja awal untuk menarik simpati orang-orang Romawi. Katakan saja, bagian dari strategi dakwah, persis seperti wali sembilan di Jawa dulu memakai wayang yang merupakan bagian dari tradisi Hindu-Budha untuk menyampaikan dakwah Islam. Jadi, apa salahnya dengan memakai budaya pagan untuk diisi dengan semangat baru?

Setiap agama selalu harus, kadang dipaksa, berjumpa dan berkompromi dengan budaya-budaya lokal yang berserakan di mana-mana. Ini hal yang biasa terjadi pada semua agama. Suksesnya agama banyak tergantung pada kemampuannya untuk melakukan adaptasi dengan budaya setempat. Kita semua tahu, Islam datang ke Indonesia melalui cara-cara damai, non-perang. Islam datang ke bumi nusantara dan kemudian menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Orang-orang yang menyerukan "pemurnian" dan memusuhi budaya lokal, dengan alasan bahwa budaya setempat adalah "kotoran" yang mengganggu kemurnian akidah, sama sekali tak sadar bahwa di tanah aslinya sendiri, Islam juga berbau Arab. Apakah pemurnian Islam berarti kembali ke budaya Arab?

Ambillah contoh yang menggelikan. Orang-orang yang "sok murni" seringkali mengatakan bahwa kita harus mengikuti contoh atau sunnah Nabi. Karena Nabi memelihara jenggot, bahkan dengan jelas-jelas memerintahkannya, maka kita juga harus berjenggot. Orang-orang semacam itu bisa "bertarung" habis-habisan demi jenggot, seolah esensi dan inti agama ada pada helai-helai rambut di bagian bawah wajah kita itu.

Dengan nalar biasa, tentu semua orang tahu bahwa tentu saja dalam konteks Arab Nabi memerintahkan memelihara jenggot. Itu bagian dari budaya machismo, muruwwah, atau manlihood dalam masyarakat Arab. Orang yang tak memelihara jenggot akan dianggap kurang macho, kurang laki-laki. Ini biasa saja. Yang tak biasa adalah menganggap perintah Nabi ini berlaku universal di mana-mana.

Contoh ini saya katakan untuk menunjukkan bahwa mengadopsi budaya setempat sama sekali tak terelakkan dalam agama manapun. Jika umat Islam mengkritik bahwa perayaan Natal adalah sisa-sisa budaya pagan non-Kristen, mereka harus ingat bahwa Islam juga melanjutkan budaya Arab pra-Islam, budaya jahiliyyah. Bukan hanya itu. Islam di kawasan-kawasan di luar Arab juga melakukan hal yang sama: yaitu mengadopsi budaya setempat yang merupakan warisan budaya "kafir".

Kepada orang-orang yang "pemurnian-minded" ini harus dikatakan: kalian jangan terpukau pada bentuk luarnya. Lihatlah esensinya.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Saturday, December 29, 2007

Islam, Ekskomunikasi, dan Masalah Penyesatan

Hampir setiap agama menghadapi problem yang kurang lebih sama, yaitu problem "ekskomunikasi". Istilah ini lazim dipakai di kalangan Kristen, terutama pada abad pertengahan, yang artinya secara umum adalah mengeluarkan seseorang dari komunitas. Kata itu berasal dari dua akar, ex (keluar) dan communio (komunitas, jamaah). Ekskomunikasi berarti tindakan oleh otoritas agama atau tradisi tertentu untuk mengeluarkan anggotanya yang dianggap "menyimpang" dari jamaah atau kumpulannya itu.

Setiap agama selalu menerapkan standar, kriteria, batas-batas, norma, dsb. Jika seseorang menaati norma dan batas itu, ia akan dianggap sebagai berada di dalam komunitas. Sebaliknya, jika ia membangkan terhadap norma itu, dan menolak untuk (ini istilah yang lazim dipakai di kalangan Islam dan Kristen) bertobat, dalam pengertian mencabut dan menghentikan pembangkangannya itu, maka ia dianggap keluar dari komunitas. Beberapa agama, seperti Islam dan Kristen, bukan sekedar memerintahkan si pembang itu untuk hengkang dari komunitas, tetapi juga menerapkan hukuman fisik yang keras sekali, misalnya hukuman mati, atau malah juga bakar.

Sebagaimana kita lihat dalam sejarah, ini terjadi berkali-kali dalam dua gama besar di dunia saat ini: Kristen dan Islam. Dalam Islam, hukum bunuh bagi orang yang dianggap "murtad" atau keluar dari agama itu masih bertahan hingga sekarang, dan dipercayai oleh mayoritas umat Islam saat ini. Meskipun ajaran ini sekarang banyak dikritik keras oleh para aktivis Muslim yang memperjuankan hak-hak asasi manusia. Hukuman bunuh bagi orang murtad, menurut mereka, bertentangan dengan hak asasi manusia, sekaligus menabrak doktrin utama Islam sendiri mengenai kebebasan beragama sesuai dengan ayat yang terkenal, la ikraha fi 'l-din.

Menurut aktivis pro-hak asasi itu, jika Islam menganut prinsip kebebasan beragama tetapi memerintahkan bunuh bagi mereka yang ingin keluar dari Islam (murtad), maka jelas ini adalah sebentuk inkonsistensi. Jika orang bebas masuk Islam, kata mereka, maka orang itu juga harus diberikan kebebasan untuk meninggalkan Islam pula. Prinsip ini berlaku untuk semua agama: Jika seseorang bebas masuk Kristen, maka ia pun mestinya bebas keluar dari agama itu.

Sudah tentu, pandangan ini ditentang oleh kalangan Islam yang konservatif, apalagi kaum fundamentalis. Saat ini, kita berjumpa dengan sejumlah kelompok dalam Islam yang hendak menerapkan syari'at Islam, terutama yang berkaitan dengan "hudud" (secara harafiah artinya "batas") atau hukum pidana. Hukum bunuh bagi orang yang murtad atau keluar dari Islam termasuk hukum yang oleh para kalangan pro-syari'at dituntut untuk dilaksanakan di Indonesia saat ini.

Tulisan ini akan menyorot secara khusus masalah ekskomunikasi dalam konteks masyarakat Islam sendiri. Meskipun semua agama menghadapi masalah ini, dan dalam tingkat tertentu dengan skala yang begitu ekstrem seperti Katolik/Kristen di abad pertengahan, namun harus dikatakan dengan jujur bahwa saat ini Islam adalah agama yang menghadapi masalah ini dengan serius sekali.

Tantangan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah bagaimana mengatasi masalah ekskomunikasi ini. Jika tidak, Islam akan terus diidentikkan oleh orang di luar dengan kekerasan dan sikap-sikap eksklusif. Meskipun pada dasarnya Islam adalah jelas agama yang mengajarkan perdamaian dan hidup rukun, peaceful coexistence, namun saya sebagai bagian dari umat Islam harus jujur mengakui bahwa ada potensi-potensi dalam Islam yang mengarah ke sebaliknya, yakni kekerasan dan antikerukunan.

Tugas umat Islam adalah melakukan proses "teo-sosio-analisis", dalam pengertian mengurai sejumlah ajaran dan praktek sosial yang berpotensi untuk menimbulkan kekerasan dan sikap-sikap antikerukunan dan dialog. Sebagaimana seorang pasien yang mengidap depresi dan kelainan mental perlu melalukan psiko-analisis, begitu pula masyarakat yang sedang mengalami "penyakit sosial" perlu melakukan sosio-analisis.

Tulisan ini adalah bagian dari usaha menuju ke arah teo-sosio-analisis itu. Intinya adalah otokritik.

Bentuk-bentuk ekskomunikasi dalam Islam

Dalam Islam, praktek ekskomunikasi berlangsung dalam pelbagai bentuk, sesuai dengan serius tidaknya penyelewengan yang ada. Ada sejumlah istilah yang dikenal: bid'ah, dhalal, zindiq, ilhad, syirik, riddah, dan kufr. Bid'ah adalah istilah yang paling luas dipakai. Istilah ini tentu tak asing di telinga umat Kristen, karena di sana istilah bid'ah kerap dipakai oleh pihak gereja untuk menyebut gagasan-gagasan yang menyimpang dari ajaran resmi.

Dalam Islam, pengertian bid'ah juga hampir serupa, yakni setiap tindakan atau ide baru yang berkenaan dengan masalah agama yang tak dikenal pada masa Nabi. Dalam pandangan Islam, pembaharuan dalam masalah agama dilarang, sebab segala hal yang menyangkut agama sudah lengkap diajarkan oleh Nabi. Tugas umat Islam hanyalah melaksanakannya, bukan mengubah, menambahi atau mengurangi. Ini sesuai dengan sebuah hadis terkenal, man ahdatha fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun. Artinya: barangsiapa menciptakan hal baru dalam perkara ini (fi amrina), maka tindakannya itu harus ditolak.

Ungkapan "dalam perkara ini" atau "fi amrina" dalam hadis itu biasanya ditafsrikan oleh para ulama sebagai hal-hal yang menyangkut agama atau ubudiyyah. Contoh yang baik adalah soal salat atau sembahyang. Nabi mengajarkan tata-cara salat secara rinci dan detail. Umat Islam tidak diperbolehkan untuk mengadakan tata-cara baru dalam salat. Nabi mengajarkan bahwa salat Maghrib, misalnya, adalah tiga raka'at. Jika seseorang menciptakan tata-cara baru dalam salat, misalnya menjadikan salat Maghrib empat raka'at, maka tindakannya itu adalah bid'ah atau menyimpang. Dalam bahasa Inggris, istilah bid'ah biasa diterjemahkan sebagai innovation, atau menciptakan hal baru. Inovasi dalam masalah agama atau ibadah dilarang dalam pandangan Islam.

Meskipun demikian, menentukan apakah sesuatu dianggap bid'ah atau tidak di dalam praktek sehari-hari tidaklah mudah. Definisi mengenai "fi amrina" seperti dikemukakan dalam hadis di atas menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan sarjana Islam. Dulu, ada perdebatan keras antara NU dan Muhammdiyah mengenai sejumlah hal. Pihak Muhammadiyah menuduh bahwa praktek tertentu yang selama ini dilakukan oleh warga NU adalah bid'ah. Salah satu contoh adalah masalah penggunaan bedug di masjid. Pihak Muhammadiyah berpandangan bahwa Nabi tidak pernah memakai bedug. Islam sudah mempunyai tata-cara khusus untuk memanggil umat Islam ke masjid, yakni azan. Bedug adalah peninggalan dari tradisi pra-Islam di Jawa yang tak sesuai dengan ajaran Islam, karena itu dianggap bid'ah. Pihak NU menjawab bahwa memakai bedug memang inovasi, tetapi tidak masuk dalam kategori "fi amrina" atau masalah ibadah. Oleh karena itu, memakai bedug lebih tepat dikategorikan sebagai praktek budaya yang hukumnya mubah atau boleh-boleh saja.

Harus segera ditambahkan di sini, bahwa sementara inovasi atau bid'ah dalam masalah ibadah dilarang, inovasi di dalam aspek kehidupan sosial justru dianjurkan oleh Islam, dan karena itu disebut sebagai bid'ah hasanah, atau inovasi yang baik. Sebagaimana kita lihat dalam kasus di atas, menentukan mana-mana yang masuk dalam wilayah ibadah dan wilayah sosial non-ibadah sangat tidak mudah. Kelompok Islam yang konservatif cenderung menggelembungkan definisi "wilayah ibadah" sehingga nyaris semua hal masuk ke sana, dan karena itu segala bentuk pembaharuan dilarang sama sekali.

Perdebatan mengenai bid'ah antara NU dan Muhammadiyah mulai mereda sekarang. Saat ini muncul debat baru mengenai masalah-masalah di luar ibadah, terutama masalah sosial-politik. Sejumlah kelompok Islam menganggap bahwa praktek-praktek berpolitik tertentu sebagai bid'ah karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Salah satu contoh yang baik adalah sistem pemilu, parlemen, demokrasi, dsb. Menurut kelompok-kelompok Islam tertentu, praktek-praktek itu adalah bid'ah, bahkan kufur, karena itu bagian dari sistem masyarakat Barat yang sekuler. Di beberapa negeri teluk di Timur Tengah, sistem parlemen dan multipartai dianggap bida'ah dan kafir oleh beberapa ulama. Hingga saat ini, partisipasi perempuan di dalam parlemen masih menjadi masalah di sana.

Beberapa kalangan aktivis Islam juga menganggap bahwa metode-metode berpikir tertentu bisa dikategorikan bid'ah, menyimpang, sesat. Metode hermeneutika dalam menafsirkan Qur'an, misalnya, dianggap sesat oleh kelompok tertentu. Salah seorang yang paling getol berkampanye untuk hal ini adalah Adian Husaini dari sebuah kelompok yang menamakan diirnya INSIST. Mereka berpandangan bahwa Islam telah mengembangkan metode tersendiri untuk menafsirkan Qur'an, yaitu metode tafsir dan ta'wil. Sementara itu menurut MUI, sejumlah gagasan dianggap sesat, yaitu pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme.

Dalam Islam, istilah sesat adalah "dhall" atau "dhalalah. Dhall adalah kata sifat yang artinya "sesat", sementara "dhalalah" adalah kata benda yang artinya "kesesatan". Kita akan kerap menjumpai dalam literatur teologi Islam sejumlah ungkapan seperti bid'ah yang menyesatkan, misalnya. Biasanya, ungkapan seperti itu dibarengi dengan keterangan lain, misalnya "mengikuti hawa nafsu". Dalam bahasa Inggris, istilah hawa nafsu mungkin bisa diterjemahkan sebagai "whim". Orang yang menganut pandangan tertentu yang menyimpang dari pakem resmi yang dianut oleh ulama akan disebut sebagai ahli bid'ah yang menyesatkan dan mengikuti hawa nafsunya sendiri.

Logika yang bekerja di sana sangat menarik diamati. Kalangan konservatif tentu memiliki anggapan bahwa ada sejumlah kriteria objetif tentang kebenaran dalam Islam. Sesiapa yang menyimpang dari kriteria itu, dia akan disebut sebagai mengikuti hawa nafsunya sendiri, dan karena itu subjektif. Subjektivisme adalah sesuatu yang jelek karena tak mengenai kepastian. Cara berpikir kalangan konservatif dalam agama apapun memang dibentuk berdasarkan keinginan untuk mencari "certainty" atau kepastian dalam hampir semua hal. Oleh karena itu, mereka paling takut terhadap setiap bentuk bid'ah karena hal itu akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian, social disorder. Dalam Islam, kekacauan biasanya disebut sebagai "fitnah". Bid'ah, bagi mereka, dianggap sebagai sumber fitnah yang mengganggu kestabilan sosial.

Istilah lain yang dipakai adalah murtad dan kafir. Murtad adalah kata Arab yang artinya keluar dari sesuatu. Kafir atau kufr secara harafiah artinya adalah menutup sesuatu. Dua istilah ini dipakai oleh beberapa kalangan Islam untuk menyebut kelompok lain yang menyimpan dari ajaran resmi.

Istilah kafir dan murtad tentu lebih serius ketimbang bid'ah. Yang terakhir ini adalah pembangkangan dalam taraf ringan. Sementara kafir dan murtad adalah pembangkangan kelas berat, dan karena itu juga hukumannya sangat keras. Sebagaimana sudah disebut di muka, orang yang dianggap kafir dan murtad boleh dibunuh.

Definisi yang mulur-mungkret

Yang menjadi masalah adalah bahwa kriteria untuk menentukan sesorang sebagai kafir atau murtad sangat lentur seperti pasal-pasal karet dalam era Orde Baru yang otoriter dulu. Dua isitlah itu saat ini cenderung begitu mudah dipakai untuk menghamiki pendapat-pendapat yang berbeda. Hanya karena perbedaan yang sepele saja, seseorang bisa dituduh kafir atau murtad. Daftar tindakan dan gagasan yang bisa dikafirkan bisa menggelembung sesuai dengan tingkat konservatisme seseorang. Makin konservati, makin panjang daftar itu.

Dalam beberapa kasus, gejala kafir-mengkafirkan ini terlalu kebablasan sehingga menggelikan sekali. Saya akan mengambil sebuah contoh ringan dari situs Salafi (www.assalafi.net). Salafi atau Salafiah adalah salah satu bentuk gerakan Islam modern yang diinspirasikan oleh gagasan Muhammad ibn Abdul Wahhab, pendiri Wahabisme yang sekarang dijadikan doktrin resmi kerajaan Saudi Arabia. Kelompok-kelompok salafi dikenal paling "royal" dan murah hati membagi-bagikan sebutan "bid'ah", "kafir", "syirik", "murtad" kepada siapa saja yang mereka anggap bertentangan dengan sunnah atau hadis Nabi.

Saya akan kutip dengan sedikit lengkap dari situs itu agar kita mendapatkan gambaran yang sedikit kongkret mengenai seriusnya kultur pengkafiran dalam umat Islam ini. Seluruh kutipan saya tulis dengan huruf miring:

Qaradhawi Mengucapkan Selamat Kepada Israel

Suatu ketika Yusuf Al Qaradhawi menyampaikan khotbah Jum’at yang berkenaan masalah merokok. Pada khotbah kedua ia beralih ke masalah pemilu di Aljazair dan berkata :
Wahai saudara-saudara sekalian, sebelum meninggalkan tempat ini, saya ingin menyampaikan suatu kalimat berkenaan dengan hasil pemilu Israel. Dulu orang-orang Arab menaruh harapan kepada kesuksesan (Perez) dan dia sekarang telah jatuh, inilah yang kita puji dari Israel.

Kita berharap negara kita bisa seperti negara ini (Israel), yaitu karena kelompok kecil seorang penguasa bisa jatuh dan rakyatlah yang menentukan hukum tanpa ada hitung-hitungan prosentase yang kita kenal di negeri kita 99,99 persen. Sesungguhnya ini semua adalah kedustaan dan tipuan. Seandainya Allah menampakkan diri kepada manusia maka Dia tak akan mampu mencapai prosentase sebesar ini. Kami mengucapkan selamat kepada Israel atas apa yang telah diperbuatnya (Khotbah Yusuf Al Qaradhawi yang terekam dalam kaset dan telah disebarkan oleh Harian Al Wathan edisi 7072. Hanya saja mereka mengeditnya seperti kebiasaan mereka berkhianat dalam mengutip.) .

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang perkataan Yusuf Al Qaradhawi, seandainya Allah menampakkan dirinya kepada manusia. Syaikh menjawab :

“Na’udzubillah! Wajib bagi dia untuk bertobat. Jika tidak, maka dia murtad karena telah memposisikan makhluk lebih tinggi daripada Khaliq. Wajib baginya untuk bertobat kepada Allah. Jika mau bertobat kepada Allah maka itu akan diterima-Nya dan jika tidak maka wajib bagi pemerintah Muslim untuk memenggal lehernya.” (Dikutip dari suara Syaikh ‘Utsaimin yang terekam dalam kaset)

Yusuf Qardhawi adalah salah pemikir dan ulama penting saat ini, tinggal di Qatar, menulis lusinan buku yang dibaca luas di dunia Islam. Dia adalah seorang pengikut Ikhwanul Muslimin yang cukup moderat pemikirannya. Dialah salah satu simbol Ikhwan terpenting saat ini. Ibnu 'Utsaimin adalah salah satu ulama dari Saudi Arabia yang menjadi kiblat gerakan Salafi di banyak dunia Islam. Fatwa-fatwanya selalu dijadikan rujukan oleh pengikut gerakan Salafi.

Contoh di atas hanya sebuah sampel kecil yang memperlihatkan bagaimana mudahnya sebutan kafir dan murtad dilontarkan. Kalau kita tengok situs-situs Salafi, kita akan bertemu dengan lusinan contoh seperti itu. Yang menarik, masing-masing gerakan Salafi memurtadkan, mengkafirkan, dan membid'ahkan sesama mereka sendiri, persis seperti "perang saudara". Kelompok-kelompok Salafi saat ini termasuk salah satu dari gerakan Islam kontemporer yang berkembang pesat di Indonesia, antara lain karena sokongan uang minyak dari Saudi Arabia, entah dari pihak lembaga resmi negara atau para donatur dari sana. Salah satu lembaga yang menjadi "agen" gerakan ini di Indonesia adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, FKAWJ yang dulu menaungi Lasykar Jihad, dan beberapa kelompok lain yang tersebar di berbagai tempat. Ciri-ciri mereka adalah gemar memakai istilah "al-sunnah", misalnya pesantren Ja'far Umar Talib di Yogyakarta yan bernama Ihya' al-Sunnah. Ini sesuai dengan prinsip utama mereka yang ingin merawat dan menghidupkan sunnah Nabi.

Kelompok-kelomok seperti ini juga gemar sekali membuat daftar kelompok-kelompok atau orang-orang yang dianggap sesat. Seorang penulis beraliran salafi, Hartono Ahmad Jaiz, misalnya, menulis buku yang laris-manis, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia.

Gejala ini secara keseluruhan menimbulkan suasana yang amat memprihatinkan, yaitu sikap-sikap mau benar sendiri dan mudah menyesatkan kelompok lain. Tentu hal ini sama sekali kurang menguntungkan dari sudut kepentingan ukhuwwah atau persaudaraan Islam. Jika kita lihat perangai kelompok-kelompok yang mudah menyesatkan dan mengkafirkan itu, nyaris kita tak percaya bahwa umat Islam adalah tubuh yang satu (al-jasad al-wahid), sebagaimana digambarkan oleh hadis yang terkenal itu. Seperti sindiran Qur'an, tahsabuhum jami'an wa qulubuhum shatta. Engkau mengira mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah-belah. Bukankah sindiran Qur'an ini tepat dikenakan pada umat Islam saat ini?

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-Shawab.

Fatwa MUI dan Soal Haramnya Perayaan Natal Bersama: Sebuah Studi Kritis

Ruzbihan Hamazani



Dua puluh enam tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang sejak "lahir" hingga sekarang terus-menerus menjadi bahan perdebatan dan kontroversi. Fatwa itu dikeluarkan pada 7 Maret 1981 dan ditandatangani oleh K.H.M. Syukri Ghazali sebagai Ketua dan Drs. H. Mas'udi sebagai Sekretaris. Fatwa ini sekarang sudah beredar di mana-mana dan dimuat di banyak situs. Yang kebetulan belum sempat membaca, bisa membuka situs MUI.

Karena begitu banyaknya kontroversi soal fatwa ini, timbul dalam masyarakat dua "mitos" tentang fatwa ini. Bagi mereka yang memperjuangkan ide-ide pluralisme dan dialog antaragama, fatwa ini dianggap sebagai "momok" yang menaktukan, biang intoleransi, dan sumber segala bentuk eksklusivisme. Bagi mereka yang setuju dan membela, fatwa ini dianggap sebagai pedoman yang amat penting, sekaligus sebagai benteng untuk melindungi akidah umat. Menantang fatwa ini sama dengan membahayakan akidah umat Islam. Oleh karena itu, di kalangan pendukungnya, muncul semacam "histeria" ketika ada kritik-kritik terhadap fatwa itu.

Saya ingin mengajak pembaca untuk menelaah kembali fatwa itu dengan cermat, dan melihat apakah argumentasinya cukup kokoh atau tidak. Dengan telaah langsung seperti ini, kita bisa menyibakkan sejumlah mitos yang menyungkup fatwa ini. Saya khawatir, baik yang menolak atau mendukung fatwa ini tidak pernah membacanya dengan cermat. Kalaupun dibaca, jangan-jangan tidak dengan pembacaan yang kritis, tetapi pembacaan "iman" yang percaya saja pada fatwa itu tanpa menyelidiki kekuatan dalil-dalilnya. Ataupun pembacaan yang sudah dilandasi dengan prasangka buruk, sehingga gagal memahami fatwa itu dengan baik.

Tujuan tulisan ini adalah menguji secara kritis fatwa ini dengan cara melihat sejumlah argumentasi yang ada di dalamnya. "Menguji secara kritis" tidak berarti serta-merta menolak fatwa itu. Sebaliknya, pengujian seperti itu juga bisa berarti menerima fatwa tersebut, tetapi dengan sejumlah catatan kritis.

Selain itu, perlu juga dikemukakan sejak dari awal, bahwa fatwa MUI itu bukanlah pendapat yang mutlak benar. Sebagai sebuah pendapat, ia bersifat dhanni atau relatif. Begitu pula pendapat yang menolak fatwa itu juga bukan pendapat yang mutlak benar atau pun salah. Karena ini adalah menyangkut masalah yang sifatnya "dhanniyyat", maka energi umat Islam tak selayaknya dihabiskan untuk saling tengkar dan caci-maki antara yang pro dan kontra yang pada akhirnya malah membawa cabaran bagi agama Islam itu sendiri.

Struktur dan argumen fatwa MUI

Fatwa ini disusun dengan format yang khas, terdiri dari empat bagian, dan masing-masing bagian diberikan judul yang mirip dengan sebuah dokumen resmi yang biasa kita lihat dalam birokrasi pemerintahan, seperti keputusan presiden, peraturan menteri, dan sebangsanya. Struktur fatwa ini tampaknya "diniatkan" untuk mengikuti piramida terbalik. Bagian yang paling atas diandaikan berisi pertimbangan yang sifatnya umum. Makin ke bawah, makin spesifik, dan pertimbangan yang dikemukakannya pun makin bersifat khusus, dan tentunya lebih penting dari bagian sebelumnya. Puncak fatwa ini berada di bagian paling bawah yang merupakan substansi dari fatwa tersebut.

Bagian pertama

Bagian ini berjudul "Memperhatikan", dan di dalamnya terdapat tiga pokok pertimbangan.

Pertama, adanya gejala dalam masyarakat di mana perayaan Natal dianggap secara "keliru" sebagai sama dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad atau mawlid Nabi.

Kedua, karena anggapan yang keliru itu, ada sejumlah kalangan yang ikut dalam perayaan Natal, bahkan duduk dalam kepanitiaan perayaan Natal.

Ketiga, perayaan Natal bagi orang Kristen adalah merupakan ibadah.

Bagian kedua

Bagian ini berjudul "Menimbang" dan berisi empat pertimbangan.

Pertama, umat Islam perlu mendapat petunjuk tentang Perayaan Natal Bersama (PNB).

Kedua, umat Islam perlu diberikan informasi agar tidak mencampur-adukkan antara akidah dan ibadah dalam Islam dengan akidah dan ibadah dalam agama lain.

Ketiga, umat Islam perlu menambah iman dan taqwa kepada Tuhan.

Keempat, fatwa ini dikeluarkan tanpa mengurangi usaha membina kerukunan antaragama di Indonesia.

Bagian ketiga

Bagian ini merupakan penegasan sejumlah doktrin standar mengenai hubungan antaragama, Yesus, Maryam, dan monoteisme Islam. Kesemuanya didasarkan pada sejumlah ayat dalam Qur'an, hadis, dan qa'idah fiqhiyyah (kaidah hukum Islam). Bagian ini berjudul "Meneliti kembali" dan berisi tujuh pertimbangan.

Pertama, umat Islam diperbolehkan untuk mengadakan hubungan dan kerjasama dengan umat agama lain dalam hal-hal yang sifatnya keduniaan. Lalu dikutiplah sejumlah ayat berikut ini: 49:13, 31:15, 60:8.

Kedua, umat Islam dilarang mencapuradukkan peribadatan dan akidah Islam dengan hal serupa dari agama lain. Lalu dikutiplah sejumlah ayat: 109:1-6, 2:42.

Ketiga, umat Islam harus mengakui kerasulan Isa Al-Masih ibn Maryam. Sejumlah ayat dikutip untuk mendukung hal ini: 19:30-32, 5:75, 2:285.

Keempat, barangsiapa percaya bahwa Tuhan lebih dari satu dan memiliki anak, maka ia telah menjadi musyrik dan kafir. Beberapa ayat dikutip untuk mendukung hal ini: 5:72, 5:73, 9:30.

Kelima, Isa akan ditanya oleh Tuhan pada hari kiamat kelak, apakah ia menyuruh umatnya untuk meyakini bahwa dirinya dan ibunya adalah Tuhan. Pada saat itu, Isa akan menolak hal semacam itu, sebagaimana terbaca dalam QS 5:116-118.

Keenam, ajaran monoteisme Islam sebagaimana disebutkan dalam QS 112:1-4 (Surah al-Ikhlas).

Ketujuh, ajaran Islam yang menghendaki agar umat Islam menjauhkan diri dari syubhat atau hal-hal yang kurang jelas status halal-haramnya. Ajaran ini dasarkan pada sebuah hadis riwayat Nu'man ibn Bashir yang menganjurkan agar umat Islam menjauhi syuhbhat. Pertimbangan ketujuh ini juga didasarkan pada sebuah kaidah dalam hukum Islam, dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih. Artinya: mencegah bahaya harus didahulukan ketimbang usaha mendatangkan masalahat atau keuntungan.

Bagian keempat

Bagian ini berjudul "Memfatwakan". Inilah bagian inti dari fatwa MUI. Saya akan mengutip sacara harafiah fatwa itu:

(a) Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.

(b) Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.

(c) Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.


Kritik atas fatwa dan argumen MUI

Terhadap fatwa ini, saya ingin mengemukakan sejumlah catatan kritis berikut:

(1) Fatwa ini tampaknya didasarkan untuk sebagian besar pada Qur'an. Hanya satu hadis dan kaidah fikih yang dikutip di sana. Yang menarik adalah bahwa dalam fatwa itu kita tak menemukan kutipan satupun dari otoritas di luar Qur'an dan hadis, misalnya pendapat para ulama, terutama dari periode klasik. "Gaya" fatwa yang bertumpu semata-mata pada Qur'an dan hadis ini tentu kurang lazim dikenal di kalangan ormas Islam tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Gaya fatwa ini adalah khas fatwa di lingkungan kaum Muslim modernis atau Muhammadiyah yang dikenal dengan semboyan kembali pada Qur'an dan hadis itu.

Saya sendiri tak tahu persis siapa saja yang menjadi "otak" fatwa ini. Yang jelas, fatwa ini dikeluarkan oleh MUI pada saat lembaga itu dipimpin oleh almarhum Buya Hamka, seorang tokoh penting dalam Muhammadiyah.

Saya tidak mengatakan bahwa fatwa dengan gaya Muhammadiyah ini serta merta tidak valid. Saya hanya menunjukkan bahwa gaya seperti ini kurang lazim dikenal di kalangan Islam tradisional seperti NU yang lebih mengutamakan kerangka mazhab ketimbang langsung merujuk kepada Qur'an dan hadis. Dengan kata lain, gaya fatwa MUI ini lebih dekat dengan tradisi "tarjih" di Muhammadiyah ketimbang "bahth al-masa'il" di NU.

Apa yang hendak saya katakan di sini bukan sekedar perbedaan "gaya fatwa", tetapi lebih dari itu juga menyangkut substansi. Ada masalah besar dengan cara berfatwa yang langsung merujuk kepada Qur'an dan hadis tanpa dibantu dengan suatu argumen antara yang menjadi semacam medium. Sebagaimana kita tahu, tidak semua masalah yang dihadapi oleh umat Islam dapat ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam dua sumber utama itu. Pada masa Nabi hidup, masalah peringatan Natal bersama belum muncul, sehingga kita tak akan menemukan ayat atau hadis yang berkaitan dengan isu itu. Masalah mengucapkan selamat Natal atau peringatan Natal bersama muncul belakangan ini di era modern. Oleh karena itu, ayat-ayat dan hadis yang dikutip dalam fatwa MUI di atas sama sekali tidak langsung menyinggung soal Natal itu sendiri. MUI hanya mencoba mengait-ngaitkan antara ayat dan hadis itu dengan soal Natal. Tetapi, jika kita baca secara harafiah ayat-ayat tersebut, kita tak menemukan hubungan yang sifatnya langsung dengan soal Natal.

Karena Qur'an dan hadis seringkali hanya merupakan dalil umum yang tidak secara langsung berhubungan dengan kasus-kasus partikular yang menjadi bahan diskusi, maka kalangan NU cenderung tidak menyukai cara berfatwa atau "istinbath" yang langsung didasarkan pada Qur'an atau hadis. Mereka lebih suka mendasarkan diri kepada pendapat ulama yang biasanya jauh lebih spesifik. Pendapat-pendapat ulama itu biasanya termuat dalam kutub al-mazahib atau kitab-kitab mazhab yang di pesantren Jawa dikenal dengan Kitab Kuning karena warna kertasnya yang biasanya kuning. Bagi kalangan NU, Qur'an dan hadis umumnya merupakan dalil yang masih "mentah". Hanya para mujtahid dengan kompetensi yang tinggi yang bisa mengolah dalil mentah itu. Kalangan NU cenderung percaya bahwa umumnya ulama pada zaman ini tidak memiliki kompetensi semacam itu, sehingga mereka memilih jalur yang lebih aman, yaitu mengutip pendapat ulama ketimbang langsung mengutip Qur'an atau hadis. Kalangan NU juga memiliki suatu "reasoning" yang menarik. Jika seseorang salah menafsirkan atau mengutip pendapat ulama, maka resikonya tak sebesar kalau yang bersangkutan salah dalam menafsirkan Qur'an dan hadis.

Meskipun saya tak sepenuhnya sepakat dengan cara berpikir NU yang terlalu mazhab-sentris ini, tetapi ada hal yang patut dipertimbangkan di sana. Kalangan NU ada benarnya saat berpendapat bahwa dalil Qur'an dan hadis umumnya masih bersifat "gelondongan", mentah, belum diolah. Contoh yang baik untuk hal ini dengan baik bisa kita saksikan dalam ayat-ayat yang telah dikutip dalam fatwa MUI di atas. Sebagaimana sudah saya katakan, tidak ada kaitan langsung antara ayat-ayat itu dengan soal Natal. Oleh karena itu, fatwa MUI ini meninggalkan pertanyaan besar yang belum terjawab: bagaimana ayat-ayat itu dapat menunjukkan bahwa ikut perayaan Natal hukumnya haram.

Dalam bagian berikut, saya akan memberikan penjelasan yang lebih rinci.

(2) Argumen pokok fatwa MUI tampaknya terdapat dalam bagian ketiga yang berisi tujuh pertimbangan itu. Mari kita lihat beberapa argumen itu, dan apakah cukup kuat menjadi landasan untuk mengharamkan ikut upacara Natal bagi seorang Muslim.

a. Salah satu argumen MUI adalah bahwa umat Islam dilarang mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan akidah dan ibadah agama lain. Dengan kata lain, Islam melarang sinkretisme. MUI mengutip ayat 109:1-6 dan 2:42. Ayat yang pertama terdapat dalam Surah Al-Kafirun yang sudah terkenal itu di mana dikatakan "la a'budu ma ta'budun, wa la antum 'abidun ma a'bud." Artinya: aku tak menyembah sesembahan kalian (orang-orang kafir), dan kalian juga tak seharusnya menyembah sesembahanku (Nabi).

Soal larangan mencampur-adukkan ibadah dan akidah Islam dengan akidah dan ibadah agama lain, kita tentu sepakat. Hampir semua agama sepakat dalam masalah yang satu ini. Sinkretisme dalam pengertian membuat akidah dan ritual "gado-gado" tidak dibenarkan dalam agama apapun.

Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, bagaimana orang yang ikut perayaan Natal bisa dikatakan mencampuradukkan akidah dan ibadah? Di mana letak pencampuradukan di sana? Kita dapat menyebut seseorang mencampuradukkan ibadah atau akidah jika dia, misalnya, menciptakan suatu ritual yang unik, di mana salat dicampur dengan komuni. Ini sekedar contoh saja. Jika seseorang hanya datang dalam upacara Natal dan sama sekali tak ikut ibadah, sekedar duduk menonton, bagaimana ia bisa disebut mencampuradukkan ibadah dan akidah? Apakah jika seseorang menonton upacara Natal di TV juga disebut mencampuradukkan ibadah dan akidah?

Dalam tradisi teologi yang diikuti oleh sebagian besar kalangan Sunni, iman biasanya didefinisikan sebagai "tashdiqun bi 'l-janan, wa iqrarun bi 'l-lisan, wa fi'lun bi 'l-arkan." Artinya: membenarkan dalam hati, mengakui secara lisan, dan menindaklanjutinya dengan tindakan. Dengan definisi ini, jika seseorang menjalan salat, tetapi ia tidak percaya kepada Islam di hati, serta tidak mengucapkan shahadat atau pengakuan verbal, maka ia tak bisa disebut sebagai seorang Muslim. Begitu pula, ketika seorang Muslim datang dalam upacara Natal, sementara dia tak ikut mengucapkan secara verbal kredo iman Kristen, serta tidak mempercayainya dalam hati, maka ia tak bisa disebut keluar dari Islam dan pindah ke Kristen. Dia juga tak bisa disebut mencampuradukkan akidah dan ibadah.

(3) Dalam argumen MUI juga disebutkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mempercayai bahwa Isa ibn Maryam adalah Rasul dan Nabi, bukan seorang Tuhan sebagaimana diimani oleh umat Kristen. Mengenai hal ini terdapat sejumlah ayat dalam Qur'an yang memang dengan jelas menunjukkan hal itu, misalnya QS 19:30-32, 5:75, 2:285. Argumen ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa seseorang yang mengikuti upacara Natal dengan sendirinya mengakui keilahian Yesus. Sebagaimana saya tunjukkan dalam bagian sebelumnya, iman bukan sekedar tindakan, tetapi juga keyakinan dalam hati, didukung oleh deklarasi verbal secara lisan. Seseorang yang datang dalam upacara Natal tidak bisa serta merta disebut menyetujui doktrin keilahian Yesus. Jika saya hadir dalam seminar di mana Abu Bakar Ba'ashir menjadi pembicara, misalnya, bukan berarti serta merta saya menyetujui pendapat Ba'ashir. Kalau saya masuk ke sebuah katedral besar yang indah sekali arsitekturnya, maka tidak berarti saya langsung menyetujui ibadah dan akidah Kristen. Kalau saya hadir dalam misa Minggu di gereja, menonton bagaimana ibadah Kristen dilaksanakan, bukan berarti dengan sendirinya saya setuju dengan kredo dan ibadah Kristen. Contoh ini bisa diperpanjang. Intinya adalah: kehadiran secara fisik dalam suatu upacara tertentu, tidak serta merta bisa ditafsirkan bahwa yang bersangkutan setuju dengan semua yang ada di sana. Sekali lagi, iman dalam sudut pandang kaum Sunni bukan sekedar tindakan, tetapi keyakinan dan juga ucapan. Bagaimana MUI yang merupakan lembaga ulama Sunni ini bisa lupa definisi iman yang paling elementer?

Ambiguitas fatwa MUI

Sekarang tiba saatnya kita akan menelaah inti dari fatwa MUI itu sendiri sebagaimana terbaca dalam bagian keempat yang berjudul "Memfatwakan" itu. Dalam fatwa ini, kita melihat sejumlah ambiguitas dan hal menarik lain yang luput dari perhatian banyak orang:

(1) Fatwa ini hanya mengharamkan ikut upacara Natal, tetapi tak berbicara sama sekali tentang tradisi tukar menukar kartu Natal atau mengucapkan Selamat Natal. Kita tak mendapat kejelasan apakah mengucapkan Selamat Natal dapat dianggap sebagai ikut upacara Natal atau tidak. Secara akal sehat, tentu mengucapkan Selamat Natal tak dapat dianggap sebagai ikut upcara Natal. Dengan demikian, kita bisa berasumsi bahwa MUI membolehkan ucapan Selamat Natal.

(2) Dalam fatwa itu, ada dua jenis tindakan. Pertama, ikut merayakan Natal yang menurut fatwa itu diharamkan. Kedua, ikut kegiatan Natal yang dianggap "shubhat" (samar-samar, tak jelas status boleh-tidaknya) sehingga sebaiknya dijauhi. MUI sama sekali tak menjelaskan apa perbedaan antara kedua hal itu. Secara tak langsung sebetulnya MUI ingin mengakui adanya perbedaan antara dua aspek dalam upacara Natal. Pertama aspek ibadah, dan kedua aspek sosial. Jika seseorang ikut upacara Natal dalam pengertian ikut ibadah, maka, menurut MUI, hukumnya haram. Sebaliknya, jika hanya ikut dalam kegiatan Natal yang non-ibadah, hukumnya tidak haram, tetapi sebaiknya dijauhi karena shubhat.

Di sini kita juga tak mendapat kejelasan: apakah mengucapkan Selamat Natal atau sekedar datang dalam upacara sosial Natal masuk dalam kategori haram atau shubhat. Kalau mengikuti tafsiran Prof. Din Syamsuddin yang baru-baru ini mengikuti mengikuti Perayaan Natal Bersama, yang diharamkan dalam fatwa MUI adalah ikut ibadah Natal. Kalau sekedar ikut upacara Natal yang bersifat sosial non-ibadah, maka hukumnya boleh. Kita semua tahu, Prof. Din Syamsuddin adalah pejabat penting dalam MUI, sehingga tafsirannya bisa kita anggap mencerminkan sebagian pendapat yang berkembang di dalam lembaga itu.

Dalam pembacaan saya sendiri, tampaknya fatwa MUI cenderung pada tafsiran Din Syamsuddin. Dengan jelas sekali MUI membedakan antara dua hal: ikut upacara Natal dan ikut kegiatan Natal, walaupun tak dijelaskan dengan tegas apa yang dimaksud dengan yang pertama, dan apa dengan yang kedua. Meskipun, dalam hal yang kedua, MUI tidak mengatakan boleh seperti diikuti oleh Din Syamsuddin, sebaliknya fatwa MUI menganjurkan untuk menjauhi.

Dalam pandangan saya, fatwa MUI ini secara keseluruhan masih "reasonable" alias masuk akal. Fatwa ini tidak sekaku yang dikira banyak orang selama ini. Fatwa ini tidak secara jelas melarang umat Islam mengucapkan Selamat Natal seperti dipersepsikan oleh banyak kalangan. Fatwa ini, paling jauh, hanya menganjurkan agar umat Islam tak ikut dalam kegiatan Natal yang non-ibadah. Sifatnya adalah anjuran, bukan larangan.

Dengan menelaah fatwa MUI secara dekat seperti ini, kita bisa melucuti sejumlah mitos menyeramkan yang menyelimuti fatwa kontroversial ini.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Friday, December 28, 2007

Awal Mula Wahyu dan Kenabian

Hubungan antara Islam dan Kristen bermula bahkan sejak awal berdirinya Islam sebagai sebuah agama. Keterkaitan antara dua agama ini begitu erat sehingga susah memisahkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya memang tidak selalu mulus; keduanya terikat dalam hubungan "cinta-benci" yang berlangsung secara selang-seling. Tetapi, yang tak boleh dilupakan adalah bahwa pada masa menjelang kelahiran Islam dan karir kenabian Muhammad, agama Kristen memerankan peran positif yang hingga sekarang selalu dikenang oleh umat Islam. Kita bisa melihat hal itu dalam laporan tentang bagaimana wahyu pertama kali turun atau datang kepada Nabi Muhammad. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba melaporkan kembali sejumlah riwayat yang dicatat oleh Abu Ja'far al-Tabari (w. 923 M) mengenai peristiwa awal mula pewahyuan, sebagaimana dapat kita baca dalam karya besarnya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah Bangsa-Bangsa dan Raja-Raja). Karya al-Tabari ini dianggap sebagai salah satu sumber sejarah penting mengenai kehidupan Nabi, selain sejarah Ibn Ishaq yang sampai kepada kita melalui resensi Ibn Hisham, dan dikenal sebagai Sirah Ibn Hisham (sirah adalah sejarah kehidupan Nabi; secara harafiah, "perjalanan hidup").

Laporan pertama yang disebut oleh al-Tabari adalah penuturan yang disampaikan oleh A'ishah, isteri Nabi. Menurut penuturan A'ishah, wahyu pertama kali datang kepada Nabi dalam bentuk mimpi yang benar (al-ru'ya al-shadiqah). Mimpi itu begitu terang-benderang sehingga menyerupai kilatan sinar pertama matahari yang muncul di waktu subuh (falaq al-shubh). Pada saat itu, Nabi memiliki kebiasaan untuk melakukan meditasi atau "menyendiri" (al-khala') di sebuah gua di luar kota Mekah, yakni gua Hira'. Ia melakukan meditasi selama beberapa malam sebelum akhirnya pulang ke rumah, mengambil sejumlah kebutuhan ala kadarnya, untuk kemudian kembali ke gua dan meneruskan meditasi kembali. Tradisi ini merupakan kebiasaan yang sudah ada dan lazim dilakukan oleh beberapa kalangan Arab pada zaman itu; dikenal sebagai praktek takhannuth.

Nabi terus melakukan kegiatan meditasi itu sampai suatu waktu ia didatangi oleh "al-Haqq" atau Kebenaran. Sebagaimana disebutkan dalam laporan-laporan yang lain, yang dimaksud dengan al-Haqq di sini adalah malaikat Jibril, figur yang memainkan peran yang sangat penting dalam proses pewahyuan menurut pandangan Islam. Jibril berkata kepada Muhammad, "Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Tuhan." Mendengar itu, Nabi bersimpuh ketakutan. Ia kemudian lekas-lekas pulang meninggalkan gua dan menemui isterinya, Khadijah. Kepada isterinya itu, ia berkata, "Selimutilah aku, selimutilah aku." Untuk beberapa saat ketakutan Nabi reda.

Setelah pertemuan pertama dengan Jibril yang menimbulkan "shock" itu, Nabi tetap masih meneruskan kebiasaan meditasi di gua Hira'. Untuk kedua kalinya, Jibril mendatanginya kembali dan mengatakan hal yang sama seperti dikatakan dalam pertemuan yang pertama, "Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Tuhan." Seperti sebelumnya, Nabi kembali didera rasa takut luar biasa, begitu rupa sehingga ia beniat untuk bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari atas bukit. Saat hendak bunuh diri itulah, Jibril nampak kembali kepada Nabi dan berkata, "Wahai Muhammad, aku adalah Jibril dan engkau adalah utusan Tuhan." Jibril kemudian berkata, "Bacalah." Nabi menjawab, "Aku tak bisa membaca".

Catatan: Redaksi yang dipakai dalam riwayat A'ishah yang terkenal itu adalah "Ma aqra'". Kalimat ini bisa diterjemahkan dengan dua cara: "Aku tak bisa membaca" seperti di atas; atau bisa pula "Apa yang harus aku baca?" dalam bentuk istifham atau pertanyaan.

Saat Nabi tak tahu apa yang harus dibaca itu, Jibril membekap Nabi tiga kali hingga ia terengah-engah. Jibril berkata lagi, "Bacalah 'Iqra bismi rabbika alladzi khalaq'". Nabi kemudian menirukan. Setelah itu Nabi pulang, menemui Khadijah sambil berkeluh, "Aku lelah sekali." Nabi kemudian menceritakan pengalaman yang ia alami di gua Hira' itu kepada isterinya.

Reaksi spontan Khadijah demi mendengar cerita Nabi menarik sekali. Ia mengatakan, "Bergembiralah. Demi Tuhan, Tuhan tak akan menghinakan engkau. Demi Tuhan, engkau selalu menyambung hubungan kerabat, berkata benar, menunaikan amanat (kepercayaan), meringankan beban orang yang susah, menjamu tamu, dan membantu mereka yang terkena musibah."

Setelah itu, Khadijah membawa Nabi kepada Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah, seorang "qiss" atau pendeta yang tentu mengetahui dengan baik ajaran Kristen dan pengalaman pewahyuan yang pernah dialami oleh nabi-nabi Israel sebelumnya. Kata Khadijah, "Dengarlah keponakanmu ini!" Kemudian Waraqah menanyakan pengalaman yang dialami Nabi di gua Hira' itu. Setelah mendengar cerita dari Nabi, Waraqah berkata, " Ini adalah "namus" (hukum atau perjanjian) yang pernah diturunkan kepada Musa anak Amram (Imran). Seandainya aku masih muda saat kenabian itu datang padamu. Andai aku masih hidup saat kaummu mengusirmu." Nabi bertanya, tentu dengan sedikit kaget karena mendapatkan keterangan seperti itu, "Apakah mereka kelak akan mengusirku?" Waraqah menjawab, "Ya, tentu. Tak seorang nabipun yang membawa wahyu seperti yang engkau bawa itu kecuali akan dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku sempat menyaksikan saat itu, tentu aku akan membelamu habis-habisan (anshuruka nashran muazzaran)."

Laporan ini mengandung banyak hal yang menarik. Beberapa catatan bisa kita kemukakan sebagai berikut:

(1) Kenapa Nabi begitu takut mendapatkan pengalaman pewahyuan itu, begitu rupa hingga dia hendak bunuh diri? Tentu ini bukan sekedar ketakutan biasa layaknya seseorang melihat hantu. Tak ada keterangan yang jelas mengenai hal ini dalam laporan A'shah itu. Jawaban atas misteri ini bisa kita temukan dalam laporan lain melalui Wahb ibn Kaisan, budak keluarga Zubair. Dalam laporan itu disebutkan bahwa tak ada sesuatu yang dibenci Nabi melebihi penyair dan orang gila. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan lain pula: Kenapa Nabi begitu membenci penyair dan orang gila? Bukankah kedua hal itu adalah fenomena biasa dalam masyarakat Arab?

Terus terang harus dikatakan bahwa sulit untuk menemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yang jelas, pada zaman itu, ada tiga fenomena yang dikenal luas dalam masyarakat Arab, yaitu penyair, dukun, dan orang gila. Dalam tradisi Arab, terdapat suatu kepercayaan bahwa ketiga golongan tersebut, karena kemampuan tertentu yang ada pada "al-quwwah al-mukhayyilah" mereka (istilah dalam filsafat Islam yang berarti "fakultas mental dalam manusia yang berkaitan dengan daya imajinasi"), dapat berhubungan dengan dunia gaib. Seorang penyair dalam kepercayaan masyarakat Arab dianggap memiliki "muse" atau semacam "jin" yang membisikkan ilham kepadanya sehingga ia bisa menggubah syair yang indah. Begitu pula dukun dan orang gila.

Kepercayaan semacam inilah yang boleh jadi membuat Nabi merasa khawatir bahwa dirinya akan menjadi seorang dukun, penyair, atau orang gila. Nabi tampaknya khawatir bahwa malaikat yang datang kepadanya tak lain adalah jin yang dipercayai oleh masyarakat Arab sebagai pembisik ilham kepada para penyair dan dukun. Kekhawatiran dianggap sebagai dukun dan penyair ini begitu mendera Nabi sehingga ia ketakutan dan ingin melakukan bunuh diri.

Tentu di sini kita masih bisa terus bertanya: Jika khawatir disebut sebagai seorang gila, tentu kita bisa maklum. Tetapi kenapa Nabi takut disebut sebagai seorang penyair? Bukankah kedudukan penyair sangat terhormat dalam masyarakat Arab zaman itu? Puisi-puisi para penyair kenamaan zaman itu digantung di Ka'bah sebagai sebentuk pengakuan akan status sosial mereka. Kenapa Nabi mesti takut dianggap penyair? Dan ketakutan yang menimpa Nabi begitu akut pula, sehingga ia hendak melakukan bunuh diri. Kenapa?

Sulit menjawab dengan pasti pertanyaan ini. Secara "doktriner" kita bisa saja menjawab, bahwa memang Tuhan menghendaki Nabi demikian, karena Dia telah mempersiapkannya untuk menjadi seorang Nabi. Salah satu cara Tuhan mempersiapkan Muhammad untuk menjadi nabi adalah dengan cara membuat yang bersangkutan benci kepada penyair. Sebab, fenomena penyair dan kenabian sering dikacaukan dan dianggap sama oleh masyarakat Arab. Supaya ada garis pemisah yang tegas antara dua fenomena itu, maka Tuhan menciptakan rasa benci yang mendalam pada Nabi terhadap penyair sejak awal.

Tentu jawaban ini sangat spekulatif dan sulit diuji kebenarannya.

Kemungkinan yang lain adalah bahwa boleh jadi laporan yang dituturkan oleh al-Tabari melalui Ibn Ishaq dari Wahb ibn Kaisan itu adalah laporan palsu (maudhu'). Kisah ini mungkin sengaja diciptakan belakangan untuk menepis tuduhan bahwa Muhammad adalah seorang penyair atau orang gila. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan berikut, memang Nabi menghadapi tuduhan dari masyarakat Arab sebagai seorang penyair atau gila. Untuk menepis tuduhan ini, diciptakanlah sebuah hadis yang seolah-olah menunjukkan bahwa sejak awal masa kenabian, Muhammad sudah membenci penyair dan orang gila.

Kemungkinan lain yang lagi-lagi juga sangat spekulatif dan sulit dicek kebenarannya adalah bahwa di kalangan orang-orang Arab yang disebut "hunafa'", yaitu mereka yang konon merawat warisan ajaran monoteisme dari Ibrahim, profesi kepenyairan dianggap sebagai sesuatu yang "hina". Salah satu ciri khas para hunafa' adalah melakukan takhannuth atau meditasi dan menjauhi kemewahan masyarakat Arab zaman itu. Mereka adalah kaum "mistik" pada zamannya. Kepenyairan adalah bagian dari praktek kemewahan duniawi yang dibenci oleh kaum hunafa' itu. Dengan melakukan praktek takhannuth/meditasi, Nabi jelas dapat kita anggap termasuk dalam golongan hunafa' itu. Karena itu, sangat bisa dimaklumi jika ia membenci penyair.

(2) Peristiwa pewahyuan pertama itu juga menarik karena dengan jelas sekali memperlihatkan bahwa Nabi sama sekali tak pernah menduga bahwa dirinya akan menjadi seorang rasul dan nabi yang membawa "namus" (dari bahasa Yunani "nomos" yang berarti hukum yang membawa keteraturan) atau perjanjian sebagaimana pernah terjadi pada Nabi Musa sebelumnya. Fakta inilah yang dengan tepat dan baik sekali dipakai oleh para penulis Muslim untuk menolak teori sebagian kaum orientalis bahwa Muhammad sejak dini telah memiliki ambisi politik untuk mendirikan kekuasaan politik di jazirah Arab atau menjadi seorang Nabi. Jika Nabi memang memiliki ambisi semacam itu, sudah tentu ia tak akan kaget dan ketakutan setengah mati saat mendapatkan pengalaman pewahyuan. Jika ia seorang dengan insting politik tinggi, tentu pengalaman pewahyuan itu akan ia sambut dengan gembira karena akan dapat ia manfaatkan untuk mencapai ambisi politiknya. (Baca Muhammad Mohar Ali, The Qur'an and the Orientalists, terbit 2004, bab pertama, "The Allegation of Ambition and Preparation for Giving Out the Qur'an").

Proses pewahyuan yang "mendadak" dan tak terduga-duga ini pulalah yang dijadikan landasan teoritik bagi kaum Sunni untuk merumuskan teori kenabian ortodoks. Dalam teori itu dikatakan bahwa inisiatif mengangkat seseorang menjadi Nabi datang semata-mata dari Tuhan, bukan karena alasan-alasan yang sifatnya naturalistis-intrinsik pada diri nabi seperti dikatakan oleh para filsuf Muslim. Meskipun, harus dikaui pula, bahwa teori kaum Sunni ini juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, Tuhan tak akan mengangkat sembarang orang menjadi nabi dan rasul. Seseorang harus memiliki persiapan mental dan intelektual tertentu untuk menjadi seorang nabi. Proses meditasi yang dilakukan Nabi di gua Hira', meskipun tidak bisa dikatakan sebagai tindakan sengaja dari pihak Nabi untuk menyambut "wahyu kedaton" (jika memakai istilah Jawa) dan mempersiapkan diri menjadi seorang nabi, jelas memperlihatkan bahwa kenabian membutuhkan kesiapan-kesiapan tertentu. Dengan kata lain, kenabian dan kerasulan bukanlah "hadiah" gratis dari Tuhan. Dari pihak manusia juga harus ada upaya setimpal untuk "mempersiapkan diri". Dengan wawasan seperti inilah, almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang terkenal, Islam, mengatakan bahwa pewahyuan adalah proses dua-arah: Tuhan dan Nabi bekerja secara serempak.

(3) Catatan lain yang penting atas laporan dari al-Tabari ini adalah persis mengenai pokok soal yang saya kemukakan di awal tulisan ini, yaitu hubungan erat antara Islam dan Kristen sejak dini ketika Islam sedang tumbuh sebagai sebuah agama. Sebagaimana kita baca dalam laporan A'ishah itu, saat Nabi ketakutan luar biasa mendapatkan pengalaman pewahyuan pertama, Khadijah mengajaknya untuk menemui seorang "pendeta", yaitu Waraqah ibn Naufal yang dianggap tahu dengan baik soal kenabian. Waraqah lah, seorang Kristen, yang menenangkan Nabi dengan mengatakan bahwa apa yang ia alami di gua Hira' itu tak usah membuatnya cemas, sebab pernah dialami pula oleh Musa ribuan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, Nabi mengetahui bahwa dirinya adalah seorang Nabi yang benar-benar mendapatkan wahyu (dari malaikat, bukan dari sumber "jahat" seperti jin atau setan) dari seorang Kristen. Sikap Waraqah juga sangat simpatik: ia akan mendukung habis-habisan Muhammad andaikata ia diberikan umur panjang. Sebagaimana kita tahu, Waraqah meninggal sebelum sempat menyaksikan peristiwa-peristiwa hebat yang dialami Nabi di Mekah setelah ia menyebarkan agama baru itu dengan terus terang.

Dalam hal ini, Islam berhutang budi pada Kristen karena telah memainkan peran yang sangat penting pada momen-momen pertama pewahyuan.

Hal ini sengaja saya kemukakan antara lain untuk menunjukkan bahwa kecurigaan umat Islam pada agama Kristen, yang dalam beberapa hal memang bisa dimaklumi, tidak seharusnya dibesar-besarkan apalagi dirawat terus-menerus. Saat ini yang kerap kita dengar adalah retorika kecurigaan semacam itu, antara lain ditandai dengan begitu seringnya ayat 2:120 dikutip di mana-mana, dibumbui dengan penafsiran yang dengan sengaja ingin menciptakan suasana kebencian antara Islam dan Kristen. Bunyi ayat itu adalah "wa lan tardha 'anka al-Yahudu wa la 'l-Nashara hatta tattabi'a millatahum". Artinya: Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tak akan rela pada kalian (umat Islam) kecuali jika kalian mengikuti "millah" atau agama mereka.

Informasi tentang peran Waraqah dalam masa-masa awal pewahyuan ini jarang disebut dan dikemukakan kepada umat Islam.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-Shawab.

Citra Yesus dalam Islam

Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum bagi semua umat Islam, salah satu pilar atau soko-guru doktrin Islam adalah percaya kepada semua nabi/rasul yang datang sebelum Nabi Muhammad, serta semua kitab suci yang diterima oleh para nabi terdahulu. Oleh karena itu, kedudukan nabi-nabi sebelum Muhammad sangat penting dalam Islam. Sekurang-kurangnya ada lima nabi yang dianggap istimewa dalam Islam karena perjuangan mereka dalam menegakkan doktrin monoteisme atau tauhid, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi Muhammad sendiri. Kelima nabi itu disebut sebagai "ulu 'l-azmi", artinya mereka yang memiliki keteguhan dalam membawa pesan profetik dan kerasulan.

Di antara empat nabi sebelum Muhammad, kedudukan Nabi Isa atau Yesus sangat menonjol dalam Islam, terutama dalam apa yang disebut sebagai tradisi kesalehan (piety). Pandangan Islam mengenai Yesus tentu pertama-tama dibentuk melalui Qur'an dan tradisi kenabian (hadith). Dalam Qur'an terdapat banyak sekali ayat yang menggambarkan figur Yesus serta keajaiban (mu'jizat) yang ia peragakan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Ada sejumlah keajaiban Yesus yang disebut oleh Qur'an dan paralel dengan apa yang digambarkan dalam Perjanjian Baru atau Injil, tetapi ada pula keajaiban yang disebut Qur'an tetapi tak ditemui dalam kitab suci umat Kristen itu. Dalam Qur'an juga terdapat sebuah bab atau surah yang dinamakan Maryam atau Maria, yakni ibu Yesus. Ini memperlihatkan betapa besar respek dan penghormatan yang diberikan oleh Islam kepada agama Kristen serta figur-figurnya. Dalam surah Maryam ini kita jumpai kisah yang agak panjang mengenai kelahiran Yesus.

Sekedar selingan: Jika Qur'an menaruh respek yang begitu tinggi pada Yesus dan Maria, tentu tak ada salahnya jika umat Islam melakukan hal yang sama pula dengan cara memberikan ucapan selamat kepada umat Kristiani pada saat hari raya Natal sebagai bentuk penghormatan pada Yesus, nabi yang memiliki kedudukan khusus dalam Qur'an itu.

Tetapi, citra mengenai Yesus dalam Islam tidaklah semata-mata dibentuk melalui Qur'an dan hadis, tetapi lebih penting lagi adalah melalui proses pelan-pelan yang memakan waktu panjang di mana umat Islam mengalami perjumpaan langsung dengan umat Kristen di daerah-daerah yang mereka taklukkan, seperti Syam, Irak, Mesir, dan daerah Maghrib. Keempat kawasan itu bisa kita sebut sebagai wilayah Kristen yang sekaligus juga mewarisi peradaban Yunani. Ekspansi kekuasaan politik Islam ke wilayah-wilayah itu membuat umat Islam mengenal langsung dari dekat agama Kristen dengan pelbagai sekte dan denominasinya. Perjumpaan ini mengenalkan kepada mereka sejumlah aspek dalam ajaran Kristen yang tak mereka jumpai dalam Qur'an. Salah satu hasil dari perjumpaan ini adalah munculnya figur Yesus sebagai tokoh penting, terutama dalam tradisi pietisme yang dikenal dengan tasawwuf atau zuhud.

Kalangan mistik Islam banyak sekali mengutip ucapan-ucapan atau tindakan Yesus sebagai contoh dari praktek kesalehan. Salah satu studi yang menarik mengenai citra Yesus dalam Islam ini dilakukan oleh Prof. Tarif Khalidi dalam bukunya, "The Muslim Jesus: Sayings and Stories in Islamic Literature" yang terbit pada 2001. Dalam buku ini, Prof. Khalidi mencoba melacak perkembangan figur Yesus dalam sejarah Islam, dan bagaimana umat Islam, terutama pada masa-masa awal Islam, mengembangkan suatu citra tertentu mengenai Yesus. Studi ini sangat menarik karena umat Islam, terutama kalangan yang menekankan praktek pietisme atau kesalehan, memberikan tempat yang khusus pada figur Yesus. Ada 303 ucapan dan tindakan Yesus yang dikutip dan disebut dalam sejumlah karya para sarjana Islam. Dari tradisi semacam ini, Prof. Khalidi mencoba menggambarkan figur Yesus versi Islam, atau apa yang ia sebut sebagai "The Muslim Jesus". Dalam studi ini pula, bahkan Prof. Khalidi mengemukakan sebuah pengamatan yang menarik, yakni munculnya apa yang ia sebut sebagai "the Muslim Bible", atau Injil versi Islam.

Studi Prof. Khalidi ini penting sekali untuk menunjukkan bahwa "dialog Islam dan Kristen" secara sembunyi-sembunyi sudah berlangsung sejak masa perdana Islam. Apresiasi umat Islam atas agama Kristen, terutama melalui figur Yesus, sudah berkembang sejak awal di luar tradisi yang dibangun oleh Qur'an sendiri.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengutip sejumlah ucapan dan kisah tentang Yesus yang beredar di kalangan Islam, sebagaimana diulas dengan panjang lebar oleh Prof. Khalidi. Apa yang saya tulis ini bersumber sepenuhnya dari buku Prof. Khalidi di atas. Di sana-sini, tentu saya memberikan interpretasi dan keterangan saya sendiri yang tak ada dalam buku itu.

(1) Yesus pernah melihat seseorang yang mencuri. Ia bertanya kepada orang itu, "Apakah kamu pernah mencuri?" Orang itu menjawab, "Sama sekali tak pernah! Saya bersumpah demi Dia yang tak seorang pun layak disembah kecuali Dia." Yesus kemudian berkata, "Aku percaya kepada Tuhan dan membohongkan mataku."

Kisah ini termuat dalam Sahifat Hammam ibn Munabbih karya Hammam ibn Munabbih (w. 748 M). Hammam ibn Munabbih adalah saudara kandung dari Wahb ibn Munabbih, seorang tabi'in (generasi setelah sahabat Nabi) terkenal asal Yaman yang dianggap sebagai sumber penting berkenaan dengan kisah-kisah Isra'iliyyat, yaitu kisah yang berkenaan dengan agama Kristen dan Yahudi. Perlu diketahui bahwa umat Islam memperoleh informasi mengenai agama Yahudi dan Kristen melalui banyak sumber, terutama sumber-sumber ekstra-Qur'anik, sebab Qur'an sendiri tak memuat keterangan yang detil mengenai dua agama itu. Salah satu sumber itu adalah orang-orang "mu'allaf", yakni orang Yahudi atau Kristen yang masuk Islam seperti Wahb ibn Munabbih dan saudaranya, Hammam ibn Munabbih, itu. Sahifat Hammam ibn Munabbih dianggap sebagai salah satu karya awal yang memuat koleksi mengenai hadis dan athar. Bahwa ucapan Yesus ini dimuat dalam sebuah karya semacam ini memperlihatkan bahwa umat Islam sudah bersentuhan dengan tradisi Yudeo-Kristiani sejak dini. Tentu juga menarik untuk dicatat bahwa ucapan Yesus ini diinkorporasi atau dimasukkan dalam sebuah "sahifah" atau koleksi hadis--memperlihatkan bahwa Yesus menjadi sumber normatif dalam Islam.

(2) Jibril bertemu dengan Yesus lalu mengucapkan salam kepadanya, "Semoga kedamaian ada pada kamu, wahai Roh Tuhan." "Dan kedamaian juga semoga ada pada kamu, wahai Roh Tuhan," jawab Yesus. Kemudian Yesus bertanya kepada Jibril, "Wahai Jibril, kapankah Waktu (maksudnya hari kiamat) tiba?" Sayap Jibril berkepak dan ia kemudian menjawab, "Orang yang ditanya (maksudnya dirinya sendiri, yakni Jibril) tak tahu lebih banyak mengenai masalah ini ketimbang yang bertanya (maksudnya Yesus). Kiamat telah memberat di langit dan bumi; ia akan datang kepadamu secara tiba-tiba." Atau Jibril mengatakan, "Hanyalah Tuhan yang akan menyingkapkan (rahasia) kiamat itu pada saatnya tiba."

Kisah ini termuat dalam buku karya Abdullah ibn al-Mubarak (w. 797), "Al-Zuhd".

(3) Yesus berkata kepada murid-muridnya, "Sebagaimana raja-raja meninggalkan kebijaksanaan kepada kalian, maka kalian juga seharusnya meninggalkan dunia untuk mereka."

Ucapan Yesus ini termuat dalam karya Abdullah ibn al-Mubarak yang sama. Ucapan ini sebetulnya paralel dengan ucapan Yesus yang terkenal sebagaimana termuat dalam Injil Lukas 20:25, "Then render to Caesar the things that are Caesar's, and to God the things that are God's", berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hakNya pula." Makna ucapan Yesus itu kira-kira adalah: Kebijaksanaan dan ajaran moral adalah milik orang-orang beriman, sementara harta benda dan dunia adalah milik para raja.

(4) Yesus berkata kepada murid-muridnya, "Wahai muridku, raihlah cinta Tuhan dengan cara membenci para pendosa; raihlah kedekatan dengan Dia dengan pekerjaan yang membuat kalian menjauh dari mereka (para pendosa) itu; dan raihlah kerelaanNya dengan cara marah kepada mereka (para pendosa)." Dia (Malik, perawi atau orang mengisahkan cerita ini) berkata, "Saya tak terlalu yakin perintah (commandment) yang mana yang lebih dulu." Murid-murid Yesus kemudian bertanya, "Wahai Roh Tuhan, siapa yang layak kami jadikan teman?" Dia (Yesus) menjawab, "Ambillah sebagai teman orang yang demi melihatnya engkau akan ingat pada Tuhan, yang perkataannya menambah pengetahuanmu, yang tindakannya membuatmu lebih condong kepada kehidupan kelak (di akhirat)."

Ucapan Yesus ini termuat dalam karya Abdullah ibn al-Mubarak di atas. Nama Malik yang disebut dalam riwayat di atas adalah Malik ibn Mighwal (w. 776), seorang perawi hadis dari Kufah yang kerap menceritakan ucapan-ucapan Yesus.

(5) Yesus berkata kepada para pengikutnya, "Jadikanlah masjid sebagai rumah kalian, dan rumah-rumah (kalian) sebagai tempat perhentian. Makanlah dari tetumbuhan liar, dan larilah dari dunia ini." Sharik (perawi kisah ini) berkata, "Ketika aku menunjukkan (ucapan Yesus) ini kepada Sulaiman, ia menambahkan, 'dan minumlah air putih.'"

Ucapan ini termuat dalam karya Abdullah ibn al-Mubarak di atas. Ucapan ini dikutip oleh al-Mubarak tentu untuk menekankan pentingnya etika zuhd atau menjauhi dunia. Sharik (w. 794 M) dalam kisah di atas adalah seorang perawi dan hakim (qadhi) yang terkenal. Sementara yang dimaksud dengan Sulaiman di atas adalah Sulaiman ibn al-Mughira (w. 782 M), seorang ahli hadis dari Basrah.

(6) Yesus berkata, "Kalian bekerja untuk (memperoleh) dunia ini, padahal kalian akan diberikannya (oleh Tuhan) walau tanpa kerja; sementara kalian tak bekerja untuk kehidupan nanti (akhirat), padahal kalian tak akan memperolehnya tanpa bekerja (untuknya)."

Ucapan ini termuat dalam Al-Bayan wa al-Tabyin karya Abu 'Uthman al-Jahiz (w. 868), seorang sastrawan besar Islam yang merintis tradisi penulisan prosa (nathr) dalam sastra Arab klasik.

(7) Dalam Injil tertulis, "Barangsiapa menabur kejahatan akan menuai penyesalan."

Kutipan dari Injil ini termuat dalam kitab Tanbih al-Ghafilin karya Abu 'l-Laith al-Samarqandi (w. 983 M), kitab yang dikenal dan dikaji luas di pesantren-pesantren Jawa.

Ini hanyalah beberapa contoh yang bisa saya kutip dari buku Prof. Khalidi. Ada beberapa hal yang layak kita perhatikan dari kutipan-kutipan dari Yesus yang termuat dalam karya-karya sarjana Islam klasik ini:

(1) Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Khalidi dalam pengantar bukunya ini, figur Yesus memainkan peranan sentral dalam konteks pietisme atau tradisi kesalehan yang berkembang di kalangan para pengamal tasawwuf. Dengan kata lain, Yesus menjadi ilham bagi etika hidup sederhana dan asketisme. Yesus sama sekali tidak menjadi model normatif dalam konteks tradisi fiqh. Ini yang menjelaskan kenapa di kalangan mistik Islam, apresiasi pada agama Kristen jauh lebih mudah dikembangkan ketimbang di kalangan sarjana ahli fikih. Karena peran ulama ahli fikih sejak dulu selalu lebih kuat ketimbang para mistikus Muslim, maka kita boleh menduga bahwa sikap-sikap antidialog yang berkembang di sebagian kalangan Islam mungkin bersumber dari sana. Saya tak ingin mengatakan bahwa ulama fikih tak mampu mengembangkan etika dialog antaragama. Tetapi, berdasarkan tradisi yang berkembang, kalangan mistik Islam memang jauh lebih mendalam dalam memberikan apresiasi pada agama Kristen. Contoh terbaik untuk hal ini tentu adalah figur Ibn Arabi.

(2) Abdullah ibn al-Mubarak adalah ulama yang sangat dihormati dalam Islam. Bahwa ia memuat kutipan-kutipan dari Yesus tentu sangat menarik sekaligus mengagumkan. Saya katakan mengagumkan jika kita tengok keadaan umat Islam saat ini. Saya jarang sekali melihat ulama, kiai, ustaz atau da'i yang saat ini mengutip ucapan Yesus, bukan dalam rangka mengadakan polemik terhadap agama Kristen, tetapi untuk memberikan apresiasi kepadanya. Kita semua tahu bahwa Injil memuat ajaran-ajaran moral yang sangat mulia, dan karena itulah Abu 'l-Laith al-Samarqandi, seorang mistikus Islam yang bukunya sangat luas dibaca di madrasah dan pesantren-pesantren itu, mengutip sebuah ayat dari Injil. Kenapa praktek mengutip seperti ini sekarang tidak ada lagi? Saya khawatir jika seorang da'i mengutip sebuah ayat dalam Injil akan dipandang aneh, atau malah dianggap ingin mengaburkan iman umat Islam.

Dari segi ini, kita melihat kemunduran umat Islam dalam memberikan apresiasi kepada agama lain.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.