Thursday, January 3, 2008

Salah Paham Mengenai Hermeneutika

Ruzbihan Hamazani


Ada beberapa orang yang dengan menggebu-gebu melancarkan "perang salib" terhadap hermeneutika, dengan anggapan bahwa "ilmu" yang dianggap imporan ini akan merusak Islam dari dalam, memorakporandakan pendekatan yang sudah dikembangkan oleh sarjana Islam sendiri untuk memahami Qur'an. Orang-orang yang memakai hermeneutika untuk memahami Qur'an dianggap sebagai musuh Islam. Saat ini, di kalangan beberapa kelompok Islam, kata hermeneutika sudah masuk dalam daftar "kata kotor", menyusul sejumlah kata-kata yang lain: sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, HAM, jender, dsb. Istilah hermeneutika terdengar "najis" seperti kata "PKI" pada zaman Orde Baru dulu.

Apa sebetulnya pengertian paling elementer dari hermeneutika? Betulkah ia mengancam Islam? Apakah hermeneutika benar-benar tak dikenal dalam Islam? Benarkah hermeneutika hanya cocok untuk memahami Injil, dan tak bisa diterapkan untuk Qur'an? Apa perbedaan dan kesamaan antara hermeneutika dan ta'wil?

Inilah sejumlah pertanyaan yang layak diajukan. Tujuan artikel ini adalah untuk meluruskan "syubuhat" atau salah paham mengenai istilah hermeneutika. Sejumlah artikel dan kolom yang ditulis di majalah, jurnal, atau situs-situs tertentu yang kemudian beredar di beberapa milis mengandung banyak informasi yang simpang-siur dan salah-paham yang harus diluruskan. Amat disayangkan bahwa sejumlah salah paham ini datang dari sejumlah kalangan yang sebetulnya memiliki pendidikan yang baik serta mendapat akses yang lumayan bagus pada bacaan yang luas. Beberapa dari mereka bahkan mendapat pendidikan di Barat.

Hermeneutika, tafsir, ta'wil

Sebagai sebuah istilah, hermeneutika kedengaran serius dan mungkin "angker". Istilah ini sebetulnya memiliki makna yang sederhana saja, yaitu menafsirkan, penafsiran, tafsir. Dalam The Brill Dictionary of Religion, disebutkan bahwa istilah ini "denotes the methods of interpretation of a text", menunjuk kepada cara-cara untuk menafsirkan sebuah teks. Istilah ini berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yakni "to translate" (menerjemahkan) atau "to interpret" (menafsirkan).

Hermeneutika memang biasanya dikaitkan dengan konteks yang spesifik, yaitu menafsirkan teks-teks agama. Jadi, hermeneutika memang bukan sekedar menafsirkan teks secara umum. Meskipun demikian, hermeneutika kemudian berkembang sebagai salah satu cabang filsafat penafsiran yang berdiri sendiri yang tak berkaitan lagi secara spesifik dengan penafsiran teks agama.

Dengan demikian, istilah hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer ini sama dengan istilah tafsir atau ta'wil. Secara kebahasaan, istilah tafsir berasal dari kata "al-fasr" yang berarti menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kashf) sebagaimana disebutkan oleh Imam Suyuti dalam Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an.

Al-Suyuti mengutip sebuah pendapat yang menarik dari al-Raghib al-Asbahani, bahwa pengertian tafsir lebih bersifat umum ketimbang ta'wil. Sebab, yang pertama biasanya dipakai dalam konteks memahami "mufradat" atau kosa-kata, sementara ta'wil lebih sering dipakai dalam konteks memahami kalimat. Menurut al-Asbahani, ta'wil bisanya dipakai dalam konteks memahami kitab-kitab yang bersifat keilahian (al-kutub al-ilahiyyah), sementara tafsir bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci ataupun yang lain; jadi lebih umum sifatnya.

Al-Suyuti mengutip pula pendapat dari Abu Talib al-Taghlabi: bahwa tafsir adalah menerangkan kedudukan dan pengertian sebuah kata, baik pengertiannya yang bersifat 'hakikat' yakni denotatif, atau metaforis/alegoris alias majaz; sementara ta'wil adalah menerangkan makna yang bersifat esoteris, atau makna batin. Dengan kata lain, tafsir berkaitan dengan makna lahiriah, dan ta'wil berkenaan dengan makna batiniah.

Ini semua adalah pengertian dasar dari istilah tafsir dan ta'wil. Di sini kita bisa melihat bahwa tafsir, ta'wil dan hermeneutika memiliki pengertian yang hampir paralel, yaitu interpretasi, terutama yang berkaitan dengan teks-teks agama, atau "al-kutub al-ilahiyyah", jika memakai istilah al-Asbahani. Sebagaimana kita lihat di sini pula, kata yang dipakai adalah bersifat umum, yaitu kitab-kitab keilahian, bukan semata-mata Qur'an. Jadi, kalau kita memakai pendapat al-Asbahani ini, istilah ta'wil bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci secara lebih umum. Kita, secara teoretis, bisa mengatakan ta'wil untuk Bible, Veda atau Upanishad.

Pendapat al-Asbahani ini didukung oleh fakta berikut ini. Kalangan Yahudi yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban Islam memakai istilah tafsir untuk menyebut komentar atas Torah. Encyclopaedia of Judaica, misalnya, memuat lema yang ditulis oleh Meira Polliack di mana disebutkan bahwa terjemahan Saadiah Gaon atas "pentateuch", yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, sebagai tafsir. Saadiah Gaon adalah seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal dari Mesir yang wafat pada 942 M.

Istilah tafsir dalam perkembangannya memang secara spesifik dikaitkan dengan penafsiran dan pemahaman Qur'an. Al-Suyuti mengutip pendapat al-Zarkashi, pengarang "Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an", sebagai berikut: tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk menerangkan maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan kebijaksanaan dari dalamnya. Menurut al-Zarkashi, sumber-sumber tafsir bisa berasal dari leksikografi ('ilm al-lughah), nahw (tata bahasa Arab), morfologi (tashrif), semantik ('ilm al-bayan), ushul fiqh (teori hukum Islam), ilmu bacaan (qira'at).

Dengan kata lain, inti tafsir adalah menerangkan Kitab Suci. Sekali lagi, di sini ada kesejajaran antara hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer dengan istilah-istilah yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu tafsir dan ta'wil.

Adalah sama sekali keliru jika kita mengira bahwa antara tafsir, ta'wil dan hermeneutika tak ada kaitan apapun dari segi pengertian dasarnya. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa ta'wil atau tafsir adalah istilah Arab untuk hermeneutika, sebagaimana al-daulah, misalnya, adalah istilah Arab untuk kata "state" (negara) dalam bahasa Inggris. Sudah tentu, ketiga kata itu memiliki sejarahnya masing-masing. Kata "al-daulah" tentu memiliki sejarahnya sendiri dalam bahasa Arab, begitu pula kata "state". Namun, itu bukan berarti bahwa kita tak bisa menerjemahkan kata "state" dalam bahasa Inggris dengan "al-daulah" dalam bahasa Arab hanya gara-gara kedua istilah itu memiliki sejarah masing-masing yang panjang. Ini berlaku pula untuk kata ta'wil dan hermeneutika.

Perkembangan hermeneutika

Saya akan mecoba mengulas secara ringkas perkembangan pengertian hermeneutika dalam tradisi kesarjanaan Barat. Saya memakai sebuah buku pengantar berjudul The Hermeneutics Reader yang disunting oleh Kurt Mueller-Vollmer, terbit 2006. Mueller-Vollmer menulis pengantar yang sangat panjang dan cukup baik mengenai perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat.

Sebagaimana saya tunjukkan di atas, kata ini memiliki pengertian dasar "menafsirkan", to interpret. Istilah ini terkait dengan nama Hermes, seseorang yang dipercayai sebagai "utusan" tuhan dalam masyarakat Yunani. Nama Hermes dalam tradisi Islam juga dikaitkan dengan figur Nabi Idris. Tugas Hermes adalah membawa pesan dari tuhan kepada manusia. Untuk melaksanakan fungsi itu, Hermes harus memenuhi syarat pokok: memahami pesan tuhan serta tahu bagaimana menyampaikannya kepada manusia sesuai dengan bahasa mereka. Peran Hermes kira-kira sama dengan seorang penerjemah, interpreter, yang harus menguasai bahasa asal dan bahasa tujuan sekaligus. Dari nama Hermes inilah lahir istilah hermeneutika. Dengan demikian, hermeneutika kira-kira adalah ilmu atau cara untuk menafsirkan sesuatu.

Perkembangan penting dalam sejarah hermeneutika di Barat terjadi saat pecah Reformasi Protestan pada abad 16. Kaum pembaharu Protestan yang menentang gereja Vatikan mengembangkan doktrin yang menarik yang disebut dengan "perspicuitas", artinya bahwa Kitab Suci, yakni Bible, sudah cukup terang dan mencukupi-untuk-dirinya-sendiri untuk dipahami oleh seorang beriman, tanpa bantuan otoritas gereja Vatikan. Prinsip ini terkait dengan istilah lain yang sudah kita kenal selama ini, yaitu sola scriptura, bahwa Kitab Suci sudah cukup tanpa bantuan tradisi gereja Katolik.

Gerakan kaum reformis Protestan ini mengingatkan kita pada paham kaum pembaharu Islam yang dikenal sebagai kaum Salafi. Gerakan mereka disebut salafiyah. Gerakan ini dicirikan antara lain oleh semboyan: kembali kepada Qur'an dan hadis (al-ruju' ila al-kitab wa 'l-sunnah). Gerakan ini menganjurkan umat Islam untuk kembali langsung kepada Qur'an dan hadis, tanpa melewati tradisi mazhab empat yang dikenal selama ini di kalangan umat Islam "tradisional". Bagi mereka, Qur'an dan hadis sudah mencukupi, jelas dan terang. Ini hampir sejajar dengan prinsip perspicuitas yang dikembangkan oleh penggerak reformasi Protestan. Asumsi yang mendasari gerakan-gerakan reformasi ini adalah bahwa Kitab Suci tertutup oleh tradisi penafsiran yang berkembang cukup lama, sehingga untuk menghayati semangat asli Kitab Suci, umat harus "membuang" tradisi yang dianggap mengotori kesucian Kitab Suci tersebut. Dalam konteks Islam, yang dimaksud tradisi di sini biasanya adalah tradisi bermazhab.

Salah satu tokoh penting dalam tradisi hermeneutika semasa Reformasi Protestan adalah Matthias Flacius Illyricus yang menulis karya berbahasa Latin, Clavis Scripturae Sacrae, terbit pada 1567 M. Dalam buku ini, Flacius mengembangkan dua pokok argumen. Pertama, bahwa gereja tak boleh memaksakan suatu tafsir tertentu tentang Bible, dengan alasan bahwa Kitab Suci belum bisa dipahami dengan tepat oleh umat Kristen, dan karena itu bantuan gereja dibutuhkan. Dengan latihan dan pendidikan yang memadai, menurut Flacius, Kitab Suci dapat dipahami dengan baik oleh umat secara lebih luas, tidak dimonopoli oleh gereja. Kedua, bahwa Kitab Suci mengandung koherensi dan kontinuitas internal, sehingga siapapun, dengan menggunakan alat tertentu, bisa memahami Kitab Suci, tanpa bantuan gereja (Bdk. teori munasabah dalam sejarah tafsir Qur'an). Argumen kedua ini paralel dengan apa yang dikemukakan oleh Melanchthon dan Martin Luther, penggerak utama Reformasi Protestan. Dengan dua argumen ini, Flacius mengembangkan suatu tradisi hermeneutika atau penafsiran Bible yang independen dari otoritas gereja.

Lagi-lagi, di sini kita melihat kesejajaran antara semangat Reformasi Protestan dan Gerakan Salafiyah dalam Islam. Dalam gerakan Salafiyah, dikembangkan suatu tradisi penafsiran Qur'an yang kurang lebih independen dari tradisi mazhab. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam keputusan-keputusan majlis tarjih Muhammadiyah, misalnya, rujukan kepada Kitab Kuning yang memuat khazanah tradisi bermazhab sama sekali kurang, atau malah tak ada sama sekali. Dengan kata lain, Muhammadiyah yang diilhami oleh gerakan Salafiyah Rashid Ridha di Mesir mengembangkan tradisi "hermeneutika" yang berbasis langsung pada Qur'an dan sunnah. Kalau sekarang ini intelektual Muhammadiyah yang penting seperti Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogykarta, dengan bersemangat menyambut hermeneutika, maka hal itu sama sekali tak aneh. Semangat Muhammadiyah dari awal adalah paralel dengan gerakan Reformasi Protestan yang mendasarkan diri pada prinsip perspicuitas, kembali kepada Qur'an dan hadis, sola scriptura.

Ini adalah perkembangan awal hermeneutika dalam tradisi Barat pasca Reformasi. Di sana terlihat bahwa pertama-tama, hermeneutika dikembangkan sebagai alat untuk menantang otoritas gereja yang memonopli tafsir atas Bible, persis seperti gerakan Salafiyah yang memakai semboyan "kembali kepada Qur'an dan hadis" untuk menantang monopoli tradisi mazhab.

Tetapi, perkembangan berikutnya bergerak lebih jauh lagi. Hermeneutika sudah bukan lagi semata-mata sebagai cara untuk menafsirkan Bible, tetapi bidang filsafat tersendiri yang independen. Inilah yang disebut dengan hermeneutika modern. Ada tiga hal penting yang membentuk hermeneutika modern: perkembangan dalam filologi klasik, jurisprudensi (artinya tafsir atas hukum, atau teori tafsir hukum; dalam Islam disebut ushul fiqh), dan filsafat. Perkembangan filologi terkait dengan studi atas naskah-naskah kuno yang berasal dari Yunani. Bersamaan dengan Reformasi Protestan, Eropa menyaksikan kebangkitan kajian atas naskah-naskah kuno dari Yunani dan Romawi. Kajian ini menimbulkan suatu cabang ilmu baru, yakni ilmu untuk menafsirkan dan memahami teks-teks kuno. Itulah filologi.

Pada saat itu tumbuh pula minat yang besar untuk mengkaji hukum Romawi. Perkembangan ini juga sangat mempengaruhi tradisi hermeneutika modern. Salah satu buku penting yang lahir dari periode itu adalah karya Constantius Rogerius, Treatise Concerning the Interpretation of Law, terbit 1463 M. Usaha pokok Rogerius adalah untuk melakukan harmonisasi atau penyelarasan atas hukum warisan Kaisar Justinian. Usaha Rogerius ini kira-kira sejajar dengan usaha Ibn Rushd yang mensistematisasi mazhab Maliki, atau Maimonides yang mensistematisasi tradisi hukum rabi dalam agama Yahudi, rabbinical laws, atau halakhah.

Perkembangan dalam bidang filsafat juga berperan besar dalam terbentuknya tradisi hermeneutika modern. Bahkan perkembangan dalam sektor inilah dapat kita katakan memainkan peran yang paling penting. Ambisi para filsuf Eropa pada abad 17, 18 dan 19 adalah ingin mensistematisasikan ilmu-ilmu kemanusiaan secara koheren dan lengkap sebagai bidang yang berdiri sendiri.

Salah satu perkembangan penting dalam hermeneutika modern adalah terbitnya buku karya Chladenius (m. 1759 M), Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (Pengantar untuk Interpretasi yang Tepat atas Ujaran Yang Masuk Akal dan Buku), terbit pada 1742 M. Apa yang dilakukan oleh Chladenius dalam buku ini bukan meletakkan landasan interpretasi yang berlaku untuk Bible, tetapi interpretasi yang berlaku secara umum. Chladenius menyebut istilah "Auslegekunst" (dalam bahasa Jerman) yang artinya adalah seni menafsir. Saya akan kutipkan baris yang penting dari Mueller-Vollmer sebagai berikut:

Since "to be understood" was in the nature of an utterance, Chladenius defined hermeneutics as the art of attaining the perfect or complete understanding of utterances (vollstandiges Verstehen)*--whether they be speeches (Reden) or writings (Schriften).

Artinya: Karena "untuk dapat dipahami" adalah watak dari segala ujaran, Chladenius mentakrifkan hermeneutika sebagai seni untuk memperoleh pemahaman yang sempurna dan lengkap mengenai ujaran-ujaran--baik ujaran lisan atau tulisan.

Salah satu prinsip terkenal yang diutarakan Chladenius dalam karyanya ini adalah apa yang disebut sebagai "Sehe-Punckt" atau teori sudut pandang. Menurut teori ini, jika ada dua laporan berbeda tentang fakta sejarah yang sama, maka hal itu bukan berarti ada kontradiksi antara keduanya. Perbedaan terjadi, menurut dia, karena adanya perbedaan sudut pandang. Setiap manusia, dalam pandangan dia, melihat peristiswa di sekelilingnya sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.

Pandangan ini dipinjam oleh Chladenius dari karya filosof terkenal Yahudi, Leibniz, Optics. Ada kemungkinan pula, Chladenius dipengaruhi oleh karya Leibniz yang lain, Monadology. Dalam karya terakhir itu, Leibniz antara lain mengutarakan bahwa masing-masing monad, atau wujud dalam dunia ini, mempersepsi alam raya yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Inilah yang belakangan antara lain melahirkan suatu teori mengenai perspektivalisme, yakni bahwa ada banyak kebenaran sesuai dengan masing-masing sudut pandang yang dimiliki oleh pihak yang berbeda-beda.

Demikianlah, hermeneutika terus berkembang dengan pesat, seturut dengan perkembangan paham-paham filsafat di Eropa. Sejumlah tokoh yang meninggalkan "sidik jari" yang menonjol adalah Friedrich Schleiermacher, Wilhelm von Humboldt, Johann Gustav Droysen, August Boeckh, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, Roman Ingarden, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, dan terakhir Jurgen Habermas yang masih hidup hingga saat ini.

Nama Schleiermacher cukup penting diulas sedikit karena ia telah memberikan sumbangan yang sangat penting dalam tradisi hermeneutika modern. Sumbangan Schleiermacher merupakan "watershed" atau titik balik yang penting. Schleiermacher dikenal karena mengajukan konsep mengenai "pemahaman" atau Verstehen, sebelum Dilthey. Hermeneutika dalam pandangan Schleiermacher bukan sekedar menerangkan sesuatu yang samar dalam ujaran, atau al-kashf wa al-bayan dalam istilah al-Suyuti, tetapi, "above all concerned with illuminating the conditions for the possibility of understanding and its modes of interpretation." (Kutipan dari Mueller-Vollmer) Kalimat ini tak mudah dimengerti dengan sederhana kecuali bagi mereka yang terbiasa dalam studi filsafat. Kira-kira kalimat itu berarti: hermeneutika berkenaan dengan usaha menerangkan syarat-syarat kemungkinan untuk memahami, dan cara-cara untuk menafsirkannya. Dengan kata lain, obyek pokok hermeneutika bukan lagi sekedar menerangkan dan membuka rahasia kode-kode tekstual, tetapi pemahaman itu sendiri sebagai pengalaman manusia, bagaimana itu mungkin, serta bagaimana pula menafsirkannya.

Salah satu sumbangan penting Schleiermacher adalah bahwa pemahaman selalu terkait dengan aspek bahasa. Inilah yang disebut dengan "linguistikalitas" atau kemembahasaan dalam kegiatan pemahaman. Setiap aktivitas memahami tak bisa dipisahkan dari aspek bahasa. Tentu bukan tempatnya di sini saya mengulas seluruh teori yang dikembangkan oleh para filsuf yang memberikan kontribusi penting dalam pembentukan hermeneutika modern. Ini hanyalah sekedar "kelebatan" untuk memberikan isyarat kepada pembaca.

Kesimpulan yang penting adalah bahwa hermeneutika, meskipun berawal sebagai cara untuk menafsir Kitab Suci atau Bible, tetapi perkembangan belakangan memperlihatkan bahwa ia bergerak secara independen sebagai ilmu atau seni menafsir yang berlaku secara umum. Perkembangan hermeneutika saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori baru dalam filsafat ketimbang oleh kajian Bible. Yang terjadi justru sebalinya: perkembangan penafsiran atas Bible lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam filsafat. Inilah yang menjelaskan kenapa saat ini muncul hermeneutika feminis atau penafsiran Bible berdasarkan perspektif perempuan, misalnya; disebut "feminist hermeneutics".

Para penulis Muslim yang melakukan "perang salib" atas hermeneutika jelas keliru sama sekali ketika mengatakan bahwa menerapkan hermeneutika dalam studi Qur'an sama saja dengan menerapkan teori tafsir Bible terhadap Kitab Suci umat Islam itu. Sebagaimana kita lihat sendiri, hermeneutika sudah berdiri sendiri sebagai bidang yang otonom. Penafsiran Bible justru sekarang banyak dipengaruhi oleh hermeneutika yang berkembang di luar kajian Alkitab. Nama-nama besar dalam perkembangan hermeneutika modern, seperti Gadamer, Heidegger, Dilthey, dan Habermas sama sekali tak terkait dengan perkembangan kajian Alkitab.

Salah paham yang lain adalah bahwa hermeneutika oleh sebagian kalangan sarjana Muslim Indonesia diidentikkan dengan pendekatan dalam studi Bible yang dikenal sebagai biblical criticism, atau kajian atas bentuk-bentuk literer Bible untuk melacak kronologi penulisannya. Memang sejarah hermeneutika antara lain dibentuk melalui tradisi filologi yang menjadi dasar dari kritisisme biblikal. Tetapi, sebagaimana sudah saya tunjukkan di atas, perkembangan hermeneutika tidak semata-mata dibentuk oleh filologi, tetapi terutama oleh paham-paham dalam filsafat. Di benak para pengkritik hermeneutika itu terdapat pra-anggapan yang jelas keliru bahwa menerapkan hermeneutika akan berujung dengan penerapan metode yang dipakai John Wansbrough yang kontroversial itu dalam studi Qur'an. Ini jelas kesalahpamahan yang fatal. Dalam diskusi mengenai hermeneutika Qur'an saat ini, kajian Wansbrough justru sama sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dari hermeneutika.

Mungkinkah meminjam hermeneutika?

Beberapa penulis Muslim menolak keras hermeneutika karena dianggap sebagai metode penafsiran yang tidak pas dengan Qur'an. Menurut mereka, sarjana Islam mengembangkan tradisi tafsir sendiri yang lebih sesuai dengan Qur'an. Memakai hermeneutika dalam memahami Qur'an akan merusak integritas Kitab Suci umat Islam itu. Bahkan ada sebagian yang berpandangan bahwa hermeneutika akan merusak Islam dari dalam.

Apakah betul pandangan seperti itu? Marilah kita periksa asumsi-asumsi yang dipakai oleh para pengkritik hermeneutika itu.

Asumsi pertama: tampak ada semacam pandangan bahwa antara hermeneutika dan tafsir/ta'wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur'an sama sekali tak ada kemungkinan titik temu. Ini jelas salah sama sekali. Seperti kita lihat dalam penjelasan di atas, teori Schleiermacher tentang pentingnya aspek bahasa dalam penafsiran dan pemahaman suatu ujaran jelas bertemu dengan pandangan para penafsir Qur'an yang dengan tegas menekankan pentingnya "konvensi bahasa" (al-wadh' al-lughawi) dalam penafsiran. Tafsir tidak bisa bergerak bebas menabrak aturan-aturan kebahasaan. Tentu pada tingkat renik-renik bisa terjadi perbedaan, tetapi pada level teori besarnya, ada kesejajaran antara perspektif Schleiermacher mengenai kemembahasaan pemahaman dengan pandangan mufassir Islam.

Asumsi kedua: apa yang disebut sebagai metode tafsir atau ta'wil dalam memahami Qur'an seolah-olah monolitik atau tunggal. Para pengkritik hermeneutika sering mengatakan bahwa penafsiran Qur'an memiliki metodenya sendiri yang lebih "pribumi". Pernyataan yang sifatnya umum ini jelas mengandung generalisasi yang mengelabui pandangan para pembaca awam yang tak membaca dengan baik keragaman metode penafsiran Qur'an.

Sebagaimana kita ketahui, dalam penafsiran Qur'an terjadi pertengakaran yang tak kalah hebat antara para penafsir Qur'an. Sejumlah tafsir yang ditulis oleh ulama klasik dianggap "sesat" karena memakai pendekatan yang dianggap tidak-orotodoks. Contoh yang terkenal adalah tafsir Al-Kashshaf karya al-Zamakhshari yang meskipun dibaca luas tetapi selalu "dicurigai" karena dianggap membawa pandangan kaum Mu'tazilah. Tafsri kaum batiniyyah atau mereka yang memakai pendekatan esoteris juga sering dikritik sebagai penyimpangan.

Apa yang disebut sebagai "tafsir" dalam tradisi Islam dalam kenyataannya adalah wilayah yang lentur, fluid, cair, dan fleksibel. Tidak ada metode tafsir yang tunggal dalam Islam. Bahkan sejak awal, kegiatan penafsiran Qur'an sudah menjadi semacam "kuda troya" untuk menyelundupkan pandangan-pandangan teologis-filosofis para penafsirnya. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi jika seorang penafsir memiliki kecenderungan Ash'ariyyah atau Maturidiyyah, maka dalam menafsirkan Qur'an ia akan memakai cara pandang Ash'ari dan Maturidi. Jika seorang penafsir memiliki kecenderungan mistik, ia akan memakai tasawwuf dalam memahami sejumlah ayat dalam Qur'an. Kalau dia seorang Shi'ah, tentu ia akan menafsirkan Qur'an dengan memakai sudut pandang sekte itu. Demikianlah seterusnya.

Begitu pula kita saksikan bahwa perkembangan corak tafsir akan makin beragam. Semakin jauh dari periode Nabi, semakin beragam pula corak tafsir yang berkembang. Ini hal yang lumrah saja. Karena ilmu berkembang terus, maka pendekatan tafsir juga berkembang. Sebab tafsir tak pernah mengenal metode yang baku. Ketika dalam masa-masa belakangan berkembang filsafat Islam yang dipengaruhi oleh ide-ide neo-platonisme, maka lahir pula corak tafsir yang dipengaruhi oleh filsafat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Sina saat menafsirkan sebuah ayat dalam Surah al-Nur mengenai cahaya Tuhan (baca misalnya risalah dia, Risalah fi Ithbat al-Nubuwwat).

Saya hendak bertanya kepada para "pembenci" hermeneutika: bisakah anda menyebutkan kepada saya apa yang dimaksud dengan metode tafsir Qur'an? Apakah ada metode tafsir baku yang berlaku dari zaman klasik sampai kiamat? Apakah yang anda maksud dengan metode tafsir "Islami" adalah metode yang dipakai dalam tafsir bercorak kebahasaan (al-tafsir al-lughawi), atau tafsir fiqhi, kalami, shufi, balaghi? Apakah tafsir bi 'l-naql atau bi 'l-ra'y? Apakah tafsir a la ahl al-hadis atau kalam?

Sejujurnya, setiap kegiatan tafsir selalu "dikendalikan" oleh pandangan-pandangan yang dibawa penafsirnya. Di sini letak relevansi salah satu teori hermenetika, yaitu bahwa sudut pandang penafsir sangat mempengaruhi penafsiran. Jika seseorang memiliki pandangan keagamaan yang fundamentalistis, ia akan menafsirkan Qur'an sesuai dengan pandangannya itu, seperti kita lihat dalam tafsir karya Sayyid Qutb.

Penolakan atas hermeneutika sebetulnya bukan didorong oleh alasan yang secara formal dikatakan oleh para pengkritiknya itu. Misalnya, karena Qur'an memiliki metode penafsiran sendiri. Kalau mau jujur, sebetulnya mereka tahu sejak awal bahwa apa yang disebut dengan "metode tafsir Qur'an" itu tidak pernah jelas batas-batasnya. Seperti saya tunjukkan di atas, tafsir Qur'an selalu menjadi wahana untuk mengusung sejumlah ideologi dan doktrin yang berbeda-beda. Itu terjadi sejak dahulu kala. Tafsir Qur'an juga selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Apa sebetulnya motif pokok mereka?

Mereka sebetulnya khawatir jika teori hermeneutika diterapkan, monopoli mereka terhadap penafsiran Qur'an akan tergerogoti. Mereka ingin "mengunci" Qur'an dalam tafsiran tertentu. Semangat yang mendasari para pengkritik hermeneutika ini persis dengan semangat gereja Vatikan dulu yang anti perubahan. Cara paling ampuh dan "cespleng" bagi kaum konservatif di mana-mana adalah dengan mengesankan seolah-olah Kitab Suci hanya memiliki satu "suara" saja, yaitu suara mereka sendiri. Jika ada yang menggugat suara mereka itu, langsung keluar tuduhan bahwa hal itu bertentangan dengan Qur'an.

Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ali, Qur'an adalah "hammalun dzu wujuh", kitab suci yang mengandung banyak kemungkinan tafsir. Para pengkritik hermeneutika biasanya akan mengatakan bahwa memang benar Qur'an mengandung keragaman tafsir. Tetapi keragaman itu harus dibatasi oleh kaidah dan batas-batas tertentu. Pertanyaan saya: batas-batas itu siapa yang menentukan? Dan apa yang disebut batas-batas penafsiran? Bukankah batas-batas itu sebetulnya alat saja di tangan kaum "ortodoks" untuk memonopoli tafsir?

Jadi, apakah hermeneutika bisa dipinjam dalam memahami Qur'an?

Pertanyaan ini sebetulnya merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih besar lagi: apakah metode penafsiran Qur'an bisa terus dikembangkan? Jawabannya tentu ya. Sejarah penafsiran Qur'an sendiri memperlihatkan perkembangan metode tafsir yang sangat kaya. Kalangan yang mengkritik hermeneutika sebetulnya menyukai metode tafsir baru yang tak ada dalam sejarah penafsiran klasik, yaitu al-tafsir al-'ilmi, atau tafsir saintifik yang biasanya berisi usaha mencocok-cocokkan ayat-ayat Qur'an dengan penemuan sains modern. Mereka tak pernah keberatan dengan metode "baru" ini, karena dengan demikian akan tampak bahwa Qur'an telah mendahului ilmu pengetahuan modern. Bagaimana mereka bisa menerima metode tafsir baru seperti ini seraya menolak metode baru lainnya, yaitu hermeneutika? Apakah kriteria yang mereka pakai untuk menerima yang satu dan menolak yang lain?

Kita menjumpai sejumlah inkonsistensi dalam cara berpikir para pengkritik hermeneutika itu. Sikap dasar mereka sebetulnya jelas: konservatisme dan ingin memonopoli Qur'an sebagai hak tunggal mereka. Qur'an harus dipahami dengan cara tertentu. Itulah motif pokok penolakan mereka.

Dengan kata lain, penolakan ini adalah bagian dari cara kerja ortodoksi Islam untuk melindungi kekuasan tafsirnya sendiri. Akibat praktis dari mindset seperti ini, seperti kita tahu, adalah gejala mudahnya kelompok ortodoks Islam menyesatkan paham atau golongan yang dianggap berlawanan dengan tafsiran mereka.

Hermeneutika sebagai metode tafsir tidak seharusnya diperlawankan dengan tafsir. Tentu tidak semua hal dalam teori hermeneutika bisa diterapkan dalam Qur'an. Sebagaimana setiap bentuk "apropriasi" metode, selalu dibutuhkan usaha pempribumian, sebagaimana para filsuf Islam dulu melakukan pribumisasi atas filsafat Yunani. Semangat positif yang hendak dikumandangkan oleh hermeneutika adalah ajakan untuk menyambut keragaman tafsir dengan dada terbuka, bukan dengan muka yang bersungut-sungut dan cemberut.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

No comments: