Friday, December 28, 2007

Awal Mula Wahyu dan Kenabian

Hubungan antara Islam dan Kristen bermula bahkan sejak awal berdirinya Islam sebagai sebuah agama. Keterkaitan antara dua agama ini begitu erat sehingga susah memisahkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya memang tidak selalu mulus; keduanya terikat dalam hubungan "cinta-benci" yang berlangsung secara selang-seling. Tetapi, yang tak boleh dilupakan adalah bahwa pada masa menjelang kelahiran Islam dan karir kenabian Muhammad, agama Kristen memerankan peran positif yang hingga sekarang selalu dikenang oleh umat Islam. Kita bisa melihat hal itu dalam laporan tentang bagaimana wahyu pertama kali turun atau datang kepada Nabi Muhammad. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba melaporkan kembali sejumlah riwayat yang dicatat oleh Abu Ja'far al-Tabari (w. 923 M) mengenai peristiwa awal mula pewahyuan, sebagaimana dapat kita baca dalam karya besarnya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Sejarah Bangsa-Bangsa dan Raja-Raja). Karya al-Tabari ini dianggap sebagai salah satu sumber sejarah penting mengenai kehidupan Nabi, selain sejarah Ibn Ishaq yang sampai kepada kita melalui resensi Ibn Hisham, dan dikenal sebagai Sirah Ibn Hisham (sirah adalah sejarah kehidupan Nabi; secara harafiah, "perjalanan hidup").

Laporan pertama yang disebut oleh al-Tabari adalah penuturan yang disampaikan oleh A'ishah, isteri Nabi. Menurut penuturan A'ishah, wahyu pertama kali datang kepada Nabi dalam bentuk mimpi yang benar (al-ru'ya al-shadiqah). Mimpi itu begitu terang-benderang sehingga menyerupai kilatan sinar pertama matahari yang muncul di waktu subuh (falaq al-shubh). Pada saat itu, Nabi memiliki kebiasaan untuk melakukan meditasi atau "menyendiri" (al-khala') di sebuah gua di luar kota Mekah, yakni gua Hira'. Ia melakukan meditasi selama beberapa malam sebelum akhirnya pulang ke rumah, mengambil sejumlah kebutuhan ala kadarnya, untuk kemudian kembali ke gua dan meneruskan meditasi kembali. Tradisi ini merupakan kebiasaan yang sudah ada dan lazim dilakukan oleh beberapa kalangan Arab pada zaman itu; dikenal sebagai praktek takhannuth.

Nabi terus melakukan kegiatan meditasi itu sampai suatu waktu ia didatangi oleh "al-Haqq" atau Kebenaran. Sebagaimana disebutkan dalam laporan-laporan yang lain, yang dimaksud dengan al-Haqq di sini adalah malaikat Jibril, figur yang memainkan peran yang sangat penting dalam proses pewahyuan menurut pandangan Islam. Jibril berkata kepada Muhammad, "Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Tuhan." Mendengar itu, Nabi bersimpuh ketakutan. Ia kemudian lekas-lekas pulang meninggalkan gua dan menemui isterinya, Khadijah. Kepada isterinya itu, ia berkata, "Selimutilah aku, selimutilah aku." Untuk beberapa saat ketakutan Nabi reda.

Setelah pertemuan pertama dengan Jibril yang menimbulkan "shock" itu, Nabi tetap masih meneruskan kebiasaan meditasi di gua Hira'. Untuk kedua kalinya, Jibril mendatanginya kembali dan mengatakan hal yang sama seperti dikatakan dalam pertemuan yang pertama, "Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Tuhan." Seperti sebelumnya, Nabi kembali didera rasa takut luar biasa, begitu rupa sehingga ia beniat untuk bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari atas bukit. Saat hendak bunuh diri itulah, Jibril nampak kembali kepada Nabi dan berkata, "Wahai Muhammad, aku adalah Jibril dan engkau adalah utusan Tuhan." Jibril kemudian berkata, "Bacalah." Nabi menjawab, "Aku tak bisa membaca".

Catatan: Redaksi yang dipakai dalam riwayat A'ishah yang terkenal itu adalah "Ma aqra'". Kalimat ini bisa diterjemahkan dengan dua cara: "Aku tak bisa membaca" seperti di atas; atau bisa pula "Apa yang harus aku baca?" dalam bentuk istifham atau pertanyaan.

Saat Nabi tak tahu apa yang harus dibaca itu, Jibril membekap Nabi tiga kali hingga ia terengah-engah. Jibril berkata lagi, "Bacalah 'Iqra bismi rabbika alladzi khalaq'". Nabi kemudian menirukan. Setelah itu Nabi pulang, menemui Khadijah sambil berkeluh, "Aku lelah sekali." Nabi kemudian menceritakan pengalaman yang ia alami di gua Hira' itu kepada isterinya.

Reaksi spontan Khadijah demi mendengar cerita Nabi menarik sekali. Ia mengatakan, "Bergembiralah. Demi Tuhan, Tuhan tak akan menghinakan engkau. Demi Tuhan, engkau selalu menyambung hubungan kerabat, berkata benar, menunaikan amanat (kepercayaan), meringankan beban orang yang susah, menjamu tamu, dan membantu mereka yang terkena musibah."

Setelah itu, Khadijah membawa Nabi kepada Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah, seorang "qiss" atau pendeta yang tentu mengetahui dengan baik ajaran Kristen dan pengalaman pewahyuan yang pernah dialami oleh nabi-nabi Israel sebelumnya. Kata Khadijah, "Dengarlah keponakanmu ini!" Kemudian Waraqah menanyakan pengalaman yang dialami Nabi di gua Hira' itu. Setelah mendengar cerita dari Nabi, Waraqah berkata, " Ini adalah "namus" (hukum atau perjanjian) yang pernah diturunkan kepada Musa anak Amram (Imran). Seandainya aku masih muda saat kenabian itu datang padamu. Andai aku masih hidup saat kaummu mengusirmu." Nabi bertanya, tentu dengan sedikit kaget karena mendapatkan keterangan seperti itu, "Apakah mereka kelak akan mengusirku?" Waraqah menjawab, "Ya, tentu. Tak seorang nabipun yang membawa wahyu seperti yang engkau bawa itu kecuali akan dimusuhi oleh kaumnya. Jika aku sempat menyaksikan saat itu, tentu aku akan membelamu habis-habisan (anshuruka nashran muazzaran)."

Laporan ini mengandung banyak hal yang menarik. Beberapa catatan bisa kita kemukakan sebagai berikut:

(1) Kenapa Nabi begitu takut mendapatkan pengalaman pewahyuan itu, begitu rupa hingga dia hendak bunuh diri? Tentu ini bukan sekedar ketakutan biasa layaknya seseorang melihat hantu. Tak ada keterangan yang jelas mengenai hal ini dalam laporan A'shah itu. Jawaban atas misteri ini bisa kita temukan dalam laporan lain melalui Wahb ibn Kaisan, budak keluarga Zubair. Dalam laporan itu disebutkan bahwa tak ada sesuatu yang dibenci Nabi melebihi penyair dan orang gila. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan lain pula: Kenapa Nabi begitu membenci penyair dan orang gila? Bukankah kedua hal itu adalah fenomena biasa dalam masyarakat Arab?

Terus terang harus dikatakan bahwa sulit untuk menemukan jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yang jelas, pada zaman itu, ada tiga fenomena yang dikenal luas dalam masyarakat Arab, yaitu penyair, dukun, dan orang gila. Dalam tradisi Arab, terdapat suatu kepercayaan bahwa ketiga golongan tersebut, karena kemampuan tertentu yang ada pada "al-quwwah al-mukhayyilah" mereka (istilah dalam filsafat Islam yang berarti "fakultas mental dalam manusia yang berkaitan dengan daya imajinasi"), dapat berhubungan dengan dunia gaib. Seorang penyair dalam kepercayaan masyarakat Arab dianggap memiliki "muse" atau semacam "jin" yang membisikkan ilham kepadanya sehingga ia bisa menggubah syair yang indah. Begitu pula dukun dan orang gila.

Kepercayaan semacam inilah yang boleh jadi membuat Nabi merasa khawatir bahwa dirinya akan menjadi seorang dukun, penyair, atau orang gila. Nabi tampaknya khawatir bahwa malaikat yang datang kepadanya tak lain adalah jin yang dipercayai oleh masyarakat Arab sebagai pembisik ilham kepada para penyair dan dukun. Kekhawatiran dianggap sebagai dukun dan penyair ini begitu mendera Nabi sehingga ia ketakutan dan ingin melakukan bunuh diri.

Tentu di sini kita masih bisa terus bertanya: Jika khawatir disebut sebagai seorang gila, tentu kita bisa maklum. Tetapi kenapa Nabi takut disebut sebagai seorang penyair? Bukankah kedudukan penyair sangat terhormat dalam masyarakat Arab zaman itu? Puisi-puisi para penyair kenamaan zaman itu digantung di Ka'bah sebagai sebentuk pengakuan akan status sosial mereka. Kenapa Nabi mesti takut dianggap penyair? Dan ketakutan yang menimpa Nabi begitu akut pula, sehingga ia hendak melakukan bunuh diri. Kenapa?

Sulit menjawab dengan pasti pertanyaan ini. Secara "doktriner" kita bisa saja menjawab, bahwa memang Tuhan menghendaki Nabi demikian, karena Dia telah mempersiapkannya untuk menjadi seorang Nabi. Salah satu cara Tuhan mempersiapkan Muhammad untuk menjadi nabi adalah dengan cara membuat yang bersangkutan benci kepada penyair. Sebab, fenomena penyair dan kenabian sering dikacaukan dan dianggap sama oleh masyarakat Arab. Supaya ada garis pemisah yang tegas antara dua fenomena itu, maka Tuhan menciptakan rasa benci yang mendalam pada Nabi terhadap penyair sejak awal.

Tentu jawaban ini sangat spekulatif dan sulit diuji kebenarannya.

Kemungkinan yang lain adalah bahwa boleh jadi laporan yang dituturkan oleh al-Tabari melalui Ibn Ishaq dari Wahb ibn Kaisan itu adalah laporan palsu (maudhu'). Kisah ini mungkin sengaja diciptakan belakangan untuk menepis tuduhan bahwa Muhammad adalah seorang penyair atau orang gila. Sebagaimana kita tahu, dalam perkembangan berikut, memang Nabi menghadapi tuduhan dari masyarakat Arab sebagai seorang penyair atau gila. Untuk menepis tuduhan ini, diciptakanlah sebuah hadis yang seolah-olah menunjukkan bahwa sejak awal masa kenabian, Muhammad sudah membenci penyair dan orang gila.

Kemungkinan lain yang lagi-lagi juga sangat spekulatif dan sulit dicek kebenarannya adalah bahwa di kalangan orang-orang Arab yang disebut "hunafa'", yaitu mereka yang konon merawat warisan ajaran monoteisme dari Ibrahim, profesi kepenyairan dianggap sebagai sesuatu yang "hina". Salah satu ciri khas para hunafa' adalah melakukan takhannuth atau meditasi dan menjauhi kemewahan masyarakat Arab zaman itu. Mereka adalah kaum "mistik" pada zamannya. Kepenyairan adalah bagian dari praktek kemewahan duniawi yang dibenci oleh kaum hunafa' itu. Dengan melakukan praktek takhannuth/meditasi, Nabi jelas dapat kita anggap termasuk dalam golongan hunafa' itu. Karena itu, sangat bisa dimaklumi jika ia membenci penyair.

(2) Peristiwa pewahyuan pertama itu juga menarik karena dengan jelas sekali memperlihatkan bahwa Nabi sama sekali tak pernah menduga bahwa dirinya akan menjadi seorang rasul dan nabi yang membawa "namus" (dari bahasa Yunani "nomos" yang berarti hukum yang membawa keteraturan) atau perjanjian sebagaimana pernah terjadi pada Nabi Musa sebelumnya. Fakta inilah yang dengan tepat dan baik sekali dipakai oleh para penulis Muslim untuk menolak teori sebagian kaum orientalis bahwa Muhammad sejak dini telah memiliki ambisi politik untuk mendirikan kekuasaan politik di jazirah Arab atau menjadi seorang Nabi. Jika Nabi memang memiliki ambisi semacam itu, sudah tentu ia tak akan kaget dan ketakutan setengah mati saat mendapatkan pengalaman pewahyuan. Jika ia seorang dengan insting politik tinggi, tentu pengalaman pewahyuan itu akan ia sambut dengan gembira karena akan dapat ia manfaatkan untuk mencapai ambisi politiknya. (Baca Muhammad Mohar Ali, The Qur'an and the Orientalists, terbit 2004, bab pertama, "The Allegation of Ambition and Preparation for Giving Out the Qur'an").

Proses pewahyuan yang "mendadak" dan tak terduga-duga ini pulalah yang dijadikan landasan teoritik bagi kaum Sunni untuk merumuskan teori kenabian ortodoks. Dalam teori itu dikatakan bahwa inisiatif mengangkat seseorang menjadi Nabi datang semata-mata dari Tuhan, bukan karena alasan-alasan yang sifatnya naturalistis-intrinsik pada diri nabi seperti dikatakan oleh para filsuf Muslim. Meskipun, harus dikaui pula, bahwa teori kaum Sunni ini juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, Tuhan tak akan mengangkat sembarang orang menjadi nabi dan rasul. Seseorang harus memiliki persiapan mental dan intelektual tertentu untuk menjadi seorang nabi. Proses meditasi yang dilakukan Nabi di gua Hira', meskipun tidak bisa dikatakan sebagai tindakan sengaja dari pihak Nabi untuk menyambut "wahyu kedaton" (jika memakai istilah Jawa) dan mempersiapkan diri menjadi seorang nabi, jelas memperlihatkan bahwa kenabian membutuhkan kesiapan-kesiapan tertentu. Dengan kata lain, kenabian dan kerasulan bukanlah "hadiah" gratis dari Tuhan. Dari pihak manusia juga harus ada upaya setimpal untuk "mempersiapkan diri". Dengan wawasan seperti inilah, almarhum Fazlur Rahman dalam bukunya yang terkenal, Islam, mengatakan bahwa pewahyuan adalah proses dua-arah: Tuhan dan Nabi bekerja secara serempak.

(3) Catatan lain yang penting atas laporan dari al-Tabari ini adalah persis mengenai pokok soal yang saya kemukakan di awal tulisan ini, yaitu hubungan erat antara Islam dan Kristen sejak dini ketika Islam sedang tumbuh sebagai sebuah agama. Sebagaimana kita baca dalam laporan A'ishah itu, saat Nabi ketakutan luar biasa mendapatkan pengalaman pewahyuan pertama, Khadijah mengajaknya untuk menemui seorang "pendeta", yaitu Waraqah ibn Naufal yang dianggap tahu dengan baik soal kenabian. Waraqah lah, seorang Kristen, yang menenangkan Nabi dengan mengatakan bahwa apa yang ia alami di gua Hira' itu tak usah membuatnya cemas, sebab pernah dialami pula oleh Musa ribuan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, Nabi mengetahui bahwa dirinya adalah seorang Nabi yang benar-benar mendapatkan wahyu (dari malaikat, bukan dari sumber "jahat" seperti jin atau setan) dari seorang Kristen. Sikap Waraqah juga sangat simpatik: ia akan mendukung habis-habisan Muhammad andaikata ia diberikan umur panjang. Sebagaimana kita tahu, Waraqah meninggal sebelum sempat menyaksikan peristiwa-peristiwa hebat yang dialami Nabi di Mekah setelah ia menyebarkan agama baru itu dengan terus terang.

Dalam hal ini, Islam berhutang budi pada Kristen karena telah memainkan peran yang sangat penting pada momen-momen pertama pewahyuan.

Hal ini sengaja saya kemukakan antara lain untuk menunjukkan bahwa kecurigaan umat Islam pada agama Kristen, yang dalam beberapa hal memang bisa dimaklumi, tidak seharusnya dibesar-besarkan apalagi dirawat terus-menerus. Saat ini yang kerap kita dengar adalah retorika kecurigaan semacam itu, antara lain ditandai dengan begitu seringnya ayat 2:120 dikutip di mana-mana, dibumbui dengan penafsiran yang dengan sengaja ingin menciptakan suasana kebencian antara Islam dan Kristen. Bunyi ayat itu adalah "wa lan tardha 'anka al-Yahudu wa la 'l-Nashara hatta tattabi'a millatahum". Artinya: Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tak akan rela pada kalian (umat Islam) kecuali jika kalian mengikuti "millah" atau agama mereka.

Informasi tentang peran Waraqah dalam masa-masa awal pewahyuan ini jarang disebut dan dikemukakan kepada umat Islam.

Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-Shawab.