Tuesday, January 1, 2008

Huston Smith dan Agama-Agama - Bagian 1

Nama Prof. Huston Smith sudah cukup masyhur bagi mereka yang belajar studi agama-agama. Bukunya The Religions of Man yang terbit pertama kali pada 1958 telah menjadi bacaan klasik, sama klasiknya dengan buku Alice's Adventures in Wonderland karangan Lewis Carroll bagi banyak anak di seluruh dunia.

Smith pernah mengajar cukup lama di Massachusetts Institute of Technology di Boston. Sekarang dia adalah profesor emeritus di Syracuse University, New York. Buku-bukunya selalu memikat perhatian pembaca, baik di dalam atau di luar Amerika. Ia terakhir menulis Why Religion Matters (Kenapa Agama Penting) pada 2001, dan langsung memenangkan penghargaan Wilbur Award untuk kategori buku terbaik tentang agama yang terbit pada 2001. Bukunya yang lain yang juga cukup terkenal adalah Forgotten Truth: The Common Vision of World's Religions (Kebenaran yang Dilupakan: Kesamaan Pandangan Agama-Agama Dunia). Pada 1996, Bill Moyers membuat film dokumenter lima seri untuk stasiun PBS berjudul The Wisdom of Faith with Huston Smith, berisi wawancara panjang dengan Prof. Smith tentang agama-agama dunia. Dalam dokumenter itu, antara lain, kita saksikan Prof. Smith yang beragama Kristen memeragakan salat, lengkap dengan bacaan al-Fatihah, serta menjelaskan dengan fasih dan baik sekali makna dan filosofi salat menurut orang Islam.

Di antara buku-buku yang ditulis oleh Smith, The Religions of Man-lah yang cukup menonjol. Buku ini istimewa dari sudut pendekatannya. Smith mencoba membantu kita masuk-menjelajah "hutan" semua agama besar dunia, menelusuri kekayaan tradisinya, menghayati spiritualitas yang menjdi inti semua agama besar. Dengan kata lain, buku ini menolong kita untuk melihat semua agama besar dengan rasa simpati dan kegembiraan, persis seperti kita menikmati tamasya kebun yang kaya dengan semburat warna-warni bunga.

Secara berseri, saya akan mencoba "membunyikan" kembali apa yang telah ditulis oleh Smith. Tentu tulisan ini mencerminkan interpretasi saya atas buku tersebut. Saya mencintai buku ini, karena melalui karya ini saya dapat mencintai agama-agama besar dunia, menghargai kekayaan tradisi spiritual mereka.

Saya tetaplah seorang Muslim. Menjadi Muslim sama sekali dan tak seharusnya menghalangi kita untuk menjulurkan rasa simpati pada agama lain. Sumber agama hanyalah satu, Tuhan yang sama yang disebut dengan nama yang berbeda-beda olah banyak agama. Perbedaan tentulah ada antara semua agama, sebab jika tidak, maka tak ada keragaman agama. Tetapi di balik keragaman itu ada semangat yang sama, atau dalam bahasa Smith "common vision".

Seri pertama ini akan mengulas bagian pembukaan dalam buku itu.

Prof. Smith membuka bukunya dengan sebuah cerita tentang pelbagai cara yang ditempuh oleh manusia menuju Tuhan. Setiap agama memiliki ritual atau ibadah yang berbeda-beda. Seluruhnya bertemu dalam satu hal: mencari Tuhan. Karena itu Smith menyebut semua pemeluk agama dunia sebagai "God-seekers", para pencari Tuhan.

Bagaimana Tuhan yang sama disembah dengan cara yang berbeda-beda seperti itu? Bagaimana Tuhan akan menghadapi suara-suara para penyembah yang beragam? Apakah Tuhan akan kebingungan menghadapi doa dan ibadah yang dilaksanakan dengan cara yang begitu bermacam-macam? Kita tak pernah tahu jawabannya. Tugas kita sebagai manusia adalah mendengar dengan penuh rasa simpati semua "suara" itu--suara-suara yang hendak mengagungkan Tuhan. Kita tak seharusnya menjadi hakim untuk menentukan mana suara yang paling benar, mana yang salah.

Smith mengatakan bahwa tujuan ia menulis buku ini bukan untuk menjabarkan data-data historis mengenai perkembangan agama-agama dunia. Dalam bukunya ini, fakta-fakta historis tak terlalu sering dijumpai. Perhatian Smith lebih banyak diarahkan kepada aspek lain, yakni aspek makna dan pemaknaan dalam beragama. Ia mengatakan bahwa "Agama bukanlah semata-mata soal fakta kesejarahan, tetapi lebih penting lagi adalah soal makna." Oleh karena itu, aspek penghayatan sangat penting dalam setiap agama. Tanpa mendalami makna itu, ritual dan tradisi agama tampak sebagai sesuatu yang kering. Jika kita ingin menaruh simpati dan apresiasi pada suatu agama, maka kita seharusnya masuk ke jantung makna agama bersangkutan.

Buku Smith ini, dengan demikian, bukan sekedar karya tentang sejarah agama-agama, atau perbandingan agama. Sebab, agama sama sekali tak bisa dibandingkan, lalu dicari mana yang terbaik, dan mana yang jelek. Sebaliknya, Smith hendak menyelam ke agama, semua agama, sebagai sebuah pengalaman yang menyerupai "demam yang akut" (acute fever), bukan agama sebagai "kebiasaan yang sudah tumpul" (dull habit).

Istilah "demam yang akut" dan "kebiasaan yang sudah tumpul" dipinjam oleh Smith dari William James, seorang filosof Amerika yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Religious Experience. Agama yang otentik mirip dengan sebuah "demam yang akut", yakni agama yang mendera seseorang dengan sejumlah pertanyaan yang tak semua bisa dijawab. Misteri selalu menyelimuti agama. Manusia membutuhkan agama karena ada sejumlah pertanyaan dalam hidup yang tak mungkin dijawab oleh pengetahuan atau rumus-rumus yang logis. Manusia menghadapi rasa khawatir, pengharapan, cita-cita, ketakutan, keterasingan, ketercampakan, kegembiraan, kesedihan, dst. Tidak semua hal itu bisa dijelaskan dengan masuk akal. Situasi itu menyangkut dasar eksistensi manusia yang memang rapuh. Agama memberikan kepada manusia jawaban atas masalah-masalah eksistensial semacam itu, meskipun jawaban agama juga bukan sesuatu yang selesai. Memahami agama sebagai suatu pengalaman yang otentik, pengalaman yang menyerupai "demam yang akut", sama dengan memahami bahwa manusia yang memeluk agama-agama itu sedang berhadapan dengan suatu problem eksistensial.

Agama yang otentik adalah semacam celah dari mana energi kosmos yang sama sekali tak terbatas mengalir deras menghujani manusia, kata Smith. Semua agama pada dasarnya dimulai dari pengalaman otentik di mana para orang bijak, nabi, dan rasul yang mula-mula "mendirikan" agama itu mengalami suatu "celah" dari mana energi kosmos, wahyu, ilham, pengalaman spirtual datang seperti sebuah banjir bandang. Tetapi agama yang dimulai dengan pengalaman otentik semacam itu bisa merosot pula menjadi "kebiasaan yang tumpul".

Smith ingin membantu kita memahami agama sebagai pengalaman demam akut itu, pengalaman otentik, bukan agama sekedar sebagai data-data historis yang kering, sebagai kebiasaan yang tumpul, sebagai kumpulan ritual dan simbol-simbol yang kosong dari makna. Inilah yang dimaksud dengan "religion" dalam judulnya bukunya, "The Religions of Man".

No comments: