Monday, January 28, 2008

Soeharto dalam Timbangan

Ruzbihan Hamazani

Minggu, 27 Januari 2008 yang lalu, Presideng Soeharto meninggal dunia. Kita, baik sebagai umat Islam atau bangsa Indonesia, layak mengucapkan belasungkawa dan selamat tinggal kepada mantan presiden yang berkuasa selama kuang lebih 30 tahun itu.

Berikut ini adalah esei pendek yang mencoba melihat "warisan" Soeharto, baik yang baik maupun buruk. Dengan mengingat kembali apa yang telah dilakukan Soeharto, kita, sebagai bangsa, dapat merencanakan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia, dengan cara meneruskan hal-hal baik yang diwariskan Soeharto, serta menghindari hal-hal buruk yang pernah ia lakukan. Tulisan ini adalah semacam "neraca" atau hisab bagi Soeharto sebagai bahan pelajaran buat kita semua.

Soeharto naik ke kursi kepresidenan dalam situasi kemelut politik yang mendera bangsa Indonesia pada awal 60an. Saat itu, persisnya pada 1965, terdapat usaha kudeta militer untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno. Entah kudet itu dilakukan oleh pihak PKI (seperti versi pemerintah selama ini), angkatan darat (versi Cornell Paper), atau justru diketahui dan disetujui oleh Bung Karno sendiri, kita semua tahu bahwa kudeta itu telah memuluskan jalan bagi naiknya Kolonel Soeharto saat itu untuk pelan-pelan memantapkan diri sebagai presiden dan mandataris MPR.

Pemerintahan Soeharto yang berlangsung kurang lebih 32 tahun, dikenal sebagai orde baru. Salah satu ciri-ciri pokok dari orde ini adalah kuatnya kekuasaan militer dalam hampir semua sektor pemerintahan. Orde ini mengenal suatu pola hubungan sipil-militer yang disebut dengan dwi fungsi, di mana militer diberikan keleluasaan untuk mengambil peran yang besar dalam wilayah sipil, selain wilayah tradisional mereka sendiri, yakni wilayah militer. Dengan doktrin dwi-fungsi ini, kita menyaksikan dominasi militer dalam birokrasi, partai, dan wilayah-wilayah pemerintahan yang lain. Doktrin ini ditegakkan dengan alasan untuk memantaplan stabilitas politik. Orde baru yang dikenalkan oleh Soeharto, dengan demikian, adalah orde militer.

Ketidakmenentuan politik yang menjadi ciri orde sebelumnya, yakni orde lama, pelan-pelan dapat diatasi oleh Soeharto, tetapi dengan harga yang sangat besar, yakni pelanggaran hak asasi secara besar-besaran, pembatasan kebebasan sipil dalam segala bentuknya, pemberangusan kebebasan pers, marginalisasi kelompok-kelompok minoritas, serta sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di Jakarta dan Jawa. Kehidupan multi-partai yang menjadi ciri khas kehidupan politik di Indonesia di era liberal tahun 50an diakhiri dengan cara menyederhanakan partai-partai menjadi hanya tiga: PPP, Golkar dan PDI. Seluruh kehidupan partai harus dikontrol dengan ketat oleh pihak militer.

Tetapi, bersamaan dengan itu, stabilitas politik memungkinkan pembangunan berjalan dengan lancar. Pertumbuhan ekonomi berlangsung dengan pesat. Pelan-pelan, Indonesia yang semula bersikap konfrontatif terhadap dunia luar, mulai terintegrasi ke dalam ekonomi internasional. Indonesia memperoleh kepercayaan dari lembaga-lembaga donor internasional seperti Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia dan lembaga-lembaga keuangan multilateral yang lain. Dengan kepercayaan itu, pemerintah orde baru mendapat pinjaman hutang yang dibutuhkan untuk memutar kembali roda pembangunan ekonomi yang nyaris macet total pada periode-periode sebelumnya. Dengan pinjaman itu, pemerintah dapat mulai membangun kembali sekolah, rumah sakit, pertanian, serta infrastruktur pokok yang lain seperti pembangkit listrik, jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan telpon, listrik, dll. Dengan hutang itu pula, sejumlah potensi alam Indonesia yang sebelumnya tak terurus bisa dikelola kembali. Kepercayaan asing yang meningkat juga menyebabkan investasi asing berkembanh pesat. Perusahaan-perusahaan asing mulai membuka usaha manufaktur dan pengolahan tambang di Indonesia. Sementara itu, sumber minyak yang cukup kaya di Indonesia mulai diolah dan menjadi salah satu soko guru pembiayaan ekonomi Indonesia dalam waktu yang cukup lama. Indonesia menjadi anggota negara-negara eksportir minyak yang dikenal dengan OPEC. Peran minyak dalam ekonomi Indonesia, sebagaimana kita tahu, sangat besar sekali.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama pemerintahan Soeharto cukup tinggi dan stabil, yakni antara 6-9 persen setahun. Harga-harga kebutuhan pokok juga cukup stabil dalam waktu yang cukup lama hingga datangnya krisis ekonomi pada 1997. Pemerintah dengan sadar melihat pentingnya kebutuhan pokok tersedia dalam jumlah yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat luas. Karena itu, politik harga gabah dan beras memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga stabilitas politik selama orde baru. Pada era Soeharto lah rakyat Indonesia dapat makan nasi tiga kali sehari dengan harga yang terjangkau. Sebelum era itu, nasi adalah makanan yang sangat sulit dijangkau oleh rakyat kecil. Ini semua tentu tak terlepas dari revolusi hijau di bidang pertanian yang memungkinan pengembangan varietas padi unggul yang memperpendek usia panen serta tahan wereng. Kombinasi antara revolusi hijau, integrasi Indonesia dalam ekonomi global, serta stabilitas politik telah memungkinkan tercapainya keserjahteraan secara relatif bagi rakyat Indonesia. Hingga akhir dekade 70an, pemerintahan Soeharto adalah ibarat "majik" atau sihir bagi negara Indonesia, karena berhasil menciptakan perubahan yang sangat signifikan dalam usaha mencapai kesejahteraan masyarakat.

Diukur dari dampak riil yang dinikmati oleh rakyat kecil di pedesaan, periode itu boleh kita sebut sebagai periode kesuksesan besar orde baru. Saat itulah rakyat kecil bisa menikmati pendidikan murah melalui proyek SD Inpres, layanan kesehatan yang murah pula melalui Puskesmas, serta stabilitas ekonomi yang memungkinkan rakyat melaksanakan kegiatan perdagangan dengan cara yang normal. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan dan listrik jelas memainkan peran penting dalam normalisasi aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh pedagang kecil. Tanpa transportasi yang baik, tentu aktivitas ekonomi akan mengalami hambatan yang serius.

Tetapi, kisah sukses di bidang pembangunan ini memang harus dibayar dengan harga mahal. Harga besar yang harus dibayar adalah lumpuhnya kehidupan demokrasi. Penyelenggaraan pemerintahan berlangsung dengan gaya yang sangat militeristik dengan ciri-ciri utama, antara lain, tekanan berlebihan pada aspek stabilitas dan keseragaman. Oposisi politik diberangus sama sekali. Salah satu ancaman besar bagi orde baru adalah kekuatan komunis. Sejarah orde baru ditandai dengan pembunuhan ratusan ribu anggota atau mereka yang dicurigai (benar atau salah) sebagai anggota PKI. Orde baru telah menciptakan "gulag" dan "digul"-nya sendiri, tempat di mana pemerintah berkuasa dapat menyingkirkan mereka yang dianggap sebagai oposan. Kita menyasikan "digul" dalam bentuk yang ekstrem seperti Pulau Buru yang menjadi tempat pembuangan para aktivis PKI, atau dalam bentuk yang moderat, yakni penjara yang selama orde baru berkuasa menjadi tempat ratusan aktivis politik mendekam karena kegiatan mereka menentang pemerintah. Pelanggaran hak asasi manusia berlangsung secara besar-besaran selama pemerintah orde baru.

Kita bisa paham bahwa pembangunan ekonomi memang membutuhkan stabilitas yang memadai agar keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat dapat diambil secara cepat. Tetapi kita patut bertanya, apakah tindakan "sadis" terhadap para penentang pemerintah yang berlangsung pada awal pemerintahan Soeharto adalah hal yang tak terhindarkan sama sekali. Kita semua tentu mendukung pembangunan yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran bersama. Tetapi, kita jelas tak setuju jika pembangunan itu dilaksanakan dengan mengorbankan sama sekali hak-hak sipil masyarakat dan menutup sama sekali oposisi. Sebagaimana kita tahu, usaha pemerintah untuk menutup sama sekali oposisi sama sekali tak bisa dipertahankan.

Dekade 90an menyaksikan perkembangan penting, yakni terbukanya kran kebebasan politik. Pertumbuhan ekonomi yang makin baik pada periode sebelumnya menyebabkan naiknya aspirasi dan keinginan masyarakat yang tak semuanya bisa dibendung oleh pemerintah. Keterbukaan pada akhirnya tak bisa dihindarkan sama sekali. Meskipun gaya pemerintahan yang militeristis masih tetap bertahan, dan peran militer masih tetap besar di segala sektor, pemerintah mulai pelan-pelan membuka kebebasan bagi masyarakat. Kritik-kritik terhadap pemerintah melalui media massa mulai diperbolehkan, sesuatu yang nyaris mustahil terjadi pada periode sebelumnya. Etatisme ekonomi juga mulai dikendurkan dengan cara membuka peluang yang lebih besar bagi sektor swasta. Salah satu kebijakan penting pada periode ini adalah deregulasi perbankan yang sebetulnya sudah dimulai sejak awal dekade 80an. Kebijakan ini telah memungkinkan bangkitnya lembaga-lembaga keuangan swasta. Belakangan kita semua tahu, lembaga-lembaga keuangan swasta ini terbukti rapuh sekali, dengan pengawasan yang sangat lemah dari pihak bank sentral, yakni BI. Akhirnya, lembaga-lembaga keuangan swasta ini menjadi alat "meraup" dana masyarakat untuk membiayai kegiatan bisnis para konglomerat yang merupakan pemiliki bank-bank tersebut. Saat kritis ekonomi tiba, bank-bank itu rontok semua, dan pemerintah terpaksa menalangi uang masyarakat yang disimpan di bank-bank swasta itu.

Kebebasan politik yang dibuka katupnya sejak awal 90an ternyata menyuburkan kembali oposisi masyarakat. Pada periode itulah kita menyakikan kembali maraknya protes-protes mahasiswa di sejumlah kampus, serta lahirnya Forum Demokrasi yang dididirikan oleh Abdurraman Wahid (alias Gus Dur) bersama kawan-kawan. Forum ini menjadi pengimbang dari lembaga "Islam" baru yang diciptakan oleh pemerintah untuk meraup dukungan dari kalangan Islam, yakni ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Pemerintah melihat bahaya besar dari maraknya oposisi ini. Pemerintah mulai memakai tangan besi kembali untuk menutup kran kebebasan yang telah menjadi "kuda troya" bagi musuh-musuh pemerintah itu. Salah satu peristiwa penting dari perubahan kebijakan pemerintah ini adalah pembredelan tiga media penting pada 21 Juni 1994, yakni Tempo, Detik dan Editor. Tiga media ini, terutama Tempo dan Detik, dianggap terlalu kritis pada pemerintah, sehingga penutupan mereka dianggap oleh pemerintah akan memberikan efek "cegah" (deterring effect) terhadap kelompok-kelompok lain yang hendak melakukan oposisi. Usaha pemerintah itu ternyata sia-sia. Angin kebebasan yang berhembus sejak awal 90an terus melaju tanpa bisa dikontrol, hingga datang krisis ekonomi pada Agustus 1997. Krisis inilah yang melemahkan seluruh sendi ekonomi Soeharto. Selama ini legitimasi pemerintah Soeharto dibangun melalui stabilitas ekonomi. Krisis keuangan pada tahun itu telah merontokkan sendi utama pemerintah orde baru. Kita semau tahu, ujung dari krisis itu adalah mundurnya Soeharto pada 18 Mei 1998 yang kemudian diikuti dengan lahirnya reformasi besar-besaran, terutama di bidang politik.

Sebagaimana kita tahu, dampak paling serius dari matinya oposisi, lemahnya partai, dan gaya pemerintah yang sentralistis dan militeristis sepanjang orde baru adalah hilangnya kontrol dari masyarakat. Mungkin kita masih bisa memahami politik stabilitas yang diterapkan pada awal periode pemerintahan Soeharto. Tetapi, pelan-pelan, politik stabilitas itu menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Ini terjadi sejak pertengahan 80an hingga akhir pemerintahan Soeharto. Akibat serius dari lemahnya kontrol masyarakat sebagai akibat dari pemberangunsan oposisi adalah KORUPSI. Warisan buruk dari zaman Soeharto adalah praktek korupsi yang menyebar seperti virus dan menyerang hampir semua sektor kehidupan masyarakat. Hingga saat ini, kita masih terseok-seok mengatasi warisan orde baru ini. Korupsi bukan lagi gejala empiris, tetapi tampaknya sudah menjadi penyakit mental masyarakat.

Bagaimana kita bersikap pada Soeharto?

Sikap yang terbaik adalah "memaafkan tanpa melupakan". Memaafkan karena kita tahu bahwa Soeharto tak seluruhnya meninggalkan warisan yang jelek. Banyak sekali hal baik yang telah dikerjakan selama pemerintahannya. Tetapi, kita tak boleh lupa warisan buruk yang ia tinggalkan. Kita harus tetap ingat ratusan ribu nyawa yang melayang saat terjadinya kudeta pada 1965 dan tahun-tahun setelah itu. Kita tak boleh juga lupa pada ribuan nyawa yang mati karena menentang pemerintahan Soeharto. Kita tak boleh melupakan ribuan orang yang menjadi tahanan politik. Kita tak boleh lupa pada diskriminasi yang diterapkan pemerintah orde baru terhadap etnis Tionghoa. Kita tak boleh lupa pada pemberangusan partai-partai dan kelompok-kelompok Islam. Kita tak boleh lupa pada praktek koriniisme yang memungkinkan anak-anak dan cucu-cucu Soeharto menikmati privelese bisnis yang luar biasa. Karena kita tak lupa, maka proses pengadilan atas kasus korupsi yang melibatkan keluarga Soeharto tetap harus diteruskan. Sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Soeharto tetap harus diusut walapun yang bersangkutan telah meninggal. Pengusutan ini berguna bukan semata-mata demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi juga agar kita semua tak lupa pada kejahatan politik Soeharto, dan agar kita tak terjatuh kembali dalam "lubang buaya" yang sama.

Kita dengan sedih melihat betapa mudahnya masyarakat lupa terhadap kejahatan politik yang pernah dilakukan Soeharto dulu dan pelan-pelan mulai mengulanginya kembali. Contoh terbaik adalah praktek kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam terhadap kaum minoritas Ahmadiyah dan kelompok-kelompok lain yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang benar (baca: versi Islam ortodoks yang diwakili oleh MUI). Mereka yang melakukan kekerasan ini lupa bawa salah satu tujuan penting gerakan reformasi yang berakhir dengan penggulingan Soeharto adalah untuk memulihkan kebebasan sipil yang dulu dirampas oleh pemerintah orde baru. Salah satu aspek penting dari kebebasan sipil itu adalah kebebasan memeluk dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan. Ini adalah kebebasan yang dijamin oleh konstitusi. Sekarang kita melihat sejumlah kelompok Islam dengan semena-mena melakukan pemberangusan kebebasan kelompok Ahmadiyah dan kelompk-kelompok lain. Tindakan ini sama dengan tindakan serupa yang dilakukan pemerintah Soeharto dulu untuk mendiskriminasi warga Tionghoa. Pelanggaran hak-hak asasi dulu dilakukan secara "resmi" oleh negara dan pemerintah. Sekarang tampaknya "dosa" itu diambil alih oleh masyarakat, dalam hal ini adalah sebagian kelompok Islam. Kita tak boleh membiarkan "kejahatan" seperti ini berlangsung terus.

Ya, memaafkan tanpa melupakan. Kita tak boleh lupa terhadap kejahatan orde baru agar kita tak mengulanginya kembali. Kita mengingat jasa-jasa baik Soeharto selam pemerintah agar kita dapat meneruskannya.

Mari kita membaca al-fatihah untuk Presiden Soeharto.

No comments: