Ruzbihan Hamazani
Dua puluh enam tahun lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang sejak "lahir" hingga sekarang terus-menerus menjadi bahan perdebatan dan kontroversi. Fatwa itu dikeluarkan pada 7 Maret 1981 dan ditandatangani oleh K.H.M. Syukri Ghazali sebagai Ketua dan Drs. H. Mas'udi sebagai Sekretaris. Fatwa ini sekarang sudah beredar di mana-mana dan dimuat di banyak situs. Yang kebetulan belum sempat membaca, bisa membuka situs MUI.
Karena begitu banyaknya kontroversi soal fatwa ini, timbul dalam masyarakat dua "mitos" tentang fatwa ini. Bagi mereka yang memperjuangkan ide-ide pluralisme dan dialog antaragama, fatwa ini dianggap sebagai "momok" yang menaktukan, biang intoleransi, dan sumber segala bentuk eksklusivisme. Bagi mereka yang setuju dan membela, fatwa ini dianggap sebagai pedoman yang amat penting, sekaligus sebagai benteng untuk melindungi akidah umat. Menantang fatwa ini sama dengan membahayakan akidah umat Islam. Oleh karena itu, di kalangan pendukungnya, muncul semacam "histeria" ketika ada kritik-kritik terhadap fatwa itu.
Saya ingin mengajak pembaca untuk menelaah kembali fatwa itu dengan cermat, dan melihat apakah argumentasinya cukup kokoh atau tidak. Dengan telaah langsung seperti ini, kita bisa menyibakkan sejumlah mitos yang menyungkup fatwa ini. Saya khawatir, baik yang menolak atau mendukung fatwa ini tidak pernah membacanya dengan cermat. Kalaupun dibaca, jangan-jangan tidak dengan pembacaan yang kritis, tetapi pembacaan "iman" yang percaya saja pada fatwa itu tanpa menyelidiki kekuatan dalil-dalilnya. Ataupun pembacaan yang sudah dilandasi dengan prasangka buruk, sehingga gagal memahami fatwa itu dengan baik.
Tujuan tulisan ini adalah menguji secara kritis fatwa ini dengan cara melihat sejumlah argumentasi yang ada di dalamnya. "Menguji secara kritis" tidak berarti serta-merta menolak fatwa itu. Sebaliknya, pengujian seperti itu juga bisa berarti menerima fatwa tersebut, tetapi dengan sejumlah catatan kritis.
Selain itu, perlu juga dikemukakan sejak dari awal, bahwa fatwa MUI itu bukanlah pendapat yang mutlak benar. Sebagai sebuah pendapat, ia bersifat dhanni atau relatif. Begitu pula pendapat yang menolak fatwa itu juga bukan pendapat yang mutlak benar atau pun salah. Karena ini adalah menyangkut masalah yang sifatnya "dhanniyyat", maka energi umat Islam tak selayaknya dihabiskan untuk saling tengkar dan caci-maki antara yang pro dan kontra yang pada akhirnya malah membawa cabaran bagi agama Islam itu sendiri.
Struktur dan argumen fatwa MUI
Fatwa ini disusun dengan format yang khas, terdiri dari empat bagian, dan masing-masing bagian diberikan judul yang mirip dengan sebuah dokumen resmi yang biasa kita lihat dalam birokrasi pemerintahan, seperti keputusan presiden, peraturan menteri, dan sebangsanya. Struktur fatwa ini tampaknya "diniatkan" untuk mengikuti piramida terbalik. Bagian yang paling atas diandaikan berisi pertimbangan yang sifatnya umum. Makin ke bawah, makin spesifik, dan pertimbangan yang dikemukakannya pun makin bersifat khusus, dan tentunya lebih penting dari bagian sebelumnya. Puncak fatwa ini berada di bagian paling bawah yang merupakan substansi dari fatwa tersebut.
Bagian pertama
Bagian ini berjudul "Memperhatikan", dan di dalamnya terdapat tiga pokok pertimbangan.
Pertama, adanya gejala dalam masyarakat di mana perayaan Natal dianggap secara "keliru" sebagai sama dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad atau mawlid Nabi.
Kedua, karena anggapan yang keliru itu, ada sejumlah kalangan yang ikut dalam perayaan Natal, bahkan duduk dalam kepanitiaan perayaan Natal.
Ketiga, perayaan Natal bagi orang Kristen adalah merupakan ibadah.
Bagian kedua
Bagian ini berjudul "Menimbang" dan berisi empat pertimbangan.
Pertama, umat Islam perlu mendapat petunjuk tentang Perayaan Natal Bersama (PNB).
Kedua, umat Islam perlu diberikan informasi agar tidak mencampur-adukkan antara akidah dan ibadah dalam Islam dengan akidah dan ibadah dalam agama lain.
Ketiga, umat Islam perlu menambah iman dan taqwa kepada Tuhan.
Keempat, fatwa ini dikeluarkan tanpa mengurangi usaha membina kerukunan antaragama di Indonesia.
Bagian ketiga
Bagian ini merupakan penegasan sejumlah doktrin standar mengenai hubungan antaragama, Yesus, Maryam, dan monoteisme Islam. Kesemuanya didasarkan pada sejumlah ayat dalam Qur'an, hadis, dan qa'idah fiqhiyyah (kaidah hukum Islam). Bagian ini berjudul "Meneliti kembali" dan berisi tujuh pertimbangan.
Pertama, umat Islam diperbolehkan untuk mengadakan hubungan dan kerjasama dengan umat agama lain dalam hal-hal yang sifatnya keduniaan. Lalu dikutiplah sejumlah ayat berikut ini: 49:13, 31:15, 60:8.
Kedua, umat Islam dilarang mencapuradukkan peribadatan dan akidah Islam dengan hal serupa dari agama lain. Lalu dikutiplah sejumlah ayat: 109:1-6, 2:42.
Ketiga, umat Islam harus mengakui kerasulan Isa Al-Masih ibn Maryam. Sejumlah ayat dikutip untuk mendukung hal ini: 19:30-32, 5:75, 2:285.
Keempat, barangsiapa percaya bahwa Tuhan lebih dari satu dan memiliki anak, maka ia telah menjadi musyrik dan kafir. Beberapa ayat dikutip untuk mendukung hal ini: 5:72, 5:73, 9:30.
Kelima, Isa akan ditanya oleh Tuhan pada hari kiamat kelak, apakah ia menyuruh umatnya untuk meyakini bahwa dirinya dan ibunya adalah Tuhan. Pada saat itu, Isa akan menolak hal semacam itu, sebagaimana terbaca dalam QS 5:116-118.
Keenam, ajaran monoteisme Islam sebagaimana disebutkan dalam QS 112:1-4 (Surah al-Ikhlas).
Ketujuh, ajaran Islam yang menghendaki agar umat Islam menjauhkan diri dari syubhat atau hal-hal yang kurang jelas status halal-haramnya. Ajaran ini dasarkan pada sebuah hadis riwayat Nu'man ibn Bashir yang menganjurkan agar umat Islam menjauhi syuhbhat. Pertimbangan ketujuh ini juga didasarkan pada sebuah kaidah dalam hukum Islam, dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih. Artinya: mencegah bahaya harus didahulukan ketimbang usaha mendatangkan masalahat atau keuntungan.
Bagian keempat
Bagian ini berjudul "Memfatwakan". Inilah bagian inti dari fatwa MUI. Saya akan mengutip sacara harafiah fatwa itu:
(a) Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
(b) Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
(c) Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Kritik atas fatwa dan argumen MUI
Terhadap fatwa ini, saya ingin mengemukakan sejumlah catatan kritis berikut:
(1) Fatwa ini tampaknya didasarkan untuk sebagian besar pada Qur'an. Hanya satu hadis dan kaidah fikih yang dikutip di sana. Yang menarik adalah bahwa dalam fatwa itu kita tak menemukan kutipan satupun dari otoritas di luar Qur'an dan hadis, misalnya pendapat para ulama, terutama dari periode klasik. "Gaya" fatwa yang bertumpu semata-mata pada Qur'an dan hadis ini tentu kurang lazim dikenal di kalangan ormas Islam tradisional seperti Nahdlatul Ulama. Gaya fatwa ini adalah khas fatwa di lingkungan kaum Muslim modernis atau Muhammadiyah yang dikenal dengan semboyan kembali pada Qur'an dan hadis itu.
Saya sendiri tak tahu persis siapa saja yang menjadi "otak" fatwa ini. Yang jelas, fatwa ini dikeluarkan oleh MUI pada saat lembaga itu dipimpin oleh almarhum Buya Hamka, seorang tokoh penting dalam Muhammadiyah.
Saya tidak mengatakan bahwa fatwa dengan gaya Muhammadiyah ini serta merta tidak valid. Saya hanya menunjukkan bahwa gaya seperti ini kurang lazim dikenal di kalangan Islam tradisional seperti NU yang lebih mengutamakan kerangka mazhab ketimbang langsung merujuk kepada Qur'an dan hadis. Dengan kata lain, gaya fatwa MUI ini lebih dekat dengan tradisi "tarjih" di Muhammadiyah ketimbang "bahth al-masa'il" di NU.
Apa yang hendak saya katakan di sini bukan sekedar perbedaan "gaya fatwa", tetapi lebih dari itu juga menyangkut substansi. Ada masalah besar dengan cara berfatwa yang langsung merujuk kepada Qur'an dan hadis tanpa dibantu dengan suatu argumen antara yang menjadi semacam medium. Sebagaimana kita tahu, tidak semua masalah yang dihadapi oleh umat Islam dapat ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam dua sumber utama itu. Pada masa Nabi hidup, masalah peringatan Natal bersama belum muncul, sehingga kita tak akan menemukan ayat atau hadis yang berkaitan dengan isu itu. Masalah mengucapkan selamat Natal atau peringatan Natal bersama muncul belakangan ini di era modern. Oleh karena itu, ayat-ayat dan hadis yang dikutip dalam fatwa MUI di atas sama sekali tidak langsung menyinggung soal Natal itu sendiri. MUI hanya mencoba mengait-ngaitkan antara ayat dan hadis itu dengan soal Natal. Tetapi, jika kita baca secara harafiah ayat-ayat tersebut, kita tak menemukan hubungan yang sifatnya langsung dengan soal Natal.
Karena Qur'an dan hadis seringkali hanya merupakan dalil umum yang tidak secara langsung berhubungan dengan kasus-kasus partikular yang menjadi bahan diskusi, maka kalangan NU cenderung tidak menyukai cara berfatwa atau "istinbath" yang langsung didasarkan pada Qur'an atau hadis. Mereka lebih suka mendasarkan diri kepada pendapat ulama yang biasanya jauh lebih spesifik. Pendapat-pendapat ulama itu biasanya termuat dalam kutub al-mazahib atau kitab-kitab mazhab yang di pesantren Jawa dikenal dengan Kitab Kuning karena warna kertasnya yang biasanya kuning. Bagi kalangan NU, Qur'an dan hadis umumnya merupakan dalil yang masih "mentah". Hanya para mujtahid dengan kompetensi yang tinggi yang bisa mengolah dalil mentah itu. Kalangan NU cenderung percaya bahwa umumnya ulama pada zaman ini tidak memiliki kompetensi semacam itu, sehingga mereka memilih jalur yang lebih aman, yaitu mengutip pendapat ulama ketimbang langsung mengutip Qur'an atau hadis. Kalangan NU juga memiliki suatu "reasoning" yang menarik. Jika seseorang salah menafsirkan atau mengutip pendapat ulama, maka resikonya tak sebesar kalau yang bersangkutan salah dalam menafsirkan Qur'an dan hadis.
Meskipun saya tak sepenuhnya sepakat dengan cara berpikir NU yang terlalu mazhab-sentris ini, tetapi ada hal yang patut dipertimbangkan di sana. Kalangan NU ada benarnya saat berpendapat bahwa dalil Qur'an dan hadis umumnya masih bersifat "gelondongan", mentah, belum diolah. Contoh yang baik untuk hal ini dengan baik bisa kita saksikan dalam ayat-ayat yang telah dikutip dalam fatwa MUI di atas. Sebagaimana sudah saya katakan, tidak ada kaitan langsung antara ayat-ayat itu dengan soal Natal. Oleh karena itu, fatwa MUI ini meninggalkan pertanyaan besar yang belum terjawab: bagaimana ayat-ayat itu dapat menunjukkan bahwa ikut perayaan Natal hukumnya haram.
Dalam bagian berikut, saya akan memberikan penjelasan yang lebih rinci.
(2) Argumen pokok fatwa MUI tampaknya terdapat dalam bagian ketiga yang berisi tujuh pertimbangan itu. Mari kita lihat beberapa argumen itu, dan apakah cukup kuat menjadi landasan untuk mengharamkan ikut upacara Natal bagi seorang Muslim.
a. Salah satu argumen MUI adalah bahwa umat Islam dilarang mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan akidah dan ibadah agama lain. Dengan kata lain, Islam melarang sinkretisme. MUI mengutip ayat 109:1-6 dan 2:42. Ayat yang pertama terdapat dalam Surah Al-Kafirun yang sudah terkenal itu di mana dikatakan "la a'budu ma ta'budun, wa la antum 'abidun ma a'bud." Artinya: aku tak menyembah sesembahan kalian (orang-orang kafir), dan kalian juga tak seharusnya menyembah sesembahanku (Nabi).
Soal larangan mencampur-adukkan ibadah dan akidah Islam dengan akidah dan ibadah agama lain, kita tentu sepakat. Hampir semua agama sepakat dalam masalah yang satu ini. Sinkretisme dalam pengertian membuat akidah dan ritual "gado-gado" tidak dibenarkan dalam agama apapun.
Pertanyaan yang patut diajukan di sini adalah, bagaimana orang yang ikut perayaan Natal bisa dikatakan mencampuradukkan akidah dan ibadah? Di mana letak pencampuradukan di sana? Kita dapat menyebut seseorang mencampuradukkan ibadah atau akidah jika dia, misalnya, menciptakan suatu ritual yang unik, di mana salat dicampur dengan komuni. Ini sekedar contoh saja. Jika seseorang hanya datang dalam upacara Natal dan sama sekali tak ikut ibadah, sekedar duduk menonton, bagaimana ia bisa disebut mencampuradukkan ibadah dan akidah? Apakah jika seseorang menonton upacara Natal di TV juga disebut mencampuradukkan ibadah dan akidah?
Dalam tradisi teologi yang diikuti oleh sebagian besar kalangan Sunni, iman biasanya didefinisikan sebagai "tashdiqun bi 'l-janan, wa iqrarun bi 'l-lisan, wa fi'lun bi 'l-arkan." Artinya: membenarkan dalam hati, mengakui secara lisan, dan menindaklanjutinya dengan tindakan. Dengan definisi ini, jika seseorang menjalan salat, tetapi ia tidak percaya kepada Islam di hati, serta tidak mengucapkan shahadat atau pengakuan verbal, maka ia tak bisa disebut sebagai seorang Muslim. Begitu pula, ketika seorang Muslim datang dalam upacara Natal, sementara dia tak ikut mengucapkan secara verbal kredo iman Kristen, serta tidak mempercayainya dalam hati, maka ia tak bisa disebut keluar dari Islam dan pindah ke Kristen. Dia juga tak bisa disebut mencampuradukkan akidah dan ibadah.
(3) Dalam argumen MUI juga disebutkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mempercayai bahwa Isa ibn Maryam adalah Rasul dan Nabi, bukan seorang Tuhan sebagaimana diimani oleh umat Kristen. Mengenai hal ini terdapat sejumlah ayat dalam Qur'an yang memang dengan jelas menunjukkan hal itu, misalnya QS 19:30-32, 5:75, 2:285. Argumen ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa seseorang yang mengikuti upacara Natal dengan sendirinya mengakui keilahian Yesus. Sebagaimana saya tunjukkan dalam bagian sebelumnya, iman bukan sekedar tindakan, tetapi juga keyakinan dalam hati, didukung oleh deklarasi verbal secara lisan. Seseorang yang datang dalam upacara Natal tidak bisa serta merta disebut menyetujui doktrin keilahian Yesus. Jika saya hadir dalam seminar di mana Abu Bakar Ba'ashir menjadi pembicara, misalnya, bukan berarti serta merta saya menyetujui pendapat Ba'ashir. Kalau saya masuk ke sebuah katedral besar yang indah sekali arsitekturnya, maka tidak berarti saya langsung menyetujui ibadah dan akidah Kristen. Kalau saya hadir dalam misa Minggu di gereja, menonton bagaimana ibadah Kristen dilaksanakan, bukan berarti dengan sendirinya saya setuju dengan kredo dan ibadah Kristen. Contoh ini bisa diperpanjang. Intinya adalah: kehadiran secara fisik dalam suatu upacara tertentu, tidak serta merta bisa ditafsirkan bahwa yang bersangkutan setuju dengan semua yang ada di sana. Sekali lagi, iman dalam sudut pandang kaum Sunni bukan sekedar tindakan, tetapi keyakinan dan juga ucapan. Bagaimana MUI yang merupakan lembaga ulama Sunni ini bisa lupa definisi iman yang paling elementer?
Ambiguitas fatwa MUI
Sekarang tiba saatnya kita akan menelaah inti dari fatwa MUI itu sendiri sebagaimana terbaca dalam bagian keempat yang berjudul "Memfatwakan" itu. Dalam fatwa ini, kita melihat sejumlah ambiguitas dan hal menarik lain yang luput dari perhatian banyak orang:
(1) Fatwa ini hanya mengharamkan ikut upacara Natal, tetapi tak berbicara sama sekali tentang tradisi tukar menukar kartu Natal atau mengucapkan Selamat Natal. Kita tak mendapat kejelasan apakah mengucapkan Selamat Natal dapat dianggap sebagai ikut upacara Natal atau tidak. Secara akal sehat, tentu mengucapkan Selamat Natal tak dapat dianggap sebagai ikut upcara Natal. Dengan demikian, kita bisa berasumsi bahwa MUI membolehkan ucapan Selamat Natal.
(2) Dalam fatwa itu, ada dua jenis tindakan. Pertama, ikut merayakan Natal yang menurut fatwa itu diharamkan. Kedua, ikut kegiatan Natal yang dianggap "shubhat" (samar-samar, tak jelas status boleh-tidaknya) sehingga sebaiknya dijauhi. MUI sama sekali tak menjelaskan apa perbedaan antara kedua hal itu. Secara tak langsung sebetulnya MUI ingin mengakui adanya perbedaan antara dua aspek dalam upacara Natal. Pertama aspek ibadah, dan kedua aspek sosial. Jika seseorang ikut upacara Natal dalam pengertian ikut ibadah, maka, menurut MUI, hukumnya haram. Sebaliknya, jika hanya ikut dalam kegiatan Natal yang non-ibadah, hukumnya tidak haram, tetapi sebaiknya dijauhi karena shubhat.
Di sini kita juga tak mendapat kejelasan: apakah mengucapkan Selamat Natal atau sekedar datang dalam upacara sosial Natal masuk dalam kategori haram atau shubhat. Kalau mengikuti tafsiran Prof. Din Syamsuddin yang baru-baru ini mengikuti mengikuti Perayaan Natal Bersama, yang diharamkan dalam fatwa MUI adalah ikut ibadah Natal. Kalau sekedar ikut upacara Natal yang bersifat sosial non-ibadah, maka hukumnya boleh. Kita semua tahu, Prof. Din Syamsuddin adalah pejabat penting dalam MUI, sehingga tafsirannya bisa kita anggap mencerminkan sebagian pendapat yang berkembang di dalam lembaga itu.
Dalam pembacaan saya sendiri, tampaknya fatwa MUI cenderung pada tafsiran Din Syamsuddin. Dengan jelas sekali MUI membedakan antara dua hal: ikut upacara Natal dan ikut kegiatan Natal, walaupun tak dijelaskan dengan tegas apa yang dimaksud dengan yang pertama, dan apa dengan yang kedua. Meskipun, dalam hal yang kedua, MUI tidak mengatakan boleh seperti diikuti oleh Din Syamsuddin, sebaliknya fatwa MUI menganjurkan untuk menjauhi.
Dalam pandangan saya, fatwa MUI ini secara keseluruhan masih "reasonable" alias masuk akal. Fatwa ini tidak sekaku yang dikira banyak orang selama ini. Fatwa ini tidak secara jelas melarang umat Islam mengucapkan Selamat Natal seperti dipersepsikan oleh banyak kalangan. Fatwa ini, paling jauh, hanya menganjurkan agar umat Islam tak ikut dalam kegiatan Natal yang non-ibadah. Sifatnya adalah anjuran, bukan larangan.
Dengan menelaah fatwa MUI secara dekat seperti ini, kita bisa melucuti sejumlah mitos menyeramkan yang menyelimuti fatwa kontroversial ini.
Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment