Monday, February 11, 2008

Pada Dasarnya, Islam Adalah Agama yang Mudah: Catatan Pendek Akhir Minggu

Ruzbihan Hamazani

Apakah untuk menjadi Muslim seseorang harus serta menjadi anggota golongan ini atau itu? Apakah untuk menjadi Muslim ia harus percaya pada fatwa lembaga ini atau itu? Apakah untuk menjadi Muslim ia harus menjadi anggota partai A atau B? Apakah untuk menjadi Muslim ia harus mengkafirkan golongan ini atau itu? Adakah standar minimal untuk menjadi seorang Muslim yang baik?

Saat ini kita melihat begitu banyak golongan Islam bermunculan di mana-mana, begitu pula partai-partai yang mengatasnamakan Islam berserakan seperti sampah yang bertebaran di sudut-sudut kota Jakarta. Masing-masing kelompok merasa dirinya paling benar, dan menyalahkan, atau malah lebih jauh lagi mengafirkan golongan lain yang berbeda pendapat. Seorang Muslim awam, melihat keragaman kelompok dan golongan Islam yang menyerupai hutan belantara semacam itu, tentu akan kebingungan. Adakah cara sederhana untuk memahami Islam? Adakah "kompas" untuk menjadi panduan kita di tengah-tengah "lautan" keragaman ini?

Catatan pendek ini mencoba menjawab pertanyaan itu.

Islam pada dasarnya adalah agama yang sederhana, tidak ruwet dan membingungkan. Gara-gara umat Islam sendiri agama yang semula sederhana itu kemudian menjadi ruwet dan seperti makin dipersulit. Sebuah hadis yang terkenal menegaskan, "al-dinu yusrun". Artinya: agama itu mudah. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan, "yassiru wa la tu'assiru". Artinya: permudahlah, jangan kalian persulit. Sebuah ayat dalam Surah Al-Hajj menegaskan, "wa ma ja'ala 'alaikum fi al-din min haraj" (QS 22:78). Artinya: Tuhan tak akan menyebabkan kesulitan apapun dalam agama.

Semangat dasar dalam Islam adalah sangat jelas: membawa kemudahan bagi manusia, bukan menimbulkan kesulitan. Dalam praktek sehari-hari, yang kita lihat justru sebaliknya: umat Islam menciptakan kesulitan sendiri dalam agama, dengan mengadakan hal-hal yang sebetulnya tak ada dalam agama. Atau, dengan sejumlah tafsiran tertentu, mereka mencoba menarik-narik terlalu jauh sejumlah ajaran yang sederhana dalam Islam, sehingga akhirnya menjadi rumit.

Apa sebetulnya esensi dasar Islam itu? Pertanyaan yang sederhana tapi penting ini sering dilupakan banyak orang. Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita tengok ayat-ayat pertama dalam Surah Al-Baqarah sbb:

Dzalik al-kitab la raiba fih, Hudan li 'l-muttaqin.
Alladhina yu'minun bi 'l-ghaib wa yuqimun al-shalat wa min ma razaqnahum yunfiqun.
Wa 'l-ladhina yu'minun bi ma unzila ilaika wa ma unzila min qablik, wa bi 'l-akhirah hum yuqinun.
Ula'ika 'ala hudan min rabbihim wa ula'ika hum al-muflihun (QS 2:2-4).

Artinya dalam terjemahan bebas:

Ini adalah kitab (baca: Qur'an) yang benar, tiada keraguan mengenainya,
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Yaitu orang-orang yang beriman kepada hal-hal yang ghaib, melaksanakan salat, dan memberikan sebagian dari harta mereka.
Dan orang-orang yang beriman kepada kitab Qur'an yang diberikan kepada kamu (wahai Muhammad), dan kitab-kitab yang diberikan kepada nabi-nabi sebelum kamu.
Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Ayat-ayat itu, kalau kita "peras", akan memperlihatkan dengan baik esensi Islam. Ada tiga unsur utama dalam Islam. Pertama adalah percaya kepada hal-hal yang ghaib (al-ghaib). Kedua, percaya kepada "risalah" atau misi kenabian melalui mana kebenaran Tuhan disampaikan kepada umat manusia. Ketiga, melaksanakan ibadah, baik individual atau sosial.

Percaya pada hal-hal ghaib mencakup sejumlah hal, seperti percaya pada keberadaan Tuhan, malaikat, sorga dan neraka. Kita tak dituntut oleh agama untuk mencari tahu lebih jauh seperti apa Tuhan atau malaikat itu, seperti apakah sorga dan neraka itu. Maksud utama kita percaya pada hal-hal ghaib adalah untuk memberi-tahu kita bahwa kehidupan fisik bukanlah segala-galanya. Materialisme dan positivisme dalam pengertian bahwa segala-galanya berhenti pada dunia fisik ini, ditolak oleh agama. Pandangan hidup yang materialistis adalah sangat sempit sekali, reduksionistis. Islam dan agama-agama secara umum ingin memperluas cakupan pandang manusia sehingga melampaui kehidupan materi. Ada kehidupan lain yang melampaui kehidupan fisik ini. Percaya pada Tuhan pada dasarnya adalah percaya bahwa kehidupan fisik yang serba sementara ini mempunyai landasan yang absolut, yakni Tuhan yang Maha Adil, Tuhan yang hukum-hukumnya tak berubah, Tuhan yang Mengetahui segala hal, Tuhan yang serba penuh kasih sayang, tetapi juga menuntut keadilan.

Percaya pada sorga dan neraka bukan sekedar percaya akan adanya "kenikmatan" fisik di hari kelak, di mana orang-orang beriman akan menikmati puluhan bidadari molek dan minum arak yang lezat sebagaimana digambarkan dalam Qur'an selama ini. Penggambaran sorga yang serba fisik dan "jasadiah" itu hanya untuk memberi visualisasi pada orang-orang awam saja. Penggambaran semacam itu tak terlalu penting. Inti percaya pada sorga dan neraka adalah percaya pada prinsip keadilan Tuhan. Bahwa suatu hari, tindakan kita di dunia ini akan dimintai tanggung-jawab (hisab), dan masing-masing orang akan mendapatkan balasan yang setimpal. Tuhan tak akan membiarkan kezaliman berlalu begitu saja. Jika seseorang yang melakukan suatu kezaliman tak dapat dibalaskan dengan setimpal di dunia ini, maka di hari kelak nanti, Tuhan akan menjadi Hakim Agung yang akan mengadili orang itu. Tidak semua orang jahat atau despot/tiran di dunia ini mendapatkan hukuman atas ulah mereka. Banyak para tiran, koruptor, dan orang-orang jahat yang hidup mewah dan dimanjakan oleh hukum dunia. Orang-orang ini boleh saja "leha-leha" di dunia, tetapi di hari kelak nanti, mereka akan dihukum oleh Tuhan.

Dengan kata lain, percaya pada sorga dan neraka adalah bagian dari prinsip umum tentang keadilan Tuhan, atau keadilan per se.

Inti kedua dalam Islam adalah percaya pada "risalah" atau kerasulan. Manusia tentu tak bisa bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Ketentuan Tuhan hanya bisa disampaikan oleh suatu perantara, yaitu para rasul dan nabi. Umat Islam diharuskan untuk percaya kepada adanya rasul dan nabi, bukan hanya Nabi Muhammad saja, tetapi seluruh nabi yang pernah diutus oleh Tuhan ke dunia ini. Dalam Qur'an ditegaskan sbb: "wa ma min ummatin illa khala fiha nadhir" (QS 35:24). Artinya: tak ada suatu bangsa kecuali pada mereka pernah berlalu seorang pembawa peringatan (tentang kebenaran). Ayat ini dengan jelas sekali menegaskan bahwa Tuhan mengutus "juru terang" atau pengingat (nadhir) yang mengabarkan kebenaran kepada semua bangsa di dunia ini. Berdasarkan ayat ini, saya dengan penuh kemantapan hati percaya bahwa para orang-orang bijak dari Timur yang membawa agama Hindu, Budha, Konfusianisme, atau para filsuf Yunani yang membawa ajaran kebenaran, atau guru-guru bijak lain yang bertebaran di segala penjuru dunia yang tak pernah kita kenal namanya, adalah para utusan Tuhan. Oleh karena itu, seorang beriman sudah seharusnya belajar tentang kebenaran dari orang-orang bijak yang bertebaran di seluruh dunia itu. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Ali ibn Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi Muhammad sendiri, "al-hikmah dhallat al-mu'min, anna wajadaha akhadhaha". Artinya: ajaran kebijaksanaan adalah barang hilang milik orang beriman; di mana pun mereka menjumpainya, mereka sebaiknya segera memungutnya. Seorang Muslim tidak kehilangan keislamannya karena belajar kebenaran dari agama-agama lain. Justeru itulah yang diperintahkan oleh agama. Kebenaran adalah berasa dari sumber yang sama, yaitu Tuhan yang satu. Kita tak selayaknya menghindar dari kebenaran hanya gara-gara kebenaran itu berasal dari agama lain.

Inti Islam yang ketiga dan terakhir adalah ibadah. Ibadah ada dua hal, ibadah murni yang disebut dengan "ritual" atau 'ibadah mahdah, seperti salat, puasa, dan haji; dan ibadah yang bersifat sosial seperti berzakat, atau melaksanakan kontrak dan hubungan sosial yang fair dan adil. Ibadah yang bersifat ritual mempunyai aturan yang ketat, dan kita tak diperbolehkan menciptakan tata aturan ibadah sendiri yang menyimpang dari aturan yang sudah diajarkan oleh agama Islam. Misalnya, salat wajib atau fardhu hanyalah diselenggarakan lima kali sehari dengan tata aturan yang sudah pasti. Misalnya, salat Subuh dua raka'at, Lohor empat raka'at, Asar lima raka'at, Maghrib tiga raka'at, Isya' empat raka'at. Kita tak boleh melaksanakan salat subuh tiga raka'at, misalnya, kecuali jika kita lupa. Adapun salat harus memakai bahasa Arab atau tidak, itu perkara sekunder. Kita tak usah mempersulit diri dengan mengharuskan salat memakai bahasa Arab. Salat memakai bahasa Arab tentu sangat baik; tetapi jika seorang Jawa merasa lebih akrab berkomunikasi dengan Tuhan via salat dengan bahasa Jawa, tentu boleh-boleh saja. Kita tak usah membuat onar dengan mempersoalkan tindakan orang itu. Yang penting adalah kita melaksanakan salat dengan khusyu' dan ikhlas. Inti salat bukan di bahasa, tetapi di hati kita masing-masing. Banyak orang yang salat dengan memakai bahasa Arab dengan fasih sekali, tetapi hatinya "gentayangan" ke mana-mana. Nabi Muhammad memang salat dengan memakai bahasa Arab, tetapi itu suatu kebetulan saja karena beliau adalah orang Arab. Tentu tak adil jika kita mengharap Nabi salat dengan bahasa Sunda. Betul? Jika Nabi Muhammad muncul di tanah Parahyangan, sudah tentu beliau akan mengajarkan ibadah dalam bahasa Sunda. Jadi, kita tak usah mempersoalkan bahasa apa yang harus dipakai dalam ibadah. Ingat: al-dinu yusrun, agama adalah mudah dan kemudahan.

Ibadah ritual atau 'ibadah mahdhah dapat dianggap sah jika memenuhi dua syarat pokok: dari segi tata-aturan mengikuti tata-laksana yang sudah diajarkan oleh agama, dan dilaksanakan dengan ikhlas, alias hanya untuk Tuhan semata. Ibadah ritual mengajari kita untuk terus mengorientasikan diri pada sumber kehidupan, yakni Tuhan. Hidup yang bermakna adalah hidup yang didasari oleh tujuan yang jelas dan terus diorientasikan pada tujuan itu. Tujuan yang paling utama atau "ultimate" adalah Tuhan itu sendiri. Yang mengetahui apakah kita melaksanakan ibadah dengan ikhlas atau tidak adalah kita sendiri dan Tuhan. Kita boleh jadi tampak khusyu' melaksanakan ibadah salat sesuai dengan tata-laksana yang diajarkan oleh Nabi. Tetapi Tuhan lah yang tahu, apakah salat itu kita laksanakan dengan niat yang ikhlas, atau sekedar biar tampak saleh atau "cari muka" di hadapan masyarakat sekitar. Salat yang sekedar untuk "carmuk" (cari muka) semacam itu tak ada gunanya, karena hanya bersifat lahiriah belaka. Ibadah ritual mengajarkan pada kita agar kita mendidik diri terus berkomunikasi dan mengorientasikan diri kepada Tuhan yang Maha Mutlak.

Sementara itu, ibadah yang bersifat sosial memiliki dua dasar yang penting: tak melanggar aturan agama, dan diselenggarakan sesuai dengan asas "fairness" atau adil. Malah, kalau kita mau peras lagi, dasar utama ibadah sosial adalah keadilan itu sendiri. Ibadah sosial itu kita kenal selama ini sebagai mu'amalah atau interaksi/transaksi sosial. Segala bentuk transaksi adalah halal asal tak melanggar aturan agama, dan diselenggarakan dengan "fair". Oleh karena itu, Islam, misalnya, menghalalkan segala bentuk jual beli, asal adil. Dalam hal ini, saya ingin menyinggung sedikit soal riba. Selama ini banyak orang secara keliru menganggap bunga bank sebagai riba. Itu jelas tidak tepat. Bunga bank adalah bagian dari jual beli biasa, dalam bentuk utang-piutang, dan karena itu adanya keuntungan (interest) di sana tak dilarang sama sekali. Yang dilarang dalam Islam adalah riba, yakni bunga yang mecekik debitor atau si penghutang (dalam istilah Qur'an "adh'afan mudha'afah", QS 3:130). Dalam kehidupan sehari-hari, riba semacam itu kita kenal dalam praktek "lintah darat" atau rentenir, di mana seseorang bisa memungut bunga hutang hingga lebih dari 50% dari hutang pokok. Saat larangan riba turun pada zaman Nabi, umumnya semua praktek utang-piutang adalah dalam konteks hutang untuk konsumsi; pada zaman itu belum ada institusi bank yang memberikan hutang untuk tujuan produktif dengan bunga yang dilihat dari standar atau praktek "lintah darat" sangat rendah sekali. Saya menghormati mereka yang percaya bahwa bunga bank masuk dalam kategori riba. Tetapi, saya berpendapat lain: bunga bank bukanlah riba, dan umat Islam tak usah mempersulit diri dengan menghindari transaksi di bank umum atau konvensional karena takut melanggar larangan riba. Toh bank Islam yang kita kenal selama ini juga menerapkan "bunga terselubung" sekedar untuk mengakali larangan riba.

Itulah inti ajaran Islam. Sekedar untuk mengingatkan kembali, inti Islam adalah tiga: iman kepada hal ghaib, iman kepada kerasulan, dan ibadah. Di luar itu, akhlak, atau etika adalah sangat penting. Sebagaimana sudah saya tulis dalam artikel terpisah, etika sangat penting kedudukannya dalam agama. Bahkan Nabi sendiri menegaskan bahwa misi utamanya adalah untuk menyempurnakan akhlak (Lihatlah artikel saya yang lain di blog ini dengan judul "Di Manakah Akhlak Kalian, Wahai Umat Islam?"). Dalam hal ini, kita, umat Islam, perlu mengingatkan diri kita bahwa akhlak umat Islam belum sepenuhnya memenuhi harapan yang dikehendaki oleh agama kita. Terutama jika kita tengok akhlak sosial masyarakat Islam di Indonesia saat ini. Lihat, betapa buruknya akhlak kita di jalan raya di kota-kota besar seperti Jakarta. Lihatlah betapa buruknya akhlak pejalan kaki kita yang suka menyeberang jalan di luar tempat yang disediakan. Lihatlah betapa buruknya akhlak kita dalam memperlakukan lingkungan. Lihatlah betapa buruknya akhlak kita dalam soal urusan keuangan sehingga menimbulkan korupsi. Lihatlah betapa buruknya akhlak sebagian khatib-khatib Jum'at kita sehingga menjelek-jelekkan agama dan umat agama lain di mimbar. Lihatlah, lihatlah, lihatlah...

Menjadi seorang Muslim adalah mudah sekali: beriman, beramal yang baik, dan hidup sesuai dengan etika. Itu saja. Untuk menjadi seorang Muslim, kita tak diharuskan menjadi anggota NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, PKS, Salafi, atau yang lain. Kita boleh masuk ke ormas atau partai apapun, asal saling menghormati dan tak saling meledek atau malah lebih buruk lagi mengafirkan. Untuk menjadi seorang Muslim yang baik kita tak diharuskan untuk masuk ke dalam salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Untuk menjadi seorang Muslim yang baik kita tak diharuskan menjadi seorang anggota sekte Asy'ariyah, Salafiyyah, Mu'tazilah atau sekte-sekte yang lain. Mengikuti mazhab atau sekte tertentu adalah baik, asal kita menerapkan etika pergaulan sosial yang baik, yakni tak saling mengafirkan. Saling kritik tentu boleh, tetapi saling menyesatkan dan mengafirkan adalah tidak baik.

Menjadi seorang Muslim yang baik juga tidak berarti harus ikut fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia). Fatwa, dalam tradisi fikih (hukum Islam) yang kita kenal selama ini, bukanlah sesuatu yang bersifat mengikat. Fatwa adalah pendapat. Kita boleh ikut fatwa MUI, NU atau Muhammadiyah, misalnya. Tetapi kita tak boleh merasa paling benar sendiri dengan fatwa tertentu.

Inilah dasar-dasar menjadi seorang Muslim yang sangat sederhana. Sekali lagi, menjadi seorang Muslim adalah mudah, dan jangan dipersulit dengan pendapat-pendapat yang menambah ruwet dan menyulitkan kita sendiri. Pendapat tentu boleh dikemukakan, tetapi etika "tepa selira" atau menghormati pendapat orang lain juga penting.

Dengan mengatakan ini semua, saya tak hendak menyalahkan orang-orang Islam yang dengan sengaja ingin mempersuit diri sendiri. Misalnya, ada sejumlah orang Islam yang merasa belum Islam penuh jika tak memakai jilbab a la orang Arab, atau menutup seluruh tubuh bahkan hingga wajah, a la pakaian "burqa" dari Afghanistan itu. Atau, ada sebagian orang yang merasa belum Islam penuh kalau tak memelihara jenggot, memakai pakaian serba putih, jubah, atau pakaian a la Arab yang lain. Atau, ada orang yang belum merasa Islam penuh jika tak ikut dalam sebuah ormas yang memperjuangkan khilafah Islamiyah (negara atau kekaisaran Islam sedunia), misalnya. Atau, ada orang yang belum merasa Islam penuh kalau tidak percaya bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, dan karena itu kelompok Ahmadiyah harus disesatkan. Yang diminta oleh Islam dari kita adalah percaya bahwa Nabi Muhammad adalah "utusan Tuhan". Soal Nabi Muhammad adalah nabi terakhir atau tidak, kurang terlalu penting. Islam tak akan kurang nilainya jika ada orang percaya bahwa setelah Nabi Muhammad ada nabi lain. Kenapa umat Islam takut jika ada nabi baru? Kenapa?

Saya tak menyalahkan itu semua. Saya hanya mengajak kita kembali kepada dasar Islam yang sederhana dan menegakkan kehidupan sosial yang etis dan penuh toleransi. Sudah terlalu lama umat Islam didera oleh percekcokan internal yang tiada guna. Mari kita bangun kembali ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan Islam yang benar-benar inklusif. Bukan hanya itu, sudah saatnya kita membangun pula ukhuwwah wathaniyyah atau persaudaraan tanah air, dan ukhuwwah insaniyyah atau persaudaraan kemanusiaan.

Pada akhirnya kita harus bertanya pada diri sendiri dengan jujur: apa maksud utama beragama? Apakah beragama dimaksudkan agar kita saling cek-cok? Bukankah memalukan jika orang-orang mengaku beragama dengan taat sekali, sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka justeru menimbulkan keributan dan onar dalam masyarakat, atas nama agama lagi? Apakah ada gunanya agama semacam itu?

Agama yang baik akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari pemeluknya. Sebagaimana biji yang baik akan tercermin dari pohon yang muncul daripadanya.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

No comments: