Wednesday, February 13, 2008

Hirarki Ilmu dalam Pandangan al-Ghazali dan Relevansinya Saat Ini

Ruzbihan Hamazani

Esei pendek ini akan mencoba melihat hirarki ilmu dalam pandangan al-Ghazali, seorang sarjana besar Islam yang hidup pada abad 12 Masehi. Sumber utama tulisan ini adalah bagian pembukaan dalam karya al-Ghazali yang sangat terkenal, "Al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushul", sebuah rujukan penting dalam kajian ushul fiqh, yakni teori hukum Islam. Karya al-Ghazali ini cukup menarik karena pada bab pembuka memuat suatu ulasan panjang lebar mengenai logika dan teori kebenaran atau teori pengetahuan (epistemologi). Bagi mereka yang tertarik dengan kajian tentang teori pengetahuan atau epistemologi Islam, karya ini adalah salah satu rujukan yang tak bisa diabaikan.

Dalam tulisan ini, saya memakai edisi Muhammad Abd al-Salam Abd al-Syafi yang diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-'Ilmiyya, Lebanon, 1993. Bagian yang menarik perhatian saya adalah "khuthbat al-kitab" atau pembukaan (hal. 3-4).

Dalam bagian itu, al-Ghazali mengemukakan bahwa ada tiga jenis ilmu. Pertama, ilmu rasional murni ('aqli mahdh). Contoh yang diberikan al-Ghazali adalah sbb: aritmetika (al-hisab), geometri (al-handasa), dan astrologi (al-nujum). Ilmu-ilmu rasional ini, menurut al-Ghazali, tidak dianjurkan oleh agama untuk dipelajari. Alasan yang ia kemukakan sangat menarik: ilmu-ilmu tersebut tidak seluruhnya benar; sebagian mengandung kebenaran, dan sebagian lagi hanyalah dugaan-dugaan atau spekulasi yang tak berdasar. Meski mengandung kebenaran, ilmu-ilmu itu, menurut al-Ghazali, tetap tiada guna karena hanya berurusan dengan kehidupan duniawi yang fana. Ilmu yang sungguh-sungguh berguna, bagi al-Ghazali, adalah yang berurusan dengan persiapan untuk menghadapi kehidupan di akhirat kelak, kehidupan yang kekal.

Kedua, adalah ilmu-ilmu tradisional atau ilmu naqli. Kata "naqli" secara harafiah berarti sesuatu yang didengar atau dinukil dari sumber terdahulu. Contoh ilmu semacam ini adalah ilmu hadis dan tafsir. Tentu yang dimaksud oleh al-Ghazali di sini adalah genre tafsir yang dikenal dengan tafsir bi al-ma'thur, yakni tafsir yang didasarkan pada hadis, pendapat para sahabat atau tabi'in. Ilmu-ilmu ini disebut sebagai "naqli" karena didasarkan pada riwayat atau pendapat otoritas terdahulu. Meskipun ada peran akal di sana, tapi sangatlah minimal. Menurut al-Ghazali, ilmu naqli boleh dianggap sebagai ilmu yang mudah (wa al-khathbu fi amthaliha yasir), sebab orang muda atau tua dapat menguasainya dengan gampang asal memiliki kekuatan ingatan atau memori (quwwat al-hifz) yang baik. Ilmu-ilmu naqli semacam hadis itu tak membutuhkan penalaran yang mendalam, sebab modal utamanya hanyalah "ingatan" yang kuat.

Ketiga adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan tradisi, antara penalaran dan riwayat. Ilmu semacam ini paling tinggi statusnya dalam pandangan al-Ghazali, sebab di sana akal dan wahyu bekerja secara serentak. Saya ingin menyebut ilmu semacam ini sebagai "aqnali" atau "al-'ulum al-'aqnaliyyah", yakni ilmu yang mengawinkan antara "naql" atau riwayat dan "'aql" atau akal sekaligus. Contoh ilmu semacam ini antara lain adalah ushul fiqh, yakni ilmu yang mengulas cara-cara untuk menderivasi hukum dari dalil-dalil agama yang bersifat umum. Ilmu ushul fiqh disebut sebagai ilmu "aqnali" sebab di sana akal tidak berjalan sendirian, begitu pula wahyu atau tradisi tidak merupakan sumber utama. Baik wahyu dan akal bekerja secara bersama-sama. Karena itu, ushul fiqh adalah ilmu yang statusnya lebih tinggi dan mulia ketimbang ilmu hadis atau tafsir.

Al-Ghazali mengemukakan argumen tambahan untuk mendukung pendapatnya tentang keunggulan ilmu aqnali. Yakni, bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak dilandaskan pada taqlid semata yang menjadi ciri utama ilmu naqli, begitu pula ia tidak bersandar pada akal murni. Taklid atau meniru secara membabi buta ditolak oleh akal, sementara itu berpegangan pada akal semata juga tidak dapat dibenarkan oleh agama. Ilmu yang unggul adalah yang berdiri di tengah-tengah antara akal dan wahyu.

Hirarki atau tingkatan ilmu menurut al-Ghazali tampaknya mengikuti urut-urutan sebagai berikut. Pada tingkat paling atas adalah ilmu-ilmu "'aqnaliyyah" (baca: 'aqliyyah dan naqliyyah sekaligus), disusul oleh ilmu-ilmu naqliyyah, dan terakhir ilmu-ilmu 'aqliyyah.

Relevansi

Apa relevansi pandangan al-Ghazali mengenai hirarki ilmu ini dalam konteks kita saat ini, terutama bagi umat Islam di Indonesia yang hidup di awal abad 21?

Tentu tidak seluruh pendapat al-Ghazali di atas tepat. Pandangannya bahwa ilmu-ilmu rasional mengandung unsur-unsur spekulasi tidak seluruhnya bisa diterima. Jika yang dimaksud di sana adalah ilmu astrologi, mungkin ia benar. Meskipun agak aneh bahwa al-Ghazali memasukkan astrologi dalam kategori ilmu di sini, walaupun hal ini bisa dimaklumi dalam konteks di mana ia hidup. Mungkin pada kitaran abad-abad 12, astrologi masih dianggap memiliki reputasi sebagai ilmu yang terhormat. Di era modern, astrologi jelas tidak lagi dianggap sebagai ilmu yang serius, selain sebagai "khurafat" atau superstisi yang layak diabaikan. Dengan demikian, jika yang ia maksudkan sebagai ilmu yang mengandung spekulasi tak berdasar adalah astrologi, maka al-Ghazali jelas benar dalam hal ini.

Yang layak kita perhatikan adalah pendapat al-Ghazali yang menempatkan ilmu-ilmu 'aqnaliyyah pada kedudukan paling atas, mengungguli ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu tradisional seperti hadis. Dan lebih menarik lagi jika kita telaah alasan-alasan yang ia kemukakan. Dibaca dalam konteks sejarah umat Islam pada permulaan abad 21, pandangan al-Ghazali ini bisa menjadi semacam kritik terhadap sejumlah golongan dalam Islam saat ini:

(1) Kritik terhadap orang-orang yang menyebut dirinya sebagai kaum "salafi" yang menempatkan hadis sebagai ilmu paling utama. Kaum salafi menganggap bahwa ilmu hadis mencukupi kebutuhan pokok umat Islam dalam beragama. Jika mereka menjumpai sebuah hadis yang dianggap sahih atau valid, maka mereka langsung menjadikannya sebagai pegangan. Dibaca dalam konteks hirarki pengetahuan a la al-Ghazali di atas, pandangan kaum salafi semacam ini jelas sangat tidak tepat. Hadis semata tidak mencukupi. Suatu hadis, walau sahih/valid dari segi transmisi atau sanad, membutuhkan penalaran lebih jauh sebelum dijadikan sebagai pegangan.

Contoh sederhana adalah sebuah hadis terkenal yang memerintahkan untuk memanjangkan jenggot. Dalam sebuah hadis, Nabi menegaskan, "A'fu al-liha wa qasshu al-sharib," panjangkan jenggot dan potonglah kumis. Secara harafiah, hadis ini merupakan perintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis. Pertanyaannya: Apakah hadis ini semata cukup dijadikan landasan untuk mengharamkan cukur jenggot, seperti dipraktekkan oleh kelompok Taliban sat berkuasa di Afghanistan dulu, tanpa penalaran lebih jauh? Jawaban yang akan diberikan oleh al-Ghazali tentu jelas: tidak cukup! Hadis itu jelas harus dinalar lebih jauh.

Dalam konteks ini, kita harus membaca lagi dengan lebih kritis penegasan terkenal dari Imam Shafi'i, "iza shahha al-hadith fa huwa mazhabi," jika sebuah hadis terbukti sahih (dari segi sanad atau transmisinya?), maka pendapatku akan mengikuti hadis tersebut. Pendapat Imam Shafi'i ini jelas bias atau pro kelompok tradisional atau ahl al-hadith. Pandangan ini berbeda jauh dengan al-Ghazali yang berdiri di tengah-tengah, tidak condong terlalu jauh pada kelompok hadis, juga tak berlebihan membela kaum rasionalis. Dengan seluruh respek kita pada Imam Shaf'i sebagai pendiri mazhab fiqh yang menyandang namanya itu, tampaknya pendapat al-Ghazali jauh lebih masuk akal di sini.

(2) Kritik terhadap praktek taqlid, tanpa penalaran. Taqlid atau meniru orang-orang terdahulu tanpa dilandasi oleh pemahaman dan penalaran yang memadai jelas tidak dibenarkan baik oleh akal atau agama. Dalam Qur'an sendiri kita jumpai banyak sekali kritik terhadap kebiasaan masyarakat Arab yang taqlid buta terhadap tradisi leluhur mereka sehingga menolak dakwah yang dibawa oleh Nabi Muhammad atau nabi-nabi terdahulu (baca misalnya QS 5:104, 7:28, 31:21, 43:22, 23). Kritik semacam ini jelas tidak hanya berlaku untuk masyarakat Arab pada saat itu, tetapi juga umat Islam secara umum saat ini yang tampaknya sudah terjerembab kembali dalam praktek taqlid, termasuk mereka yang selama ini menggembar-gemborkan sikap anti-taqlid. Saya tak usah menyebut kelompok mana yang berperangai seperti itu.

(3) Kritik terakhir tentu terarah pada kelompok yang semata-mata memakai akal dengan mengabaikan wahyu. Dengan kata lain, mereka yang meninggalkan sama sekali agama dan wahyu, dan melulu berpegangan pada rasio manusia. Ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal manusia murni, seperti sains modern misalnya, mungkin berguna untuk memudahkan kehidupan manusia saat ini, tetapi kurang terlalu membantu dalam memberikan panduan untuk hidup secara bermoral. Sebagaimana dengan cukup baik dikemukakan oleh sosiolog modern Max Weber, ilmu-ilmu kealaman yang umumnya berlandaskan pada rasio murni (tentu melibatkan observasi empiris) hanya bersinggungan dengan pertanyaan pokok "what is" atau "apa yang secara empiris terjadi", tetapi tak menjawab "what ought to be" atau "apa yang seharusnya terjadi". Dengan kata lain, sains modern hanya bekerja pada wilayah fakta, bukan memberikan preskripsi moral.

Tentu ini semua tidak dikatakan secara eksplisit oleh al-Ghazali. Saya hanya mencoba menarik relevansi dari pendapatnya mengenai hirarki ilmu. Tentu kita layak belajar dari pendapat sarjana besar Islam klasik ini. Saya harus tegaskan: belajar, bukan taqlid.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

1 comment:

Anonymous said...

Semoga Bapak selalu dikaruniai nikmat sehat selalu oleh Alloh SWT
Tulisan2 Bapak sangat menyegarkan dan mencerahkan, saya merasa sejuk dan nyaman membacanya, amin

Terus terang saya sangat setuju dengan semua pandangan Bapak..

Salam