Monday, December 31, 2007

"Nyanyian" Para Mantan Islam dan Kristen

Ada fenomena menarik yang layak kita perhatikan sejenak: orang Kristen pindah agama, masuk Islam, lalu kampanye ke mana-mana menjelek-jelekkan "mantan" agamanya dulu. Sebaliknya, ada pula orang Islam, keluar, lalu pindah ke Kristen dan menjelek-jelekkan Islam. Fenomena ini lucu, sebab mengingatkan kita pada fenomena serupa yang kita lihat dalam kehidupan kepartaian.

Dulu, di kampung saya, ada seorang kiai yang fanatik sekali dengan Partai Ka'bah, yakni PPP. Begitu fanatiknya, sampai-sampai dia menuduh kafir mereka yang mencoblos Golkar. Beberapa tahun kemudian, karena satu dan lain perkara, ia loncat pagar meninggalakan PPP, dan tanpa kikuk serta rasa malu bergabung dengan Golkar. Setelah di Golkar, dengan sengit dan penuh semangat empat-lima ia menjelek-jelekkan PPP. Masyarakat akhirnya tahu sejauh mana kualitas kiai semacam itu.

Inilah fenomena yang kita lihat pada orang seperti Irena Handono. Konon ia mantan biarawati, keluar dari Kristen, lalu masuk Islam. Setelah itu, dengan penuh semangat ia menjelek-jelekkan Kristen. Tentu orang Islam senang sekali mendengar mantan Kristen menjelek-jelekkan agama itu, "Tuh lihat, orang Kristen aja menjelek-jelekkan agama itu. Berarti agama Yesus ini memang salah."

Fenomena ini juga terjadi untuk kasus sebaliknya. Ada orang yang namanya Muhammad Ali Makrus al-Tamimi. Konon, ini orang Arab. Melihat nama marganya, al-Tamimi, tampaknya orang ini memang keturunan Arab, meskipun masih harus dibuktikan. Menurut sas-sus yang belum tentu benar, ia pernah bergabung dengan FPI. Wow! Mantan FPI masuk Kristen. Ini benar-benar memenuhi prinsip pemberitaan yang laku di pasar, "A man bites a dog!" Kalau ini benar, tentu menarik sekali. Orang Kristen tentu senang bukan alang-kepalang, "Nih, orang FPI yang "fundamentalis" aja bertobat dan mengikuti jalan Yesus. Berarti jalan Yesus memang benar adanya."

Baik ceramah Irena maupun Al-Tamimi beredar luas di pasaran dalam bentuk kaset, VCD, DVD, juga transkripsi di internet. Irena bahkan menerbitkan sejumlah buku. Saya mendengarkan dan membaca beberapa. Kesan pertama saya secara spontan: keduanya tidak memiliki pengetahuan yang mendalam baik tentang agama yang dulu dipeluknya, apalagi agama yang baru diikuti. Apa yang mereka utarakan baik mengenai "isteri lama" atau "isteri baru", sama-sama dangkal. Orang awam yang suka dengan sensasi boleh jadi tertarik dengan ceramah apologetik semacam itu. Tetapi ceramah dan tulisan mereka sama sekali tak membantu masing-masing pihak dalam Islam dan Kristen untuk memiliki pemahaman yang lebih baik dan simpatik mengenai pihak lain.

Kalau orang hendak belajar Islam yang baik, tentu harus membaca sumber-sumber dari Islam sendiri, penafsiran yang ditulis oleh sarjana Islam. Begitu pula, kalau anda mau belajar Kristen dengan baik, dengarkanlah apa kata orang "dalam" Kristen sendiri, bagaimana para "exegete" atau penafsir Injil memahami ayat-ayat dalam kitab suci itu. Sebagaimana lucu sekali memahami Islam dari orang yang benci Islam, begitu pula sangat lucu jika orang Islam memahami Kristen melalui sumber-sumber yang benci Kristen.

Do I make myself clear? Oke, saya akan berikan beberapa contoh sederhana.

Irena Handono, misalnya, menulis buku untuk menjawab buku polemis karangan seorang pendeta "fundamentalis-evangelis" dari Amerika, Robert Morey, "The Islamic Invasion: Confronting the World's Fastest Growing Religion". Buku ini konon diterjemahkan oleh kalangan Kristen dan disebarkan ke mana-mana sebagai semacam polemik-tandingan dari pihak Kristen terhadap Islam. Kalau orang luar Islam mau belajar tentang Islam, tentu buku Morey bukanlah rujukan yang baik. Begitu juga ketika seseorang mau belajar Kristen dengan baik, tentu buku-buku polemik karangan orang-orang macam Ahmad Deedat atau Irena Handono sendiri bukan sumber yang tepat. Dua-duanya adalah sumber informasi yang bias, bahkan penuh kebencian.

Sejarah hubungan Islam dan Kristen memang sarat dengan kecurigaan, bahkan kebencian. Orang Islam menuduh pihak Kristen melakukan disinformasi dan kampanye buruk mengenai Islam, tetapi orang Islam lupa bahwa mereka juga melakukan hal yang sama pada Kristen. Kalau umat Islam dan Kristen hendak membangun dialog yang simpatik, saran saya hanya satu: baik bukunya Deedat dan Morey sebaiknya diistirahatkan di pojok kamar, masukkan dalam koper, dan bacalah buku-buku yang ditulis dengan sungguh-sungguh, mendalam, dan simpatik mengenai dua agama itu.

Kalau mau, boleh juga dibaca buku perbandingan agama yang ditulis dengan simpatik, seperti bukunya Huston Smith, The Religions of Man, terbit pertama kali pada 1958. Belakangan, judul buku ini diubah menjadi "The World's Religions: Our Great Wisdom Traditions". Judul yang lama dianggap kurang sensitif terhadap aspek jender. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada dekade 80an oleh Djohan Effendi, terbit oleh Penerbit Obor. Dengarlah salah satu kalimat sederhana yang simpatik dari Prof. Smith yang beragama Kristen ini:

Looking at the difference between pre- and post-Islamic Arabia we are forced to ask whether history has ever witnessed a comparable ethical advance among so many people in so short a time. Before Muhammad there was virtually no restraint on inter-tribal violence...Within a half century there was effected a remarkable change in the moral climate on each of these counts. (Religions of Man, Perennial Library, 1965, hal. 242).

Dengan penuh simpati, Smith menunjukkan bahwa Islam telah berjasa besar karena berhasil melakukan perubahan besar dalam waktu yang singkat di tanah Arab, memajukan kesadaran etis masyarakat Arab, dan mengubah lingkungan moral mereka yang bobrok sebelumnya. Simpati seperti ini ditunjukkan oleh Smith kepada agama-agama besar lain di dunia.

Orang seperti Smith inilah yang kita butuhkan untuk memupuk hubungan yang dialogis antara Islam dan Kristen. Buku-buku seperti karangan Smith itulah yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat. Bukan buku-buku yang menimbulkan salah-paham, kecurigaan, dan rasa saling tak-percaya antar dua komunitas agama seperti karangan Deedat atau Morey itu.

Baik umat Islam atau umat Kristen tak membutuhkan orang-orang seperti Irena Handono atau al-Tamimi. Mereka hanyalah kaum apologetis yang jualan "kecap" untuk memuji agama sendiri, seraya menjelek-jelekkan agama lain. Apakah yang kita peroleh dari orang-orang semacam ini selain disinformasi dan kesalahpahaman yang akan memupuk rasa curiga antaragama?

Allahumma hal ballaghtu? Allahumma fa-syhad...

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

2 comments:

Anonymous said...

Menarik membaca tulisan anda, siapa(-pun/saja) anda. Tidak terlalu jelas benar dari apa yang anda tampilkan ini apakah anda muslim atau kafir. Apalagi tidak ada foto diri anda sehingga makin menambah ketidakjelasan anda, dan itu hak penuh anda, tapi jadi tidak berkelas dan kredibel saja, padahal anda mengaku peneliti independen. Kejujuran dan keterbukan adalah nilai penting yang hanya dikompromikan saat jiwa anda terancam.
Soal tulisan anda ini, bagaimana dengan tulisan kalangan gereja dan sarjanan kristen tentang iman dan gereja mereka tapi cenderung senada dengan tulisan yang anda cap apologetis? Jika anda peneliti tentu tahu beberapa orang yang masuk kategori ini baik yang sudah uzur atau masih muda, dari kalangan gereja yang lalu kena ekskomunikasi atau dari kalangan akademisi.
Soal Ahmad Deedat, anda yakin untuk memasukkan almarhum dengan misalnya Irena Handono? Alm Ahmad Deedat tidak hanya hafal al-Qur'an tapi juga lebih dari satu versi Bible dalam beberapa bahasa. Maaf tapi anda terlihat tidak terlalu peduli memberikan alasan dan contoh apologetis mereka di tulisan singkat anda ini.
Terima kasih dan maaf jika tidak berkenan.

Th3_O_F4_Nu5 said...

Bagus sekali tulisannya yang anda buat ini...

Memang benar adanya bahwa banyak orang yang berpindah agama lalu menjelek-jelekkan agama yang ditinggalkannya..

Ntah apa motivasinya mereka menjelek2kan "mantan" agamanya sendiri, namun yang jelas, mereka termasuk orang yang berdosa dan munafik.

Mengapa saya mengatakan demikian?
Karena mereka dahulu berasal dari sana, namun mereka sendiri menjelek2an agama yang pernah dianutnya. Sangat2 munafik..
Mereka juga berdosa, karena menghina agama apapun, sama saja dengan menghina Tuhan. Menghina Tuhan adalah dosa yang sangat berat...

Mungkin otak mereka sudah dipenuhi dengan benci dan dengki, ditambah lagi dengan masukan2 kebencian dari sumber-sumber tertentu...

Orang seperti anda inilah yang perlu menulis buku bukan Si Al Tamimi atau Irena itu...

Sukses selalu dan tetap menulis yan Bung...

Terima kasih..