Tuesday, January 29, 2008

Di Manakah Akhlak Kalian, Wahai Umat Islam?

Ruzbihan Hamazani

1.

Nabi Muhammad datang kepada masyarakat Arab dengan suatu misi penting, yaitu menyempurnakan akhlak, menegakkan kembali kehidupan yang diatur dengan norma dan etika. Itulah pengertian yang kita tangkap dari ucapan Nabi, "bu'ithtu li utammima makarim al-akhlaq". Arti hadis itu adalah, aku (Nabi Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak. Menegakkan kehidupan yang etis, dengan demikian, merupakan fondasi agama Islam.

Dan inilah yang tergambar dalam sejumlah hadis Nabi yang terkenal. Nabi, misalnya, pernah berujar, bahwa barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus menghormati tetangganya. Dalam hadis lain dikatakan, harus menghormati tamu. Nabi juga pernah mengatakan bahwa barangsiapa beriman, maka hendaklah ia berkata yang baik, atau, kalau tak bisa, diam saja (fal yaqul khairan aw li-yashmut). Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa barangsiapa kenyang sementara tetangganya menderita kelaparan, maka ia tak bisa disebut sebagai seorang beriman. Nabi juga pernah berkata dalam sebuah hadis terkenal: al-muslimu man salima akhuhu min yadihi aw min lisanihi (aw kama qal). Artinya: seorang disebut Muslim jika saudaranya terhindarkan dari hal-hal yang menyakitkan yang datang dari mulut dan tangannya. Dengan kata lain, seseorang tak dapat disebut Muslim jika menyakiti saudaranya, entah dengan kata-kata atau dengan tindakan.

Sebuah hadis lain yang menerangkan tentang cabang-cabang iman (shu'ab al-iman) menarik pula untuk kita simak di sini. Dalam hadis itu dikatakan bahwa iman memiliki tujuh puluh sekian cabang. Cabang paling tinggi adalah pengakuan tentang katauhidan dan kerasulan yang dicerminkan dalam kredo dua shahadat. Cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan "gangguan" (al-adza) dari tengah jalan. Dengan kata lain, jika kita melihat sebuah paku tergeletak di tengah jalan lalu, tergerak oleh rasa khawatir bahwa paku itu bisa mencelakakan seorang pelintas jalan, kita menyingkirkannya, maka tindakan itu adalah salah satu cabang dari iman. Dengan kata lain pula, iman bukan sekedar deklarasi verbal dalam mulut, tetapi juga tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Iman yang benar akan membawa manfaat bagi kehidupan sosial. Iman yang benar akan mengubah cara hidup seseorang, dari kehidupan yang brengsek, amoral, dan mencelakakan orang lain, menjadi kehidupan yang bermartabat, etis, dan membawa rasa aman bagi orang lain. Dalam Qur'an digambarkan bahwa iman yang baik, bermutu, dan kuat adalah seperti pepohonan yang memiliki mutu biji yang baik sehingga berkembang menjadi pohon besar, tinggi menjulang ke langit, rindang, dan membawa buah yang bermanfaat bagi orang banyak (QS 14:24-25). Iman yang benar akan terlihat dari buahnya. Jika buah itu membawa manfaat bagi masyarakat luas, maka iman itu dapat kita pastikan sebagai iman yang benar. Tak heran jika Islam mengumandangkan kerasulan Muhammad sebagai suatu misi yang membawa rahmat bagi seluruh manusia, bukan saja bagi manusia Muslim, tetapi juga non-Muslim (QS 21:107).

Puncak dari sebuah orde etis atau tatanan bermoral yang diajarkan oleh Nabi adalah sebuah hadis yang terkenal: man yu'min bi al-Lahi wa al-yaum al-akhiri fal-yuhibba li akhihi ma yuhibbu linafsihi. Arti hadis itu: barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berbuat kepada temannya sesuatu yang ia suka temannya itu perbuat pada dia. Etika ini, sebagaimana kita tahu, terdapat dalam Injil, juga dalam kata-kata bijak yang sudah ribuan tahun lalu pernah dikatakan oleh seorang bijak dari Cina, Confucius. Ajaran etis yang dikenalkan Islam adalah meneruskan hal serupa yang sudah pernah diajarkan oleh agama-agama besar sebelumnya. Inti ajaran itu adalah sederhana: kalau anda tak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Atau, jika mau dikatakan dalam bentuk yang positif: jika anda suka teman anda berbuat sesuatu kepada anda, maka perbuatlah hal yang sama kepada teman anda itu.

Kehidupan yang etis sebagaimana diajarkan oleh Islam dan ajaran agama-agama besar yang lain berdiri atas suatu fondasi yang sangat sederhana tetapi sangat penting, yakni prinsip resiprokalitas atau tindakan saling memberikan respon yang positif. Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan lain-lain dikenal dengan pernyataan mereka bahwa manusia adalah "madaniyyun bi al-thab'", manusia secara natural adalah bersifat "madani". Apa yang dimaksud dengan "madani" di sana? Pengertian madani di sini adalah kehidupan "kota" yang dicirikan dengan etos-etos seperti saling menolong, kerjasama, gotong-royong, dan tunduk kepada aturan atau otoritas hukum yang disepakati atau ditunduki bersama. Kebalikan dari "madani" adalah kehidupan "barbar" atau liar yang sama sekali tak diatur oleh hukum, sehingga masing-masing orang atau kelompok dapat menyakiti, mencelakai, dan menyerang orang atau kelompok lain. Dengan kata lain, kehidupan yang tanpa otoritas, tanpa aturan, tanpa "sunnah", tanpa norma etis, tanpa etos saling tolong-menolong, sebagaimana digambarkan oleh kata-kata terkenal dari Thomas Hobbes dalam risalahnya yang masyhur, Leviathan, yakni: bellum omnium contra omnes. Kalimat dalam bahasa Latin itu artinya adalah, perang semua lawan semua. Itulah kehidupan barbar yang merupakan lawan dari kehidupan "etis" yang mencirikan suatu tatanan yang disebut dengan "madani" sebagaimana dimengerti oleh para filsuf Muslim.

Dengan kata lain, ciri khas kehidupan etis dalam masyarakat madani adalah resiprokalitas, bukan permusuhan semua lawan semua. Suatu kehidupan yang ditandai oleh resipkrokalitas mengandaikan bahwa masing-masing pihak saling menghargai yang lain, tidak merasa benar sendiri. Seseorang sudah tentu tidak suka terlibat dalam sebuah percakapan di mana pihak yang lain merasa paling benar sendiri, sehingga tak menerima pendapat pihak yang satunya. Begitu pula, jika seorang Muslim, Kristen, Hindu, Budha atau pemeluk agama-agama lain terlibat dalam sebuah kehidupan sosial di mana masing-masing pihak merasa paling benar, maka sudah pasti akan muncul suasana pergaulan yang kurang menyenangkan. Alasannya sangat jelas: dalam kehidupan semacam itu, etos resiprokalitas hilang sama sekali. Jika satu pihak merasa menang sendiri, benar sendiri, lurus sendiri, maka pihak lain akan merasa "minder" dan "inferior", atau sekurang-kurangnya orang bersangkutan akan menganggap pihak yang lain demikian. Inferioritas membuat timbangan kehidupan sosial menjadi "njomplang", tak seimbang, kehilangan equilibrium.

Hadis Nabi di atas dengan baik menggambarkan bahwa kehidupan sosial yang ideal adalah kehidupan yang bersifat resiprokal, di mana masing-masing pihak memperlakukan pihak yang lain dengan cara yang terhormat. Itulah dasar dari kehidupan "madani", kehidupan yang berlandaskan pada etos saling menghargai. Dalam semangat ini pula, kita bisa membaca sebuah ayat dalam Qur'an, "wa la talmizu anfusakum wa la tanabazu bi al-alqab" (QS 49:11). Artinya: janganlah kalian saling mengejek dan bertukar sebutan jelek.

2.

Apa yang saya sebutkan di atas adalah ajaran-ajaran ideal yang dibawa oleh Islam. Sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain, memenuhi standar kehidupan etis tidak lah mudah dilaksanakan oleh umat Islam. Dalam contoh-contoh kehidupan empiris, cita ideal Islam itu seringkali dicederai. Umat Islam, dalam banyak kasus, gagal memenuhi tuntutan Qur'ani untuk hidup secara etis itu. Yang lebih celaka adalah bahwa tuntutan untuk hidup secara etis ini dianggap tak penting karena ada satu dua ayat dalam Qur'an yang (dalam pemahaman mereka) menuntut untuk berbuat lain.

Salah satu contoh sederhana yang sering kita lihat dalam praktek umat Islam akhir-akhir ini adalah mudahnya sekelompok umat Islam untuk memaki, mengejek, menyebut dengan sebutan jelek, meng-insinuasi kelompok lain yang dianggap memiliki pendapat sesat. Saya seringkali membaca artikel atau mendengar ceramah/khutbah di mana teman-teman Muslim yang memperjuangkan ide pluralisme, misalnya, diejek sebagai kaum "SEPILIS". Kata itu adalah singkatan yang dengan sengaja dibuat oleh sebagian kelompok Islam untuk mengejek dan menyindir para pejuang ide-ide pluralisme. SEPILIS adalah singkatan dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Sekelompok umat itu juga gemar memlintir singkatan organisasi Islam lain yang mereka tak sukai dengan cara-cara yang sama sekali berlawanan dengan adab dan tata-krama dalam Islam. Mereka juga gemar menyebut kelompok Islam lain sebagai "antek Yahudi", "agen CIA", dan seterusnya. Ini semua dilakukan, anehnya, dengan pretensi untuk membela dan memperjuangkan Islam.

Jika anda masuk ke milis-milis yang biasa mendiskusikan isu-isu Islam, janganlah kaget jika anda bertemu dengan komentar yang berisi insinuasi vulgar, ejekan, sindiran, bahkan makian terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat. Larangan Qur'an untuk bertukar sebutan jelek (wa la tanabazu bi al-alqab) seperti mereka abaikan sama sekali. Dengan gampang sekali sejumlah kelompok dalam Islam mengejek kelompok lain karena dianggap pandangannya sesat.

Ini semua membuat kita bertanya-tanya dalam hati: apakah ajaran Islam, sebagaimana tertuang entah dalam Qur'an atau hadis, tentang hidup etis, saling menghormati teman dan tetangga, saling tak menyakiti dan mencelakai, hanya relevan bagi sesama Muslim yang sependapat? Apakah ajaran itu boleh dilanggar jika kita berhadapan dengan "Muslim" lain yang dianggap sesat? Dengan kata lain, apakah ajaran etis Islam hanya berlaku bagi sesama Muslim? Apakah dengan demikian Islam membolehkan kita memaki dan menyakiti umat Kristen karena mereka memeluk ajaran yang menurut umat Islam sesat? Apakah dengan demikian kita boleh menyerang, merusak, dan memukul mereka yang kita anggap sesat, seolah-olah mereka bukanlah "manusia yang bermartabat"?

Jika benar ini adalah pemahaman mereka yang gemar memakai kata-kata buruk terhadap lawan-lawan diskusi, padahal mereka adalah sesama Muslim, maka kita menjadi tahu, betapa merosotnya umat Islam saat ini dalam memahami ajaran etis Islam.

Saya, sebagai Muslim, percaya bahwa ajaran etis Islam berlaku universal. Etika tentang larangan saling menyakiti dan anjuran untuk saling menghormati berlaku bagi siapapun, tak peduli agama dan kepercayaan dia. Jika kita menganggap bahwa yang dilayak diperlakukan dengan terhormat hanyalah sesama Muslim yang sependapat dengan kita, maka Islam, dengan pemahaman seperti itu, akan menjadi olok-olok dunia. Sebab Islam dalam "versi" semacam itu tak layak menjadi agama universal yang membawa perdamaian dunia.

Tantangan umat Islam saat ini adalah menegaskan kembali komitmen yang konsisten pada ajaran etis Islam seperti disebut di atas. Kegagalan melakukan tugas ini akan berarti kegagalan umat Islam memperlihatkan kepada dunia luar tentang universalitas etika Islam, sekaligus kegagalan kleim Qur'an bahwa Islam membawa rahmat bagi seluruh dunia. Alih-alih membawa rahmat, Islam dan umat Islam akan diejek sebagai agama dan umat yang membawa musibah bagi dunia.

Inikah nasib Islam yang dikehendaki oleh umat Islam saat ini?

Jika umat Islam tak mampu mengubah sikap-sikap mereka sendiri dan hidup sesuai dengan cita-cita etis Islam, maka janganlah melolong, marah, protes kiri-kanan karena bangsa lain menuduh umat Islam sebagai umat yang menggemari kekerasan, intoleran, eksklusif, dan sama sekali tak bisa menhormati pihak lain. Tuduhan dari bangsa lain di luar Islam hanyalah cerminan dari keadaan dalam tubuh umat Islam sendiri. Peribahasa Melayu mengatakan, janganlah karena buruk muka, cermin ditepuk. Qur'an sendiri menegaskan, "inna 'l-Laha la yughayyiru ma bi qawmin hatta yughayyiru ma bi anfusihim." (QS 13:11) Artinya: Allah tak akan mengubah nasib suatu bangsa jika mereka tak mengubah keadaan mereka sendiri.

Kalau wajah umat Islam jelek, tentu mereka tak boleh merusak cermin. Kalau mau tampak ganteng dan baik, perbaikilah dulu "muka" sendiri. Dengan kata lain, umat Islam haruslah otokritik, ketimbang menuduh pihak lain sebagai biang masalah.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Monday, January 28, 2008

Soeharto dalam Timbangan

Ruzbihan Hamazani

Minggu, 27 Januari 2008 yang lalu, Presideng Soeharto meninggal dunia. Kita, baik sebagai umat Islam atau bangsa Indonesia, layak mengucapkan belasungkawa dan selamat tinggal kepada mantan presiden yang berkuasa selama kuang lebih 30 tahun itu.

Berikut ini adalah esei pendek yang mencoba melihat "warisan" Soeharto, baik yang baik maupun buruk. Dengan mengingat kembali apa yang telah dilakukan Soeharto, kita, sebagai bangsa, dapat merencanakan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia, dengan cara meneruskan hal-hal baik yang diwariskan Soeharto, serta menghindari hal-hal buruk yang pernah ia lakukan. Tulisan ini adalah semacam "neraca" atau hisab bagi Soeharto sebagai bahan pelajaran buat kita semua.

Soeharto naik ke kursi kepresidenan dalam situasi kemelut politik yang mendera bangsa Indonesia pada awal 60an. Saat itu, persisnya pada 1965, terdapat usaha kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. Entah kudet itu dilakukan oleh pihak PKI (seperti versi pemerintah selama ini), angkatan darat (versi Cornell Paper), atau justru diketahui dan disetujui oleh Bung Karno sendiri, kita semua tahu bahwa kudeta itu telah memuluskan jalan bagi naiknya Kolonel Soeharto saat itu untuk pelan-pelan memantapkan diri sebagai presiden dan mandataris MPR.

Pemerintahan Soeharto yang berlangsung kurang lebih 32 tahun, dikenal sebagai orde baru. Salah satu ciri-ciri pokok dari orde ini adalah kuatnya kekuasaan militer dalam hampir semua sektor pemerintahan. Orde ini mengenal suatu pola hubungan sipil-militer yang disebut dengan dwi fungsi, di mana militer diberikan keleluasaan untuk mengambil peran yang besar dalam wilayah sipil, selain wilayah tradisional mereka sendiri, yakni wilayah militer. Dengan doktrin dwi-fungsi ini, kita menyaksikan dominasi militer dalam birokrasi, partai, dan wilayah-wilayah pemerintahan yang lain. Doktrin ini ditegakkan dengan alasan untuk memantaplan stabilitas politik. Orde baru yang dikenalkan oleh Soeharto, dengan demikian, adalah orde militer.

Ketidakmenentuan politik yang menjadi ciri orde sebelumnya, yakni orde lama, pelan-pelan dapat diatasi oleh Soeharto, tetapi dengan harga yang sangat besar, yakni pelanggaran hak asasi secara besar-besaran, pembatasan kebebasan sipil dalam segala bentuknya, pemberangusan kebebasan pers, marginalisasi kelompok-kelompok minoritas, serta sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di Jakarta dan Jawa. Kehidupan multi-partai yang menjadi ciri khas kehidupan politik di Indonesia di era liberal tahun 50an diakhiri dengan cara menyederhanakan partai-partai menjadi hanya tiga: PPP, Golkar dan PDI. Seluruh kehidupan partai harus dikontrol dengan ketat oleh pihak militer.

Tetapi, bersamaan dengan itu, stabilitas politik memungkinkan pembangunan berjalan dengan lancar. Pertumbuhan ekonomi berlangsung dengan pesat. Pelan-pelan, Indonesia yang semula bersikap konfrontatif terhadap dunia luar, mulai terintegrasi ke dalam ekonomi internasional. Indonesia memperoleh kepercayaan dari lembaga-lembaga donor internasional seperti Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia dan lembaga-lembaga keuangan multilateral yang lain. Dengan kepercayaan itu, pemerintah orde baru mendapat pinjaman hutang yang dibutuhkan untuk memutar kembali roda pembangunan ekonomi yang nyaris macet total pada periode-periode sebelumnya. Dengan pinjaman itu, pemerintah dapat mulai membangun kembali sekolah, rumah sakit, pertanian, serta infrastruktur pokok yang lain seperti pembangkit listrik, jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan telpon, listrik, dll. Dengan hutang itu pula, sejumlah potensi alam Indonesia yang sebelumnya tak terurus bisa dikelola kembali. Kepercayaan asing yang meningkat juga menyebabkan investasi asing berkembanh pesat. Perusahaan-perusahaan asing mulai membuka usaha manufaktur dan pengolahan tambang di Indonesia. Sementara itu, sumber minyak yang cukup kaya di Indonesia mulai diolah dan menjadi salah satu soko guru pembiayaan ekonomi Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Indonesia menjadi anggota negara-negara eksportir minyak yang dikenal dengan OPEC. Peran minyak dalam ekonomi Indonesia, sebagaimana kita tahu, sangat besar sekali.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Soeharto cukup tinggi dan stabil, yakni antara 6-9 persen setahun. Harga-harga kebutuhan pokok juga cukup stabil dalam waktu yang cukup lama hingga datangnya krisis ekonomi pada 1997. Pemerintah dengan sadar melihat pentingnya kebutuhan pokok tersedia dalam jumlah yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat luas. Karena itu, politik harga gabah dan beras memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas politik selama orde baru. Pada era Soeharto lah rakyat Indonesia dapat makan nasi tiga kali sehari dengan harga yang terjangkau. Sebelum era itu, nasi adalah makanan yang sangat sulit dijangkau oleh rakyat kecil. Ini semua tentu tak terlepas dari revolusi hijau di bidang pertanian yang memungkinan pengembangan varietas padi unggul yang memperpendek usia panen serta tahan wereng. Kombinasi antara revolusi hijau, integrasi Indonesia dalam ekonomi global, serta stabilitas politik telah memungkinkan tercapainya keserjahteraan secara relatif bagi rakyat Indonesia. Hingga akhir dekade 70an, pemerintahan Soeharto adalah ibarat "majik" atau sihir bagi negara Indonesia, karena berhasil menciptakan perubahan yang sangat signifikan dalam usaha mencapai kesejahteraan masyarakat.

Diukur dari dampak riil yang dinikmati oleh rakyat kecil di pedesaan, periode itu boleh kita sebut sebagai periode kesuksesan besar orde baru. Saat itulah rakyat kecil bisa menikmati pendidikan murah melalui proyek SD Inpres, layanan kesehatan yang murah pula melalui Puskesmas, serta stabilitas ekonomi yang memungkinkan rakyat melaksanakan kegiatan perdagangan dengan cara yang normal. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan dan listrik jelas memainkan peran penting dalam normalisasi aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh pedagang kecil. Tanpa transportasi yang baik, tentu aktivitas ekonomi akan mengalami hambatan yang serius.

Tetapi, kisah sukses di bidang pembangunan ini memang harus dibayar dengan harga mahal. Harga besar yang harus dibayar adalah lumpuhnya kehidupan demokrasi. Penyelenggaraan pemerintahan berlangsung dengan gaya yang sangat militeristik dengan ciri-ciri utama, antara lain, tekanan berlebihan pada aspek stabilitas dan keseragaman. Oposisi politik diberangus sama sekali. Salah satu ancaman besar bagi orde baru adalah kekuatan komunis. Sejarah orde baru ditandai dengan pembunuhan ratusan ribu anggota atau mereka yang dicurigai (benar atau salah) sebagai anggota PKI. Orde baru telah menciptakan "gulag" dan "digul"-nya sendiri, tempat di mana pemerintah berkuasa dapat menyingkirkan mereka yang dianggap sebagai oposan. Kita menyasikan "digul" dalam bentuk yang ekstrem seperti Pulau Buru yang menjadi tempat pembuangan para aktivis PKI, atau dalam bentuk yang moderat, yakni penjara yang selama orde baru berkuasa menjadi tempat ratusan aktivis politik mendekam karena kegiatan mereka menentang pemerintah. Pelanggaran hak asasi manusia berlangsung secara besar-besaran selama pemerintah orde baru.

Kita bisa paham bahwa pembangunan ekonomi memang membutuhkan stabilitas yang memadai agar keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat dapat diambil secara cepat. Tetapi kita patut bertanya, apakah tindakan "sadis" terhadap para penentang pemerintah yang berlangsung pada awal pemerintahan Soeharto adalah hal yang tak terhindarkan sama sekali. Kita semua tentu mendukung pembangunan yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama. Tetapi, kita jelas tak setuju jika pembangunan itu dilaksanakan dengan mengorbankan sama sekali hak-hak sipil masyarakat dan menutup sama sekali oposisi. Sebagaimana kita tahu, usaha pemerintah untuk menutup sama sekali oposisi sama sekali tak bisa dipertahankan.

Dekade 90an menyaksikan perkembangan penting, yakni terbukanya kran kebebasan politik. Pertumbuhan ekonomi yang makin baik pada periode sebelumnya menyebabkan naiknya aspirasi dan keinginan masyarakat yang tak semuanya bisa dibendung oleh pemerintah. Keterbukaan pada akhirnya tak bisa dihindarkan sama sekali. Meskipun gaya pemerintahan yang militeristis masih tetap bertahan, dan peran militer masih tetap besar di segala sektor, pemerintah mulai pelan-pelan membuka kebebasan bagi masyarakat. Kritik-kritik terhadap pemerintah melalui media massa mulai diperbolehkan, sesuatu yang nyaris mustahil terjadi pada periode sebelumnya. Etatisme ekonomi juga mulai dikendurkan dengan cara membuka peluang yang lebih besar bagi sektor swasta. Salah satu kebijakan penting pada periode ini adalah deregulasi perbankan yang sebetulnya sudah dimulai sejak awal dekade 80an. Kebijakan ini telah memungkinkan bangkitnya lembaga-lembaga keuangan swasta. Belakangan kita semua tahu, lembaga-lembaga keuangan swasta ini terbukti rapuh sekali, dengan pengawasan yang sangat lemah dari pihak bank sentral, yakni BI. Akhirnya, lembaga-lembaga keuangan swasta ini menjadi alat "meraup" dana masyarakat untuk membiayai kegiatan bisnis para konglomerat yang merupakan pemiliki bank-bank tersebut. Saat kritis ekonomi tiba, bank-bank itu rontok semua, dan pemerintah terpaksa menalangi uang masyarakat yang disimpan di bank-bank swasta itu.

Kebebasan politik yang dibuka katupnya sejak awal 90an ternyata menyuburkan kembali oposisi masyarakat. Pada periode itulah kita menyakikan kembali maraknya protes-protes mahasiswa di sejumlah kampus, serta lahirnya Forum Demokrasi yang dididirikan oleh Abdurraman Wahid (alias Gus Dur) bersama kawan-kawan. Forum ini menjadi pengimbang dari lembaga "Islam" baru yang diciptakan oleh pemerintah untuk meraup dukungan dari kalangan Islam, yakni ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Pemerintah melihat bahaya besar dari maraknya oposisi ini. Pemerintah mulai memakai tangan besi kembali untuk menutup kran kebebasan yang telah menjadi "kuda troya" bagi musuh-musuh pemerintah itu. Salah satu peristiwa penting dari perubahan kebijakan pemerintah ini adalah pembredelan tiga media penting pada 21 Juni 1994, yakni Tempo, Detik dan Editor. Tiga media ini, terutama Tempo dan Detik, dianggap terlalu kritis pada pemerintah, sehingga penutupan mereka dianggap oleh pemerintah akan memberikan efek "cegah" (deterring effect) terhadap kelompok-kelompok lain yang hendak melakukan oposisi. Usaha pemerintah itu ternyata sia-sia. Angin kebebasan yang berhembus sejak awal 90an terus melaju tanpa bisa dikontrol, hingga datang krisis ekonomi pada Agustus 1997. Krisis inilah yang melemahkan seluruh sendi ekonomi Soeharto. Selama ini legitimasi pemerintah Soeharto dibangun melalui stabilitas ekonomi. Krisis keuangan pada tahun itu telah merontokkan sendi utama pemerintah orde baru. Kita semau tahu, ujung dari krisis itu adalah mundurnya Soeharto pada 18 Mei 1998 yang kemudian diikuti dengan lahirnya reformasi besar-besaran, terutama di bidang politik.

Sebagaimana kita tahu, dampak paling serius dari matinya oposisi, lemahnya partai, dan gaya pemerintah yang sentralistis dan militeristis sepanjang orde baru adalah hilangnya kontrol dari masyarakat. Mungkin kita masih bisa memahami politik stabilitas yang diterapkan pada awal periode pemerintahan Soeharto. Tetapi, pelan-pelan, politik stabilitas itu menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Ini terjadi sejak pertengahan 80an hingga akhir pemerintahan Soeharto. Akibat serius dari lemahnya kontrol masyarakat sebagai akibat dari pemberangunsan oposisi adalah KORUPSI. Warisan buruk dari zaman Soeharto adalah praktek korupsi yang menyebar seperti virus dan menyerang hampir semua sektor kehidupan masyarakat. Hingga saat ini, kita masih terseok-seok mengatasi warisan orde baru ini. Korupsi bukan lagi gejala empiris, tetapi tampaknya sudah menjadi penyakit mental masyarakat.

Bagaimana kita bersikap pada Soeharto?

Sikap yang terbaik adalah "memaafkan tanpa melupakan". Memaafkan karena kita tahu bahwa Soeharto tak seluruhnya meninggalkan warisan yang jelek. Banyak sekali hal baik yang telah dikerjakan selama pemerintahannya. Tetapi, kita tak boleh lupa warisan buruk yang ia tinggalkan. Kita harus tetap ingat ratusan ribu nyawa yang melayang saat terjadinya kudeta pada 1965 dan tahun-tahun setelah itu. Kita tak boleh juga lupa pada ribuan nyawa yang mati karena menentang pemerintahan Soeharto. Kita tak boleh melupakan ribuan orang yang menjadi tahanan politik. Kita tak boleh lupa pada diskriminasi yang diterapkan pemerintah orde baru terhadap etnis Tionghoa. Kita tak boleh lupa pada pemberangusan partai-partai dan kelompok-kelompok Islam. Kita tak boleh lupa pada praktek koriniisme yang memungkinkan anak-anak dan cucu-cucu Soeharto menikmati privelese bisnis yang luar biasa. Karena kita tak lupa, maka proses pengadilan atas kasus korupsi yang melibatkan keluarga Soeharto tetap harus diteruskan. Sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Soeharto tetap harus diusut walapun yang bersangkutan telah meninggal. Pengusutan ini berguna bukan semata-mata demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi juga agar kita semua tak lupa pada kejahatan politik Soeharto, dan agar kita tak terjatuh kembali dalam "lubang buaya" yang sama.

Kita dengan sedih melihat betapa mudahnya masyarakat lupa terhadap kejahatan politik yang pernah dilakukan Soeharto dulu dan pelan-pelan mulai mengulanginya kembali. Contoh terbaik adalah praktek kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam terhadap kaum minoritas Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang benar (baca: versi Islam ortodoks yang diwakili oleh MUI). Mereka yang melakukan kekerasan ini lupa bawa salah satu tujuan penting gerakan reformasi yang berakhir dengan penggulingan Soeharto adalah untuk memulihkan kebebasan sipil yang dulu dirampas oleh pemerintah orde baru. Salah satu aspek penting dari kebebasan sipil itu adalah kebebasan memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan. Ini adalah kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Sekarang kita melihat sejumlah kelompok Islam dengan semena-mena melakukan pemberangusan kebebasan kelompok Ahmadiyah dan kelompk-kelompok lain. Tindakan ini sama dengan tindakan serupa yang dilakukan pemerintah Soeharto dulu untuk mendiskriminasi warga Tionghoa. Pelanggaran hak-hak asasi dulu dilakukan secara "resmi" oleh negara dan pemerintah. Sekarang tampaknya "dosa" itu diambil alih oleh masyarakat, dalam hal ini adalah sebagian kelompok Islam. Kita tak boleh membiarkan "kejahatan" seperti ini berlangsung terus.

Ya, memaafkan tanpa melupakan. Kita tak boleh lupa terhadap kejahatan orde baru agar kita tak mengulanginya kembali. Kita mengingat jasa-jasa baik Soeharto selam pemerintah agar kita dapat meneruskannya.

Mari kita membaca al-fatihah untuk Presiden Soeharto.

Dosa, Kejahatan dan Maksiat

Ruzbihan Hamazani


1.

Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, tampaknya pengertian tentang "dosa", "kejahatan" dan "maksiat" harus dipahami ulang sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam hubungan sosial antaragama. Tulisan pendek ini mencoba memberikan tafsiran baru atas tiga istilah itu.

Dosa selama ini dipahami oleh umat Islam sebagai pelanggaran atas aturan-aturan yang telah ditentukan oleh agama. Contoh-contoh berikut ini bisa menjadi semacam ilustrasi. Jika seseorang tak melaksanakan salat Jumat, atau salat lima waktu sebagaimana diwajibkan oleh ajaran Islam, maka ia telah berdosa. Seoerang yang tak berpuasa, dia berdosa. Seorang tak tak membayar zakat fitrah, ia berdosa. Seseorang yang menghardik orang-tuanya, ia berdosa. Begitu pula jika seseorang mencuri atau membunuh orang lain, maka ia juga berdosa. Seseorang yang menyerobot tanah tetangganya, ia berdosa. Begitu seterusnya.

Pemahaman seperti ini, dalam konteks negara non-agama seperti Indonesia, jelas kurang tepat. Saya hendak mengusulkan definisi lain sebagaimana di bawah ini.

Dosa adalah pelanggaran hukum agama yang sama sekali tak diatur oleh hukum positif negara. Jika seseorang tak melaksanakan salat, maka ia berdosa, tetapi ia tak melanggar hukum negara. Tetapi, jika seseorang mencuri, maka ia berdosa dan melakukan kejahatan sekaligus. Berdosa karena ia melanggar ketentuan agama yang melarang pencurian, tetapi juga kejahatan, karena tindakan mencuri melanggar hukum positif yang ditetapkan oleh negara.

Kejahatan, sebagaimana sudah disebut di atas, adalah tindakan melawan hukum negara. Jika seseorang merampok atau korupsi, dia melakukan suatu tindakan yang masuk dalam dua kategori sekaligus: kejahatan, karena melanggar hukum positif, dan dosa karena melanggar hukum agama. Tetapi jika seseorang melanggar hukum lalulintas, seperti menerabas marka jalan, maka dia hanya dapat dikatakan melanggar hukum negara, tetapi dia tidak, atau sekurang-kurangnya belum tentu berdosa, sebab dalam agama tak ada ketentuan larangan untuk melanggar marka jalan. Agama sama sekali tak punya aturan khusus mengenai lalulintas, sehingga dengan demikian pelanggar hukum lalulintas tidak bisa disebut berdosa. Begitu pula jika seseorang melakukan pembajakan suatu karya, misalnya menerbitkan sebuah buku karya orang lain tanpa memperoleh hak cipta, maka ia melakukan kejahatan "intellectual property", tetapi tidak berdosa dalam pandangan agama. Agama, sekurang-kurangnya Islam, tak memiliki aturan khusus mengenai "intellectual property right". Kalaupun ada aturan mengenai itu, paling jauh hanyalah merupakan hasil ijtihad ulama modern. Dalam Quran dan hadis sendiri tak ada aturan yang jelas mengenai hak cipta intelektual.

Maksiat adalah kategori yang tak jauh berbeda dengan "dosa", yakni melanggar hukum agama yang tak diatur oleh hukum negara. Tetapi maksiat memiliki pengertian yang lebih khusus, yakni pelanggaran hukum agama yang bersifat individual; hukum yang sedikit sekali dampak sosialnya. Jika seseorang "dengki" atau "ghibah", yakni membicarakan kejelekan orang lain, maka dia melakukan maksiat. Jika seseorang melihat perempuan yang bukan muhrim (perempuan yang bukan kerabat dekat), maka dia melakukan dosa dalam pengertian "maksiat". Jika seseorang melakukan onani, maka ia berdosa dalam pengertian maksiat. Jika seseorang pacaran dan melakukan "petting", maka ia berdosa dalam pengertian yang sama. Begitulah seterusnya. Tetapi keseluruhan tindakan itu tidak masuk dalam ketegori kejahatan.


2.

Negara tak semestinya mencampuri hukum agama yang mengatur hubungan antara seseorang dengan Tuhan. Perintah melaksanakan salat, misalnya, adalah wilayah murni agama. Negara tak semestinya dipakai sebagai alat untuk menegakkan hukum ini. Negara tak bisa memaksa seseorang melakukan salat, puasa, haji, atau zakat. Jika seseorang sudah memiliki uang yang cukup dan tak melaksanakan haji, maka dari sudut pandang agama (Islam) dia berdosa, tetapi negara tak berhak memaksa dia untuk melaksanakan haji. Begitu pula, negara tak berhak memaksa penduduknya untuk melaksanakan salat Jumat, misalnya, seperti terjadi di Aceh sekarang. Pelaksanaan ibadah tak bisa dipaksakan, sebab ibadah melibatkan niat dan keikhlasan yang tak bisa dipaksakan. Tugas agar perintah salat ditaati oleh umat Islam ada pada masyarakat Islam sendiri, melalui dakwah dengan sejumlah variasi metodenya. Tetapi negara, sekali lagi, tak bisa dipakai sebagai "enforcement" atau alat penegakan perintah agama seperti salat itu.

Hal ini berlaku untuk hal-hal lain. Setiap agama memiliki aturan dan hukumnya sendiri-sendiri. Karena Indonesia bukanlah milik satu golongan tertentu, maka hukum agama itu tak bisa ditegakkan melalui negara. Dengan kata lain, hukum agama hanyalah menjadi tanggungjawab masyarakat agama itu sendiri.

Hukum agama yang boleh ditegakkan oleh negara hanyalah hukum yang bersinggungan dengan kehidupan publik. Mencuri, berzina, korupsi, merampok, menipu, dsb., adalah tindakan-tindakan yang bisa diurus oleh hukum positif negara. Tetapi hukum yang melarang seseorang untuk melihat perempuan yang bukan muhrim tak bisa ditegakkan melalui aparat negara. Meskipun Islam menganggap tindakan seperti itu dosa, negara tak bisa menghukum orang yang melakukan tindakan tersebut.

Jika negara tak diatur oleh hukum agama, maka belum tentu negara itu akan menjadi kacau-balau dan mengalami anarki, sebagaimana diduga oleh sebagian umat Islam. Umat Islam mengira jika hukum Islam tak dilaksanakan di muka bumi, maka kehidupan akan rusak sama sekali. Dugaan seperti ini jelas keliru 100%. Secara empiris kita melihat banyak sekali negara yang aman dan makmur padahal tak diatur oleh hukum agama (baca: Islam). Sebaliknya, banyak negara yang diatur oleh hukum Islam, seperti Saudi Arabia, tetapi belum tentu lebih baik dari negara yang sama sekali tak diatur oleh hukum Islam.

Hukum Islam bisa diterapkan dan ditegakkan oleh negara selama menyangkut wilayah publik, dan harus melalui suatu proses yang disebut dengan "legal enactment", yakni pengesahan oleh secara resmi oleh negara melalui proses perdebatan dan penetapan di parlemen. Jika parlemen setuju untuk mengadopsi hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan publik, maka hukum itu menjadi hukum positif, karena telah "di-enact" atau ditetapkan oleh negara. Tetapi, suatu hukum bisa di-enact manakala ia melalui perdebatan publik terlebih dahulu untuk menguji apakah hukum itu pantas dijadikan sebagai aturan bersama atau tidak. Dengan kata lain, jika hukum Islam tertentu hendak dijadikan sebagai hukum publik maka ia harus diuji dalam debat publik dahulu.

Tidak semua hukum Islam relevan dengan segala zaman. Banyak hal dalam hukum Islam yang sudah seharusnya ditinggalkan karena tak sesuai dengan zaman. Hukum Islam sendiri mengenal kaidah yang sangat terkenal, yakni hukum harus berubah sesuai dengan zaman dan tempat (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azman). Selain itu, tentu ada banyak hukum Islam yang masih bisa terus dilaksanakan, dan akan tetap relavan sepanjang zaman. Hukum tentang larangan mencuri, misalnya, akan tetap relevan sepanjang zaman. Baik hukum Islam atau hukum positif sepakat mengenai larangan ini. Tetapi bagaimana kejahatan pencurian harus dihukum, bisa berkembang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat yang terus berkembang.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Wa 'al-Lahu a'lam bi al-shawab.

Monday, January 7, 2008

Mendengarkan Kritik-Kritik atas Islam

Ruzbihan Hamazani

1.

Saat ini kita seringklai mendengar kritik-kritik yang ditujukan kepada Islam. Islam di sini mencakup dua hal: Islam sebagai doktrin atau agama, dan Islam sebagaimana tercerminkan dalam perilaku sosial umatnya. Dengan kata lain, ada kritik yang diarahkan pada dua jenis Islam sekaligus: Islam normatif dan Islam historis.

Bagaimana umat Islam menghadapi kritik-kritik semacam ini?

Agama adalah hal yang sensitif di mana-mana, terutama bagi para pengikutnya. Kritik pada agama bukan saja menimbulkan kemarahan pada umat agama itu, tetapi bisa juga menyulut kerusuhan dan kekerasan fisik. Ini hal yang bisa kita maklumi, meskipun tidak bisa seluruhnya kita benarkan.

Ada dua jenis kritik: kritik destruktif dan kritik konstruktif. Kritik destruktif adalah kritik yang didasari oleh niat untuk menghancurkan sasaran kritik. Landasan kritik semacam ini adalah kebencian. Ia mengkritik bukan untuk menunjukkan titik-titik lemah agar diperbaiki oleh pihak lawan yang dikritik. Titik lemah itu didedahkan (exposed) agar sasaran kritik kehilangan legitimasi lalu hancur. Kritik konstruktif adalah sebaliknya: ia menunjukkan kelemahan agar pihak yang dikritik memperbaikinya.

Baik kritik konstruktif atau destruktif sama-sama menyakitkan. Tentu kritik destruktif jauh lebih menyakitkan, karena biasanya diutarakan dengan ungakapan-ungkapan yang mengarah kepada kebencian.

Kritik pada Islam selama ini bisa kita kelompokkan dalam dua kategori ini. Ada kritik yang tujuannya memojokkan Islam sebagai agama. Kritik semacam ini tidak bisa dijawab dengan memuaskan. Setiap jawaban dari pihak Muslim akan dijawab dengan kritik lain, begitu seterusnya ad infinitum. Kritik destruktif tidak ingin minta jawaban dari pihak yang dikritik; ia hanya ingin memojokkan dengan segala cara. Oleh karena itu, kritik destruktif biasanya akan berusaha mencari-cari segala macam helah atau trik-jahat agar dapat menemukan kesalahan pada Islam. Jika ditanggapi, kritik semacam ini akan berujung pada debat kusir yang akan memakan energi. Hasilnya bukan suasana dialogis untuk memahami posisi masing-masing, tetapi "permusuhan" yang penuh kebencian. Kritik destruktif semacam ini bisa kita lihat dalam sejumlah situs di internet yang jumlahnya "ombyokan" alias banyak sekali. Sejumlah buku yang nadanya kritik destruktif semacam ini juga banyak diterbitkan akhir-akhir ini, antara lain buku karangan Robert Morey, Islamic Invasion.

Sebagai catatan, kritik destruktif seperti ini bukan saja bisa diarahkan dari pihak "luar" terhadap Islam, tetapi kalangan Islam juga bisa melakukan hal yang serupa terhadap pihak lain. Bukan hanya bisa, tetapi memang sudah terjadi.

Kritik yang layak didengarkan adalah kritik yang tujuannya adalah untuk memperbaiki, yakni kritik konstruktif. Kritik ini sama dengan kritik sebelumnya: yaitu mengungkap kelemahan-kelemahan dalam Islam, entah sebagai doktrin atau sebagai praktek sosial. Hanya saja ada beda mendasar: yang pertama berniat untuk memojokkan, yang kedua bertujuan agar kelemahan itu diperbaiki.

Bagaimana kita tahu bahwa suatu kritik adalah destruktif dan bukan konstruktif atau sebaliknya?

Saya tak bisa menunjukkan teknik "cespleng" untuk membedakan antara keduanya. Setiap pembaca teks akan bisa merasakan bagaimana "niat" yang ada di balik teks itu. Sebagaimana kita tahu, teks bukan sekedar hamparan huruf dan kalimat. Teks memiliki rasa persis seperti sebuah masakan. Hanya orang yang membaca teks itu secara langsung bisa memberikan penilaian apakah rasa teks itu "mak nyosss" (meminjam ekspresi terkenal dari seorang ahli kuliner, Bondan Winarno) atau hambar sama sekali. Selain teks, kita juga bisa menilai melalui rekam jejak atau reputasi pengarang teks itu. Seseorang yang dikenal sebagai pembenci Islam, misalnya, kemungkinan besar akan menulis teks yang membenci Islam pula. Begitu juga sebaliknya.

Meskipun tak ada kaidah yang pasti, tapi ada semacam "clue" atau ancar-ancar yang bisa kita pakai. Kritik destruktif sebagian besar datang dari pihak luar, meskipun tak selamanya demikian. Sebaliknya, kritik konstruktif biasanya berasal dari kalangan dalam sendiri. Jika orang dalam Islam sendiri mengkritik agama itu, maka kemungkinan besar ia tak hendak memojokkan Islam, tetapi hendak memperbaiki Islam dari dalam. Begitu pula sebaliknya.

Kritik dari dalam biasanya disebut dengan "reformasi" atau ishlah. Oleh karena itu, kalau kita baca sejarah gerakan-gerakan reformasi dalam Islam, ia selalu dimulai dengan kritik-kritik atas Islam itu sendiri, baik sebagai doktrin atau praktek sosial. Reformasi dimulai dengan kritik atas status quo, the state that be, atau keadaan yang sudah mapan, sebagai ancang-ancang untuk menyampaikan usulan perbaikan. Dengan kata lain, kritik reformasi dimulai dengan destruksi atau perusakan untuk tujuan rekonstruksi atau membangun kembali. Beberapa orang menyebut kritik emacam ini sebagai "constructive destruction".

Lihatlah asal-mula agama Islam sendiri: Nabi memulai dakwah dengan kritik-kritik atas akidah dan praktek sosial masyarakat Arab zaman itu. Karena itu, kita, hingga tingkat tertentu, bisa menyebut Muhammad sebagai "social reformer", atau pembaharu sosial masyarakat Arab.

Kritik konstruktif terhadap Islam tentu banyak jenisnya: mulai dari yang "keras", keras sekali, sedang-sedang saja, hingga yang "lembut". Spektrum kritik yang bersifat membangun memang luas sekali. Harus diakui bahwa pada titik tertentu batas antara kritik konstruktif dan destruktif sangat tipis sekali, dan dalam keadaan semacam itu orang bisa memberikan penilaian yang berbeda-beda. Dalam keadaan semacam itu, kita dihadapkan pada fenomena "gelas setengah terisi": gelas yang terisi setengah, sebagaimana kita tahu, bisa dikatakan setengah terisi (kalau memakai sudut pandang yang konstruktif) atau setengah kosong (kalau memakai sudut pandang destruktif). Tetapi keadaan yang ekstrem biasanya jarang. Umumnya, kita bisa dengan tegas membedakan antara kritik membangun dan kritik memojokkan. Sesuai dengan kebijaksanaan yang dikenal di kalangan ahli statistik: kurva tengah selalu lebih "gendut" ketimbang kurva pinggir, entah pinggir kiri atau kanan yang umumnya "kerempeng".

2.

Kritik-kritik konstruktif telah disampaikan oleh banyak pihak dalam Islam sendiri, mulai dari yang lembut sampai yang keras atau keras sekali. Kritik-kritik yang lembut biasanya bisa diterima dengan lapang dada oleh kalangan Islam. Contoh kritik lembut yang sering kita dengar adalah berikut ini: umat Islam dikritik karena melaksanakan dengan taat ibadah-ibadah ritual seperti salat, puasa, dan haji; tetapi ibadah ritual itu tak ada pengaruhnya dalam prilaku sosial mereka. Mereka salat, tetapi pada saat yang sama tetap korupsi, maling, berzina, berbohong, menipu, menilep, memeras, dst. Kritik ini dengan senang hati diterima oleh umat Islam. Bahkan saking seringnya kritik itu diungkapkan, kita curiga jangan-jangan ini adalah kritik sebagai bagian dari "mannerisme" atau etiket dan sopan santun sosial. Sebagaimana dalam etiket sosial anda dituntut unggah-ungguh terhadap orang lain, begitu pula saat berdakwah anda dituntut untuk menyampaikan kritik. Tentu kritik yang sudah "disetujui" oleh masyarakat. Contoh kritik di atas adalah salah satu bentuk kritik yang sudah "direstui", kritik yang disanitasi.

Sudah tentu, istilah "kritik yang direstui" adalah sejenis oksimoron, sama saja dengan mengatakan "orang bodoh yang cerdas sekali". Apapun, itulah yang terjadi dalam masyarakat Islam sekarang. Secara empiris, kita memang melihat sejumlah kritik yang bisa diterima, bahkan dianggap sebagai bagian dari etiket sosial.

Kritik semacam ini tentu tak banyak faedahnya. Para "social reformer" di mana-mana biasanya tidak mengajukan kritik yang "direstui". Mereka datang dengan kritik yang sama sekali tak terduga-duga, dan karena itu biasanya mengagetkan masyarakat. Kalau mereka mengajukan kritik yang telah direstui, "kritik yang manis", tentu tak akan timbul perubahan apa-apa. Kritik manis hanya akan melanggengkan keadaan seperti adanya, business as usual.

Kritik yang sama sekali tak manis dan tak terduga-duga ini jelas ditolak oleh masyarakat. Setiap gerakan reformasi selalu menimbulkan efek "gempa sosial". Untuk beberapa waktu, Nabi melakukan dakwah diam-diam di Mekah, sampai akhirnya diperintahkan untuk berterus terang. Perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk melaksanakan dakwah terang-terangan (al-da'wah al-jahriyyah) diungkapkan dengan ungkapan yang menarik sekali: fa-shda' bima tu'maru (QS 15:94). Arti penggalan ayat itu: siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dengan terus terang. Kata "fa-shda'" mengingatkan kita pada ungkapan "al-shad'ah al-kahraba'iyyah" yang artinya adalah sengatan listrik--dua kata itu berasal dari akar yang sama. Kritik yang disampaikan oleh para pembaharu sosial biasanya bukanlah dari jenis kritik biasa yang sudah "direstui" dan disanitasi, tetapi kritik yang menimbulkan sengatan listrik.

3.

Para pengkritik Islam sudah sering kita jumpai selama ini. Para intelektual Muslim yang dikenal sebagai para pembaharu biasanya melakukan sejumlah kritik atas Islam dengan cara melakukan interpretasi atas ajaran-ajaran yang dianggap tak lagi relevan dengan perkembangan zman. Kita kenal misalnya figur alm. Prof. Dr. Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama, yang pernah melontarkan gagasan tentang kontekstualisasi ajaran Islam. Ia, misalnya, menganggap bahwa pola pembagian waris 2:1 dalam Islam selama ini sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Saat Pak Munawir mengemukakan kritiknya ini, banyak orang yang seperti terkena "sengatan listrik".

Kita kenal figur Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang membawa sejumlah gagasan pembaharuan. Ia menawarkan pemahaman Islam yang inklusif, bukan yang eksklusif. Kita mengenai figur Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai Gus Dur yang pernah menawarkan gagasan pribumisasi Islam. Islam yang datang dari Arab, menurut Gus Dur, harus ditafsirkan begitu rupa agar kontekstual dengan kondisi pribumi di Indonesia sendiri. Kita mengenal figur alm. Prof. Hasbi Asshiddiqie yang pernah mengenalkan gagasn fikih mazhab nasional yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, bukan mazhab Hanafi, Maliki, Shafi'i atau Hanbali yang datang dari tanah Arab itu. Kita mengenal figur Masdar F. Mas'udi yang mengenalkan gagasan tentang fikih pajak dan reinterpretasi radikal atas konsep zakat.

Dari luar Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh serupa yang banyak sekali. Kita mengenal nama-nama seperti Abdullahi Ahmed An-Na'im, Khaled Abou El-Fadl, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, Mohammed Arkoun, Amina Wadud, Abdul Aziz Sachedina, Mahmud Ayoub, Hassan Hanafi, dsb. Mereka itu, dengan caranya sendiri-sendiri, melakukan kritik atas Islam dengan cara menafsirkan kembali sejumlah ajaran di sana. Mereka mengkritik tafsir kaum ortodoks yang kaku. Kritik-kritik mereka sudah tentu menimbulkan kontroversi dan debat yang panas. Sebagaimana sudah saya katakan sebelumnya, setiap kritik-tak-manis memang akan selalu menimbulkan sengatan listrik. Kalangan yang dikritik tentu tak senang dengan kritik-kritik itu. Pihak yang terakhir ini "menyerang" balik dengan pelbagai macam cara, mulai dari yang halus sampai yang kasar. Cara yang kasar misalnya menuduh para pemikir Muslim itu sebagai "antek Yahudi" untuk merusak Islam dari dalam. Ini tuduhan yang sudah menjadi "lagu wajib" di mana-mana.

Kita patut bersyukur pada para pemikir Muslim itu: mereka telah menyampaikan kritik konstruktif pada Islam, pada sejumlah tafsir dan pandangan ortodoks yang dianggap (oleh kalangan ortodoks tentunya) identik dengan Islam, pada praktek-praktek sosial masyarakat Islam sendiri yang menyimpang dari ajaran Islam.

Kritik adalah semacam obat. Menelan obat tak ada yang menyenangkan. Kritik para pemikir Muslim itu diperlukan agar umat Islam sembuh dari pemahaman-pemahaman agama yang tertutup, kaku, suka menyesatkan pihak lain, dsb. Jika umat Islam hanya mendengarkan "kritik manis" saja yang sudah "direstui" seperti terjadi selama ini, maka tak akan terjadi perbaikan dalam tubuh umat Islam.

Ketimbang mengarahkan terus-menerus kritik ke "luar", ada baiknya umat Islam mendengar kritik dari dalam yang ditujukan pada dirinya sendiri. Otokritik, itulah yang dibutuhkan oleh umat Islam sekarang.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Tak Ada Agama "Juru Selamat"

Ruzbihan Hamazani

Agama seringkali membuat kleim yang agak superlatif atau berlebihan. Hiperbola atau menyatakan sesuatu dengan cara dilebih-lebihkan adalah gejala yang menjangkiti hampir sebagian besar agama. Islam tak terkecualikan dari gejala semacam ini.

Salah satu "superlatif" atau gaya berlebih-lebihan semacam ini adalah semboyan yang kerap kita dengar dari sejumlah aktivis Islam: jika dilaksanakan dengan konsisten, Islam akan dapat menyelamatkan dunia. Ada kelompok Islam yang dengan penuh semangat membawa semboyan ini: jika syariat Islam dilaksanakan, maka seluruh masalah yang dihadapi manusia akan selesai. Dalam konteks yang lebih spesifik, dikatakan pula bahwa jika syariat Islam dilaksanakan maka seluruh masalah yang dihadapi negara Indonesia akan selesai.

Pernyataan bahwa agama (agama apapun) dapat menyelamatkan dunia jelas berlebihan. Pernyataan itu bisa dikemukakan di panggung pidato sebagai salah satu cara untuk mempersuasi atau membujuk pendengar. Dalam pidato, kita memang sering bertemu dengan teknik-teknik persuasi, antara lain dengan mempermainkan citraan-citraan yang menggugah, metafor, perlambang, peribahasa, dan, jangan lupa, hiperbola. Kalau kita dengar pidato Bung Karno, kita akan temukan teknik-teknik lihai semacam itu.

Untuk membujuk dan menarik pengikut, para aktivis dan da'i Islam kadang-kadang terpaksa atau malah dengan suka-cita mempermainkan bahasa hiperbola semacam ini. Seoang penulis India yang terkenal, Syaikh Abu 'l-Hasan Ali al-Nadawi, misalnya, menulis sebuah buku dengan judul yang jelas sangat "hiperbolik": Madza Khasira al-'Alam bi Inkhitath al-Muslimin (Bagaimana Derita Dunia Karena Kemerosotan Umat Islam). Judul buku itu mengesankan seolah-olah dunia kalang-kabut karena Islam runtuh dan kejayaan umat Islam pudar. Pernyataan ini jelas berlebih-lebihan, dan sebaiknya tak usah dipahami secara harafiah, sebaliknya semacam teknik bertutur saja untuk membujuk pembaca.

Bahasa hiperbolik memang sebaiknya dipahami sebagai teknik persuasi, dan janganlah dipahami apa adanya. Namun, dalam kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Orang-orang awam bisa terbujuk begitu jauh sehingga tak bisa membedakan antara metafor dan fakta. Mereka bisa percaya benar isi ujaran yang disampaikan dengan cara metaforis itu. Ini biasanya terjadi dengan mudah dalam ujaran-ujaran yang berkaitan dengan agama.

Saat dikatakan bahwa Islam dapat menyelamatkan dunia, banyak orang yang mempercayai hal ini sebagai hal yang benar-benar nyata, bukan sekedar retorika. Mereka akan marah besar jika dikatakan bahwa belum tentu dunia bisa diselamatkan seluruhnya dengan Islam. Hal ini terjadi bukan saja pada Islam, tetapi juga pada agama lain. Bukan hanya itu, teknik semacam ini juga sering dipakai oleh penganjur ideologi-ideologi sekuler seperti komunisme.

Jika pernyataan hiperbolik semacam ini dipercayai benar oleh pengikut agama bersangkutan, maka kita akan berhadapan dengan masalah yang serius. Jika Islam, misalnya, dipandang secara harafiah sebagai solusi untuk semua masalah dunia saat ini, maka akibatnya tidak main-main. Orang yang bersangkutan akan dengan gigih berjuang menegakkan Islam sebagai satu-satunya sistem yang berkuasa di dunia ini, dan menyingkirkan sistem-sistem yang lain. Apalagi jika keyakinan semacam ini didukung pula oleh pemahaman yang bersifat totaliter: bahwa dokrin tauhid (monoteisme) bukan saja berarti Tuhan adalah satu, tetapi sistem yang boleh tegak di dunia ini juga hanyalah satu sistem saja, yaitu sistem Tuhan. Di sini kita benar-benar berhadapan dengan masalah yang serius.

Kleim bahwa Islam atau agama apapun bisa menyelesaikan seluruh masalah yang dihadapi manusia saat ini selain berlebihan juga menunjukkan sejenis kesombongan. Dulu ideologi komunis pernah berambisi menjadi ideologi totaliter yang bisa menjelaskan apa saja, dan menyelesaikan nyaris apa saja. Keyakinan kaum komunis ini kemudian menular kepada aktivis Islam modern. Kalangan terakhir ini percaya bahwa "Islam is THE solution", bahwa Islam adalah penyelesaian SATU-SATUNYA untuk masalah apa saja. Kita tahu kelompok Islam yang mana yang mempunyai keyakinan semacam ini.

Pandangan semacam ini mengabaikan fakta bahwa masalah manusia begitu kompleks. Jika Islam menyelesaikan segala masalah, dan memang diandaikan mampu berbuat demikian, maka hal ini secara faktual tidak pernah terjadi. Bahkan pada zaman Nabi sendiri Islam tidak diandaikan sebagai agama yang mampu menyelesaikan apa saja. Ketika Nabi meninggal, banyak masalah yang belum bisa diselesaikan seluruhnya. Nabi sendiri tidak bisa menyelesaikan semua hal. Dan memang tak selayaknya Nabi menjadi sejenis "Superman" yang datang dengan segala resep untuk segala masalah. Nabi adalah manusia juga, dan dia haruslah berjuang untuk merumuskan solusi-solusi yang tepat untuk zamannya.

Benar bahwa Nabi mendapat bimbingan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya itu. Bimbingan itu datang dalam bentuk wahyu. Tetapi kita tahu dengan baik bahwa wahyu tidaklah menyelesaikan semua masalah. Tidak segala hal dibicarakan dalam wahyu. Umat Islam, sepeninggal Nabi, harus mencari solusi sendiri untuk masalah-masalah baru yang mereka hadapi, masalah-masalah yang tak pernah dihadapi oleh Nabi saat masih hidup. Tentu wahyu menjadi semacam petunjuk, tetapi petunjuk ini tak memuat "juklak" untuk menyelesaikan masalah apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Paling jauh wahyu hanya memuat "petunjuk umum", dan petunjuk umum itu pun tidak serta merta bisa dipakai secara praktis untuk menyelesaikan segala hal.

Dunia di mana manusia hidup adalah dunia yang ringkih, getas, dan mudah retak. Ia bukan sorga yang penuh dengan segala kesempurnaan. Manusia bisa terus mengusahakan perbaikan dan penyempurnaan atas kehidupan mereka, tetapi kesempurnaan yang sesempurna-sempurnanya tak akan pernah dicapai dalam dunia dan kehidupan sekarang. Jika manusia, dengan ideologi, doktrin, agama, atau paham tertentu merasa dapat meraih suatu dunia yang dengan mutlak begitu sempurna, maka ia telah berlagak sombong dan abai terhadap kekurangan-kekurangannya sendiri. Oleh karena itu, jika ada suatu kelompok yang percaya bahwa agama membawa "solusi terakhir" yang menyelamatkan seluruh dunia, maka hanya ada dua kemungkinan: atau orang itu sedang bermimpi, atau ia sedang memeragakan arogansi.

Dunia yang kompleks dan masalah manusia yang rumit tidak bisa diatasi oleh satu ideologi saja, satu paham saja, satu agama saja, satu doktrin saja. Masalah manusia haruslah diselesaikan secara bareng-bareng oleh seluruh agama yang ada. Semua agama besar di dunia saat ini dihadapkan pada sejumlah tantangan yang sama: kesenjangan kaya miskin yang terus melebar, angka kematian ibu yang masih tinggi di sejumlah dunia ketiga, kemiskinan, buta huruf, langkanya akses pada sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat miskin, HIV/AIDS yang hingga sekarang belum ditemukan penangkalnya, pemanasan global, penindasan dan diskriminasi atas kelompok-kelompok minoritas, dsb. Masalah-masalah ini begitu kompleks sehingga mustahil bisa diatasi oleh satu pihak saja.

Tak ada panacea atau obat yang mujarab untuk segala penyakit. Tak ada agama yang bisa menjawab semua masalah. Agama adalah ilham bagi jutaan manusia untuk hidup secara etis dan bermoral. Agama adalah sumber ilham untuk menyelesaikan sejumlah masalah, tetapi yang jelas tidak semua masalah. Sementara itu, pada saat yang sama para pemeluk agama, termasuk Islam, haruslah sadar bahwa agama bukan saja sumber solusi, tetapi kadang-kadang juga menjadi sumber masalah itu sendiri.

Sekali lagi, tak ada agama "juru selamat". Skala masalah yang dihadapi manusia saat ini begitu besar, sehingga tak ada tempat untuk arogansi semacam itu. Seluruh agama sudah semestinya saling bekerjasama menghadapi tantangan besar tersebut. Bukan menepuk dada sendiri bahwa ialah satu-satunya solusi!

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Sunday, January 6, 2008

Ramai-Ramai Menghina Kitab Suci Tuhan

Ruzbihan Hamazani

Ini adalah sekedar renungan pendek di akhir minggu.

Saya sungguh heran dengan perangai umat Islam saat ini, terutama pada saat menjelang akhir tahun. Saya melihat banyak sekali informasi bertebaran entah di situs atau milis-milis yang mendiskusikan soal Kristen, Natal, Yesus, Injil, dsb. Belum lagi buku-buku, majalah, dan rekaman ceramah dalam bentuk kaset, VCD atau DVD. Isinya antara lain: menjelek-jelekkan Injil yang merupakan kitab suci orang Kristen, mencari-cari segala bentuk kesalahan di sana.

Asal-usul dari informasi semacam ini, sebagaimana kita tahu, adalah Kristologi, yaitu kajian tentang Kristen yang dilakukan oleh sejumlah kalangan Islam untuk menjelek-jelekkan agama dan kitab suci Kristen.

Tindakan mencari-cari kesalahan dalam kitab suci ini bukan mustahil ada juga pada pihak Kristen, terutama kalangan fundamentalis-evangelis. Sebagaimana di Islam ada Kristologi untuk mencari-cari kesalahan Kristen, begitu pula dalam Kristen ada pula semacam Islamologi untuk mencari-cari kesalahan dan kelemahan Islam.

Orang yang mencari-cari kesalahan biasanya memakai trik-trik tertentu, kadang tipuan, persis seperti tukang sulap. Salah satu trik yang biasa dipakai adalah membaca kitab suci dengan cara "mutilasi" yaitu dicincang-cincang di luar konteks. Beberapa ayat dicomot, dipahami secara seenaknya saja, lalu diambillah kesimpulan bahwa ayat ini bertentangan dengan ayat lain. Sejumlah ayat diolok-olok sebagai non-sense.

Trik lain: memakai doktrin agama yang bersangkutan untuk "menghakimi" kitab suci agama lain. Contoh yang kerap kita lihat: seorang pembaca Muslim memakai "iman Islam" untuk menghakimi kitab-kitab suci agama lain. Begitu pula, orang Kristen memakai standar Kristen untuk membaca Qur'an.

Seorang penginjil Amerika bilang: Islam menghendaki umatnya untuk mati demi Tuhan; Tuhan Kristen siap mati disalib untuk umatNya. Mana yang lebih baik? Ini adalah trik atau tipuan untuk menjebak orang awam. Trik serupa bisa dilakukan oleh penganut agama manapun kepada agama apapun yang mereka benci.

Kalau kitab suci diperlakukan dengan cara seperti itu, tak ada yang selamat dari cela. Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa juga diperlakukan dengan cara seperti itu. Semua kitab suci memiliki "Achilles' heel" atau kelemahannya masing-masing, kalau toh kita mau mengais-ngais kesalahan itu.

Banyak orang lupa: kitab suci memiliki makna yang mendalam bagi mereka yang mempercayainya. Bibel adalah kitab suci yang mempunyai pengaruh mendalam dalam kehidupan orang Kristen. Torah adalah kitab suci yang membentuk kehidupan umat Yahudi. Qur'an adalah dasar hidup bagi umat Islam. Begitu pula kitab-kitab suci yang lain: Veda, Upanishad, Bhagawad Gita, dsb.

Setiap umat Islam mestinya menyadari bahwa Bibel adalah kitab suci yang memiliki makna mendalam bagi orang Kristen, sebagaimana Qur'an juga memiliki makan serupa bagi mereka. Bagi orang Islam, mungkin beberapa bagian dalam Bibel tampak lucu. Tetapi sadarkah mereka bahwa bagi orang Kristen, bagian-bagian tertentu dalam Qur'an juga bisa tampak lucu?

Kalau kita tak merupakan bagian dari suatu masyarakat yang mempercayai adat tertentu, kita akan merasakan sejumlah kelucuan dalam adat itu. Tetapi, begitu kita masuk dan "tenggelam" dalam adat dan tradisi masyarakat itu, menghayatinya dengan mendalam, kita akan tahu betapa dalamnya makna adat itu bagi masyarakat bersangkutan.

Cara terbaik untuk membaca kitab suci agama lain adalah dengan "menenggelamkan" diri anda dalam kitab suci itu, menghayatinya, seolah-olah anda menjadi bagian dari "medan makna"-nya. Hanya dengan cara seperti itu, masing-masing umat beragama bisa menghargai kekayaan tradisi keagamaan agama-agama lain.

Kalau kita membaca kitab suci agama lain dengan "mata kecurigaan", bukan dengan rasa simpati, maka yang terjadi adalah orang-orang akan ramai-ramai menghina kitab suci Tuhan. Lihatlah saat ini, umat Islam ramai-ramai membenci Injil. Kristen membalasnya dengan hal serupa.

Bisakah kita mengakhiri lingkaran setan ini? Bisa, jawab saya.

Dengan apa?

CINTA!

Simpati!

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Friday, January 4, 2008

Sejumlah Catatan Terserak tentang Hermeneutika

Ruzbihan Hamazani

1.

Apa perbedaan antara ilmu nahwu dengan linguistik? Nahwu adalah tata-bahasa yang berkenaan secara spesifik dengan bahasa Arab. Di samping nahwu ada cabang-cabang lain yang juga berkenaan dengan tata-bahasa Arab, seperti tashrif atau konjugasi, 'ilm al-lughah atau leksikografi. Setiap bahasa memiliki tata aturannya sendiri; setiap bahasa mempunyai grammar masing-masing. Tentu tidak semua bahasa; hanya beberapa bahasa dunia yang memiliki tata-bahasa. Sebagian besar bahasa-bahasa yang ada dunia saat ini sama sekali tak memiliki tata-bahasa yang tertulis, hanya sekedar diucapkan. Sebab, tata-bahasa selalu datang belakangan.

Dengan kata lain, nahwu adalah ilmu yang sifatnya partikular atau khusus, karena terbatas hanya berkenaan dengan bahasa Arab. Sebetulnya ada cabang lain yang posisinya di atas nahwu, disebut dengan ushul al-nahw atau fondasi tata-bahasa Arab; katakan saja semacam meta-grammar. Kedudukan ushul al-nahw terhadap nahw adalah sama dengan kedudukan cabang ushul fiqh terhadap fiqh: Yang pertama meletakkan landasan bagi yang kedua. Kedudukan keduanya bisa dianggap lebih tinggi dari pada nahwu atau fiqh itu sendiri. Tetapi ushul al-nawh tetap bersifat partikular, karena berkaitan dengan bidang yang sangat spesifik, yakni tata-bahasa Arab.

Sementara linguistik, biasa diterjemahkan sebagi 'ilm al-lisaniyyat, adalah ilmu tentang bahasa yang bersifat umum. Obyek kajian linguistik bukanlah bahasa tertentu, misalnya Inggris, Perancis atau Latin. Linguistik adalah ilmu bahasa yang bersifat universal. Ilmu ini mencoba meletakkan teori umum tentang bahasa, dan bagaimana pola-pola yang berkembang di sana. Linguistik bisa diterapkan kedalam bahasa Arab. Penerapan linguistik terhadap bahasa Arab tidak berarti "mengusir" kedudukan ilmu nahwu. Nahwu sama sekali tak mungkin dihilangkan. Begitu pula penerapan linguistik dalam bahasa-bahasa dunia yang lain tidak berarti menghilangkan peran "grammar" yang berlaku secara khusus untuk bahasa itu. Linguistik adalah ilmu yang antara lain diabstraksikan dari sejumlah praktek bahasa-bahasa yang ada berikut grammar-nya masing-masing.

Sekali lagi, ilmu nahwu adalah partikular, sementara linguistik adalah universal. Nahwu atau "grammar" bahasa-bahasa yang lain adalah juz'i, sementara linguistik adalah kulli.

2.

Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah semacam analogi untuk mempermudah pemahaman kita atas hubungan antara tafsir/ta'wil dan hermeneutika. Hubungan antara keduanya secara umum, meskipun tidak persis benar, sama dengan hubungan antara ilmu nahwu dengan linguistik. Tafsir/ta'wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur'an selama ini adalah ilmu yang berkenaan dengan cara-cara untuk menafsirkan Qur'an. Sementara hermeneutika adalah metode penafsiran yang berlaku umum. Ia bukan hanya untuk teks atau kitab suci tertentu, tetapi semua teks, baik yang suci atau tidak.

Sebagaimana saya tulis dalam artikel terpisah, hermeneutika saat ini berkembang sebagai bidang yang otonom, tidak berkait langsung dengan kajian kitab suci tertentu, misalnya Bible. Kajian atas kitab suci apapun saat ini bisa diilhami oleh perkembangan teori-teori hermeneutika. Penerapan hermeneutika sama sekali tak menggantikan kedudukan ilmu tafsir atau ta'wil, sebagaimana penerapan linguistik tidak serta merta mengecilkan peran ilmu nahwu. Kedududkan tafsir adalah sama dengan ilmu nahwu, yaitu ilmu yang secara spesifik berkenaan dengan cara-cara penafsiran Qur'an.

Tugas hermeneutika bukan pada level "teknis", seperti mengurus soal bagaimana menafsirkan kata yang masuk dalam kategori mujmal atau mubayyan, muthlaq atau muqayyad, 'amm atau khass, dst. Hermeneutika juga tidak berurusan dengan ghara'ib al-Qur'an, yakni kata yang maknanya asing atau tak dikenal. Hermeneutika tak bersinggungan dengan soal huruf al-adawat atau partikel yang kedudukannya sangat penting dalam penafsiran Qur'an. Itu semua adalah bidang spesifik yang menjadi "kavling" ilmu tafsir.

Apa tugas hermeneutika?

Tugas hermeneutika sedikit lebih abstrak, yaitu mengusut asumsi-asumsi yang bekerja dalam sebuah penafsiran, bagaimana watak sebuah teks secara umum, bagaimana hubungan antara penafsir dengan teks, bagaimana watak sebuah masyarakat penafsir, bagaimana hubungan antara teks dengan realitas, bagaimana hubungan antara realitas dengan penafsir, dst. Hermeneutika juga menelaah bagaimana sebuah proses penafsiran itu sendiri, in and of itself, berlangsung. Ini adalah aspek-aspek yang sama sekali tidak atau sedikit disinggung dalam cabang ilmu tafsir/ta'wil.

Sebagai contoh: ilmu tafsir tak menyediakan alat bagi pembaca Qur'an untuk melakukan apa yang sering disebut sebagai "kritik ideologi", yakni analisis terhadap asumsi, predisposisi, al-haithiyyat, yang bekerja dalam sebuah penafsiran. Ilmu tafsir memang membantu kita untuk mengetahui, misalnya, apa makna yang dapat kita peroleh dari partikel penghubung atau huruf al-'athaf "waw" atau "aw". Tetapi ilmu tafsir tidak menolong kita untuk memahami asumsi-asumsi apa yang melandasi seorang penafsir ketika berhadapan dengan teks-teks yang memuat partikel-partikel itu.

Walhasil, ilmu tafsir adalah ilmu juz'i, bukan ilmu kulli. Setiap kitab suci tentu mengembangkan metode tafsirnya masing-masing. Ini hal yang wajar saja. Memakai hermeneutika sama sekali tak menggantikan secara penuh kedudukan ilmu-ilmu partikular itu. Dengan kata lain, ilmu tafsir adalah semacam "grammar" untuk penafsiran Qur'an. Ini berbeda dengan hermeneutika yang merupakan "meta-grammar" untuk penasiran segala bentuk teks, suci atau profan.

Hermeneutika kita butuhkan sebagai alat pelengkap. Ilmu ini juga kita butuhkan untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan dalam mencoba pendekatan baru dalam penafsiran. Sebagaimana saya tulis dalam artikel terpisah, tafsir selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu manusia. Dengan munculnya ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities) saat ini, pendekatan tafsir bisa diperkaya.

Sudah tentu, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Khaled Abou El-Fadl, kita tidak bisa secara gegabah memakai pendekatan-pendekatan baru yang datang dari luar lalu memaksakannya ke dalam studi Qur'an (Baca pengantar Zuha Taji-Farouki untuk buku yang disuntingnya, "Modern Muslim Intellectuals and the Qur'an"). Prinsip ini berlaku untuk semua kitab suci. Saat hermeneutika berdiri sebagai bidang yang terpisah, kita menyaksikan ketegangan pula antara teori-teori hemeneutika dengan kajian Biblikal, terutama kajian yang sifatnya faith-based, atau berdasarkan iman. Jadi keliru sekali kalau sementara orang berpikiran bahwa ketegangan hanya terjadi antara hermeneutika dengan tafsir. Ketegangan itu terjadi pula antara hermeneutika dengan studi-studi Alkitab.

3.

Seorang pengkritik hermeneutika, Fahmi Salim, yang konon menulis tesis master tentang hermeneutika dan ta'wil di al-Azhar, mengutarakan dua perbedaan pokok antara ta'wil dan hermeneutika dalam sebuah artikel yang ia siarkan di koran Republika baru-baru ini. Saya kutip pendapatnya sedikit:

"...dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan."

Orientasi ta'wil adalah penetapan makna, menurut Salim. Ini tentu pengamatan yang sangat gegabah. Ta'wil, dalam praktek penafsiran Qur'an selama ini, alih-alih menetapkan makna, justru menguak keragaman makna yang sangat kaya. Penggambaran yang sangat baik mengenai ta'wil dikemukakan oleh Imam Ghazali dalam bukunya yang berjudul "Jawahir al-Qur'an wa Duraruhu" (Mutiara dan Permata Qur'an).

Dalam pengantar buku itu, al-Ghazali menggambarkan Qur'an seperti sebuah samudera yang luas dan dalam (ann al-Qur'an huwa al-bahr al-muhith). Al-Ghazali mengkritik mereka yang hanya berputar-putar di "pantai" Qur'an, tak berani naik perahu dan mengarungi lautan maknanya yang kaya. Al-Ghazali bertanya,

"Awa ma taghbithu aqwaman khadlu fi ghamrat amwajiha fazafiru bi al-kibrit al-ahmar?" Artinya: Apakah engkau tak iri pada orang-orang yang menceburkan diri dalam pusaran gelombangnya lalu memperoleh belerang merah?

Sebagaimana kita tahu, istilah "belerang merah" adalah salah satu ungkapan yang sering dipakai dalam konteks mistik Islam atau tasawwuf. Istilah itu kerap dipakai oleh mistik besar Islam, Ibn 'Arabi (baca buku Claude Addas, "Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn Arabi").

Walhasil, ta'wil adalah penjelajahan makna, bukan menetapkan makna. Ta'wil adalah menaiki kapal, mengarungi samodera teks untuk mengeduk mutiara dan permata. Dalam pandangan saya, orang-orang yang ingin menetapkan makna adalah mereka yang, memakai ungkapan metaforis al-Ghazali, takut mengarungi lautan dan hanya berpusing-pusing di pantai. Mereka paling jauh hanya mendapatkan kerang atau batu-batu karang yang tak seberapa nilainya.

Salim juga jelas keliru sekali ketika mengatakan bahwa "orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya." Watak ini bukan saja ada pada hermeneutika, tetapi juga ada pada tafsir dan ta'wil. Dalam tulisan yang lalu saya sudah menjelaskan keragaman tafsir Qur'an karena perbedaan orientasi teologis-filosofis penafsir. Antara penafsir Qur'an juga kerap terjadi "perang" pendapat. Metode tafsir juga terus berkembang dan bercabang-cabang.

Perbedaan kedua, menurut Salim, saya kutip dari dia agak lengkap:

"Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah SSWT. Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi."

Pernyataan ini hanya mengulang pendapat yang sudah sering dikemukakan oleh para pengkritik hermeneutika selama ini, bahwa teori itu berasal dari Barat dan dikembangkan dalam konteks kajian Bible. Saya sudah mengulas dalam tulisan terpisah, bahwa anggapan ini sama sekali keliru. Karena pernyataan ini sudah kerap diulang-ulang, saya bertanya-tanya: jangan-jangan para pengkritik hermeneutika ini sama sekali tak membaca dengan baik kepustakaan modern mengenai hermeneutika. Apakah mereka ini benar-benar membaca karya-karya Dilthey, Husserl, Gadamer, Heidegger, dan Habermas? Apakah mereka menelaah karya-karya Derrida, Barthes, Eco, Betti, Hirsch, Ricoeur, Rorty, dll?

Semua orang tahu bahwa para filosof modern yang meletakkan dasar-dasar filosofis bagi perkembangan teori-teori hermeneutika sama sekali tak ada kaitannya dengan kajian Bible. Nama-nama seperti Gadamer, Dilthey, Heidegger, dan Habermas bukanlah sarjana-sarjana yang bekerja dalam bidang studi Alkitab. Teori-teori mereka justru sebagian dipinjam oleh para sarjana Alkitab. Saya sungguh heran bahwa mereka tak mengetahui fakta yang sederhana seperti ini.

4.

Mohammed Mojtahed Shabestari adalah seorang ulama Syi'ah lulusan Qom (pesantren utama di Iran), dan pernah tinggal lama di Jerman, fasih menguasai bahasa Jerman, dan dengan penuh minat mempelajari filsafat dan pemikiran Gadamer, seorang filsuf yang kita tahu meletakkan landasan penting untuk hermeneutika. Ia adalah bagian dari barisan ulama "reformis" di Iran, bersama dengan nama-nama lain seperti Mohsen Kadivar, Abdul Karim Soroush, dll.

Yang menarik buat saya adalah bahwa ulama lulusan pesantren ini dapat mengawinkan antara tradisi ta'wil dengan hermeneutika. Dia mempelajari dengan sungguh-sungguh pemikiran Gadamer dan sejumlah pemikir Jerman yang lain. Ia mencoba mendialogkan antara filsafat baru itu dengan tradisi Syi'ah. Dengan pendekatan baru, ia melancarkan kritik atas pandangan keagamaan yang dianut oleh kalangan "penguasa agama" di Iran. Ia menulis buku-buku penting, antara lain: Hermenutik: Kitab va Sunnat (Hermeneutika: Kitab dan Sunnah), Iman va Azadi (Iman dan Kebebasan), Naqd bar Qara'at-e Rasmi-e Din (Kritk atas Pembacaan Resmi Agama).

Ulama Syi'ah yang satu ini adalah teladan yang amat baik untuk dipertimbangkan oleh para ulama dan sarjana Sunni, terutama mereka yang menaruh kecurigaan pada hermeneutika. Lihatlah Shabestari, seorang lulusan pesantren, dengan kreatif mengadopsi hermeneutika untuk membaca kembali warisan pemikiran Islam, tanpa ketakutan, tanpa rasa was-was bahwa tindakannya ini akan menghancurkan Islam dari dalam. Bandingkan contoh Shabestari ini dengan kasus salah seorang mahasiwa Indonesia yang menempuh studi doktoral di Jerman, di "sarang hermeneutika", tetapi menaruh kecurigaan yang hebat pada teori itu.

Betapa jauh perbedaan itu!

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

Thursday, January 3, 2008

Salah Paham Mengenai Hermeneutika

Ruzbihan Hamazani


Ada beberapa orang yang dengan menggebu-gebu melancarkan "perang salib" terhadap hermeneutika, dengan anggapan bahwa "ilmu" yang dianggap imporan ini akan merusak Islam dari dalam, memorakporandakan pendekatan yang sudah dikembangkan oleh sarjana Islam sendiri untuk memahami Qur'an. Orang-orang yang memakai hermeneutika untuk memahami Qur'an dianggap sebagai musuh Islam. Saat ini, di kalangan beberapa kelompok Islam, kata hermeneutika sudah masuk dalam daftar "kata kotor", menyusul sejumlah kata-kata yang lain: sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, HAM, jender, dsb. Istilah hermeneutika terdengar "najis" seperti kata "PKI" pada zaman Orde Baru dulu.

Apa sebetulnya pengertian paling elementer dari hermeneutika? Betulkah ia mengancam Islam? Apakah hermeneutika benar-benar tak dikenal dalam Islam? Benarkah hermeneutika hanya cocok untuk memahami Injil, dan tak bisa diterapkan untuk Qur'an? Apa perbedaan dan kesamaan antara hermeneutika dan ta'wil?

Inilah sejumlah pertanyaan yang layak diajukan. Tujuan artikel ini adalah untuk meluruskan "syubuhat" atau salah paham mengenai istilah hermeneutika. Sejumlah artikel dan kolom yang ditulis di majalah, jurnal, atau situs-situs tertentu yang kemudian beredar di beberapa milis mengandung banyak informasi yang simpang-siur dan salah-paham yang harus diluruskan. Amat disayangkan bahwa sejumlah salah paham ini datang dari sejumlah kalangan yang sebetulnya memiliki pendidikan yang baik serta mendapat akses yang lumayan bagus pada bacaan yang luas. Beberapa dari mereka bahkan mendapat pendidikan di Barat.

Hermeneutika, tafsir, ta'wil

Sebagai sebuah istilah, hermeneutika kedengaran serius dan mungkin "angker". Istilah ini sebetulnya memiliki makna yang sederhana saja, yaitu menafsirkan, penafsiran, tafsir. Dalam The Brill Dictionary of Religion, disebutkan bahwa istilah ini "denotes the methods of interpretation of a text", menunjuk kepada cara-cara untuk menafsirkan sebuah teks. Istilah ini berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yakni "to translate" (menerjemahkan) atau "to interpret" (menafsirkan).

Hermeneutika memang biasanya dikaitkan dengan konteks yang spesifik, yaitu menafsirkan teks-teks agama. Jadi, hermeneutika memang bukan sekedar menafsirkan teks secara umum. Meskipun demikian, hermeneutika kemudian berkembang sebagai salah satu cabang filsafat penafsiran yang berdiri sendiri yang tak berkaitan lagi secara spesifik dengan penafsiran teks agama.

Dengan demikian, istilah hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer ini sama dengan istilah tafsir atau ta'wil. Secara kebahasaan, istilah tafsir berasal dari kata "al-fasr" yang berarti menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kashf) sebagaimana disebutkan oleh Imam Suyuti dalam Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an.

Al-Suyuti mengutip sebuah pendapat yang menarik dari al-Raghib al-Asbahani, bahwa pengertian tafsir lebih bersifat umum ketimbang ta'wil. Sebab, yang pertama biasanya dipakai dalam konteks memahami "mufradat" atau kosa-kata, sementara ta'wil lebih sering dipakai dalam konteks memahami kalimat. Menurut al-Asbahani, ta'wil bisanya dipakai dalam konteks memahami kitab-kitab yang bersifat keilahian (al-kutub al-ilahiyyah), sementara tafsir bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci ataupun yang lain; jadi lebih umum sifatnya.

Al-Suyuti mengutip pula pendapat dari Abu Talib al-Taghlabi: bahwa tafsir adalah menerangkan kedudukan dan pengertian sebuah kata, baik pengertiannya yang bersifat 'hakikat' yakni denotatif, atau metaforis/alegoris alias majaz; sementara ta'wil adalah menerangkan makna yang bersifat esoteris, atau makna batin. Dengan kata lain, tafsir berkaitan dengan makna lahiriah, dan ta'wil berkenaan dengan makna batiniah.

Ini semua adalah pengertian dasar dari istilah tafsir dan ta'wil. Di sini kita bisa melihat bahwa tafsir, ta'wil dan hermeneutika memiliki pengertian yang hampir paralel, yaitu interpretasi, terutama yang berkaitan dengan teks-teks agama, atau "al-kutub al-ilahiyyah", jika memakai istilah al-Asbahani. Sebagaimana kita lihat di sini pula, kata yang dipakai adalah bersifat umum, yaitu kitab-kitab keilahian, bukan semata-mata Qur'an. Jadi, kalau kita memakai pendapat al-Asbahani ini, istilah ta'wil bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci secara lebih umum. Kita, secara teoretis, bisa mengatakan ta'wil untuk Bible, Veda atau Upanishad.

Pendapat al-Asbahani ini didukung oleh fakta berikut ini. Kalangan Yahudi yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban Islam memakai istilah tafsir untuk menyebut komentar atas Torah. Encyclopaedia of Judaica, misalnya, memuat lema yang ditulis oleh Meira Polliack di mana disebutkan bahwa terjemahan Saadiah Gaon atas "pentateuch", yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, sebagai tafsir. Saadiah Gaon adalah seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal dari Mesir yang wafat pada 942 M.

Istilah tafsir dalam perkembangannya memang secara spesifik dikaitkan dengan penafsiran dan pemahaman Qur'an. Al-Suyuti mengutip pendapat al-Zarkashi, pengarang "Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an", sebagai berikut: tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk menerangkan maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan kebijaksanaan dari dalamnya. Menurut al-Zarkashi, sumber-sumber tafsir bisa berasal dari leksikografi ('ilm al-lughah), nahw (tata bahasa Arab), morfologi (tashrif), semantik ('ilm al-bayan), ushul fiqh (teori hukum Islam), ilmu bacaan (qira'at).

Dengan kata lain, inti tafsir adalah menerangkan Kitab Suci. Sekali lagi, di sini ada kesejajaran antara hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer dengan istilah-istilah yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu tafsir dan ta'wil.

Adalah sama sekali keliru jika kita mengira bahwa antara tafsir, ta'wil dan hermeneutika tak ada kaitan apapun dari segi pengertian dasarnya. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa ta'wil atau tafsir adalah istilah Arab untuk hermeneutika, sebagaimana al-daulah, misalnya, adalah istilah Arab untuk kata "state" (negara) dalam bahasa Inggris. Sudah tentu, ketiga kata itu memiliki sejarahnya masing-masing. Kata "al-daulah" tentu memiliki sejarahnya sendiri dalam bahasa Arab, begitu pula kata "state". Namun, itu bukan berarti bahwa kita tak bisa menerjemahkan kata "state" dalam bahasa Inggris dengan "al-daulah" dalam bahasa Arab hanya gara-gara kedua istilah itu memiliki sejarah masing-masing yang panjang. Ini berlaku pula untuk kata ta'wil dan hermeneutika.

Perkembangan hermeneutika

Saya akan mecoba mengulas secara ringkas perkembangan pengertian hermeneutika dalam tradisi kesarjanaan Barat. Saya memakai sebuah buku pengantar berjudul The Hermeneutics Reader yang disunting oleh Kurt Mueller-Vollmer, terbit 2006. Mueller-Vollmer menulis pengantar yang sangat panjang dan cukup baik mengenai perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat.

Sebagaimana saya tunjukkan di atas, kata ini memiliki pengertian dasar "menafsirkan", to interpret. Istilah ini terkait dengan nama Hermes, seseorang yang dipercayai sebagai "utusan" tuhan dalam masyarakat Yunani. Nama Hermes dalam tradisi Islam juga dikaitkan dengan figur Nabi Idris. Tugas Hermes adalah membawa pesan dari tuhan kepada manusia. Untuk melaksanakan fungsi itu, Hermes harus memenuhi syarat pokok: memahami pesan tuhan serta tahu bagaimana menyampaikannya kepada manusia sesuai dengan bahasa mereka. Peran Hermes kira-kira sama dengan seorang penerjemah, interpreter, yang harus menguasai bahasa asal dan bahasa tujuan sekaligus. Dari nama Hermes inilah lahir istilah hermeneutika. Dengan demikian, hermeneutika kira-kira adalah ilmu atau cara untuk menafsirkan sesuatu.

Perkembangan penting dalam sejarah hermeneutika di Barat terjadi saat pecah Reformasi Protestan pada abad 16. Kaum pembaharu Protestan yang menentang gereja Vatikan mengembangkan doktrin yang menarik yang disebut dengan "perspicuitas", artinya bahwa Kitab Suci, yakni Bible, sudah cukup terang dan mencukupi-untuk-dirinya-sendiri untuk dipahami oleh seorang beriman, tanpa bantuan otoritas gereja Vatikan. Prinsip ini terkait dengan istilah lain yang sudah kita kenal selama ini, yaitu sola scriptura, bahwa Kitab Suci sudah cukup tanpa bantuan tradisi gereja Katolik.

Gerakan kaum reformis Protestan ini mengingatkan kita pada paham kaum pembaharu Islam yang dikenal sebagai kaum Salafi. Gerakan mereka disebut salafiyah. Gerakan ini dicirikan antara lain oleh semboyan: kembali kepada Qur'an dan hadis (al-ruju' ila al-kitab wa 'l-sunnah). Gerakan ini menganjurkan umat Islam untuk kembali langsung kepada Qur'an dan hadis, tanpa melewati tradisi mazhab empat yang dikenal selama ini di kalangan umat Islam "tradisional". Bagi mereka, Qur'an dan hadis sudah mencukupi, jelas dan terang. Ini hampir sejajar dengan prinsip perspicuitas yang dikembangkan oleh penggerak reformasi Protestan. Asumsi yang mendasari gerakan-gerakan reformasi ini adalah bahwa Kitab Suci tertutup oleh tradisi penafsiran yang berkembang cukup lama, sehingga untuk menghayati semangat asli Kitab Suci, umat harus "membuang" tradisi yang dianggap mengotori kesucian Kitab Suci tersebut. Dalam konteks Islam, yang dimaksud tradisi di sini biasanya adalah tradisi bermazhab.

Salah satu tokoh penting dalam tradisi hermeneutika semasa Reformasi Protestan adalah Matthias Flacius Illyricus yang menulis karya berbahasa Latin, Clavis Scripturae Sacrae, terbit pada 1567 M. Dalam buku ini, Flacius mengembangkan dua pokok argumen. Pertama, bahwa gereja tak boleh memaksakan suatu tafsir tertentu tentang Bible, dengan alasan bahwa Kitab Suci belum bisa dipahami dengan tepat oleh umat Kristen, dan karena itu bantuan gereja dibutuhkan. Dengan latihan dan pendidikan yang memadai, menurut Flacius, Kitab Suci dapat dipahami dengan baik oleh umat secara lebih luas, tidak dimonopoli oleh gereja. Kedua, bahwa Kitab Suci mengandung koherensi dan kontinuitas internal, sehingga siapapun, dengan menggunakan alat tertentu, bisa memahami Kitab Suci, tanpa bantuan gereja (Bdk. teori munasabah dalam sejarah tafsir Qur'an). Argumen kedua ini paralel dengan apa yang dikemukakan oleh Melanchthon dan Martin Luther, penggerak utama Reformasi Protestan. Dengan dua argumen ini, Flacius mengembangkan suatu tradisi hermeneutika atau penafsiran Bible yang independen dari otoritas gereja.

Lagi-lagi, di sini kita melihat kesejajaran antara semangat Reformasi Protestan dan Gerakan Salafiyah dalam Islam. Dalam gerakan Salafiyah, dikembangkan suatu tradisi penafsiran Qur'an yang kurang lebih independen dari tradisi mazhab. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam keputusan-keputusan majlis tarjih Muhammadiyah, misalnya, rujukan kepada Kitab Kuning yang memuat khazanah tradisi bermazhab sama sekali kurang, atau malah tak ada sama sekali. Dengan kata lain, Muhammadiyah yang diilhami oleh gerakan Salafiyah Rashid Ridha di Mesir mengembangkan tradisi "hermeneutika" yang berbasis langsung pada Qur'an dan sunnah. Kalau sekarang ini intelektual Muhammadiyah yang penting seperti Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogykarta, dengan bersemangat menyambut hermeneutika, maka hal itu sama sekali tak aneh. Semangat Muhammadiyah dari awal adalah paralel dengan gerakan Reformasi Protestan yang mendasarkan diri pada prinsip perspicuitas, kembali kepada Qur'an dan hadis, sola scriptura.

Ini adalah perkembangan awal hermeneutika dalam tradisi Barat pasca Reformasi. Di sana terlihat bahwa pertama-tama, hermeneutika dikembangkan sebagai alat untuk menantang otoritas gereja yang memonopli tafsir atas Bible, persis seperti gerakan Salafiyah yang memakai semboyan "kembali kepada Qur'an dan hadis" untuk menantang monopoli tradisi mazhab.

Tetapi, perkembangan berikutnya bergerak lebih jauh lagi. Hermeneutika sudah bukan lagi semata-mata sebagai cara untuk menafsirkan Bible, tetapi bidang filsafat tersendiri yang independen. Inilah yang disebut dengan hermeneutika modern. Ada tiga hal penting yang membentuk hermeneutika modern: perkembangan dalam filologi klasik, jurisprudensi (artinya tafsir atas hukum, atau teori tafsir hukum; dalam Islam disebut ushul fiqh), dan filsafat. Perkembangan filologi terkait dengan studi atas naskah-naskah kuno yang berasal dari Yunani. Bersamaan dengan Reformasi Protestan, Eropa menyaksikan kebangkitan kajian atas naskah-naskah kuno dari Yunani dan Romawi. Kajian ini menimbulkan suatu cabang ilmu baru, yakni ilmu untuk menafsirkan dan memahami teks-teks kuno. Itulah filologi.

Pada saat itu tumbuh pula minat yang besar untuk mengkaji hukum Romawi. Perkembangan ini juga sangat mempengaruhi tradisi hermeneutika modern. Salah satu buku penting yang lahir dari periode itu adalah karya Constantius Rogerius, Treatise Concerning the Interpretation of Law, terbit 1463 M. Usaha pokok Rogerius adalah untuk melakukan harmonisasi atau penyelarasan atas hukum warisan Kaisar Justinian. Usaha Rogerius ini kira-kira sejajar dengan usaha Ibn Rushd yang mensistematisasi mazhab Maliki, atau Maimonides yang mensistematisasi tradisi hukum rabi dalam agama Yahudi, rabbinical laws, atau halakhah.

Perkembangan dalam bidang filsafat juga berperan besar dalam terbentuknya tradisi hermeneutika modern. Bahkan perkembangan dalam sektor inilah dapat kita katakan memainkan peran yang paling penting. Ambisi para filsuf Eropa pada abad 17, 18 dan 19 adalah ingin mensistematisasikan ilmu-ilmu kemanusiaan secara koheren dan lengkap sebagai bidang yang berdiri sendiri.

Salah satu perkembangan penting dalam hermeneutika modern adalah terbitnya buku karya Chladenius (m. 1759 M), Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (Pengantar untuk Interpretasi yang Tepat atas Ujaran Yang Masuk Akal dan Buku), terbit pada 1742 M. Apa yang dilakukan oleh Chladenius dalam buku ini bukan meletakkan landasan interpretasi yang berlaku untuk Bible, tetapi interpretasi yang berlaku secara umum. Chladenius menyebut istilah "Auslegekunst" (dalam bahasa Jerman) yang artinya adalah seni menafsir. Saya akan kutipkan baris yang penting dari Mueller-Vollmer sebagai berikut:

Since "to be understood" was in the nature of an utterance, Chladenius defined hermeneutics as the art of attaining the perfect or complete understanding of utterances (vollstandiges Verstehen)*--whether they be speeches (Reden) or writings (Schriften).

Artinya: Karena "untuk dapat dipahami" adalah watak dari segala ujaran, Chladenius mentakrifkan hermeneutika sebagai seni untuk memperoleh pemahaman yang sempurna dan lengkap mengenai ujaran-ujaran--baik ujaran lisan atau tulisan.

Salah satu prinsip terkenal yang diutarakan Chladenius dalam karyanya ini adalah apa yang disebut sebagai "Sehe-Punckt" atau teori sudut pandang. Menurut teori ini, jika ada dua laporan berbeda tentang fakta sejarah yang sama, maka hal itu bukan berarti ada kontradiksi antara keduanya. Perbedaan terjadi, menurut dia, karena adanya perbedaan sudut pandang. Setiap manusia, dalam pandangan dia, melihat peristiswa di sekelilingnya sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.

Pandangan ini dipinjam oleh Chladenius dari karya filosof terkenal Yahudi, Leibniz, Optics. Ada kemungkinan pula, Chladenius dipengaruhi oleh karya Leibniz yang lain, Monadology. Dalam karya terakhir itu, Leibniz antara lain mengutarakan bahwa masing-masing monad, atau wujud dalam dunia ini, mempersepsi alam raya yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Inilah yang belakangan antara lain melahirkan suatu teori mengenai perspektivalisme, yakni bahwa ada banyak kebenaran sesuai dengan masing-masing sudut pandang yang dimiliki oleh pihak yang berbeda-beda.

Demikianlah, hermeneutika terus berkembang dengan pesat, seturut dengan perkembangan paham-paham filsafat di Eropa. Sejumlah tokoh yang meninggalkan "sidik jari" yang menonjol adalah Friedrich Schleiermacher, Wilhelm von Humboldt, Johann Gustav Droysen, August Boeckh, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, Roman Ingarden, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, dan terakhir Jurgen Habermas yang masih hidup hingga saat ini.

Nama Schleiermacher cukup penting diulas sedikit karena ia telah memberikan sumbangan yang sangat penting dalam tradisi hermeneutika modern. Sumbangan Schleiermacher merupakan "watershed" atau titik balik yang penting. Schleiermacher dikenal karena mengajukan konsep mengenai "pemahaman" atau Verstehen, sebelum Dilthey. Hermeneutika dalam pandangan Schleiermacher bukan sekedar menerangkan sesuatu yang samar dalam ujaran, atau al-kashf wa al-bayan dalam istilah al-Suyuti, tetapi, "above all concerned with illuminating the conditions for the possibility of understanding and its modes of interpretation." (Kutipan dari Mueller-Vollmer) Kalimat ini tak mudah dimengerti dengan sederhana kecuali bagi mereka yang terbiasa dalam studi filsafat. Kira-kira kalimat itu berarti: hermeneutika berkenaan dengan usaha menerangkan syarat-syarat kemungkinan untuk memahami, dan cara-cara untuk menafsirkannya. Dengan kata lain, obyek pokok hermeneutika bukan lagi sekedar menerangkan dan membuka rahasia kode-kode tekstual, tetapi pemahaman itu sendiri sebagai pengalaman manusia, bagaimana itu mungkin, serta bagaimana pula menafsirkannya.

Salah satu sumbangan penting Schleiermacher adalah bahwa pemahaman selalu terkait dengan aspek bahasa. Inilah yang disebut dengan "linguistikalitas" atau kemembahasaan dalam kegiatan pemahaman. Setiap aktivitas memahami tak bisa dipisahkan dari aspek bahasa. Tentu bukan tempatnya di sini saya mengulas seluruh teori yang dikembangkan oleh para filsuf yang memberikan kontribusi penting dalam pembentukan hermeneutika modern. Ini hanyalah sekedar "kelebatan" untuk memberikan isyarat kepada pembaca.

Kesimpulan yang penting adalah bahwa hermeneutika, meskipun berawal sebagai cara untuk menafsir Kitab Suci atau Bible, tetapi perkembangan belakangan memperlihatkan bahwa ia bergerak secara independen sebagai ilmu atau seni menafsir yang berlaku secara umum. Perkembangan hermeneutika saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori baru dalam filsafat ketimbang oleh kajian Bible. Yang terjadi justru sebalinya: perkembangan penafsiran atas Bible lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam filsafat. Inilah yang menjelaskan kenapa saat ini muncul hermeneutika feminis atau penafsiran Bible berdasarkan perspektif perempuan, misalnya; disebut "feminist hermeneutics".

Para penulis Muslim yang melakukan "perang salib" atas hermeneutika jelas keliru sama sekali ketika mengatakan bahwa menerapkan hermeneutika dalam studi Qur'an sama saja dengan menerapkan teori tafsir Bible terhadap Kitab Suci umat Islam itu. Sebagaimana kita lihat sendiri, hermeneutika sudah berdiri sendiri sebagai bidang yang otonom. Penafsiran Bible justru sekarang banyak dipengaruhi oleh hermeneutika yang berkembang di luar kajian Alkitab. Nama-nama besar dalam perkembangan hermeneutika modern, seperti Gadamer, Heidegger, Dilthey, dan Habermas sama sekali tak terkait dengan perkembangan kajian Alkitab.

Salah paham yang lain adalah bahwa hermeneutika oleh sebagian kalangan sarjana Muslim Indonesia diidentikkan dengan pendekatan dalam studi Bible yang dikenal sebagai biblical criticism, atau kajian atas bentuk-bentuk literer Bible untuk melacak kronologi penulisannya. Memang sejarah hermeneutika antara lain dibentuk melalui tradisi filologi yang menjadi dasar dari kritisisme biblikal. Tetapi, sebagaimana sudah saya tunjukkan di atas, perkembangan hermeneutika tidak semata-mata dibentuk oleh filologi, tetapi terutama oleh paham-paham dalam filsafat. Di benak para pengkritik hermeneutika itu terdapat pra-anggapan yang jelas keliru bahwa menerapkan hermeneutika akan berujung dengan penerapan metode yang dipakai John Wansbrough yang kontroversial itu dalam studi Qur'an. Ini jelas kesalahpamahan yang fatal. Dalam diskusi mengenai hermeneutika Qur'an saat ini, kajian Wansbrough justru sama sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dari hermeneutika.

Mungkinkah meminjam hermeneutika?

Beberapa penulis Muslim menolak keras hermeneutika karena dianggap sebagai metode penafsiran yang tidak pas dengan Qur'an. Menurut mereka, sarjana Islam mengembangkan tradisi tafsir sendiri yang lebih sesuai dengan Qur'an. Memakai hermeneutika dalam memahami Qur'an akan merusak integritas Kitab Suci umat Islam itu. Bahkan ada sebagian yang berpandangan bahwa hermeneutika akan merusak Islam dari dalam.

Apakah betul pandangan seperti itu? Marilah kita periksa asumsi-asumsi yang dipakai oleh para pengkritik hermeneutika itu.

Asumsi pertama: tampak ada semacam pandangan bahwa antara hermeneutika dan tafsir/ta'wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur'an sama sekali tak ada kemungkinan titik temu. Ini jelas salah sama sekali. Seperti kita lihat dalam penjelasan di atas, teori Schleiermacher tentang pentingnya aspek bahasa dalam penafsiran dan pemahaman suatu ujaran jelas bertemu dengan pandangan para penafsir Qur'an yang dengan tegas menekankan pentingnya "konvensi bahasa" (al-wadh' al-lughawi) dalam penafsiran. Tafsir tidak bisa bergerak bebas menabrak aturan-aturan kebahasaan. Tentu pada tingkat renik-renik bisa terjadi perbedaan, tetapi pada level teori besarnya, ada kesejajaran antara perspektif Schleiermacher mengenai kemembahasaan pemahaman dengan pandangan mufassir Islam.

Asumsi kedua: apa yang disebut sebagai metode tafsir atau ta'wil dalam memahami Qur'an seolah-olah monolitik atau tunggal. Para pengkritik hermeneutika sering mengatakan bahwa penafsiran Qur'an memiliki metodenya sendiri yang lebih "pribumi". Pernyataan yang sifatnya umum ini jelas mengandung generalisasi yang mengelabui pandangan para pembaca awam yang tak membaca dengan baik keragaman metode penafsiran Qur'an.

Sebagaimana kita ketahui, dalam penafsiran Qur'an terjadi pertengakaran yang tak kalah hebat antara para penafsir Qur'an. Sejumlah tafsir yang ditulis oleh ulama klasik dianggap "sesat" karena memakai pendekatan yang dianggap tidak-orotodoks. Contoh yang terkenal adalah tafsir Al-Kashshaf karya al-Zamakhshari yang meskipun dibaca luas tetapi selalu "dicurigai" karena dianggap membawa pandangan kaum Mu'tazilah. Tafsri kaum batiniyyah atau mereka yang memakai pendekatan esoteris juga sering dikritik sebagai penyimpangan.

Apa yang disebut sebagai "tafsir" dalam tradisi Islam dalam kenyataannya adalah wilayah yang lentur, fluid, cair, dan fleksibel. Tidak ada metode tafsir yang tunggal dalam Islam. Bahkan sejak awal, kegiatan penafsiran Qur'an sudah menjadi semacam "kuda troya" untuk menyelundupkan pandangan-pandangan teologis-filosofis para penafsirnya. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi jika seorang penafsir memiliki kecenderungan Ash'ariyyah atau Maturidiyyah, maka dalam menafsirkan Qur'an ia akan memakai cara pandang Ash'ari dan Maturidi. Jika seorang penafsir memiliki kecenderungan mistik, ia akan memakai tasawwuf dalam memahami sejumlah ayat dalam Qur'an. Kalau dia seorang Shi'ah, tentu ia akan menafsirkan Qur'an dengan memakai sudut pandang sekte itu. Demikianlah seterusnya.

Begitu pula kita saksikan bahwa perkembangan corak tafsir akan makin beragam. Semakin jauh dari periode Nabi, semakin beragam pula corak tafsir yang berkembang. Ini hal yang lumrah saja. Karena ilmu berkembang terus, maka pendekatan tafsir juga berkembang. Sebab tafsir tak pernah mengenal metode yang baku. Ketika dalam masa-masa belakangan berkembang filsafat Islam yang dipengaruhi oleh ide-ide neo-platonisme, maka lahir pula corak tafsir yang dipengaruhi oleh filsafat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Sina saat menafsirkan sebuah ayat dalam Surah al-Nur mengenai cahaya Tuhan (baca misalnya risalah dia, Risalah fi Ithbat al-Nubuwwat).

Saya hendak bertanya kepada para "pembenci" hermeneutika: bisakah anda menyebutkan kepada saya apa yang dimaksud dengan metode tafsir Qur'an? Apakah ada metode tafsir baku yang berlaku dari zaman klasik sampai kiamat? Apakah yang anda maksud dengan metode tafsir "Islami" adalah metode yang dipakai dalam tafsir bercorak kebahasaan (al-tafsir al-lughawi), atau tafsir fiqhi, kalami, shufi, balaghi? Apakah tafsir bi 'l-naql atau bi 'l-ra'y? Apakah tafsir a la ahl al-hadis atau kalam?

Sejujurnya, setiap kegiatan tafsir selalu "dikendalikan" oleh pandangan-pandangan yang dibawa penafsirnya. Di sini letak relevansi salah satu teori hermenetika, yaitu bahwa sudut pandang penafsir sangat mempengaruhi penafsiran. Jika seseorang memiliki pandangan keagamaan yang fundamentalistis, ia akan menafsirkan Qur'an sesuai dengan pandangannya itu, seperti kita lihat dalam tafsir karya Sayyid Qutb.

Penolakan atas hermeneutika sebetulnya bukan didorong oleh alasan yang secara formal dikatakan oleh para pengkritiknya itu. Misalnya, karena Qur'an memiliki metode penafsiran sendiri. Kalau mau jujur, sebetulnya mereka tahu sejak awal bahwa apa yang disebut dengan "metode tafsir Qur'an" itu tidak pernah jelas batas-batasnya. Seperti saya tunjukkan di atas, tafsir Qur'an selalu menjadi wahana untuk mengusung sejumlah ideologi dan doktrin yang berbeda-beda. Itu terjadi sejak dahulu kala. Tafsir Qur'an juga selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Apa sebetulnya motif pokok mereka?

Mereka sebetulnya khawatir jika teori hermeneutika diterapkan, monopoli mereka terhadap penafsiran Qur'an akan tergerogoti. Mereka ingin "mengunci" Qur'an dalam tafsiran tertentu. Semangat yang mendasari para pengkritik hermeneutika ini persis dengan semangat gereja Vatikan dulu yang anti perubahan. Cara paling ampuh dan "cespleng" bagi kaum konservatif di mana-mana adalah dengan mengesankan seolah-olah Kitab Suci hanya memiliki satu "suara" saja, yaitu suara mereka sendiri. Jika ada yang menggugat suara mereka itu, langsung keluar tuduhan bahwa hal itu bertentangan dengan Qur'an.

Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ali, Qur'an adalah "hammalun dzu wujuh", kitab suci yang mengandung banyak kemungkinan tafsir. Para pengkritik hermeneutika biasanya akan mengatakan bahwa memang benar Qur'an mengandung keragaman tafsir. Tetapi keragaman itu harus dibatasi oleh kaidah dan batas-batas tertentu. Pertanyaan saya: batas-batas itu siapa yang menentukan? Dan apa yang disebut batas-batas penafsiran? Bukankah batas-batas itu sebetulnya alat saja di tangan kaum "ortodoks" untuk memonopoli tafsir?

Jadi, apakah hermeneutika bisa dipinjam dalam memahami Qur'an?

Pertanyaan ini sebetulnya merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih besar lagi: apakah metode penafsiran Qur'an bisa terus dikembangkan? Jawabannya tentu ya. Sejarah penafsiran Qur'an sendiri memperlihatkan perkembangan metode tafsir yang sangat kaya. Kalangan yang mengkritik hermeneutika sebetulnya menyukai metode tafsir baru yang tak ada dalam sejarah penafsiran klasik, yaitu al-tafsir al-'ilmi, atau tafsir saintifik yang biasanya berisi usaha mencocok-cocokkan ayat-ayat Qur'an dengan penemuan sains modern. Mereka tak pernah keberatan dengan metode "baru" ini, karena dengan demikian akan tampak bahwa Qur'an telah mendahului ilmu pengetahuan modern. Bagaimana mereka bisa menerima metode tafsir baru seperti ini seraya menolak metode baru lainnya, yaitu hermeneutika? Apakah kriteria yang mereka pakai untuk menerima yang satu dan menolak yang lain?

Kita menjumpai sejumlah inkonsistensi dalam cara berpikir para pengkritik hermeneutika itu. Sikap dasar mereka sebetulnya jelas: konservatisme dan ingin memonopoli Qur'an sebagai hak tunggal mereka. Qur'an harus dipahami dengan cara tertentu. Itulah motif pokok penolakan mereka.

Dengan kata lain, penolakan ini adalah bagian dari cara kerja ortodoksi Islam untuk melindungi kekuasan tafsirnya sendiri. Akibat praktis dari mindset seperti ini, seperti kita tahu, adalah gejala mudahnya kelompok ortodoks Islam menyesatkan paham atau golongan yang dianggap berlawanan dengan tafsiran mereka.

Hermeneutika sebagai metode tafsir tidak seharusnya diperlawankan dengan tafsir. Tentu tidak semua hal dalam teori hermeneutika bisa diterapkan dalam Qur'an. Sebagaimana setiap bentuk "apropriasi" metode, selalu dibutuhkan usaha pempribumian, sebagaimana para filsuf Islam dulu melakukan pribumisasi atas filsafat Yunani. Semangat positif yang hendak dikumandangkan oleh hermeneutika adalah ajakan untuk menyambut keragaman tafsir dengan dada terbuka, bukan dengan muka yang bersungut-sungut dan cemberut.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.