Monday, January 7, 2008

Tak Ada Agama "Juru Selamat"

Ruzbihan Hamazani

Agama seringkali membuat kleim yang agak superlatif atau berlebihan. Hiperbola atau menyatakan sesuatu dengan cara dilebih-lebihkan adalah gejala yang menjangkiti hampir sebagian besar agama. Islam tak terkecualikan dari gejala semacam ini.

Salah satu "superlatif" atau gaya berlebih-lebihan semacam ini adalah semboyan yang kerap kita dengar dari sejumlah aktivis Islam: jika dilaksanakan dengan konsisten, Islam akan dapat menyelamatkan dunia. Ada kelompok Islam yang dengan penuh semangat membawa semboyan ini: jika syariat Islam dilaksanakan, maka seluruh masalah yang dihadapi manusia akan selesai. Dalam konteks yang lebih spesifik, dikatakan pula bahwa jika syariat Islam dilaksanakan maka seluruh masalah yang dihadapi negara Indonesia akan selesai.

Pernyataan bahwa agama (agama apapun) dapat menyelamatkan dunia jelas berlebihan. Pernyataan itu bisa dikemukakan di panggung pidato sebagai salah satu cara untuk mempersuasi atau membujuk pendengar. Dalam pidato, kita memang sering bertemu dengan teknik-teknik persuasi, antara lain dengan mempermainkan citraan-citraan yang menggugah, metafor, perlambang, peribahasa, dan, jangan lupa, hiperbola. Kalau kita dengar pidato Bung Karno, kita akan temukan teknik-teknik lihai semacam itu.

Untuk membujuk dan menarik pengikut, para aktivis dan da'i Islam kadang-kadang terpaksa atau malah dengan suka-cita mempermainkan bahasa hiperbola semacam ini. Seoang penulis India yang terkenal, Syaikh Abu 'l-Hasan Ali al-Nadawi, misalnya, menulis sebuah buku dengan judul yang jelas sangat "hiperbolik": Madza Khasira al-'Alam bi Inkhitath al-Muslimin (Bagaimana Derita Dunia Karena Kemerosotan Umat Islam). Judul buku itu mengesankan seolah-olah dunia kalang-kabut karena Islam runtuh dan kejayaan umat Islam pudar. Pernyataan ini jelas berlebih-lebihan, dan sebaiknya tak usah dipahami secara harafiah, sebaliknya semacam teknik bertutur saja untuk membujuk pembaca.

Bahasa hiperbolik memang sebaiknya dipahami sebagai teknik persuasi, dan janganlah dipahami apa adanya. Namun, dalam kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Orang-orang awam bisa terbujuk begitu jauh sehingga tak bisa membedakan antara metafor dan fakta. Mereka bisa percaya benar isi ujaran yang disampaikan dengan cara metaforis itu. Ini biasanya terjadi dengan mudah dalam ujaran-ujaran yang berkaitan dengan agama.

Saat dikatakan bahwa Islam dapat menyelamatkan dunia, banyak orang yang mempercayai hal ini sebagai hal yang benar-benar nyata, bukan sekedar retorika. Mereka akan marah besar jika dikatakan bahwa belum tentu dunia bisa diselamatkan seluruhnya dengan Islam. Hal ini terjadi bukan saja pada Islam, tetapi juga pada agama lain. Bukan hanya itu, teknik semacam ini juga sering dipakai oleh penganjur ideologi-ideologi sekuler seperti komunisme.

Jika pernyataan hiperbolik semacam ini dipercayai benar oleh pengikut agama bersangkutan, maka kita akan berhadapan dengan masalah yang serius. Jika Islam, misalnya, dipandang secara harafiah sebagai solusi untuk semua masalah dunia saat ini, maka akibatnya tidak main-main. Orang yang bersangkutan akan dengan gigih berjuang menegakkan Islam sebagai satu-satunya sistem yang berkuasa di dunia ini, dan menyingkirkan sistem-sistem yang lain. Apalagi jika keyakinan semacam ini didukung pula oleh pemahaman yang bersifat totaliter: bahwa dokrin tauhid (monoteisme) bukan saja berarti Tuhan adalah satu, tetapi sistem yang boleh tegak di dunia ini juga hanyalah satu sistem saja, yaitu sistem Tuhan. Di sini kita benar-benar berhadapan dengan masalah yang serius.

Kleim bahwa Islam atau agama apapun bisa menyelesaikan seluruh masalah yang dihadapi manusia saat ini selain berlebihan juga menunjukkan sejenis kesombongan. Dulu ideologi komunis pernah berambisi menjadi ideologi totaliter yang bisa menjelaskan apa saja, dan menyelesaikan nyaris apa saja. Keyakinan kaum komunis ini kemudian menular kepada aktivis Islam modern. Kalangan terakhir ini percaya bahwa "Islam is THE solution", bahwa Islam adalah penyelesaian SATU-SATUNYA untuk masalah apa saja. Kita tahu kelompok Islam yang mana yang mempunyai keyakinan semacam ini.

Pandangan semacam ini mengabaikan fakta bahwa masalah manusia begitu kompleks. Jika Islam menyelesaikan segala masalah, dan memang diandaikan mampu berbuat demikian, maka hal ini secara faktual tidak pernah terjadi. Bahkan pada zaman Nabi sendiri Islam tidak diandaikan sebagai agama yang mampu menyelesaikan apa saja. Ketika Nabi meninggal, banyak masalah yang belum bisa diselesaikan seluruhnya. Nabi sendiri tidak bisa menyelesaikan semua hal. Dan memang tak selayaknya Nabi menjadi sejenis "Superman" yang datang dengan segala resep untuk segala masalah. Nabi adalah manusia juga, dan dia haruslah berjuang untuk merumuskan solusi-solusi yang tepat untuk zamannya.

Benar bahwa Nabi mendapat bimbingan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya itu. Bimbingan itu datang dalam bentuk wahyu. Tetapi kita tahu dengan baik bahwa wahyu tidaklah menyelesaikan semua masalah. Tidak segala hal dibicarakan dalam wahyu. Umat Islam, sepeninggal Nabi, harus mencari solusi sendiri untuk masalah-masalah baru yang mereka hadapi, masalah-masalah yang tak pernah dihadapi oleh Nabi saat masih hidup. Tentu wahyu menjadi semacam petunjuk, tetapi petunjuk ini tak memuat "juklak" untuk menyelesaikan masalah apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Paling jauh wahyu hanya memuat "petunjuk umum", dan petunjuk umum itu pun tidak serta merta bisa dipakai secara praktis untuk menyelesaikan segala hal.

Dunia di mana manusia hidup adalah dunia yang ringkih, getas, dan mudah retak. Ia bukan sorga yang penuh dengan segala kesempurnaan. Manusia bisa terus mengusahakan perbaikan dan penyempurnaan atas kehidupan mereka, tetapi kesempurnaan yang sesempurna-sempurnanya tak akan pernah dicapai dalam dunia dan kehidupan sekarang. Jika manusia, dengan ideologi, doktrin, agama, atau paham tertentu merasa dapat meraih suatu dunia yang dengan mutlak begitu sempurna, maka ia telah berlagak sombong dan abai terhadap kekurangan-kekurangannya sendiri. Oleh karena itu, jika ada suatu kelompok yang percaya bahwa agama membawa "solusi terakhir" yang menyelamatkan seluruh dunia, maka hanya ada dua kemungkinan: atau orang itu sedang bermimpi, atau ia sedang memeragakan arogansi.

Dunia yang kompleks dan masalah manusia yang rumit tidak bisa diatasi oleh satu ideologi saja, satu paham saja, satu agama saja, satu doktrin saja. Masalah manusia haruslah diselesaikan secara bareng-bareng oleh seluruh agama yang ada. Semua agama besar di dunia saat ini dihadapkan pada sejumlah tantangan yang sama: kesenjangan kaya miskin yang terus melebar, angka kematian ibu yang masih tinggi di sejumlah dunia ketiga, kemiskinan, buta huruf, langkanya akses pada sumber-sumber ekonomi bagi masyarakat miskin, HIV/AIDS yang hingga sekarang belum ditemukan penangkalnya, pemanasan global, penindasan dan diskriminasi atas kelompok-kelompok minoritas, dsb. Masalah-masalah ini begitu kompleks sehingga mustahil bisa diatasi oleh satu pihak saja.

Tak ada panacea atau obat yang mujarab untuk segala penyakit. Tak ada agama yang bisa menjawab semua masalah. Agama adalah ilham bagi jutaan manusia untuk hidup secara etis dan bermoral. Agama adalah sumber ilham untuk menyelesaikan sejumlah masalah, tetapi yang jelas tidak semua masalah. Sementara itu, pada saat yang sama para pemeluk agama, termasuk Islam, haruslah sadar bahwa agama bukan saja sumber solusi, tetapi kadang-kadang juga menjadi sumber masalah itu sendiri.

Sekali lagi, tak ada agama "juru selamat". Skala masalah yang dihadapi manusia saat ini begitu besar, sehingga tak ada tempat untuk arogansi semacam itu. Seluruh agama sudah semestinya saling bekerjasama menghadapi tantangan besar tersebut. Bukan menepuk dada sendiri bahwa ialah satu-satunya solusi!

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

1 comment:

Anonymous said...

blog anda bagus dan mencerahkan. Izin saya link ke:
www.indonesianmuslim.com
www.almakin.blogspot.com