Monday, January 7, 2008

Mendengarkan Kritik-Kritik atas Islam

Ruzbihan Hamazani

1.

Saat ini kita seringklai mendengar kritik-kritik yang ditujukan kepada Islam. Islam di sini mencakup dua hal: Islam sebagai doktrin atau agama, dan Islam sebagaimana tercerminkan dalam perilaku sosial umatnya. Dengan kata lain, ada kritik yang diarahkan pada dua jenis Islam sekaligus: Islam normatif dan Islam historis.

Bagaimana umat Islam menghadapi kritik-kritik semacam ini?

Agama adalah hal yang sensitif di mana-mana, terutama bagi para pengikutnya. Kritik pada agama bukan saja menimbulkan kemarahan pada umat agama itu, tetapi bisa juga menyulut kerusuhan dan kekerasan fisik. Ini hal yang bisa kita maklumi, meskipun tidak bisa seluruhnya kita benarkan.

Ada dua jenis kritik: kritik destruktif dan kritik konstruktif. Kritik destruktif adalah kritik yang didasari oleh niat untuk menghancurkan sasaran kritik. Landasan kritik semacam ini adalah kebencian. Ia mengkritik bukan untuk menunjukkan titik-titik lemah agar diperbaiki oleh pihak lawan yang dikritik. Titik lemah itu didedahkan (exposed) agar sasaran kritik kehilangan legitimasi lalu hancur. Kritik konstruktif adalah sebaliknya: ia menunjukkan kelemahan agar pihak yang dikritik memperbaikinya.

Baik kritik konstruktif atau destruktif sama-sama menyakitkan. Tentu kritik destruktif jauh lebih menyakitkan, karena biasanya diutarakan dengan ungakapan-ungkapan yang mengarah kepada kebencian.

Kritik pada Islam selama ini bisa kita kelompokkan dalam dua kategori ini. Ada kritik yang tujuannya memojokkan Islam sebagai agama. Kritik semacam ini tidak bisa dijawab dengan memuaskan. Setiap jawaban dari pihak Muslim akan dijawab dengan kritik lain, begitu seterusnya ad infinitum. Kritik destruktif tidak ingin minta jawaban dari pihak yang dikritik; ia hanya ingin memojokkan dengan segala cara. Oleh karena itu, kritik destruktif biasanya akan berusaha mencari-cari segala macam helah atau trik-jahat agar dapat menemukan kesalahan pada Islam. Jika ditanggapi, kritik semacam ini akan berujung pada debat kusir yang akan memakan energi. Hasilnya bukan suasana dialogis untuk memahami posisi masing-masing, tetapi "permusuhan" yang penuh kebencian. Kritik destruktif semacam ini bisa kita lihat dalam sejumlah situs di internet yang jumlahnya "ombyokan" alias banyak sekali. Sejumlah buku yang nadanya kritik destruktif semacam ini juga banyak diterbitkan akhir-akhir ini, antara lain buku karangan Robert Morey, Islamic Invasion.

Sebagai catatan, kritik destruktif seperti ini bukan saja bisa diarahkan dari pihak "luar" terhadap Islam, tetapi kalangan Islam juga bisa melakukan hal yang serupa terhadap pihak lain. Bukan hanya bisa, tetapi memang sudah terjadi.

Kritik yang layak didengarkan adalah kritik yang tujuannya adalah untuk memperbaiki, yakni kritik konstruktif. Kritik ini sama dengan kritik sebelumnya: yaitu mengungkap kelemahan-kelemahan dalam Islam, entah sebagai doktrin atau sebagai praktek sosial. Hanya saja ada beda mendasar: yang pertama berniat untuk memojokkan, yang kedua bertujuan agar kelemahan itu diperbaiki.

Bagaimana kita tahu bahwa suatu kritik adalah destruktif dan bukan konstruktif atau sebaliknya?

Saya tak bisa menunjukkan teknik "cespleng" untuk membedakan antara keduanya. Setiap pembaca teks akan bisa merasakan bagaimana "niat" yang ada di balik teks itu. Sebagaimana kita tahu, teks bukan sekedar hamparan huruf dan kalimat. Teks memiliki rasa persis seperti sebuah masakan. Hanya orang yang membaca teks itu secara langsung bisa memberikan penilaian apakah rasa teks itu "mak nyosss" (meminjam ekspresi terkenal dari seorang ahli kuliner, Bondan Winarno) atau hambar sama sekali. Selain teks, kita juga bisa menilai melalui rekam jejak atau reputasi pengarang teks itu. Seseorang yang dikenal sebagai pembenci Islam, misalnya, kemungkinan besar akan menulis teks yang membenci Islam pula. Begitu juga sebaliknya.

Meskipun tak ada kaidah yang pasti, tapi ada semacam "clue" atau ancar-ancar yang bisa kita pakai. Kritik destruktif sebagian besar datang dari pihak luar, meskipun tak selamanya demikian. Sebaliknya, kritik konstruktif biasanya berasal dari kalangan dalam sendiri. Jika orang dalam Islam sendiri mengkritik agama itu, maka kemungkinan besar ia tak hendak memojokkan Islam, tetapi hendak memperbaiki Islam dari dalam. Begitu pula sebaliknya.

Kritik dari dalam biasanya disebut dengan "reformasi" atau ishlah. Oleh karena itu, kalau kita baca sejarah gerakan-gerakan reformasi dalam Islam, ia selalu dimulai dengan kritik-kritik atas Islam itu sendiri, baik sebagai doktrin atau praktek sosial. Reformasi dimulai dengan kritik atas status quo, the state that be, atau keadaan yang sudah mapan, sebagai ancang-ancang untuk menyampaikan usulan perbaikan. Dengan kata lain, kritik reformasi dimulai dengan destruksi atau perusakan untuk tujuan rekonstruksi atau membangun kembali. Beberapa orang menyebut kritik emacam ini sebagai "constructive destruction".

Lihatlah asal-mula agama Islam sendiri: Nabi memulai dakwah dengan kritik-kritik atas akidah dan praktek sosial masyarakat Arab zaman itu. Karena itu, kita, hingga tingkat tertentu, bisa menyebut Muhammad sebagai "social reformer", atau pembaharu sosial masyarakat Arab.

Kritik konstruktif terhadap Islam tentu banyak jenisnya: mulai dari yang "keras", keras sekali, sedang-sedang saja, hingga yang "lembut". Spektrum kritik yang bersifat membangun memang luas sekali. Harus diakui bahwa pada titik tertentu batas antara kritik konstruktif dan destruktif sangat tipis sekali, dan dalam keadaan semacam itu orang bisa memberikan penilaian yang berbeda-beda. Dalam keadaan semacam itu, kita dihadapkan pada fenomena "gelas setengah terisi": gelas yang terisi setengah, sebagaimana kita tahu, bisa dikatakan setengah terisi (kalau memakai sudut pandang yang konstruktif) atau setengah kosong (kalau memakai sudut pandang destruktif). Tetapi keadaan yang ekstrem biasanya jarang. Umumnya, kita bisa dengan tegas membedakan antara kritik membangun dan kritik memojokkan. Sesuai dengan kebijaksanaan yang dikenal di kalangan ahli statistik: kurva tengah selalu lebih "gendut" ketimbang kurva pinggir, entah pinggir kiri atau kanan yang umumnya "kerempeng".

2.

Kritik-kritik konstruktif telah disampaikan oleh banyak pihak dalam Islam sendiri, mulai dari yang lembut sampai yang keras atau keras sekali. Kritik-kritik yang lembut biasanya bisa diterima dengan lapang dada oleh kalangan Islam. Contoh kritik lembut yang sering kita dengar adalah berikut ini: umat Islam dikritik karena melaksanakan dengan taat ibadah-ibadah ritual seperti salat, puasa, dan haji; tetapi ibadah ritual itu tak ada pengaruhnya dalam prilaku sosial mereka. Mereka salat, tetapi pada saat yang sama tetap korupsi, maling, berzina, berbohong, menipu, menilep, memeras, dst. Kritik ini dengan senang hati diterima oleh umat Islam. Bahkan saking seringnya kritik itu diungkapkan, kita curiga jangan-jangan ini adalah kritik sebagai bagian dari "mannerisme" atau etiket dan sopan santun sosial. Sebagaimana dalam etiket sosial anda dituntut unggah-ungguh terhadap orang lain, begitu pula saat berdakwah anda dituntut untuk menyampaikan kritik. Tentu kritik yang sudah "disetujui" oleh masyarakat. Contoh kritik di atas adalah salah satu bentuk kritik yang sudah "direstui", kritik yang disanitasi.

Sudah tentu, istilah "kritik yang direstui" adalah sejenis oksimoron, sama saja dengan mengatakan "orang bodoh yang cerdas sekali". Apapun, itulah yang terjadi dalam masyarakat Islam sekarang. Secara empiris, kita memang melihat sejumlah kritik yang bisa diterima, bahkan dianggap sebagai bagian dari etiket sosial.

Kritik semacam ini tentu tak banyak faedahnya. Para "social reformer" di mana-mana biasanya tidak mengajukan kritik yang "direstui". Mereka datang dengan kritik yang sama sekali tak terduga-duga, dan karena itu biasanya mengagetkan masyarakat. Kalau mereka mengajukan kritik yang telah direstui, "kritik yang manis", tentu tak akan timbul perubahan apa-apa. Kritik manis hanya akan melanggengkan keadaan seperti adanya, business as usual.

Kritik yang sama sekali tak manis dan tak terduga-duga ini jelas ditolak oleh masyarakat. Setiap gerakan reformasi selalu menimbulkan efek "gempa sosial". Untuk beberapa waktu, Nabi melakukan dakwah diam-diam di Mekah, sampai akhirnya diperintahkan untuk berterus terang. Perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad untuk melaksanakan dakwah terang-terangan (al-da'wah al-jahriyyah) diungkapkan dengan ungkapan yang menarik sekali: fa-shda' bima tu'maru (QS 15:94). Arti penggalan ayat itu: siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu dengan terus terang. Kata "fa-shda'" mengingatkan kita pada ungkapan "al-shad'ah al-kahraba'iyyah" yang artinya adalah sengatan listrik--dua kata itu berasal dari akar yang sama. Kritik yang disampaikan oleh para pembaharu sosial biasanya bukanlah dari jenis kritik biasa yang sudah "direstui" dan disanitasi, tetapi kritik yang menimbulkan sengatan listrik.

3.

Para pengkritik Islam sudah sering kita jumpai selama ini. Para intelektual Muslim yang dikenal sebagai para pembaharu biasanya melakukan sejumlah kritik atas Islam dengan cara melakukan interpretasi atas ajaran-ajaran yang dianggap tak lagi relevan dengan perkembangan zman. Kita kenal misalnya figur alm. Prof. Dr. Munawir Sjadzali, mantan Menteri Agama, yang pernah melontarkan gagasan tentang kontekstualisasi ajaran Islam. Ia, misalnya, menganggap bahwa pola pembagian waris 2:1 dalam Islam selama ini sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman. Saat Pak Munawir mengemukakan kritiknya ini, banyak orang yang seperti terkena "sengatan listrik".

Kita kenal figur Prof. Dr. Nurcholish Madjid yang membawa sejumlah gagasan pembaharuan. Ia menawarkan pemahaman Islam yang inklusif, bukan yang eksklusif. Kita mengenai figur Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai Gus Dur yang pernah menawarkan gagasan pribumisasi Islam. Islam yang datang dari Arab, menurut Gus Dur, harus ditafsirkan begitu rupa agar kontekstual dengan kondisi pribumi di Indonesia sendiri. Kita mengenal figur alm. Prof. Hasbi Asshiddiqie yang pernah mengenalkan gagasn fikih mazhab nasional yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, bukan mazhab Hanafi, Maliki, Shafi'i atau Hanbali yang datang dari tanah Arab itu. Kita mengenal figur Masdar F. Mas'udi yang mengenalkan gagasan tentang fikih pajak dan reinterpretasi radikal atas konsep zakat.

Dari luar Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh serupa yang banyak sekali. Kita mengenal nama-nama seperti Abdullahi Ahmed An-Na'im, Khaled Abou El-Fadl, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Shahrur, Mohammed Arkoun, Amina Wadud, Abdul Aziz Sachedina, Mahmud Ayoub, Hassan Hanafi, dsb. Mereka itu, dengan caranya sendiri-sendiri, melakukan kritik atas Islam dengan cara menafsirkan kembali sejumlah ajaran di sana. Mereka mengkritik tafsir kaum ortodoks yang kaku. Kritik-kritik mereka sudah tentu menimbulkan kontroversi dan debat yang panas. Sebagaimana sudah saya katakan sebelumnya, setiap kritik-tak-manis memang akan selalu menimbulkan sengatan listrik. Kalangan yang dikritik tentu tak senang dengan kritik-kritik itu. Pihak yang terakhir ini "menyerang" balik dengan pelbagai macam cara, mulai dari yang halus sampai yang kasar. Cara yang kasar misalnya menuduh para pemikir Muslim itu sebagai "antek Yahudi" untuk merusak Islam dari dalam. Ini tuduhan yang sudah menjadi "lagu wajib" di mana-mana.

Kita patut bersyukur pada para pemikir Muslim itu: mereka telah menyampaikan kritik konstruktif pada Islam, pada sejumlah tafsir dan pandangan ortodoks yang dianggap (oleh kalangan ortodoks tentunya) identik dengan Islam, pada praktek-praktek sosial masyarakat Islam sendiri yang menyimpang dari ajaran Islam.

Kritik adalah semacam obat. Menelan obat tak ada yang menyenangkan. Kritik para pemikir Muslim itu diperlukan agar umat Islam sembuh dari pemahaman-pemahaman agama yang tertutup, kaku, suka menyesatkan pihak lain, dsb. Jika umat Islam hanya mendengarkan "kritik manis" saja yang sudah "direstui" seperti terjadi selama ini, maka tak akan terjadi perbaikan dalam tubuh umat Islam.

Ketimbang mengarahkan terus-menerus kritik ke "luar", ada baiknya umat Islam mendengar kritik dari dalam yang ditujukan pada dirinya sendiri. Otokritik, itulah yang dibutuhkan oleh umat Islam sekarang.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

No comments: