Monday, January 28, 2008

Dosa, Kejahatan dan Maksiat

Ruzbihan Hamazani


1.

Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, tampaknya pengertian tentang "dosa", "kejahatan" dan "maksiat" harus dipahami ulang sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam hubungan sosial antaragama. Tulisan pendek ini mencoba memberikan tafsiran baru atas tiga istilah itu.

Dosa selama ini dipahami oleh umat Islam sebagai pelanggaran atas aturan-aturan yang telah ditentukan oleh agama. Contoh-contoh berikut ini bisa menjadi semacam ilustrasi. Jika seseorang tak melaksanakan salat Jumat, atau salat lima waktu sebagaimana diwajibkan oleh ajaran Islam, maka ia telah berdosa. Seoerang yang tak berpuasa, dia berdosa. Seorang tak tak membayar zakat fitrah, ia berdosa. Seseorang yang menghardik orang-tuanya, ia berdosa. Begitu pula jika seseorang mencuri atau membunuh orang lain, maka ia juga berdosa. Seseorang yang menyerobot tanah tetangganya, ia berdosa. Begitu seterusnya.

Pemahaman seperti ini, dalam konteks negara non-agama seperti Indonesia, jelas kurang tepat. Saya hendak mengusulkan definisi lain sebagaimana di bawah ini.

Dosa adalah pelanggaran hukum agama yang sama sekali tak diatur oleh hukum positif negara. Jika seseorang tak melaksanakan salat, maka ia berdosa, tetapi ia tak melanggar hukum negara. Tetapi, jika seseorang mencuri, maka ia berdosa dan melakukan kejahatan sekaligus. Berdosa karena ia melanggar ketentuan agama yang melarang pencurian, tetapi juga kejahatan, karena tindakan mencuri melanggar hukum positif yang ditetapkan oleh negara.

Kejahatan, sebagaimana sudah disebut di atas, adalah tindakan melawan hukum negara. Jika seseorang merampok atau korupsi, dia melakukan suatu tindakan yang masuk dalam dua kategori sekaligus: kejahatan, karena melanggar hukum positif, dan dosa karena melanggar hukum agama. Tetapi jika seseorang melanggar hukum lalulintas, seperti menerabas marka jalan, maka dia hanya dapat dikatakan melanggar hukum negara, tetapi dia tidak, atau sekurang-kurangnya belum tentu berdosa, sebab dalam agama tak ada ketentuan larangan untuk melanggar marka jalan. Agama sama sekali tak punya aturan khusus mengenai lalulintas, sehingga dengan demikian pelanggar hukum lalulintas tidak bisa disebut berdosa. Begitu pula jika seseorang melakukan pembajakan suatu karya, misalnya menerbitkan sebuah buku karya orang lain tanpa memperoleh hak cipta, maka ia melakukan kejahatan "intellectual property", tetapi tidak berdosa dalam pandangan agama. Agama, sekurang-kurangnya Islam, tak memiliki aturan khusus mengenai "intellectual property right". Kalaupun ada aturan mengenai itu, paling jauh hanyalah merupakan hasil ijtihad ulama modern. Dalam Quran dan hadis sendiri tak ada aturan yang jelas mengenai hak cipta intelektual.

Maksiat adalah kategori yang tak jauh berbeda dengan "dosa", yakni melanggar hukum agama yang tak diatur oleh hukum negara. Tetapi maksiat memiliki pengertian yang lebih khusus, yakni pelanggaran hukum agama yang bersifat individual; hukum yang sedikit sekali dampak sosialnya. Jika seseorang "dengki" atau "ghibah", yakni membicarakan kejelekan orang lain, maka dia melakukan maksiat. Jika seseorang melihat perempuan yang bukan muhrim (perempuan yang bukan kerabat dekat), maka dia melakukan dosa dalam pengertian "maksiat". Jika seseorang melakukan onani, maka ia berdosa dalam pengertian maksiat. Jika seseorang pacaran dan melakukan "petting", maka ia berdosa dalam pengertian yang sama. Begitulah seterusnya. Tetapi keseluruhan tindakan itu tidak masuk dalam ketegori kejahatan.


2.

Negara tak semestinya mencampuri hukum agama yang mengatur hubungan antara seseorang dengan Tuhan. Perintah melaksanakan salat, misalnya, adalah wilayah murni agama. Negara tak semestinya dipakai sebagai alat untuk menegakkan hukum ini. Negara tak bisa memaksa seseorang melakukan salat, puasa, haji, atau zakat. Jika seseorang sudah memiliki uang yang cukup dan tak melaksanakan haji, maka dari sudut pandang agama (Islam) dia berdosa, tetapi negara tak berhak memaksa dia untuk melaksanakan haji. Begitu pula, negara tak berhak memaksa penduduknya untuk melaksanakan salat Jumat, misalnya, seperti terjadi di Aceh sekarang. Pelaksanaan ibadah tak bisa dipaksakan, sebab ibadah melibatkan niat dan keikhlasan yang tak bisa dipaksakan. Tugas agar perintah salat ditaati oleh umat Islam ada pada masyarakat Islam sendiri, melalui dakwah dengan sejumlah variasi metodenya. Tetapi negara, sekali lagi, tak bisa dipakai sebagai "enforcement" atau alat penegakan perintah agama seperti salat itu.

Hal ini berlaku untuk hal-hal lain. Setiap agama memiliki aturan dan hukumnya sendiri-sendiri. Karena Indonesia bukanlah milik satu golongan tertentu, maka hukum agama itu tak bisa ditegakkan melalui negara. Dengan kata lain, hukum agama hanyalah menjadi tanggungjawab masyarakat agama itu sendiri.

Hukum agama yang boleh ditegakkan oleh negara hanyalah hukum yang bersinggungan dengan kehidupan publik. Mencuri, berzina, korupsi, merampok, menipu, dsb., adalah tindakan-tindakan yang bisa diurus oleh hukum positif negara. Tetapi hukum yang melarang seseorang untuk melihat perempuan yang bukan muhrim tak bisa ditegakkan melalui aparat negara. Meskipun Islam menganggap tindakan seperti itu dosa, negara tak bisa menghukum orang yang melakukan tindakan tersebut.

Jika negara tak diatur oleh hukum agama, maka belum tentu negara itu akan menjadi kacau-balau dan mengalami anarki, sebagaimana diduga oleh sebagian umat Islam. Umat Islam mengira jika hukum Islam tak dilaksanakan di muka bumi, maka kehidupan akan rusak sama sekali. Dugaan seperti ini jelas keliru 100%. Secara empiris kita melihat banyak sekali negara yang aman dan makmur padahal tak diatur oleh hukum agama (baca: Islam). Sebaliknya, banyak negara yang diatur oleh hukum Islam, seperti Saudi Arabia, tetapi belum tentu lebih baik dari negara yang sama sekali tak diatur oleh hukum Islam.

Hukum Islam bisa diterapkan dan ditegakkan oleh negara selama menyangkut wilayah publik, dan harus melalui suatu proses yang disebut dengan "legal enactment", yakni pengesahan oleh secara resmi oleh negara melalui proses perdebatan dan penetapan di parlemen. Jika parlemen setuju untuk mengadopsi hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan publik, maka hukum itu menjadi hukum positif, karena telah "di-enact" atau ditetapkan oleh negara. Tetapi, suatu hukum bisa di-enact manakala ia melalui perdebatan publik terlebih dahulu untuk menguji apakah hukum itu pantas dijadikan sebagai aturan bersama atau tidak. Dengan kata lain, jika hukum Islam tertentu hendak dijadikan sebagai hukum publik maka ia harus diuji dalam debat publik dahulu.

Tidak semua hukum Islam relevan dengan segala zaman. Banyak hal dalam hukum Islam yang sudah seharusnya ditinggalkan karena tak sesuai dengan zaman. Hukum Islam sendiri mengenal kaidah yang sangat terkenal, yakni hukum harus berubah sesuai dengan zaman dan tempat (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azman). Selain itu, tentu ada banyak hukum Islam yang masih bisa terus dilaksanakan, dan akan tetap relavan sepanjang zaman. Hukum tentang larangan mencuri, misalnya, akan tetap relevan sepanjang zaman. Baik hukum Islam atau hukum positif sepakat mengenai larangan ini. Tetapi bagaimana kejahatan pencurian harus dihukum, bisa berkembang sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat yang terus berkembang.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Wa 'al-Lahu a'lam bi al-shawab.

No comments: