Tuesday, January 29, 2008

Di Manakah Akhlak Kalian, Wahai Umat Islam?

Ruzbihan Hamazani

1.

Nabi Muhammad datang kepada masyarakat Arab dengan suatu misi penting, yaitu menyempurnakan akhlak, menegakkan kembali kehidupan yang diatur dengan norma dan etika. Itulah pengertian yang kita tangkap dari ucapan Nabi, "bu'ithtu li utammima makarim al-akhlaq". Arti hadis itu adalah, aku (Nabi Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak. Menegakkan kehidupan yang etis, dengan demikian, merupakan fondasi agama Islam.

Dan inilah yang tergambar dalam sejumlah hadis Nabi yang terkenal. Nabi, misalnya, pernah berujar, bahwa barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus menghormati tetangganya. Dalam hadis lain dikatakan, harus menghormati tamu. Nabi juga pernah mengatakan bahwa barangsiapa beriman, maka hendaklah ia berkata yang baik, atau, kalau tak bisa, diam saja (fal yaqul khairan aw li-yashmut). Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa barangsiapa kenyang sementara tetangganya menderita kelaparan, maka ia tak bisa disebut sebagai seorang beriman. Nabi juga pernah berkata dalam sebuah hadis terkenal: al-muslimu man salima akhuhu min yadihi aw min lisanihi (aw kama qal). Artinya: seorang disebut Muslim jika saudaranya terhindarkan dari hal-hal yang menyakitkan yang datang dari mulut dan tangannya. Dengan kata lain, seseorang tak dapat disebut Muslim jika menyakiti saudaranya, entah dengan kata-kata atau dengan tindakan.

Sebuah hadis lain yang menerangkan tentang cabang-cabang iman (shu'ab al-iman) menarik pula untuk kita simak di sini. Dalam hadis itu dikatakan bahwa iman memiliki tujuh puluh sekian cabang. Cabang paling tinggi adalah pengakuan tentang katauhidan dan kerasulan yang dicerminkan dalam kredo dua shahadat. Cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan "gangguan" (al-adza) dari tengah jalan. Dengan kata lain, jika kita melihat sebuah paku tergeletak di tengah jalan lalu, tergerak oleh rasa khawatir bahwa paku itu bisa mencelakakan seorang pelintas jalan, kita menyingkirkannya, maka tindakan itu adalah salah satu cabang dari iman. Dengan kata lain pula, iman bukan sekedar deklarasi verbal dalam mulut, tetapi juga tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Iman yang benar akan membawa manfaat bagi kehidupan sosial. Iman yang benar akan mengubah cara hidup seseorang, dari kehidupan yang brengsek, amoral, dan mencelakakan orang lain, menjadi kehidupan yang bermartabat, etis, dan membawa rasa aman bagi orang lain. Dalam Qur'an digambarkan bahwa iman yang baik, bermutu, dan kuat adalah seperti pepohonan yang memiliki mutu biji yang baik sehingga berkembang menjadi pohon besar, tinggi menjulang ke langit, rindang, dan membawa buah yang bermanfaat bagi orang banyak (QS 14:24-25). Iman yang benar akan terlihat dari buahnya. Jika buah itu membawa manfaat bagi masyarakat luas, maka iman itu dapat kita pastikan sebagai iman yang benar. Tak heran jika Islam mengumandangkan kerasulan Muhammad sebagai suatu misi yang membawa rahmat bagi seluruh manusia, bukan saja bagi manusia Muslim, tetapi juga non-Muslim (QS 21:107).

Puncak dari sebuah orde etis atau tatanan bermoral yang diajarkan oleh Nabi adalah sebuah hadis yang terkenal: man yu'min bi al-Lahi wa al-yaum al-akhiri fal-yuhibba li akhihi ma yuhibbu linafsihi. Arti hadis itu: barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berbuat kepada temannya sesuatu yang ia suka temannya itu perbuat pada dia. Etika ini, sebagaimana kita tahu, terdapat dalam Injil, juga dalam kata-kata bijak yang sudah ribuan tahun lalu pernah dikatakan oleh seorang bijak dari Cina, Confucius. Ajaran etis yang dikenalkan Islam adalah meneruskan hal serupa yang sudah pernah diajarkan oleh agama-agama besar sebelumnya. Inti ajaran itu adalah sederhana: kalau anda tak mau disakiti, jangan menyakiti orang lain. Atau, jika mau dikatakan dalam bentuk yang positif: jika anda suka teman anda berbuat sesuatu kepada anda, maka perbuatlah hal yang sama kepada teman anda itu.

Kehidupan yang etis sebagaimana diajarkan oleh Islam dan ajaran agama-agama besar yang lain berdiri atas suatu fondasi yang sangat sederhana tetapi sangat penting, yakni prinsip resiprokalitas atau tindakan saling memberikan respon yang positif. Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan lain-lain dikenal dengan pernyataan mereka bahwa manusia adalah "madaniyyun bi al-thab'", manusia secara natural adalah bersifat "madani". Apa yang dimaksud dengan "madani" di sana? Pengertian madani di sini adalah kehidupan "kota" yang dicirikan dengan etos-etos seperti saling menolong, kerjasama, gotong-royong, dan tunduk kepada aturan atau otoritas hukum yang disepakati atau ditunduki bersama. Kebalikan dari "madani" adalah kehidupan "barbar" atau liar yang sama sekali tak diatur oleh hukum, sehingga masing-masing orang atau kelompok dapat menyakiti, mencelakai, dan menyerang orang atau kelompok lain. Dengan kata lain, kehidupan yang tanpa otoritas, tanpa aturan, tanpa "sunnah", tanpa norma etis, tanpa etos saling tolong-menolong, sebagaimana digambarkan oleh kata-kata terkenal dari Thomas Hobbes dalam risalahnya yang masyhur, Leviathan, yakni: bellum omnium contra omnes. Kalimat dalam bahasa Latin itu artinya adalah, perang semua lawan semua. Itulah kehidupan barbar yang merupakan lawan dari kehidupan "etis" yang mencirikan suatu tatanan yang disebut dengan "madani" sebagaimana dimengerti oleh para filsuf Muslim.

Dengan kata lain, ciri khas kehidupan etis dalam masyarakat madani adalah resiprokalitas, bukan permusuhan semua lawan semua. Suatu kehidupan yang ditandai oleh resipkrokalitas mengandaikan bahwa masing-masing pihak saling menghargai yang lain, tidak merasa benar sendiri. Seseorang sudah tentu tidak suka terlibat dalam sebuah percakapan di mana pihak yang lain merasa paling benar sendiri, sehingga tak menerima pendapat pihak yang satunya. Begitu pula, jika seorang Muslim, Kristen, Hindu, Budha atau pemeluk agama-agama lain terlibat dalam sebuah kehidupan sosial di mana masing-masing pihak merasa paling benar, maka sudah pasti akan muncul suasana pergaulan yang kurang menyenangkan. Alasannya sangat jelas: dalam kehidupan semacam itu, etos resiprokalitas hilang sama sekali. Jika satu pihak merasa menang sendiri, benar sendiri, lurus sendiri, maka pihak lain akan merasa "minder" dan "inferior", atau sekurang-kurangnya orang bersangkutan akan menganggap pihak yang lain demikian. Inferioritas membuat timbangan kehidupan sosial menjadi "njomplang", tak seimbang, kehilangan equilibrium.

Hadis Nabi di atas dengan baik menggambarkan bahwa kehidupan sosial yang ideal adalah kehidupan yang bersifat resiprokal, di mana masing-masing pihak memperlakukan pihak yang lain dengan cara yang terhormat. Itulah dasar dari kehidupan "madani", kehidupan yang berlandaskan pada etos saling menghargai. Dalam semangat ini pula, kita bisa membaca sebuah ayat dalam Qur'an, "wa la talmizu anfusakum wa la tanabazu bi al-alqab" (QS 49:11). Artinya: janganlah kalian saling mengejek dan bertukar sebutan jelek.

2.

Apa yang saya sebutkan di atas adalah ajaran-ajaran ideal yang dibawa oleh Islam. Sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lain, memenuhi standar kehidupan etis tidak lah mudah dilaksanakan oleh umat Islam. Dalam contoh-contoh kehidupan empiris, cita ideal Islam itu seringkali dicederai. Umat Islam, dalam banyak kasus, gagal memenuhi tuntutan Qur'ani untuk hidup secara etis itu. Yang lebih celaka adalah bahwa tuntutan untuk hidup secara etis ini dianggap tak penting karena ada satu dua ayat dalam Qur'an yang (dalam pemahaman mereka) menuntut untuk berbuat lain.

Salah satu contoh sederhana yang sering kita lihat dalam praktek umat Islam akhir-akhir ini adalah mudahnya sekelompok umat Islam untuk memaki, mengejek, menyebut dengan sebutan jelek, meng-insinuasi kelompok lain yang dianggap memiliki pendapat sesat. Saya seringkali membaca artikel atau mendengar ceramah/khutbah di mana teman-teman Muslim yang memperjuangkan ide pluralisme, misalnya, diejek sebagai kaum "SEPILIS". Kata itu adalah singkatan yang dengan sengaja dibuat oleh sebagian kelompok Islam untuk mengejek dan menyindir para pejuang ide-ide pluralisme. SEPILIS adalah singkatan dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Sekelompok umat itu juga gemar memlintir singkatan organisasi Islam lain yang mereka tak sukai dengan cara-cara yang sama sekali berlawanan dengan adab dan tata-krama dalam Islam. Mereka juga gemar menyebut kelompok Islam lain sebagai "antek Yahudi", "agen CIA", dan seterusnya. Ini semua dilakukan, anehnya, dengan pretensi untuk membela dan memperjuangkan Islam.

Jika anda masuk ke milis-milis yang biasa mendiskusikan isu-isu Islam, janganlah kaget jika anda bertemu dengan komentar yang berisi insinuasi vulgar, ejekan, sindiran, bahkan makian terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat. Larangan Qur'an untuk bertukar sebutan jelek (wa la tanabazu bi al-alqab) seperti mereka abaikan sama sekali. Dengan gampang sekali sejumlah kelompok dalam Islam mengejek kelompok lain karena dianggap pandangannya sesat.

Ini semua membuat kita bertanya-tanya dalam hati: apakah ajaran Islam, sebagaimana tertuang entah dalam Qur'an atau hadis, tentang hidup etis, saling menghormati teman dan tetangga, saling tak menyakiti dan mencelakai, hanya relevan bagi sesama Muslim yang sependapat? Apakah ajaran itu boleh dilanggar jika kita berhadapan dengan "Muslim" lain yang dianggap sesat? Dengan kata lain, apakah ajaran etis Islam hanya berlaku bagi sesama Muslim? Apakah dengan demikian Islam membolehkan kita memaki dan menyakiti umat Kristen karena mereka memeluk ajaran yang menurut umat Islam sesat? Apakah dengan demikian kita boleh menyerang, merusak, dan memukul mereka yang kita anggap sesat, seolah-olah mereka bukanlah "manusia yang bermartabat"?

Jika benar ini adalah pemahaman mereka yang gemar memakai kata-kata buruk terhadap lawan-lawan diskusi, padahal mereka adalah sesama Muslim, maka kita menjadi tahu, betapa merosotnya umat Islam saat ini dalam memahami ajaran etis Islam.

Saya, sebagai Muslim, percaya bahwa ajaran etis Islam berlaku universal. Etika tentang larangan saling menyakiti dan anjuran untuk saling menghormati berlaku bagi siapapun, tak peduli agama dan kepercayaan dia. Jika kita menganggap bahwa yang dilayak diperlakukan dengan terhormat hanyalah sesama Muslim yang sependapat dengan kita, maka Islam, dengan pemahaman seperti itu, akan menjadi olok-olok dunia. Sebab Islam dalam "versi" semacam itu tak layak menjadi agama universal yang membawa perdamaian dunia.

Tantangan umat Islam saat ini adalah menegaskan kembali komitmen yang konsisten pada ajaran etis Islam seperti disebut di atas. Kegagalan melakukan tugas ini akan berarti kegagalan umat Islam memperlihatkan kepada dunia luar tentang universalitas etika Islam, sekaligus kegagalan kleim Qur'an bahwa Islam membawa rahmat bagi seluruh dunia. Alih-alih membawa rahmat, Islam dan umat Islam akan diejek sebagai agama dan umat yang membawa musibah bagi dunia.

Inikah nasib Islam yang dikehendaki oleh umat Islam saat ini?

Jika umat Islam tak mampu mengubah sikap-sikap mereka sendiri dan hidup sesuai dengan cita-cita etis Islam, maka janganlah melolong, marah, protes kiri-kanan karena bangsa lain menuduh umat Islam sebagai umat yang menggemari kekerasan, intoleran, eksklusif, dan sama sekali tak bisa menhormati pihak lain. Tuduhan dari bangsa lain di luar Islam hanyalah cerminan dari keadaan dalam tubuh umat Islam sendiri. Peribahasa Melayu mengatakan, janganlah karena buruk muka, cermin ditepuk. Qur'an sendiri menegaskan, "inna 'l-Laha la yughayyiru ma bi qawmin hatta yughayyiru ma bi anfusihim." (QS 13:11) Artinya: Allah tak akan mengubah nasib suatu bangsa jika mereka tak mengubah keadaan mereka sendiri.

Kalau wajah umat Islam jelek, tentu mereka tak boleh merusak cermin. Kalau mau tampak ganteng dan baik, perbaikilah dulu "muka" sendiri. Dengan kata lain, umat Islam haruslah otokritik, ketimbang menuduh pihak lain sebagai biang masalah.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

No comments: