Saturday, December 29, 2007

Islam, Ekskomunikasi, dan Masalah Penyesatan

Hampir setiap agama menghadapi problem yang kurang lebih sama, yaitu problem "ekskomunikasi". Istilah ini lazim dipakai di kalangan Kristen, terutama pada abad pertengahan, yang artinya secara umum adalah mengeluarkan seseorang dari komunitas. Kata itu berasal dari dua akar, ex (keluar) dan communio (komunitas, jamaah). Ekskomunikasi berarti tindakan oleh otoritas agama atau tradisi tertentu untuk mengeluarkan anggotanya yang dianggap "menyimpang" dari jamaah atau kumpulannya itu.

Setiap agama selalu menerapkan standar, kriteria, batas-batas, norma, dsb. Jika seseorang menaati norma dan batas itu, ia akan dianggap sebagai berada di dalam komunitas. Sebaliknya, jika ia membangkan terhadap norma itu, dan menolak untuk (ini istilah yang lazim dipakai di kalangan Islam dan Kristen) bertobat, dalam pengertian mencabut dan menghentikan pembangkangannya itu, maka ia dianggap keluar dari komunitas. Beberapa agama, seperti Islam dan Kristen, bukan sekedar memerintahkan si pembang itu untuk hengkang dari komunitas, tetapi juga menerapkan hukuman fisik yang keras sekali, misalnya hukuman mati, atau malah juga bakar.

Sebagaimana kita lihat dalam sejarah, ini terjadi berkali-kali dalam dua gama besar di dunia saat ini: Kristen dan Islam. Dalam Islam, hukum bunuh bagi orang yang dianggap "murtad" atau keluar dari agama itu masih bertahan hingga sekarang, dan dipercayai oleh mayoritas umat Islam saat ini. Meskipun ajaran ini sekarang banyak dikritik keras oleh para aktivis Muslim yang memperjuankan hak-hak asasi manusia. Hukuman bunuh bagi orang murtad, menurut mereka, bertentangan dengan hak asasi manusia, sekaligus menabrak doktrin utama Islam sendiri mengenai kebebasan beragama sesuai dengan ayat yang terkenal, la ikraha fi 'l-din.

Menurut aktivis pro-hak asasi itu, jika Islam menganut prinsip kebebasan beragama tetapi memerintahkan bunuh bagi mereka yang ingin keluar dari Islam (murtad), maka jelas ini adalah sebentuk inkonsistensi. Jika orang bebas masuk Islam, kata mereka, maka orang itu juga harus diberikan kebebasan untuk meninggalkan Islam pula. Prinsip ini berlaku untuk semua agama: Jika seseorang bebas masuk Kristen, maka ia pun mestinya bebas keluar dari agama itu.

Sudah tentu, pandangan ini ditentang oleh kalangan Islam yang konservatif, apalagi kaum fundamentalis. Saat ini, kita berjumpa dengan sejumlah kelompok dalam Islam yang hendak menerapkan syari'at Islam, terutama yang berkaitan dengan "hudud" (secara harafiah artinya "batas") atau hukum pidana. Hukum bunuh bagi orang yang murtad atau keluar dari Islam termasuk hukum yang oleh para kalangan pro-syari'at dituntut untuk dilaksanakan di Indonesia saat ini.

Tulisan ini akan menyorot secara khusus masalah ekskomunikasi dalam konteks masyarakat Islam sendiri. Meskipun semua agama menghadapi masalah ini, dan dalam tingkat tertentu dengan skala yang begitu ekstrem seperti Katolik/Kristen di abad pertengahan, namun harus dikatakan dengan jujur bahwa saat ini Islam adalah agama yang menghadapi masalah ini dengan serius sekali.

Tantangan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah bagaimana mengatasi masalah ekskomunikasi ini. Jika tidak, Islam akan terus diidentikkan oleh orang di luar dengan kekerasan dan sikap-sikap eksklusif. Meskipun pada dasarnya Islam adalah jelas agama yang mengajarkan perdamaian dan hidup rukun, peaceful coexistence, namun saya sebagai bagian dari umat Islam harus jujur mengakui bahwa ada potensi-potensi dalam Islam yang mengarah ke sebaliknya, yakni kekerasan dan antikerukunan.

Tugas umat Islam adalah melakukan proses "teo-sosio-analisis", dalam pengertian mengurai sejumlah ajaran dan praktek sosial yang berpotensi untuk menimbulkan kekerasan dan sikap-sikap antikerukunan dan dialog. Sebagaimana seorang pasien yang mengidap depresi dan kelainan mental perlu melalukan psiko-analisis, begitu pula masyarakat yang sedang mengalami "penyakit sosial" perlu melakukan sosio-analisis.

Tulisan ini adalah bagian dari usaha menuju ke arah teo-sosio-analisis itu. Intinya adalah otokritik.

Bentuk-bentuk ekskomunikasi dalam Islam

Dalam Islam, praktek ekskomunikasi berlangsung dalam pelbagai bentuk, sesuai dengan serius tidaknya penyelewengan yang ada. Ada sejumlah istilah yang dikenal: bid'ah, dhalal, zindiq, ilhad, syirik, riddah, dan kufr. Bid'ah adalah istilah yang paling luas dipakai. Istilah ini tentu tak asing di telinga umat Kristen, karena di sana istilah bid'ah kerap dipakai oleh pihak gereja untuk menyebut gagasan-gagasan yang menyimpang dari ajaran resmi.

Dalam Islam, pengertian bid'ah juga hampir serupa, yakni setiap tindakan atau ide baru yang berkenaan dengan masalah agama yang tak dikenal pada masa Nabi. Dalam pandangan Islam, pembaharuan dalam masalah agama dilarang, sebab segala hal yang menyangkut agama sudah lengkap diajarkan oleh Nabi. Tugas umat Islam hanyalah melaksanakannya, bukan mengubah, menambahi atau mengurangi. Ini sesuai dengan sebuah hadis terkenal, man ahdatha fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun. Artinya: barangsiapa menciptakan hal baru dalam perkara ini (fi amrina), maka tindakannya itu harus ditolak.

Ungkapan "dalam perkara ini" atau "fi amrina" dalam hadis itu biasanya ditafsrikan oleh para ulama sebagai hal-hal yang menyangkut agama atau ubudiyyah. Contoh yang baik adalah soal salat atau sembahyang. Nabi mengajarkan tata-cara salat secara rinci dan detail. Umat Islam tidak diperbolehkan untuk mengadakan tata-cara baru dalam salat. Nabi mengajarkan bahwa salat Maghrib, misalnya, adalah tiga raka'at. Jika seseorang menciptakan tata-cara baru dalam salat, misalnya menjadikan salat Maghrib empat raka'at, maka tindakannya itu adalah bid'ah atau menyimpang. Dalam bahasa Inggris, istilah bid'ah biasa diterjemahkan sebagai innovation, atau menciptakan hal baru. Inovasi dalam masalah agama atau ibadah dilarang dalam pandangan Islam.

Meskipun demikian, menentukan apakah sesuatu dianggap bid'ah atau tidak di dalam praktek sehari-hari tidaklah mudah. Definisi mengenai "fi amrina" seperti dikemukakan dalam hadis di atas menjadi bahan diskusi yang hangat di kalangan sarjana Islam. Dulu, ada perdebatan keras antara NU dan Muhammdiyah mengenai sejumlah hal. Pihak Muhammadiyah menuduh bahwa praktek tertentu yang selama ini dilakukan oleh warga NU adalah bid'ah. Salah satu contoh adalah masalah penggunaan bedug di masjid. Pihak Muhammadiyah berpandangan bahwa Nabi tidak pernah memakai bedug. Islam sudah mempunyai tata-cara khusus untuk memanggil umat Islam ke masjid, yakni azan. Bedug adalah peninggalan dari tradisi pra-Islam di Jawa yang tak sesuai dengan ajaran Islam, karena itu dianggap bid'ah. Pihak NU menjawab bahwa memakai bedug memang inovasi, tetapi tidak masuk dalam kategori "fi amrina" atau masalah ibadah. Oleh karena itu, memakai bedug lebih tepat dikategorikan sebagai praktek budaya yang hukumnya mubah atau boleh-boleh saja.

Harus segera ditambahkan di sini, bahwa sementara inovasi atau bid'ah dalam masalah ibadah dilarang, inovasi di dalam aspek kehidupan sosial justru dianjurkan oleh Islam, dan karena itu disebut sebagai bid'ah hasanah, atau inovasi yang baik. Sebagaimana kita lihat dalam kasus di atas, menentukan mana-mana yang masuk dalam wilayah ibadah dan wilayah sosial non-ibadah sangat tidak mudah. Kelompok Islam yang konservatif cenderung menggelembungkan definisi "wilayah ibadah" sehingga nyaris semua hal masuk ke sana, dan karena itu segala bentuk pembaharuan dilarang sama sekali.

Perdebatan mengenai bid'ah antara NU dan Muhammadiyah mulai mereda sekarang. Saat ini muncul debat baru mengenai masalah-masalah di luar ibadah, terutama masalah sosial-politik. Sejumlah kelompok Islam menganggap bahwa praktek-praktek berpolitik tertentu sebagai bid'ah karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Salah satu contoh yang baik adalah sistem pemilu, parlemen, demokrasi, dsb. Menurut kelompok-kelompok Islam tertentu, praktek-praktek itu adalah bid'ah, bahkan kufur, karena itu bagian dari sistem masyarakat Barat yang sekuler. Di beberapa negeri teluk di Timur Tengah, sistem parlemen dan multipartai dianggap bida'ah dan kafir oleh beberapa ulama. Hingga saat ini, partisipasi perempuan di dalam parlemen masih menjadi masalah di sana.

Beberapa kalangan aktivis Islam juga menganggap bahwa metode-metode berpikir tertentu bisa dikategorikan bid'ah, menyimpang, sesat. Metode hermeneutika dalam menafsirkan Qur'an, misalnya, dianggap sesat oleh kelompok tertentu. Salah seorang yang paling getol berkampanye untuk hal ini adalah Adian Husaini dari sebuah kelompok yang menamakan diirnya INSIST. Mereka berpandangan bahwa Islam telah mengembangkan metode tersendiri untuk menafsirkan Qur'an, yaitu metode tafsir dan ta'wil. Sementara itu menurut MUI, sejumlah gagasan dianggap sesat, yaitu pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme.

Dalam Islam, istilah sesat adalah "dhall" atau "dhalalah. Dhall adalah kata sifat yang artinya "sesat", sementara "dhalalah" adalah kata benda yang artinya "kesesatan". Kita akan kerap menjumpai dalam literatur teologi Islam sejumlah ungkapan seperti bid'ah yang menyesatkan, misalnya. Biasanya, ungkapan seperti itu dibarengi dengan keterangan lain, misalnya "mengikuti hawa nafsu". Dalam bahasa Inggris, istilah hawa nafsu mungkin bisa diterjemahkan sebagai "whim". Orang yang menganut pandangan tertentu yang menyimpang dari pakem resmi yang dianut oleh ulama akan disebut sebagai ahli bid'ah yang menyesatkan dan mengikuti hawa nafsunya sendiri.

Logika yang bekerja di sana sangat menarik diamati. Kalangan konservatif tentu memiliki anggapan bahwa ada sejumlah kriteria objetif tentang kebenaran dalam Islam. Sesiapa yang menyimpang dari kriteria itu, dia akan disebut sebagai mengikuti hawa nafsunya sendiri, dan karena itu subjektif. Subjektivisme adalah sesuatu yang jelek karena tak mengenai kepastian. Cara berpikir kalangan konservatif dalam agama apapun memang dibentuk berdasarkan keinginan untuk mencari "certainty" atau kepastian dalam hampir semua hal. Oleh karena itu, mereka paling takut terhadap setiap bentuk bid'ah karena hal itu akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian, social disorder. Dalam Islam, kekacauan biasanya disebut sebagai "fitnah". Bid'ah, bagi mereka, dianggap sebagai sumber fitnah yang mengganggu kestabilan sosial.

Istilah lain yang dipakai adalah murtad dan kafir. Murtad adalah kata Arab yang artinya keluar dari sesuatu. Kafir atau kufr secara harafiah artinya adalah menutup sesuatu. Dua istilah ini dipakai oleh beberapa kalangan Islam untuk menyebut kelompok lain yang menyimpan dari ajaran resmi.

Istilah kafir dan murtad tentu lebih serius ketimbang bid'ah. Yang terakhir ini adalah pembangkangan dalam taraf ringan. Sementara kafir dan murtad adalah pembangkangan kelas berat, dan karena itu juga hukumannya sangat keras. Sebagaimana sudah disebut di muka, orang yang dianggap kafir dan murtad boleh dibunuh.

Definisi yang mulur-mungkret

Yang menjadi masalah adalah bahwa kriteria untuk menentukan sesorang sebagai kafir atau murtad sangat lentur seperti pasal-pasal karet dalam era Orde Baru yang otoriter dulu. Dua isitlah itu saat ini cenderung begitu mudah dipakai untuk menghamiki pendapat-pendapat yang berbeda. Hanya karena perbedaan yang sepele saja, seseorang bisa dituduh kafir atau murtad. Daftar tindakan dan gagasan yang bisa dikafirkan bisa menggelembung sesuai dengan tingkat konservatisme seseorang. Makin konservati, makin panjang daftar itu.

Dalam beberapa kasus, gejala kafir-mengkafirkan ini terlalu kebablasan sehingga menggelikan sekali. Saya akan mengambil sebuah contoh ringan dari situs Salafi (www.assalafi.net). Salafi atau Salafiah adalah salah satu bentuk gerakan Islam modern yang diinspirasikan oleh gagasan Muhammad ibn Abdul Wahhab, pendiri Wahabisme yang sekarang dijadikan doktrin resmi kerajaan Saudi Arabia. Kelompok-kelompok salafi dikenal paling "royal" dan murah hati membagi-bagikan sebutan "bid'ah", "kafir", "syirik", "murtad" kepada siapa saja yang mereka anggap bertentangan dengan sunnah atau hadis Nabi.

Saya akan kutip dengan sedikit lengkap dari situs itu agar kita mendapatkan gambaran yang sedikit kongkret mengenai seriusnya kultur pengkafiran dalam umat Islam ini. Seluruh kutipan saya tulis dengan huruf miring:

Qaradhawi Mengucapkan Selamat Kepada Israel

Suatu ketika Yusuf Al Qaradhawi menyampaikan khotbah Jum’at yang berkenaan masalah merokok. Pada khotbah kedua ia beralih ke masalah pemilu di Aljazair dan berkata :
Wahai saudara-saudara sekalian, sebelum meninggalkan tempat ini, saya ingin menyampaikan suatu kalimat berkenaan dengan hasil pemilu Israel. Dulu orang-orang Arab menaruh harapan kepada kesuksesan (Perez) dan dia sekarang telah jatuh, inilah yang kita puji dari Israel.

Kita berharap negara kita bisa seperti negara ini (Israel), yaitu karena kelompok kecil seorang penguasa bisa jatuh dan rakyatlah yang menentukan hukum tanpa ada hitung-hitungan prosentase yang kita kenal di negeri kita 99,99 persen. Sesungguhnya ini semua adalah kedustaan dan tipuan. Seandainya Allah menampakkan diri kepada manusia maka Dia tak akan mampu mencapai prosentase sebesar ini. Kami mengucapkan selamat kepada Israel atas apa yang telah diperbuatnya (Khotbah Yusuf Al Qaradhawi yang terekam dalam kaset dan telah disebarkan oleh Harian Al Wathan edisi 7072. Hanya saja mereka mengeditnya seperti kebiasaan mereka berkhianat dalam mengutip.) .

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang perkataan Yusuf Al Qaradhawi, seandainya Allah menampakkan dirinya kepada manusia. Syaikh menjawab :

“Na’udzubillah! Wajib bagi dia untuk bertobat. Jika tidak, maka dia murtad karena telah memposisikan makhluk lebih tinggi daripada Khaliq. Wajib baginya untuk bertobat kepada Allah. Jika mau bertobat kepada Allah maka itu akan diterima-Nya dan jika tidak maka wajib bagi pemerintah Muslim untuk memenggal lehernya.” (Dikutip dari suara Syaikh ‘Utsaimin yang terekam dalam kaset)

Yusuf Qardhawi adalah salah pemikir dan ulama penting saat ini, tinggal di Qatar, menulis lusinan buku yang dibaca luas di dunia Islam. Dia adalah seorang pengikut Ikhwanul Muslimin yang cukup moderat pemikirannya. Dialah salah satu simbol Ikhwan terpenting saat ini. Ibnu 'Utsaimin adalah salah satu ulama dari Saudi Arabia yang menjadi kiblat gerakan Salafi di banyak dunia Islam. Fatwa-fatwanya selalu dijadikan rujukan oleh pengikut gerakan Salafi.

Contoh di atas hanya sebuah sampel kecil yang memperlihatkan bagaimana mudahnya sebutan kafir dan murtad dilontarkan. Kalau kita tengok situs-situs Salafi, kita akan bertemu dengan lusinan contoh seperti itu. Yang menarik, masing-masing gerakan Salafi memurtadkan, mengkafirkan, dan membid'ahkan sesama mereka sendiri, persis seperti "perang saudara". Kelompok-kelompok Salafi saat ini termasuk salah satu dari gerakan Islam kontemporer yang berkembang pesat di Indonesia, antara lain karena sokongan uang minyak dari Saudi Arabia, entah dari pihak lembaga resmi negara atau para donatur dari sana. Salah satu lembaga yang menjadi "agen" gerakan ini di Indonesia adalah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, FKAWJ yang dulu menaungi Lasykar Jihad, dan beberapa kelompok lain yang tersebar di berbagai tempat. Ciri-ciri mereka adalah gemar memakai istilah "al-sunnah", misalnya pesantren Ja'far Umar Talib di Yogyakarta yan bernama Ihya' al-Sunnah. Ini sesuai dengan prinsip utama mereka yang ingin merawat dan menghidupkan sunnah Nabi.

Kelompok-kelomok seperti ini juga gemar sekali membuat daftar kelompok-kelompok atau orang-orang yang dianggap sesat. Seorang penulis beraliran salafi, Hartono Ahmad Jaiz, misalnya, menulis buku yang laris-manis, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia.

Gejala ini secara keseluruhan menimbulkan suasana yang amat memprihatinkan, yaitu sikap-sikap mau benar sendiri dan mudah menyesatkan kelompok lain. Tentu hal ini sama sekali kurang menguntungkan dari sudut kepentingan ukhuwwah atau persaudaraan Islam. Jika kita lihat perangai kelompok-kelompok yang mudah menyesatkan dan mengkafirkan itu, nyaris kita tak percaya bahwa umat Islam adalah tubuh yang satu (al-jasad al-wahid), sebagaimana digambarkan oleh hadis yang terkenal itu. Seperti sindiran Qur'an, tahsabuhum jami'an wa qulubuhum shatta. Engkau mengira mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah-belah. Bukankah sindiran Qur'an ini tepat dikenakan pada umat Islam saat ini?

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-Shawab.

No comments: