Friday, January 4, 2008

Sejumlah Catatan Terserak tentang Hermeneutika

Ruzbihan Hamazani

1.

Apa perbedaan antara ilmu nahwu dengan linguistik? Nahwu adalah tata-bahasa yang berkenaan secara spesifik dengan bahasa Arab. Di samping nahwu ada cabang-cabang lain yang juga berkenaan dengan tata-bahasa Arab, seperti tashrif atau konjugasi, 'ilm al-lughah atau leksikografi. Setiap bahasa memiliki tata aturannya sendiri; setiap bahasa mempunyai grammar masing-masing. Tentu tidak semua bahasa; hanya beberapa bahasa dunia yang memiliki tata-bahasa. Sebagian besar bahasa-bahasa yang ada dunia saat ini sama sekali tak memiliki tata-bahasa yang tertulis, hanya sekedar diucapkan. Sebab, tata-bahasa selalu datang belakangan.

Dengan kata lain, nahwu adalah ilmu yang sifatnya partikular atau khusus, karena terbatas hanya berkenaan dengan bahasa Arab. Sebetulnya ada cabang lain yang posisinya di atas nahwu, disebut dengan ushul al-nahw atau fondasi tata-bahasa Arab; katakan saja semacam meta-grammar. Kedudukan ushul al-nahw terhadap nahw adalah sama dengan kedudukan cabang ushul fiqh terhadap fiqh: Yang pertama meletakkan landasan bagi yang kedua. Kedudukan keduanya bisa dianggap lebih tinggi dari pada nahwu atau fiqh itu sendiri. Tetapi ushul al-nawh tetap bersifat partikular, karena berkaitan dengan bidang yang sangat spesifik, yakni tata-bahasa Arab.

Sementara linguistik, biasa diterjemahkan sebagi 'ilm al-lisaniyyat, adalah ilmu tentang bahasa yang bersifat umum. Obyek kajian linguistik bukanlah bahasa tertentu, misalnya Inggris, Perancis atau Latin. Linguistik adalah ilmu bahasa yang bersifat universal. Ilmu ini mencoba meletakkan teori umum tentang bahasa, dan bagaimana pola-pola yang berkembang di sana. Linguistik bisa diterapkan kedalam bahasa Arab. Penerapan linguistik terhadap bahasa Arab tidak berarti "mengusir" kedudukan ilmu nahwu. Nahwu sama sekali tak mungkin dihilangkan. Begitu pula penerapan linguistik dalam bahasa-bahasa dunia yang lain tidak berarti menghilangkan peran "grammar" yang berlaku secara khusus untuk bahasa itu. Linguistik adalah ilmu yang antara lain diabstraksikan dari sejumlah praktek bahasa-bahasa yang ada berikut grammar-nya masing-masing.

Sekali lagi, ilmu nahwu adalah partikular, sementara linguistik adalah universal. Nahwu atau "grammar" bahasa-bahasa yang lain adalah juz'i, sementara linguistik adalah kulli.

2.

Apa yang saya sampaikan di atas hanyalah semacam analogi untuk mempermudah pemahaman kita atas hubungan antara tafsir/ta'wil dan hermeneutika. Hubungan antara keduanya secara umum, meskipun tidak persis benar, sama dengan hubungan antara ilmu nahwu dengan linguistik. Tafsir/ta'wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur'an selama ini adalah ilmu yang berkenaan dengan cara-cara untuk menafsirkan Qur'an. Sementara hermeneutika adalah metode penafsiran yang berlaku umum. Ia bukan hanya untuk teks atau kitab suci tertentu, tetapi semua teks, baik yang suci atau tidak.

Sebagaimana saya tulis dalam artikel terpisah, hermeneutika saat ini berkembang sebagai bidang yang otonom, tidak berkait langsung dengan kajian kitab suci tertentu, misalnya Bible. Kajian atas kitab suci apapun saat ini bisa diilhami oleh perkembangan teori-teori hermeneutika. Penerapan hermeneutika sama sekali tak menggantikan kedudukan ilmu tafsir atau ta'wil, sebagaimana penerapan linguistik tidak serta merta mengecilkan peran ilmu nahwu. Kedududkan tafsir adalah sama dengan ilmu nahwu, yaitu ilmu yang secara spesifik berkenaan dengan cara-cara penafsiran Qur'an.

Tugas hermeneutika bukan pada level "teknis", seperti mengurus soal bagaimana menafsirkan kata yang masuk dalam kategori mujmal atau mubayyan, muthlaq atau muqayyad, 'amm atau khass, dst. Hermeneutika juga tidak berurusan dengan ghara'ib al-Qur'an, yakni kata yang maknanya asing atau tak dikenal. Hermeneutika tak bersinggungan dengan soal huruf al-adawat atau partikel yang kedudukannya sangat penting dalam penafsiran Qur'an. Itu semua adalah bidang spesifik yang menjadi "kavling" ilmu tafsir.

Apa tugas hermeneutika?

Tugas hermeneutika sedikit lebih abstrak, yaitu mengusut asumsi-asumsi yang bekerja dalam sebuah penafsiran, bagaimana watak sebuah teks secara umum, bagaimana hubungan antara penafsir dengan teks, bagaimana watak sebuah masyarakat penafsir, bagaimana hubungan antara teks dengan realitas, bagaimana hubungan antara realitas dengan penafsir, dst. Hermeneutika juga menelaah bagaimana sebuah proses penafsiran itu sendiri, in and of itself, berlangsung. Ini adalah aspek-aspek yang sama sekali tidak atau sedikit disinggung dalam cabang ilmu tafsir/ta'wil.

Sebagai contoh: ilmu tafsir tak menyediakan alat bagi pembaca Qur'an untuk melakukan apa yang sering disebut sebagai "kritik ideologi", yakni analisis terhadap asumsi, predisposisi, al-haithiyyat, yang bekerja dalam sebuah penafsiran. Ilmu tafsir memang membantu kita untuk mengetahui, misalnya, apa makna yang dapat kita peroleh dari partikel penghubung atau huruf al-'athaf "waw" atau "aw". Tetapi ilmu tafsir tidak menolong kita untuk memahami asumsi-asumsi apa yang melandasi seorang penafsir ketika berhadapan dengan teks-teks yang memuat partikel-partikel itu.

Walhasil, ilmu tafsir adalah ilmu juz'i, bukan ilmu kulli. Setiap kitab suci tentu mengembangkan metode tafsirnya masing-masing. Ini hal yang wajar saja. Memakai hermeneutika sama sekali tak menggantikan secara penuh kedudukan ilmu-ilmu partikular itu. Dengan kata lain, ilmu tafsir adalah semacam "grammar" untuk penafsiran Qur'an. Ini berbeda dengan hermeneutika yang merupakan "meta-grammar" untuk penasiran segala bentuk teks, suci atau profan.

Hermeneutika kita butuhkan sebagai alat pelengkap. Ilmu ini juga kita butuhkan untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan dalam mencoba pendekatan baru dalam penafsiran. Sebagaimana saya tulis dalam artikel terpisah, tafsir selalu berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu manusia. Dengan munculnya ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities) saat ini, pendekatan tafsir bisa diperkaya.

Sudah tentu, seperti pernah dikatakan oleh Prof. Khaled Abou El-Fadl, kita tidak bisa secara gegabah memakai pendekatan-pendekatan baru yang datang dari luar lalu memaksakannya ke dalam studi Qur'an (Baca pengantar Zuha Taji-Farouki untuk buku yang disuntingnya, "Modern Muslim Intellectuals and the Qur'an"). Prinsip ini berlaku untuk semua kitab suci. Saat hermeneutika berdiri sebagai bidang yang terpisah, kita menyaksikan ketegangan pula antara teori-teori hemeneutika dengan kajian Biblikal, terutama kajian yang sifatnya faith-based, atau berdasarkan iman. Jadi keliru sekali kalau sementara orang berpikiran bahwa ketegangan hanya terjadi antara hermeneutika dengan tafsir. Ketegangan itu terjadi pula antara hermeneutika dengan studi-studi Alkitab.

3.

Seorang pengkritik hermeneutika, Fahmi Salim, yang konon menulis tesis master tentang hermeneutika dan ta'wil di al-Azhar, mengutarakan dua perbedaan pokok antara ta'wil dan hermeneutika dalam sebuah artikel yang ia siarkan di koran Republika baru-baru ini. Saya kutip pendapatnya sedikit:

"...dari sisi etimologis saja padanan dua kata itu tidak dapat dikatakan sama. Orientasi takwil itu adalah penetapan makna, sementara orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Kekeliruan penerjemahan istilah peradaban lain ke dalam kamus peradaban kita, disadari atau tidak, akan dapat merusak konsep istilah keilmuan kita yang telah mapan."

Orientasi ta'wil adalah penetapan makna, menurut Salim. Ini tentu pengamatan yang sangat gegabah. Ta'wil, dalam praktek penafsiran Qur'an selama ini, alih-alih menetapkan makna, justru menguak keragaman makna yang sangat kaya. Penggambaran yang sangat baik mengenai ta'wil dikemukakan oleh Imam Ghazali dalam bukunya yang berjudul "Jawahir al-Qur'an wa Duraruhu" (Mutiara dan Permata Qur'an).

Dalam pengantar buku itu, al-Ghazali menggambarkan Qur'an seperti sebuah samudera yang luas dan dalam (ann al-Qur'an huwa al-bahr al-muhith). Al-Ghazali mengkritik mereka yang hanya berputar-putar di "pantai" Qur'an, tak berani naik perahu dan mengarungi lautan maknanya yang kaya. Al-Ghazali bertanya,

"Awa ma taghbithu aqwaman khadlu fi ghamrat amwajiha fazafiru bi al-kibrit al-ahmar?" Artinya: Apakah engkau tak iri pada orang-orang yang menceburkan diri dalam pusaran gelombangnya lalu memperoleh belerang merah?

Sebagaimana kita tahu, istilah "belerang merah" adalah salah satu ungkapan yang sering dipakai dalam konteks mistik Islam atau tasawwuf. Istilah itu kerap dipakai oleh mistik besar Islam, Ibn 'Arabi (baca buku Claude Addas, "Quest for the Red Sulphur: The Life of Ibn Arabi").

Walhasil, ta'wil adalah penjelajahan makna, bukan menetapkan makna. Ta'wil adalah menaiki kapal, mengarungi samodera teks untuk mengeduk mutiara dan permata. Dalam pandangan saya, orang-orang yang ingin menetapkan makna adalah mereka yang, memakai ungkapan metaforis al-Ghazali, takut mengarungi lautan dan hanya berpusing-pusing di pantai. Mereka paling jauh hanya mendapatkan kerang atau batu-batu karang yang tak seberapa nilainya.

Salim juga jelas keliru sekali ketika mengatakan bahwa "orientasi hermeneutika itu adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya." Watak ini bukan saja ada pada hermeneutika, tetapi juga ada pada tafsir dan ta'wil. Dalam tulisan yang lalu saya sudah menjelaskan keragaman tafsir Qur'an karena perbedaan orientasi teologis-filosofis penafsir. Antara penafsir Qur'an juga kerap terjadi "perang" pendapat. Metode tafsir juga terus berkembang dan bercabang-cabang.

Perbedaan kedua, menurut Salim, saya kutip dari dia agak lengkap:

"Kedua, dari segi latar belakang historisnya. Sebagaimana maklum, metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Barat-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya. Hal ini berbeda dengan Alquran. Tidak ada alternatif pemahaman selain bahwa Alquran, seluruh redaksi dan maksudnya langsung dari Allah SSWT. Status otoritatif yang diduduki Alquran tidak pernah dipertanyakan lagi."

Pernyataan ini hanya mengulang pendapat yang sudah sering dikemukakan oleh para pengkritik hermeneutika selama ini, bahwa teori itu berasal dari Barat dan dikembangkan dalam konteks kajian Bible. Saya sudah mengulas dalam tulisan terpisah, bahwa anggapan ini sama sekali keliru. Karena pernyataan ini sudah kerap diulang-ulang, saya bertanya-tanya: jangan-jangan para pengkritik hermeneutika ini sama sekali tak membaca dengan baik kepustakaan modern mengenai hermeneutika. Apakah mereka ini benar-benar membaca karya-karya Dilthey, Husserl, Gadamer, Heidegger, dan Habermas? Apakah mereka menelaah karya-karya Derrida, Barthes, Eco, Betti, Hirsch, Ricoeur, Rorty, dll?

Semua orang tahu bahwa para filosof modern yang meletakkan dasar-dasar filosofis bagi perkembangan teori-teori hermeneutika sama sekali tak ada kaitannya dengan kajian Bible. Nama-nama seperti Gadamer, Dilthey, Heidegger, dan Habermas bukanlah sarjana-sarjana yang bekerja dalam bidang studi Alkitab. Teori-teori mereka justru sebagian dipinjam oleh para sarjana Alkitab. Saya sungguh heran bahwa mereka tak mengetahui fakta yang sederhana seperti ini.

4.

Mohammed Mojtahed Shabestari adalah seorang ulama Syi'ah lulusan Qom (pesantren utama di Iran), dan pernah tinggal lama di Jerman, fasih menguasai bahasa Jerman, dan dengan penuh minat mempelajari filsafat dan pemikiran Gadamer, seorang filsuf yang kita tahu meletakkan landasan penting untuk hermeneutika. Ia adalah bagian dari barisan ulama "reformis" di Iran, bersama dengan nama-nama lain seperti Mohsen Kadivar, Abdul Karim Soroush, dll.

Yang menarik buat saya adalah bahwa ulama lulusan pesantren ini dapat mengawinkan antara tradisi ta'wil dengan hermeneutika. Dia mempelajari dengan sungguh-sungguh pemikiran Gadamer dan sejumlah pemikir Jerman yang lain. Ia mencoba mendialogkan antara filsafat baru itu dengan tradisi Syi'ah. Dengan pendekatan baru, ia melancarkan kritik atas pandangan keagamaan yang dianut oleh kalangan "penguasa agama" di Iran. Ia menulis buku-buku penting, antara lain: Hermenutik: Kitab va Sunnat (Hermeneutika: Kitab dan Sunnah), Iman va Azadi (Iman dan Kebebasan), Naqd bar Qara'at-e Rasmi-e Din (Kritk atas Pembacaan Resmi Agama).

Ulama Syi'ah yang satu ini adalah teladan yang amat baik untuk dipertimbangkan oleh para ulama dan sarjana Sunni, terutama mereka yang menaruh kecurigaan pada hermeneutika. Lihatlah Shabestari, seorang lulusan pesantren, dengan kreatif mengadopsi hermeneutika untuk membaca kembali warisan pemikiran Islam, tanpa ketakutan, tanpa rasa was-was bahwa tindakannya ini akan menghancurkan Islam dari dalam. Bandingkan contoh Shabestari ini dengan kasus salah seorang mahasiwa Indonesia yang menempuh studi doktoral di Jerman, di "sarang hermeneutika", tetapi menaruh kecurigaan yang hebat pada teori itu.

Betapa jauh perbedaan itu!

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

No comments: