Sunday, December 30, 2007

Catatan Kecil tentang Natal

I

Dalam blog ini saya sudah mencoba menulis beberapa artikel yang berkenaan dengan Natal. Masalah ini sebetulnya sangat sepele, tak perlu menyita banyak waktu umat Islam untuk berdiskusi dan bertikai. Tetapi, kenyataannya memang lain. Di lapangan kita bertemu dengan orang-orang yang hendak menjadikan masalah sepele ini menjadi masalah akidah, sehingga dunia menjadi geger seperti mau kiamat.

Masalahnya akan menjadi sederhana kalau umat Islam mau memakai akal sehat biasa. Orang awam dengan nalar yang sederhana akan tahu bahwa hak-hak bertetangga adalah hal elementer dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita bertetangga dengan orang lain, kita memiliki sejumlah hak yang harus kita tunaikan. Jika tetangga kita sedang susah, kita selayaknya menolong. Jika sedang gembira, kita layak ikut menikmati kegembiraan itu. Jika butuh bantuan, kita perlu mengulurkan tangan. Kita melakukan semua ini atas dasar kemanusiaan, tanpa melihat agama, suku, warna kulit, atau budaya. Jika tetangga kita sakit, kita wajib menolong, tak peduli apa agamanya.

Sekali lagi, ini semua kita lakukan sebagai bagian dari hak-hak bertetangga. Semua orang, dengan nalar biasa dan sederhana, tahu mengenai hal ini.

Dengan nalar seperti ini, saya ingin mengatakan bahwa apa salahnya jika saya, seorang Muslim, mengulurkan tangan, mengucapkan Selamat Natal, kepada tetangga saya yang beragama Kristen. Apa salahnya saya, jika diundang, ikut dalam perayaan Natal yang diadakan tetangga saya itu? Saya tahu dan sadar, saat melakukan itu, saya ingin menghormati tetangga saya. Saya tak langsung akan menjadi Kristen saat saya mengucapkan Selamat Natal itu. Saya juga tak akan langung menyetujui akidah dia ketika saya diundang dalam acara Natal yang dia adakan.

Saat tetangga saya yang Kristen mengucapkan Selamat Lebaran atau Idul Fitri kepada saya, saya tahu betul bahwa ia mengucapkannya sebagai cara untuk menghoramti saya. Ia melakukannya sebagai bagian dari sopan-santun sosial. Tak ada soal akidah di sini. Ini bagian dari proses hidup bermasyarakat yang wajar. Orang yang menjadikan masalah ini sebagai isu akidah hanya mempersulit diri sendiri saja.

II

Ada banyak teman saya yang mengatakan bahwa merayakan Natal pada 25 Desember adalah penipuan. Yesus tidak lahir pada tanggal itu. Perayaan Natal adalah bagian dari tradisi pagan atau kafir. Kalau kita ikut-ikutan mengucapkan Selamat Natal kepada teman Kristen pada tanggal itu, kita sama saja dengan ditipu.

Saya senyum-senyum saja mendengar keterangan teman saya ini. Sejarah mengenai perayaan Natal sebagai kelanjutan dari tradisi pagan sudah diketahui oleh orang Kristen sejak lama. Kajian mengenai hal ini sudah ditulis oleh sarjana Kristen sendiri. Kesan saya, teman-teman saya yang Muslim merasa seolah-olah mengetahui rahasia besar yang tak diketahui oleh orang Kristen. Informasi tentang perayaan Natal sebagai kelanjutan dari tradisi pagan seolah-olah barang baru yang hanya diketahui oleh orang Islam, sementara orang Kristen sendiri tak mengetahuinya. Ini jelas salah besar.

Tetapi, ada masalah lain yang menggelikan dalam cara berpikir sebagian umat Islam. Taruhlah benar bahwa 25 Desember bukanlah tanggal persisnya Yesus atau Nabi Isa lahir. So what gitu loh...(meminjam bahasa anak-anak remaja Jakarta). Tak ada keharusan orang merayakan hari lahir persis pada tanggal kelahirannya. Saya bisa lahir 17 Desember, lalu merayakan ultah pada 30 Desember. Apa yang salah di sana. Umat Islam tahu benar bahwa Nabi Muhammad lahir pada 12 Rabi' al-Awwal, karena itu mereka membaca barzanji atau mawlid pada tanggal itu. Tetapi, mereka juga membaca mawlid di luar tanggal itu. Apakah ini salah? Tentu tidak toh?

III

Sebagian teman saya yang lain mengatakan bahwa dengan merayakan Natal pada 25 Desember, sebetulnya agama Kristen melakukan kompromi dengan budaya kafir. Perayaan Natal sebetulnya adalah kelanjutan budaya Romawi untuk merayakan datangnya musim dingin. Yesus tak lahir pada tanggal itu. Buktinya Kristen ortodoks Timur, misalnya, merayakan Natal pada 7 Januari. Dengan kata lain, perayaan ini, jika memakai istilah Islam, adalah bid'ah, persis seperti tradisi ziarah kubur yang merupakan sisa-sisa dari budaya animisme pra-Islam.

Umat Kristen tahu dari awal, bahwa asal-usul perayaan Natal ini diadakan oleh gereja awal untuk menarik simpati orang-orang Romawi. Katakan saja, bagian dari strategi dakwah, persis seperti wali sembilan di Jawa dulu memakai wayang yang merupakan bagian dari tradisi Hindu-Budha untuk menyampaikan dakwah Islam. Jadi, apa salahnya dengan memakai budaya pagan untuk diisi dengan semangat baru?

Setiap agama selalu harus, kadang dipaksa, berjumpa dan berkompromi dengan budaya-budaya lokal yang berserakan di mana-mana. Ini hal yang biasa terjadi pada semua agama. Suksesnya agama banyak tergantung pada kemampuannya untuk melakukan adaptasi dengan budaya setempat. Kita semua tahu, Islam datang ke Indonesia melalui cara-cara damai, non-perang. Islam datang ke bumi nusantara dan kemudian menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Orang-orang yang menyerukan "pemurnian" dan memusuhi budaya lokal, dengan alasan bahwa budaya setempat adalah "kotoran" yang mengganggu kemurnian akidah, sama sekali tak sadar bahwa di tanah aslinya sendiri, Islam juga berbau Arab. Apakah pemurnian Islam berarti kembali ke budaya Arab?

Ambillah contoh yang menggelikan. Orang-orang yang "sok murni" seringkali mengatakan bahwa kita harus mengikuti contoh atau sunnah Nabi. Karena Nabi memelihara jenggot, bahkan dengan jelas-jelas memerintahkannya, maka kita juga harus berjenggot. Orang-orang semacam itu bisa "bertarung" habis-habisan demi jenggot, seolah esensi dan inti agama ada pada helai-helai rambut di bagian bawah wajah kita itu.

Dengan nalar biasa, tentu semua orang tahu bahwa tentu saja dalam konteks Arab Nabi memerintahkan memelihara jenggot. Itu bagian dari budaya machismo, muruwwah, atau manlihood dalam masyarakat Arab. Orang yang tak memelihara jenggot akan dianggap kurang macho, kurang laki-laki. Ini biasa saja. Yang tak biasa adalah menganggap perintah Nabi ini berlaku universal di mana-mana.

Contoh ini saya katakan untuk menunjukkan bahwa mengadopsi budaya setempat sama sekali tak terelakkan dalam agama manapun. Jika umat Islam mengkritik bahwa perayaan Natal adalah sisa-sisa budaya pagan non-Kristen, mereka harus ingat bahwa Islam juga melanjutkan budaya Arab pra-Islam, budaya jahiliyyah. Bukan hanya itu. Islam di kawasan-kawasan di luar Arab juga melakukan hal yang sama: yaitu mengadopsi budaya setempat yang merupakan warisan budaya "kafir".

Kepada orang-orang yang "pemurnian-minded" ini harus dikatakan: kalian jangan terpukau pada bentuk luarnya. Lihatlah esensinya.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

No comments: