Friday, December 28, 2007

Intoleransi di Sekitar Kita

Gejala intoleransi saat ini sedang meningkat di tanah air kita. Yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa intoleransi ini disertai pula dengan tindakan kekerasan. Contoh yang paling baik adalah kekerasan yang dilakukan oleh segolongan umat Islam terhadap sekte-sekte yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah, Syi'ah dan al-Qiyadah al-Islamiyah.

Kenapa intoleransi marak saat ini? Tentu pertanyaan ini tak mudah dijawab. Yang jelas, ini adalah gejala sosial keagamaan yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang saling berkait berkelindan. Ada faktor yang sifatnya politik, ekonomi, dan budaya. Tetapi yang hendak disorot secara khusus di sini adalah faktor yang ada kaitannya dengan dimensi agama. Dengan menekankan dimensi agama, bukan berarti bahwa faktor-faktor lain tak penting.

Selama ini, banyak kalangan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama toleransi. Tentu pernyataan ini sama sekali tak salah. Dalam Islam, ajaran tentang toleransi sangat penting kedudukannya. Dalam Islam terdapat suatu deklarasi yang penting, "la ikraha fi al-din", tidak ada paksaan dalam agama. Sejarah peradaban Islam di masa klasik memperlihatkan sejumlah contoh dan praktek toleransi yang sangat mengagumkan. Peradaban Islam yang berkembang di Andalusia, Spanyol, merupakan masa keemasan bukan saja bagi peradaban Islam tetapi juga bagi perkembangan pemikiran agama Yahudi, misalnya. Dari sanalah lahir salah seorang filosof besar Yahudi, Musa ibn Maimun, yang dikenal di Eropa sebagai Maimonides. Andalusia di bawah kekuasaan Islam adalah salah satu contoh paling baik tentang toleransi Islam.

Tetapi, Islam bukan saja mengandung ajaran tentang toleransi. Dalam Islam, harus jujur diakui, ada sejumlah potensi intoleransi, entah dalam ajaran Islam yang "asli" sebagaimana termuat dalam Qur'an dan hadis, atau dalam penafsiran para ulama yang biasanya termuat dalam kitab-kitab fikih dan tafsir. Ajaran-ajaran tentang intoleransi inilah yang menjelaskan kenapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan sejumlah fatwa yang jelas-jelas memperlihatkan praktek intoleransi, seperti fatwa yang menyesatkan Ahmadiyah, misalnya. Fatwa MUI telah dijadikan dasar oleh sejumlah kelompok dalam Islam untuk melakukan penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah, seperti Bogor, Tasikmalaya, Majalengka, Mataram, dll. MUI sama sekali tak memperlihatkan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencegah kekerasan itu, sebaliknya dengan nada "cuci tangan" malah menyatakan bahwa tugas untuk mengatasi masalah kekerasan ada di tangan kepolisian. Padahal, dialah biang-keroknya.

Beberapa waktu yang lalu, MUI juga menerbitkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa gagasan pluralisme berlawanan dengan Islam. MUI menafsirkan "pluralisme" sebagai gagasan yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Definisi ini jelas sama sekali membingungkan kalangan awam. Fatwa MUI ini dijadikan landasan oleh sejumlah kelompok Islam untuk mencurigai setiap upaya untuk membangun dialog antaragama dan antariman. Sejumlah kelompok dalam Islam meledek kalangan yang memperjuangkan gagasan pluralisme dengan kata-kata sindiran, yakni "SEPILIS", sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Tak pelak, fatwa MUI ini membuat umat Islam makin mencurigai agama lain, dan makin menjauhi dialog. Dengan kata lain, fatwa MUI ini menimbulkan maraknya gejala intoleransi.

Bukan suatu kebetulan bahwa gejala intoleransi ini seperti rangkaian peristiwa yang saling bersahut-sahutan. Di satu pihak, kita melihat fatwa-fatwa MUI yang jelas-jelas intoleran itu. Di pihak lain, kita melihat gejala kekerasan dan penyerangan atas kelompok-kelompok yang dianggap sesat. Pada saat yang sama pula, kita menyaksikan maraknya perusakan gereja yang dianggap "liar". Sementara itu, ormas-ormas Islam, termasuk MUI sendiri, sama sekali tak memperlihatkan keprihatinan dan berusaha mencegah dengan sungguh-sungguh kekerasan ini. Gejala-gejala ini secara serentak memperlihatkan bahwa pendulum dalam tubuh umat Islam memang sedang bergerak ke arah intoleransi.

Ajaran-ajaran intoleran

Umat Islam mungkin akan terhenyak ketika dikatakan bahwa dalam Islam terdapat pula ajaran tentang intoleransi. Umat Islam akan menipu dirinya sendiri jika hanya mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan toleran, seraya mengabaikan dan melalaikan adanya sejumlah ajaran yang kontra terhadap toleransi. Berikut ini adalah sejumlah contoh saja.

Sebuah hadis yang terkenal menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Seluruh golongan itu akan masuk neraka, kecuali satu. Golongan yang satu itu adalah mereka yang mengikuti "sunnah" Nabi dan sahabatnya (ma ana 'alaihi wa ashabi). Hadis ini dianggap lemah, bahkan palsu, oleh sejumlah sarjana, tetapi sarjana yang lain juga menyatakan bahwa hadis ini valid. Hampir semua literatur heresiografi atau "adabiyyat al-firaq" memuat hadis ini, seperti karya Al-Shahrastani, Al-Milal wa 'l-Nihal dan karya Abd al-Qahir al-Baghdadi, Al-Farq Bain al-Firaq. Mayoritas kelompok-kelompok dalam Islam memakai hadis ini untuk mendaku bahwa diri mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah) sebagaimana dimaksud hadis itu.

Hadis ini jelas merupakan salah satu sumber penting intoleransi dalam tubuh umat Islam. Kelompok Sunni mendaku bahwa merekalah yang dimaksud sebagai golongan yang selamat itu, dan karena itu mereka menyesatkan kelompok-kelompok lain, seperti Syi'ah, Mu'tazilah, Khawarij, dll. Tradisi sesat-menyesatkan sudah berkembang sejak masa awal Islam. Warisan ini terus berlanjut hingga sekarang. Dalam banyak kasus, yang terjadi bukan saja sesat-menyesatkan, tetapi bergerak jauh sampai kafir-mengkafirkan. Inilah gejala yang sedang marak sekarang. Umat Islam saat ini gampang menyesatkan dan mengkafirkan kelompok atau golongan lain yang membawa penafsiran yang berbeda tentang beberapa hal dalam Islam. Yang lebih serius lagi adalah bahwa tuduhan kafir itu juga berlanjut pada pembenaran atas pembunuhan orang yang dianggap kafir atau murtad itu.

Sebagaimana kita tahu, ada sebuah hadis terkenal yang sering dipakai oleh banyak kalangan Islam untuk "memberangus" perbedaan pendapat, yakni hadis yang bunyinya, "man baddala dinahu faq-tuluhu", barangsiapa pindah agama, maka bunuhlah ia. Dengan kata lain, orang yang murtad harus dibunuh. Karena definisi murtad sering "mulur-mungret" dan bisa dikenakan secara serampangan kepada siapa saja yang dianggap melenceng dari ajaran "resmi", maka hadis ini menjadi salah satu sumber intoleransi yang serius dalam Islam.

Salah satu gejala yang menarik dalam masyarakat Islam kontemporer adalah menggejalanya sejumlah ekspresi dan ungkapan tertentu, seperti kafir, bid'ah, murtad, sesat, bunuh, ganyang, dsb. Kata-kata "bunuh", "murtad", atau "kafir" mudah sekali dikatakan oleh sejumlah tokoh dan aktivis Islam. Kata-kata itu jelas memperlihatkan gejala kebencian dan intoleransi.

Tantangan ke depan

Tak ada agama yang statis. Setiap agama selalu mengalami up-and-down atau pasang surut dalam sejarahnya. Ada saatnya Islam mengalami sejarah toleransi yang cemerlang. Ada saatnya pula ia mengalami zalam kegelapan. Sekarang ini adalah zaman "jahiliyyah" bagi umat Islam, yakni zaman kegelapan. Fatwa-fatwa MUI berkenaan dengan doktrin penyesatan itu adalah salah satu pertanda kegelapan itu. Tindakan segologan umat Islam yang mudah mengkafirkan sesama Muslim adalah pertana kegelapan pula.

Tantangan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini adalah bagaimana meraih kembali masam-masa keesaman di masa lampau, dengan cara membuka kembali kebebasan berpikir, ijtihad, dan kelapangan dada menerima segala bentuk perbedaan pendapat.

Dalam kerangka negara Indonesia, terdapat sebuah jaminan yang tanpa pandang bulu bagi kemerdekaan dan kebebasan berkeyakinan sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Secara universal, prinsip kebebasan beragama saat ini juga telah diakui sebagai norma kehidupan manusia modern. Tantangan umat Islam sekarang adalah menafsirkan kembali ajaran-ajaran Islam yang menjurus kepada intoleransi itu dalam konteks norma nasional dan universal tersebut. Tindakan umat Islam untuk merusak tempat ibadah jamaah Ahmadiyah semata-mata karena kelompok itu dianggap sesat sama sekali tak bisa dibenarkan. Tindakan itu hanya akan menambah datar olok-olok bagi umat Islam di mata dunia saat ini.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-sawab.

1 comment:

Anonymous said...

jadi pertanyaannya sekarang adalah: apakah kita harus tetap mempertahankan eksistensi dari MUI yang alih2 memberikan kesejukan malah telah mengacak-acak persatuan dan kesatuan bangsa ini? sangat ironis sekali apabila pemerintah setiap tahun harus mengucurkan anggaran sebesar 16 trilyun pada sebuah organisasi masa yang menjadi biang perpecahan dalam masyarakat...