Saturday, February 16, 2008

Hukum Islam di Negeri Barat: Pelajaran dari Inggris

Ruzbihan Hamazani

Pada 7 Februari 2008 yang lalu, Uskup Canterbury, Dr. Rowan William, menyampaikan ceramah berjudul "Civil and Religious Law in England: a Religious Perspective" di hadapan The Royal Courts of Justice di London. Dalam ceramah itu, ia mengeluarkan pernyataan yang menyulut kontroversi berkepanjangan mengenai status hukum Islam atau shari'ah di Inggris. Dia, antara lain, menyatakan bahwa, mengutip majalah The Economist, "some accommodation between British law and sharia, or the Muslim legal tradition, was inevitable and should perhaps be made official." Dr. William pada intinya menegaskan bahwa pada akhirnya masyarakat dan negeri Inggris harus menyadari kenyataan bahwa di negeri mereka saat ini bermukim jutaan umat Islam yang menganut sistem kepercayaan dan tradisi hukum yang lain. Oleh karena itu tak ada alasan untuk menolak memberikan umat Islam keleluasaan untuk memakai hukum Islam sebagai referensi legal yang mengatur kehidupan sehari-hari mereka, terutama yang menyangkut masalah sipil atau perdata (seperti nikah dan cerai).

Pernyataan Dr. William ini langsung menyulut reaksi keras, baik dari kalangan "tradisionalis" Kristen maupun sekuler. Hal ini tentu bisa dimaklumi, sebab posisi Uskup Canterbury yang merupakan kepala gereja dalam wilayah keuskupan Canterbury itu sangat penting sekali. Uskup Canterbury langsung mengepalai Gereja Anglikan atau The Church of England, dan secara simbolik juga menjadi pimpinan gereja Anglikan sedunia. Oleh karena itu suara Rowan William sebagai kepala keuskupan Cantebury membawa bobot tersendiri, dan sudah tentu akan menentukan kebijakan publik di Inggris. Tak heran jika pernyataannya soal kedudukan hukum Islam itu menjadi bahan diskusi yang panas.

Kalangan Kristen tradisionalis menyatakan bahwa pernyataan itu sama sekali tak pantas keluar dari Uskup, sebab hal itu mengingkari kenyataan bahwa Inggris, walau merupakan negara sekuler, berdiri atas tradisi Kristen dan hukum Bibel. Mengakui kedudukan hukum Islam secara sah berarti sama dengan mengakui adanya "negara dalam negara".

Kalangan sekuler juga menentang Kardinal William. Mereka menyatakan bahwa kardinal sama sekali tak sadar implikasi dari pernyataan itu, juga tak mengetahui apa yang sebetulnya dimaksud dengan hukum Islam. Mengakui hukum Islam sama dengan mengakui diskriminasi atas perempuan yang merupakan salah satu sifat pokok dari hukum shari'ah itu. Mengakui hukum Islam juga sama dengan membenarkan hukuman badan yang keji warisan zaman barbar di masa lampau, seperti hukum potong tangan, lontar batu, atau bunuh (qishash). Selain itu, kalangan sekuler juga menyatakan bahwa hukum Islam sangat anti terhadap kaum gay dan lesbian, dan karena itu berwatak "homofobik". Hukum semacam ini tak boleh diberikan tempat dalam masyarakat sekuler.

Beberapa kalangan malah bergerak lebih jauh lagi dan menuntut agar Dr. William mundur dari jabatannya sebagai Kepala Gereja Anglikan saat ini.

Sebaliknya, dukungan pun juga bermunculan. Selain dari kalangan Islam sendiri (seperti disuarakan oleh Muslim Council of Britain), sejumlah kalangan dalam di Gereja Anglikan juga menyokong pendapat Dr. William. Bahkan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, menyatakan bahwa Dr. William adalah "a man of integrity" dan mendukung pendapatnya.

Sejarah gelap agama di Eropa

Saya sendiri mendukung penuh sikap Uskup Canterbury itu. Sikap ini, dengan baik sekali, menandai munculnya kesadaran akan pentingnya dimensi agama dalam kehidupan publik di masyarakat Barat. Negeri-negeri Barat, sejak fajar pencerahan terbit pada abad 18, pelan-pelan mengalami sekularisasi yang meminggirkan peran agama dari wilayah publik. Dalam bentuknya yang ekstrim, seperti di Perancis, sekularisme muncul dalam bentuk sikap bermusuhan dan benci pada agama. Istilah yang sering dipakai adalah "anti-klerikalisme", yakni sikap menentang lembaga resmi kegerejaan.

Tentu, sikap-sikap anti-klerikal dan benci pada agama ini secara historis bisa dimaklumi, karena sejarah gelap yang ditunjukkan oleh kekuasaan geraja Katolik/Kristen dalam masyarakat Eropa pada masa lampau. Kita tahu, misalnya, betapa gereja menunjukkan sikap otoriter pada masa lampau dan menindas para saintis dan filosof yang mengemukakan pandangan yang berbeda dengan gereja. Gereja Katolik melakukan kontrol ketat atas buku-buku yang terbit, karena dikhawatirkan akan melawan doktrin resmi gereja. Gereja Katolik dikenal karena mengeluarkan apa yang disebut dengan "index auctorum et librorum prohibitum" (dikenal dengan Index saja) atau daftar para pengarang dan buku-buku yang dilarang karena berlawanan dengan ajaran resmi agama Katolik. Tentu buku-buku kalangan saintis biasanya masuk dalam urutan pertama. Kalangan saintis yang membawa pandangan baru mengenai sejumlah gejala alam dianggap sebagai "heretik" atau, dalam bahasa Islam, "murtad".

Kita juga mengenal apa yang disebut dengan Tiga Puluh Tahun Perang Agama di Eropa antara umat Protestan dan Katolik. Perang ini dimulai dari Kerajaan Bohemia (sekarang masuk wilayah Cekoslovakia) pada tahun 1618 dan baru berakhir pada 1648 pada saat ditandatanganinya Perjanjian Westphalia pada 24 Oktober 1648. Perang ini melebar ke berbagai negeri Eropa dan membawa korban yang sangat banyak, konon nyaris memusnahkan sepertiga penduduk negeri Jerman. Ini semua terjadi karena sikap-sikap intoleransi yang ditunjukkan oleh sekte-sekte dalam agama Katolik atau pun Protestan. Sejarah agama yang gelap semacam ini membawa ingatan yang buruk bagi masyarakat Eropa tentang peran agama dalam wilayah publik. Karena sejarah buruk semacam ini, tak heran jika timbul sinisisme yang luas terhadap agama, terutama agama Katolik dan Protestan. Dengan latar seperti ini pula kita bisa memahami kenapa di Perancis saat ini, misalnya, ada larangan bagi siapapun untuk mengenakan simbol agama dalam sekolah dasar dan menengah negeri, antara lain larangan untuk memakai jilbab. Korban pertama dari sekularisme di Eropa bukanlah agama Islam atau agama-agama lain, tetapi adalah agama Katolik.

Saat ini terjadi perubahan yang cukup penting di negeri-negeri Barat. Membanjirnya imigrasi umat Islam ke sejumlah negara-negara Barat membuat masyarakat Eropa terbelalak kaget, karena tidak seperti yang mereka duga, agama ternyata tidak memudar dengan adanya arus modernisasi dan sekularisasi di segala bidang. Sekularisasi justru menciptakan arus balik yaitu bangktinya kembali agama. Bukan hanya itu, fenomena kebangkitan agama ini tidak saja terjadi di kalangan Islam, tetapi juga lebih-lebih di kalangan Kristen sendiri. Gejala bangkitnya kembali agama-agama ini oleh Gilles Kepel, seorang sarjana Perancis, disebut sebagai "balas dendam" Tuhan, la revanche du dieu. Tuhan yang semula terusir dari ruang publik gara-gara sekularisme, sekarang balik kembali dan ingin membalas dendam. Tentu istilah ini hanyalah kiasan saja, tak harus kita pahami secara harafiah.

Walaupun Eropa telah mengalami sekularisasi, bahkan untuk sejumlah negara tertentu proses ini berlangsung secara radikal, namun pengaruh budaya Kristen tetaplah kuat. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa Kristen secara kultural masih sangat kuat pengaruhnya di Eropa. Ini yang menjelaskan kenapa saat banjir imigrasi umat Islam ke Eropa berlangsung beberapa dekade terakhir ini, masyarakat Eropa mulai berpikir ulang tentang apa sebetulnya identitas Eropa. Sikap masyarakat Eropa secara umum terhadap Islam masih diwarnai oleh kecurigaan, antara lain karena untuk waktu yang cukup lama Islam, melalui Turki Usmani dahulu, pernah menjadi ancaman yang serius bagi Eropa-Kristen. Sebagai agama, Islam hingga kini tetap dipandang dengan penuh kecurigaan. Dari kalangan Kristen sendiri, Islam dipandang sebagai agama tandingan yang membahayakan. Di kalangan kaum sekuler, Islam juga dicurigai karena memiliki sejumlah ajaran yang dianggap "terbelakang", bahkan "barbar", karena bertentangan dengan nilai-nilai sekularisme, seperti ajaran yang mendiskriminasi perempuan, misalnya. Sejumlah praktek umat Islam seperti "bunuh kehormatan" (honor killing), misalnya, yang ternyata masih dibawa oleh sejumlah komunitas Islam di Eropa dari negeri asal mereka, kian memperkuat citra Islam sebagai agama yang terbelakang. Praktek Islam seperti ditunjukkan oleh pemerintah Taliban saat berkuasa di Afghanistan dulu juga makin menyokong pendapat umum selama ini tentang Islam sebagai agama yang tak ramah terhadap perempuan. Citra Islam di Eropa masih identik dengan kekerasan atau praktek hukuman badan (seperti potong tangan) yang dianggap "brutal" sebagaimana berlaku di Saudi Arabia. Setelah peristiwa 11 September 2001, citra semacam ini makin diperkuat. Masyarakat Eropa, saat mendengar kata "hukum Islam", akan langsung membayangkan hukum rajam dan potong tangan yang dianggap "keji" itu.

Inilah yang melatari reaksi keras sebagian masyarakat Inggris terhadap lontaran pendapat Dr. William itu. Gagasan Uskup Canterbury itu sebetulnya sangat sederhana: bahwa seseorang bisa memiliki sejumlah identitas secara serentak. Seseorang yang memiliki loyalitas terhadap norma atau tradisi agama tertentu bisa pada saat yang sama memberikan loyalitas pada hukum negara. Taat agama tidak secara langsung berarti bertentangan dengan taat pada negara. Dengan makin banyaknya komunitas Muslim yang tinggal di Inggris saat ini, muncul kebutuhan di beberapa kalangan Muslim agar sebagian dari kehidupan mereka diatur oleh hukum Islam atau shari'ah; tegasnya, aspek-aspek perdata seperti perkawinan dan perceraian. Umat Islam tidak harus dihadapkan pada dua pilihan yang saling menafikan: atau taat hukum negara, atau taat hukum Islam. Karena orang bisa memiliki identitas yang banyak pada saat yang sama, maka keislaman dan keinggrisan tidaklah harus diperlawankan. Berdasarkan pemikiran semacam ini, akomodasi terhadap hukum shari'ah dalam hal-hal yang menyangkut pedata tidak bisa dihindarkan lagi, dan bahkan harus dibuat resmi. Inilah sebetulnya gagasan utama Dr. William. Kalangan Kristen dan Yahudi di Inggris selama ini sudah menikmati "otonomi" untuk mengelola urusan "internal" komunitas mereka berdasarkan hukum atau norma legal yang dianut oleh kedua agama itu. Kenapa hal yang sama tak diberikan pula kepada umat Islam? Dengan kata lain, gagasan dasar yang dikehendaki oleh Dr. William adalah semacam versi baru dari sistem millet yang pernah berlaku dalam Kesultanan Usmaniah dahulu, di mana masing-masing komunitas agama di luar Islam diberikan keleluasaan dan kebebasan penuh untuk mengurus secara mandiri (lepas dari jurisdiksi hukum Islam yang berlaku secara umum) hal-hal yang berkaitan dengan ritual dan masalah perdata.

Dalam prakteknya, umat Islam di Inggris selama ini berhadapan dengan situasi yang penuh ambiguitas saat berurusan dengan masalah perdata. Jika seorang Muslim berhadapan dengan sengketa perdata, misalnya berkaitan dengan cerai, waris, atau wakaf, mereka biasanya cenderung menyelesaikannya melalui jalur "non-resmi", yaitu dengan meminta konsultasi kepada para imam masjid yang dianggap memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang hukum Islam. Hal ini ditempuh karena mereka ingin diatur dengan hukum Islam. Masalahnya adalah bahwa keputusan imam itu tidak dianggap mengikat oleh peradilan resmi di Inggris. Dengan kata lain, arbitrase melalui jalur hukum "agama" ini tidak dianggap legal dan sah dalam kerangka hukum di Inggris, sekurang-kurangnya dalam kasus umat Islam saat ini.

Tentu hal ini menimbulkan dilema yang rumit bagi umat Islam. Di satu pihak umat Islam ingin hidup sesuai dengan hukum Islam, tetapi di pihak lain "legal arrangement" atau kerangka hukum di Inggris tidak memungkinkan hal itu. Yang terjadi pada akhirnya adalah bahwa hukum Islam seperti dipraktekkan dalam "pasar gelap hukum": berjalan tetapi tak diakui secara resmi dan tidak mengikat. Masalah inilah yang ingin dicoba oleh Kardinal Canterbury untuk diatasi dengan terobosan yang cukup berani: negeri Inggris harus membuka diri terhadap kemungkinan menerima hukum Islam dalam soal-soal perdata.

Dua tantangan

Kita tak tahu hingga di mana bola ini akan bergulir. Masalah kultural yang muncul karena kehadiran umat Islam yang kian banyak di Eropa saat ini memang rumit sekali, dan tak mudah untuk diatasi dengan sekali pukul a la "tongkat Musa". Sekurang-kurangnya ada dua tantangan, di pihak masyarakat Eropa sendiri, dan juga di pihak umat Islam.

Pada pihak Eropa, tantangan yang dihadapi adalah mencoba menghapus citra negatif tentang Islam dan umat Islam yang sudah berurat-berakar selama ini. Kehadiran umat Islam di tanah Eropa saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat sekuler dan Kristen Eropa untuk belajar tentang kultur yang lain sama sekali, kultur yang lahir di luar tradisi pencerahan Eropa.

Di pihak umat Islam sendiri, tantangannya jauh lebih berat. Di satu pihak, umat Islam juga harus belajar bahwa tradisi pencerahan membawa dampak positif bagi toleransi agama secara umum di Eropa. Sekularisme lahir di Eropa sebagai akibat dari perang dan konflik agama selama berpuluh-puluh tahun pada masa lampau. Sistem sekuler muncul untuk menengahi konflik itu. Umat Islam mesti paham tentang konteks sejarah semacam ini. Tantangan lain yang cukup berat adalah berusaha merumuskan suatu interpretasi atas Islam yang sesuai dengan konteks Eropa. Islam a la Arab tentu tak layak dipakai dalam konteks negeri pencerahan itu. Beberapa hukum perdata Islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian memang jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap perempuan. Umat Islam haruslah berani melakukan "kritik" atas, serta mengubah, hukum-hukum semacam ini. Jika tidak, tuduhan masyarakat Eropa selama ini terhadap Islam sebagai agama yang mendiskriminasikan perempuan akan makin kuat.

Sementara itu, kekhawatiran kalangan sekuler di Inggris bahwa penerapan hukum perdata untuk umat Islam, jika diperbolehkan, akan merembet ke hukum pidana (dikenal dengan hukum "hudud" seperti potong tangan, rajam, dsb.) jelas berlebihan. Usulan Dr. William untuk mengakomodasi shari'ah hanya berlaku dalam konteks hukum perdata, itu pun tetap harus dalam kerangka hukum resmi di Inggris. Meskipun demikian, kekhawatiran kalangan sekuler semacam ini layak diperhitungkan secara serius oleh kalangan Islam, sebab memang ada dasar empiriknya. Sejumlah kalangan Islam fundamentalis yang juga menjamur di beberapa komunitas Islam di Inggris, percaya benar bahwa hukum pidana Islam, cepat atau lambat, juga harus dilaksanakan dengan penuh di negeri-negeri Barat. Bahkan mereka percaya bahwa Barat, suatu saat, harus "diislamkan" dan seluruh hukum Islam, perdata dan pidana, harus diadopsi secara resmi (enacted).

Kedua belah pihak memiliki tantangannya masing-masing. Kita berharap jika masing-masing pihak melaksanakan tugasnya secara baik untuk mengatasi tantangan itu, maka "benturan" antara Islam dan Barat di Eropa akan bisa dihindarkan. Langkah yang ditunjukkan oleh Uskup Canterbury itu menunjukkan niat baik dari pihak "Barat". Tinggal umat Islam sendiri: beranikah mereka menafsirkan ulang hukum-hukum Islam yang sudah tak sesuai dengan tantangan dan konteks zaman ini.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

1 comment:

Anonymous said...

wah berita yang mengagumkan, terimakasih sudah menulisnya