Sunday, January 6, 2008

Ramai-Ramai Menghina Kitab Suci Tuhan

Ruzbihan Hamazani

Ini adalah sekedar renungan pendek di akhir minggu.

Saya sungguh heran dengan perangai umat Islam saat ini, terutama pada saat menjelang akhir tahun. Saya melihat banyak sekali informasi bertebaran entah di situs atau milis-milis yang mendiskusikan soal Kristen, Natal, Yesus, Injil, dsb. Belum lagi buku-buku, majalah, dan rekaman ceramah dalam bentuk kaset, VCD atau DVD. Isinya antara lain: menjelek-jelekkan Injil yang merupakan kitab suci orang Kristen, mencari-cari segala bentuk kesalahan di sana.

Asal-usul dari informasi semacam ini, sebagaimana kita tahu, adalah Kristologi, yaitu kajian tentang Kristen yang dilakukan oleh sejumlah kalangan Islam untuk menjelek-jelekkan agama dan kitab suci Kristen.

Tindakan mencari-cari kesalahan dalam kitab suci ini bukan mustahil ada juga pada pihak Kristen, terutama kalangan fundamentalis-evangelis. Sebagaimana di Islam ada Kristologi untuk mencari-cari kesalahan Kristen, begitu pula dalam Kristen ada pula semacam Islamologi untuk mencari-cari kesalahan dan kelemahan Islam.

Orang yang mencari-cari kesalahan biasanya memakai trik-trik tertentu, kadang tipuan, persis seperti tukang sulap. Salah satu trik yang biasa dipakai adalah membaca kitab suci dengan cara "mutilasi" yaitu dicincang-cincang di luar konteks. Beberapa ayat dicomot, dipahami secara seenaknya saja, lalu diambillah kesimpulan bahwa ayat ini bertentangan dengan ayat lain. Sejumlah ayat diolok-olok sebagai non-sense.

Trik lain: memakai doktrin agama yang bersangkutan untuk "menghakimi" kitab suci agama lain. Contoh yang kerap kita lihat: seorang pembaca Muslim memakai "iman Islam" untuk menghakimi kitab-kitab suci agama lain. Begitu pula, orang Kristen memakai standar Kristen untuk membaca Qur'an.

Seorang penginjil Amerika bilang: Islam menghendaki umatnya untuk mati demi Tuhan; Tuhan Kristen siap mati disalib untuk umatNya. Mana yang lebih baik? Ini adalah trik atau tipuan untuk menjebak orang awam. Trik serupa bisa dilakukan oleh penganut agama manapun kepada agama apapun yang mereka benci.

Kalau kitab suci diperlakukan dengan cara seperti itu, tak ada yang selamat dari cela. Qur'an, kitab suci umat Islam, bisa juga diperlakukan dengan cara seperti itu. Semua kitab suci memiliki "Achilles' heel" atau kelemahannya masing-masing, kalau toh kita mau mengais-ngais kesalahan itu.

Banyak orang lupa: kitab suci memiliki makna yang mendalam bagi mereka yang mempercayainya. Bibel adalah kitab suci yang mempunyai pengaruh mendalam dalam kehidupan orang Kristen. Torah adalah kitab suci yang membentuk kehidupan umat Yahudi. Qur'an adalah dasar hidup bagi umat Islam. Begitu pula kitab-kitab suci yang lain: Veda, Upanishad, Bhagawad Gita, dsb.

Setiap umat Islam mestinya menyadari bahwa Bibel adalah kitab suci yang memiliki makna mendalam bagi orang Kristen, sebagaimana Qur'an juga memiliki makan serupa bagi mereka. Bagi orang Islam, mungkin beberapa bagian dalam Bibel tampak lucu. Tetapi sadarkah mereka bahwa bagi orang Kristen, bagian-bagian tertentu dalam Qur'an juga bisa tampak lucu?

Kalau kita tak merupakan bagian dari suatu masyarakat yang mempercayai adat tertentu, kita akan merasakan sejumlah kelucuan dalam adat itu. Tetapi, begitu kita masuk dan "tenggelam" dalam adat dan tradisi masyarakat itu, menghayatinya dengan mendalam, kita akan tahu betapa dalamnya makna adat itu bagi masyarakat bersangkutan.

Cara terbaik untuk membaca kitab suci agama lain adalah dengan "menenggelamkan" diri anda dalam kitab suci itu, menghayatinya, seolah-olah anda menjadi bagian dari "medan makna"-nya. Hanya dengan cara seperti itu, masing-masing umat beragama bisa menghargai kekayaan tradisi keagamaan agama-agama lain.

Kalau kita membaca kitab suci agama lain dengan "mata kecurigaan", bukan dengan rasa simpati, maka yang terjadi adalah orang-orang akan ramai-ramai menghina kitab suci Tuhan. Lihatlah saat ini, umat Islam ramai-ramai membenci Injil. Kristen membalasnya dengan hal serupa.

Bisakah kita mengakhiri lingkaran setan ini? Bisa, jawab saya.

Dengan apa?

CINTA!

Simpati!

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.

2 comments:

Anonymous said...

Thanks untuk catatan akhir minggu yang menyejukkan hati dan pikiran.

Kalau boleh usul, bolehkah Bapak(Mas/Abang/Aak/atau?) coba membingkai masalah "agresifitas" para "rohaniwan" ini dengan pendekatan stages of faith nya James Fowler. Pasti akan jadi tulisan yang menarik.

Anonymous said...

Panggil saja "Mas". Terima kasih untuk komentar Tifa. Terima kasih juga untuk sarannya memakai pendekatan James Fowler. Mungkin lain kali saya akan menulis artikel tentang tahap-tahap beragama ("stages of faith", kata Fowler). Sebagaimana manusia, memang beragama ada tahap-tahapnya. Ada tahapnya ketika seseorang tak merasa yakin dan "pede" beragama kalau tak menyalahkan yang lain dulu. Ini saya kira bukanlah tahap beragama yang ideal. Tahap yang tertinggi adalah tahap "inklusif", tahap di mana semua agama dipandang sebagai keluarga besar agama-agama dunia yang saling menyempurnakan. Tahap ini memang sulit dicapai, dan lebih-lebih lagi jarang diajarkan ke umat. Yang terjadi umat dipaksa mandeg di tahap tertentu, tak naik-naik kelas. Sayang memang.