Sunday, April 20, 2008

Betulkah Doktrin Ahmadiyah Bisa Dianggap "Blasphemy"?

Ruzbihan Hamazani

Saya terpaksa menulis sekali lagi tentang Ahmadiyah, dan kali ini yang ingin saya soroti bukan mengenai aspek kebebasan agama seperti saya tulis dalam artikel sebelumnya. Kali ini, titik pusat pembahasan saya adalah mengenai kaitan antara ajaran Ahmadiyah dan "blasphemy" atau pelecehan dan penodaan ajaran agama, sebagaimana dituduhkan oleh beberapa kalangan.

Salah satu alasan yang dipakai oleh Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat untuk melarang kegiatan Ahmadiyah adalah penodaan ajaran agama Islam. Dalam pandangan Badan Pengawas itu, ajaran Ahmadiyah, persisnya mengenai adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad, bertentangan dengan ajaran standar sekte dominan Islam di Indonesia, yakni sekte Sunni. Bukan hanya itu, doktrin Ahmadiyah itu juga dianggap sebagai menodai ajaran sekte tersebut.

Cara berpikir ini tentu mudah diikuti oleh kalangan awam. Argumen ini juga bisa dengan mudah dipakai sebagai propaganda untuk memberangus kalangan yang berbeda pendapat dengan doktrin resmi yang dianut oleh golongan yang dominan dalam masyarakat, dengan alasan yang sederhana: menghina ajaran agama.

Argumen semacam ini sangat berbahaya dan tak boleh dibiarkan gentayangan dalam masyarakat sehingga akhirnya menimbulkan suasana yang sama sekali tak toleran terhadap perbedaan.

Pandangan Ahmadiyah bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad memang berlawanan dengan pandangan umum yang dianut oleh umat Islam di mana-mana. Tetapi, menganggap pandangan itu sebagai penghinaan atas ajaran Islam jelas tak masuk akal, selain berbahaya. Pandangan Ahmadiyah ini lahir karena suatu interpretasi yang berbeda atas konsep kenabian dalam Islam. Kita tak bisa menganggap bahwa seseorang telah menodai agama hanya karena melakukan interpretasi atas ajaran agama, dan kemudian interpretasinya itu membawa dia kepada pandangan yang berbeda dengan doktrin resmi Islam. Interpretasi dan re-interpretasi adalah proses wajar yang selalu terjadi dalam masyarakat agama. Ajaran agama selalu rentan ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda oleh anggotanya.

Menafsir bukanlah menodai agama. Jika seseorang atau golongan bisa dihukum karena membawa tafsiran yang berbeda dengan doktrin resmi dalam agama itu, maka ini bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi, juga oleh agama Islam sendiri (tentu Islam sebagaimana diinterpretasikan oleh kalangan yang berpikiran terbuka; bukan kalangan fundamentalis). Jika menafsir dan berbeda pendapat dengan sekte dominan dianggap sebagai penodaan agama, maka banyak kelompok Islam di Indonesia yang harus dilarang. Pertama-tama yang harus dilarang adalah kalangan Syi'ah karena sekte ini membawa pandangan tentang "kepemimpinan" (imamah) yang berbeda dengan pandangan dominan di kalangan Sunni. Para intelektual Islam yang mencoba memberikan tafsiran yang lebih kontekstual tentang larangan nikah beda agama, misalnya, juga bisa dianggap menodai agama, karena pandangannya berbeda dengan doktrin resmi kalangan Sunni ortodoks di Indonesia saat ini.

Jika ini diterus-teruskan, maka kita akan menyaksikan "kediktatoran doktrin Sunni" di Indonesia, atau tepatnya "kediktatoran MUI", persis seperti yang berjalan di Saudi Arabia. Jika seseorang dengan mudah dianggap menodai agama hanya karena berlawanan dengan doktrin agama yang standar, maka kita membiarkan negeri kita terjerembab ke dalam "negeri Taliban" yang memalukan itu.

Kalangan Islam konservatif di Indonesia memang dengan sengaja ingin mendesak negara Indonesia mengarah ke sana. Kita tak boleh membiarkan ini terjadi. Kita harus mengkritik kecenderungan "otoriter" seperti ini. Yang harus dikembangkan dalam masyarakat adalah bukan membangkitkan "paranoia" dan ketakutan terhadap ajaran sekte tertentu. Cara-cara yang ditempuh oleh kalangan pembenci Ahmadiyah di Indonesia sekarang ini persis seperti metode yang dipakai oleh Presiden Bush di Amerika Serikat saat ini: yakni menyebarkan ketakutan di kalangan masyarakat Amerika terhadap bahaya terorisme, Usamah bin Ladin, dsb, agar masyarakat terus dikuasai oleh paranoia, dan dengan demikian mudah digiring untuk terus memilih Partai Republik. Cara ini juga sekarang ditempuh oleh kalangan Islam konservatif-fundamentalis di Jakarta dan beberapa kota saat ini: mereka menebarkan ketakutan tentang Ahmadiyah di mana-mana, sehingga dengan demikian mereka bisa beralasan bahwa masyarakat dirundung keresahan dan kebingungan. Padahal merekalah yang "memprovokasi" masyarakat agar resah. Dengan alasan itu, mereka bisa meminta pemerintah untuk "mendisiplinkan" Ahmadiyah. Ini adalah cara kotor, dan tak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai "strategi Machiavellian" untuk meraih dukungan masyarakat.

Yang harus dikembangkan dalam masyarakat adalah sikap terbuka untuk menerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti harus setuju dengan pandangan orang lain yang kita anggap "salah" atau "sesat". Sikap itu hanya ingin mengajarkan kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah hal yang wajar, dan harus disikapi dengan rasional, kepala dingin, dan kritis, bukan dengan ketakutan dan paranoia.

Sekali lagi, berpendapat dan menafsir bukanlah kejahatan dan penodaan agama.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.


No comments: