Friday, December 28, 2007

Marhaban!


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
,
Selamat datang di blog saya. "Minhaj al-aqilin", nama blog ini, berarti "jalan bagi mereka yang memiliki akal". Blog ini memang ingin mengajak sesiapa saja, terutama umat Islam, untuk memakai akal sehat dalam memahami ajaran Islam. Dalam Qur'an, terdapat banyak sekali ayat yang menekankan pentingnya kegiatan berpikir dan menelaah. Dalam banyak ayat ditegaskan sejumlah himbauan seperti "afala ta'qilun", "afala yatadabbarun", "afala tatafakkarun", yang berarti, apakah kalian tak memakai akal, apakah kalian tak menelaah, apakah kalian tak berpikir.

Ini semua memperlihatkan bahwa berpikir dan menelaah dengan kritis sangat penting kedudukannya dalam Islam. Dalam Qur'an juga terdapat beberapa ayat yang mencela "taqlid buta". Qur'an mencela, misalnya, orang-orang Arab pada masa Nabi yang hanya mengikuti pendapat dan tradisi yang mereka warisi turun-temurun dari nenek-moyang. Kritik Qur'an ini sudah seharusnya diarahkan kepada umat Islam yang tampaknya saat ini juga terjebak pada penyakit yang dulu menimpa orang-orang Arab, yakni mewarisi pemahaman tentang Islam secara turun-temurun dari nenek-moyang, kiai, ulama, habib, atau ustaz.

Saya sama sekali tak menentang taqlid, sebab hal itu tak terhindarkan. Keberatan saya adalah pada taqlid buta, tanpa dibarengi dengan sikap menelaah yang kritis. Saat ini, umat Islam sedang terjangkiti penyakit taqlidisme ini. Contoh yang baik adalah bahwa mereka cepat marah jika pendapat ulama, kiai, atau ustaz yang mereka ikuti dikritik oleh orang lain. Mereka yang percaya pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, akan marah dan naik pitam jika ada kalangan yang mengkritik fatwa atau pandangan lembaga itu, seolah-olah pandangan MUI adalah sama dengan Islam itu sendiri. Ada sejumlah orang yang bahkan siap berjihad untuk membela pandangan MUI, seolah-olah menentang pendapat lembaga itu sama dengan menentang Islam. Ini adalah contoh dari sikap taqlidisme itu.

Salah satu semangat positif yang diwariskan oleh para pendiri mazhab fikih dalam Islam adalah ungkapan berikut ini, "al-nasu yu'khadzu minhu wa yuraddu 'alaihi," bahwa pendapat manusia dapat diikuti, tetapi juga dapat ditolak atau dikritik. Umat Islam seharusnya bisa membedakan antara agama dengan pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kiai mengenai agama. Jika seseorang berpendapat tentang suatu isu, maka pendapat itu tidaklah identik dengan agama. Paling jauh, pendapat itu adalah sebuah penafsiran atau suatu sudut pandang yang sifatnya relatif. Jika MUI mengeluarkan sebuah fatwa, maka fatwa itu hanyalah pendapat, bukan Islam itu sendiri.

Dalam Islam, sebagaimana dalam setiap agama apapun, akan selalu ada keragaman pendapat. Dengan kian beragamnya corak pendidikan dan bidang keilmuan yang dimasuki oleh para sarjana Islam saat ini, sangat alamiah jika kemudian lahir keragaman pendapat. Dalam konteks keragaman seperti ini, semangat yang layak dikembangkan adalah sikap terbuka, open-mindedness, kelapangan dada, toleransi, serta dialog yang sehat. Bukan semangat tertutup serta sesat-menyesatkan seperti dikembangkan oleh MUI saat ini. Semangat ukhuwwah Islamiyyah yang sering didengung-dengungkan oleh para dai dan ustaz itu mendapat tantangan saat ini. Bagaimana umat Islam benar-benar memiliki komitmen pada ukhuwwah jika berbeda sedikit langsung naik pitam dan menyesatkan atau mengkafirkan orang lain. Retorika ukhuwwah memang gampang diserukan di podium, tetapi tes paling utama adalah dalam sikap sehari-hari.

Blog ini mengajak umat Islam untuk mengembangkan ukhuwwah yang sehat dalam bentuk kesediaan dialog dan tak mudah menyesatkan kelompok lain.

Pesan yang ingin disampaikan blog ini relevan bukan saja untuk pembaca Muslim, tetapi juga kalangan pembaca di luar Islam. Blog ini sekaligus memberikan informasi yang kurang lebih akurat mengenai Islam. Selama ini Islam, karena sepak-terjang umatnya yang salah kaprah, selalu dengan gampang diidentikkan dengan agama kekerasan. Blog ini tidak ingin hipokrit dan munafik menolak adanya unsur kekerasan dalam ajaran Islam. Hal itu jelas ada. Tetapi, blog ini juga mengajak umat Islam untuk berani menghadapi fakta "pahit" seperti itu dan mencoba bertindak secara positif dengan cara melakukan penafsiran kembali sejumlah ajaran dalam Islam yang sudah tak relevan dengan perkembangan zaman. Dengan penafsiran kembali, Islam akan menjadi agama yang damai, sesuai dengan semangat zaman, dan menghormati matabat manusia.

Penafsiran semacam itu sudah seharusnya dilakukan terus-menerus tanpa henti. Kata "afala ta'qilun" dalam Qur'an yang berarti "apakah kalian tak berpikir", diungkapkan dalam bentuk fi'il mudhari', yakni kata kerja yang menunjukkan masa kini atau masa mendatang. Kata kerja seperti itu mempunyai makna dan nuansa khusus, yakni tajaddud, kebaharuan. Dengan kata lain, perintah untuk berpikir itu bukan perintah yang hanya berlaku sekali saja, tetapi terus-menerus, tanpa henti. Dengan kata lain, umat Islam tak boleh berhenti berpikir dan menelaah dengan kritis.

Qur'an dan Nabi sendiri jelas tak menghendaki ajaran Islam dipandang sebagai ajaran yang mati dan mandeg. Sebaliknya, ajaran yang harus terus-menerus diusahakan agar kontekstual dengan perkembangan sejarah manusia. Dengan eksplisit Nabi, misalnya, mengatakan bahwa pada awal setiap abad, akan lahir orang-orang yang memperbaharui agama Islam (yujaddidu laha amra diniha). Yang aneh adalah usaha kaum ulama ortodoks untuk membatasi makna "tajdid" atau pembaharuan ini pada pemurnian ajaran Islam. Menurut mereka, yang disebut tajdid adalah upaya mengembalikan Islam kepada praktek "murni" yang pernah dicontohkan oleh Nabid dan sahabatnya. Tajdid dalam pengertian pembaharuan pemikiran Islam mereka tolak, dan sebaliknya mereka ejek sebagai "tabdid" atau merusak Islam. Secara retoris, mereka mengatakan bahwa yang dibutuhkan oleh umat adalah tajdid, bukan tabdid.

Ini hanyalah permainan kata-kata dari kaum ortodoks yang tak suka menerima gagasan baru, sebaliknya lebih suka pada taqlid. Definisi tajdid yang dibatasi hanya pada pemurnian seperti itu jelas merupakan tindakan arbitrer yang sama sekali tak berdasar. Dalam istilah ilmu kalam (teologi Islam), hal itu disebut sebagai tahakkum, artinya penilaian yang semena-mena. Dalam pandangan saya, tajdid mencakup dua makna sekaligus. Pertama, pemurnian, dalam pengertian mengembalikan Islam pada semangat aslinya sebelum terkotori oleh praktek tradisi yang menyimpang. Kedua, pembaharuan, dalam pengertian menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman, dengan cara menafsirkan kembali sejumlah ajaran di dalamnya yang sudah tak relevan.

Selamat membaca!

Wa 'l-salamu 'ala man ittaba'a 'l-huda.

No comments: