Saturday, February 2, 2008

Toleransi Internal Lebih Sulit Ketimbang Toleransi Eksternal

Ruzbihan Hamazani

Tolerani internal ternyata lebih susah dilaksanakan ketimbang tolernasi eksternal. Inilah gejala yang bisa kita lihat sekurang-kurangnya dalam konteks umat Islam saat ini. Umat Islam, pada umumnya, cenderung lebih mudah menerima keberadaan kelompok-kelompok lain yang jelas-jelas berbeda agama ketimbang kelompok-kelompok dalam Islam sendiri tetapi beda sudut pandang, mazhab atau sekte. Tokoh-tokoh Islam, terutama dari kalangan ormas yang biasa menyebut diri sebagai moderat, lebih mudah berdialog dengan kalangan Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha, tetapi mereka sulit sekali bisa menerima kelompok-kelompok dalam Islam sendiri yang mereka anggap sesat seperti Ahmadiyah, misalnya.

Perseteruan intragama kadang-kadang juga jauh lebih keras ketimbang permusuhan antaragama. Ini bisa kita lihat dalam banyak kasus. Waktu awa berdirinya Muhammadiyah pada pemulaan abad 20, misalnya, tentangan yang dilancarkan oleh kalangan NU terhadap organisasi kaum Muslim "modernis" itu sangat keras sekali. Permusuhan antara kedua ormas itu begitu mendalam dan bertahan lama, seolah-olah mereka bukan berasal dari agama yang sama. Ini bisa kita lihat pula dalam permusuhan yang berkepanjagan antara kelompok yang menyebut dirinya "salafi" dengan kalangan Ikhwanul Muslimin. Perseteruan yang bermula dari Timur Tengah itu terbawa pula ke Indonesia. Kaum "salafi" kerap mengejek orang-orang yang mereka sebut sebagai "sururi" atau "hizbi", yakni kalangan yang seolah-olah salafi tatpi "mind-set" atau gaya berpikirnya masih dipengaruhi oleh cara berpikir Ikhwanul Muslimin. Kalau kita membaca literatur dan ceramah-ceramah kalangan salafi, kita akan tahu betapa mendarah-dagingnya permusuhan mereka terhadap kelompok Ikhwan. Kebencian mereka terhadap ulama Ikhwan seperti Yusuf Qardawi, misalnya, jauh lebih mengerikan ketimbang kebencian mereka pada tokoh-tokoh di luar Islam.

Terakhir, kita melihat permusuhan yang hebat antara kalangan Islam "arus utama" dan kalangan Ahmadiyah. Permusuhan ini bahkan melibatkan lembaga negara seperti Departemen Agama, sesuatu yang tak mestinya terjadi. Depag, sebagai lembaga publik, mestinya bersikap netral dan mengayomi semua pihak, bukan malah mendukung "fatwa diskriminatif" yang dikeluarkan oleh MUI mengenai sesatnya Ahmadiyah. Bagi kalangan Islam pada umumnya, Ahmadiyah dianggap jauh lebih berbahaya ketimbang agama lain seperti Kristen. Cara berpikir mereka sangat menarik kita amati. Logika yang bekerja di sini adalah bahwa sekte-sekte menyimpang seperti Ahmadiyah sangat berbahaya karena mereka memakai simbol dan nama Islam, sehingga bisa menipu kalangan awam. Sementara Kristen dan agama-agama lain di luar Islam tidak terlalu berbahaya sebab mereka jelas-jelas berada di luar Islam dan mudah dikenali. Karena itu, mereka dengan gigih sekali memaksa kalangan Ahmadiyah "keluar" dari Islam, mendirikan agama sendiri secara terpisah, ketimbang berada dalam Islam tetapi menipu banyak orang. Dengan kata lain, mereka memandang bahwa kelompok seperti Ahmadiyah adalah semacam "musang berbulu ayam". Kelompok semacam ini, bagi mereka, jauh lebih berbahaya ketimbang "musang biasa" yang jelas-jelas bisa dikenali.

Hal semacam ini juga terjadi dalam konteks agama lain. Dalam Kristen, misalnya, permusuhan antar denominasi dan sekte jauh lebih keras ketimbang permusuhan yang mereka tunjukkan terhadap agama-agama di luar Kristen. Dalam Kristen, dikenal istilah "heretik". Kata itu berasal dari bahasa Yunani "heiresis" yang berarti pilihan atau memilih. Heretik adalah orang atau kelompok yang memilih untuk menganut pandangan mereka sendiri, berlawanan dengan pandangan resmi yang dianut oleh gereja, terutama gereja Katolik. Seseorang disebut sebagai "heretik" jika dia menganut suatu pandangan yang bertentangan dengan pandangan resmi kaum ortodoks. Kaum heretik bukanlah orang-orang yang berbeda agama. Mereka adalah orang Kristen juga, hanya saja menganut pandangan yang berbeda, sehingga, memakai bahasa MUI, dianggap "sesat". Demikianlah, dalam sejarah agama Katolik, kita melihat persekusi dan pemberangusan terhadap kelompok dan orang-orang yang dianggap heretik. Hukuman bagi mereka sangat bervariasi, mulai dari yang sederhana seperti ekskomunikasi, yakni dikeluarkan dari jemaat atau komunitas, sampai hukuman mati dengan cara digantung dan dicekik (strangling) atau dibakar.

Bagi kalangan Islam arus utama, orang-orang yang berpikiran berbeda dan berseberangan dengan akidah atau doktrin yang dianut oleh lembaga ortodoks juga dianggap sebagai orang "murtad", sesat, atau, jika memakai istilah Katolik, "heretik". Mereka lebih benci dan memusuhi kaum heretik semacam ini ketimbang kalangan yang datang dari luar Islam sama sekali.

Melihat kenyataan-kenyataan semacam ini, tampaknya usaha menegakkan toleransi internal jauh lebih penting diupayakan ketimbang toleransi eksternal. Tentu dua hal itu layak dikerjakan secara serentak, tetapi upaya membangun toleransi antar kelompok-kelompok dalam Islam sendiri jauh lebih urgen saat ini. Dialog intraagama juga jauh lebih penting diupayakan ketimbang dialog antaragama. Selama ini, kalangan Islam "moderat" sudah sering mengadakan dialog antara Islam dan Kristen, misalnya. Tetapi dialog antara kelompok-kelompok dalam Islam sendiri masih jarang dilakukan secara sadar dan sistematis. MUI selama ini memang berusaha menampung kalangan Islam yang sering disebut sebagai "garis geras" dengan tujuan agar mereka tidak mengalami marginalisasi terus-menerus.

Demikianlah, MUI, misalnya, berusaha merangkul kelompok-kelompok seperti FPI, Hizbut Tahrir, MMI, dlll. Tetapi anehnya, sikap serupa tidak dipertunjukkan MUI terhadap kelompok-kelompok yang selama ini disebut dengan kalangan "liberal" atau "progresif". MUI juga tidak menujukkan sikap yang sama terhadap kalangan "non-arus utama" seperti Syi'ah. Dalam hal ini, MUI jelas mempraktekkan sikap "partisanship" atau memihak. Tentu kita tak keberatan MUI melakukan pemihakan semacam itu seandainya lembaga ini tidak diam-diam didukung oleh pemerintah. Kita keberatan terhadap sikap MUI yang "diskriminatif" seperti ini justru karena kita tahu bahwa lembaga ini didanai oleh pemerintah, melalui Departemen Agama, dan mendapatkan dukungan dari negara. Sehingga kita dapat menyebut bahwa MUI adalah lembaga semi-pemerintah. Sikap MUI yang memihak kepada Islam main-stream itu jelas tidak sehat dari sudut penegakan toleransi internal dalam tubuh umat Islam sendiri. Sebagai lembaga semi-negara, MUI seharusnya bersikap netral dan mengayomi semua pihak. Jika MUI mau tetap bertahan dengan sikapnya semacam ini, kita menghendaki lembaga itu disapih sepenuhnya dari dana pemerintah, dan berdiri penuh sebagai lembaga independen.

Toleransi ineternal dalam tubuh umat Islam sangat penting bukan saja bagi umat Islam sendiri, tetapi juga dari sudut konsolidasi kultur demokrasi di Indonesia secara keseluruhan. Karena umat Islam merupakan pihak mayoritas di Indonesia, keberhasilan mereka untuk memupuk kultur toleransi dalam tubuh mereka sendiri sangat penting maknanya bagi kehidupan toleransi antaragama secara umum di Indonesia. Tiada demokrasi yang mapan tanpa ada dukungan kultur tolernasi yang kokoh dalam masyarakat, sebab salah satu inti demokrasi adalah kesediaan untuk mengakomodasi keragaman dalam masyarakat. Kultur toleransi itu tak akan dengan kokoh tertanam dalam masyarakat jika umat Islam sendiri tidak memberikan sokongan yang "genuine" dan penuh semangat. Jika yang berkembang dalam umat Islam adalah "budaya eksklusi" yakni mudah menolak mereka yang dianggap berbeda seperti ditunjukkan oleh MUI dan didukung oleh banyak ormas Islam selama ini, maka kita khawatir ini akan menjadi halangan yang serius bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

No comments: