Sunday, April 13, 2008

Amin al-Khuli tentang "Tajdid"

Ruzbihan Hamazani


[Catatan: Artikel ini mengandung kesalahan fatal, dan saya sudah mengoreksinya dalam tulisan terpisah. Jadi, tolong artikel ini dibaca sekaligus dengan koreksinya. Terima kasih.]


Amin al-Khuli adalah salah satu pemikir penting dari Mesir yang dikenal karena usahanya untuk mengenalkan pendekatan baru dalam tafsir Qur'an. Dia dianggap sebagai salah satu tokoh pembaharu, "mujaddid". Dia juga salah satu murid Muhammad Abduh dan mewarisi gagasan-gagasan pembaharuan yang ia kenalkan selama ini. Salah satu kontribusi penting Amin al-Khuli adalah dalam bidang metode tafsir Qur'an. Dia, antara lain, dikenal karena metode literer (al-manhaj al-adabi) dalam penafsiran Qur'an yang kemudian diterapkan oleh sejumlah sarjana seperti A'ishah bint al-Shathi', isterinya sendiri, dan Muhammad Ahmad Khalafullah yang menulis disertasi tentang kisah-kisah dalam Qur'an yang kemudian dicekal oleh pihak al-Azhar itu.

Nama Amin al-Khuli muncul kembali dan menjadi populer, antara lain, karena sering dirujuk oleh salah seorang sarjana Mesir yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu lalu, yakni Prof. Nasr Hamid Abu Zayd.

Amin al-Khuli dikenal karena beberapa pernyataannya yang menarik. Antara lain adalah, "awwal al-tajdid qatl al-qadimi bahtsan". Pembaharuan, kata al-Khuli, biasa dimulai dengan cara membunuh sesuatu yang lama. Jika yang lama terus dipertahankan, sudah tentu pembaharuan tak akan terjadi. Oleh karena pembaharuan adalah sebentuk "pembunuhan", sudah pasti ia akan menimbulkan perlawanan dari pihak-pihak yang mempertahankan sesuatu yang lama itu, dari kaum "konservatif", yakni mereka yang berusaha mempertahankan (coserve) hal-hal yang telah mapan.

Selanjutnya, al-Khuli menyatakan sesuatu yang menarik sekali sebagai berikut:

"Tu'addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharabu, thumma tushbihu ma'a al-zamani mazhaban, bal 'aqidatan wa ishlahan takhthu bihi al-hayatu khathwatan ila al-amam".

Artinya: pada suatu waktu, pemikiran dianggap sebagai kafir, dan karena itu diharamkan dan dimusuhi; tetapi dengan perkembangan waktu, pemikiran itu kemudian menjadi sebuah mazhab, bahkan akidah dan pembaharuan yang membuat kehidupan terus maju ke depan.

Kalau kita tengok sejarah ide-ide di manapaun di dunia ini, kita akan melihat suatu pola yang nyaris berulang terus-menerus. Sebuah gagasan yang hendak memperbaiki keadaan biasanya bermula sebagai sebuah ide yang dianggap "nyleneh" dan menyimpang. Mula-mula, gagasan itu dimusuhi dan disatroni di mana-mana, dianggap sebagai suatu kekafiran. Tetapi pelan-pelan, gagasan itu, jika sukses mendapatkan pendukung dan dianggap mampu menjawab tantangan zaman, akan menjadi sebuah mazhab yang diikuti oleh banyak orang; dengan kata lain, menjadi sebuah berkah yang membawa kemajuan zaman.

Ini persis dengan sabda Nabi sendiri, "Ja'a al-Islamu ghariban wa saya'udu ghariban kama bada'". Artinya: Islam, sebagai sebuah ide dan gagasan pembaharuan, mula-mula hadir sebagai sesuatu yang asing, dan nantinya akan menjadi asing kembali. Sabda Nabi ini menarik karena memperlihatkan suatu kesadaran tentang sejarah perkembangan sebuah ide. Hadis Nabi ini bisa menjadi semacam "hukum sosial" yang berlaku universal. Kita semua tahu, setiap gagasan baru (bukan hanya Islam) selalu merupakan "benda asing" yang seolah-olah datang dari luar angkasa. Karena ia merupakan sesuatu yang asing, maka ia dimusuhi di mana-mana. Tetapi, itu hanya tahap permulaan. Jika sebuah ide sukses mendapatkan pengaruh sosial yang luas, ia tak menjadi asing lagi. Ia menjadi sebuah "aliran" atau "mazhab" yang diikuti oleh orang banyak, seperti diutarakan oleh Amin al-Khuli itu.

Bagaimana kita menafsirkan bagian terakhir dalam hadis Nabi itu, "wa saya'udu ghariban ka ma bada'a" (dan Islam akan kembali menjadi benda asing seperti pada permulaan)?

Penggalan sabda Nabi ini mengandung banyak kemungkinan tafsir. Salah satu penafsiran yang sering diutarakan oleh kalangan ulama Islam adalah bahwa pada akhir zaman, Islam akan ditinggalkan dan karena itu menjadi ajaran yang terasing. Mereka mengatakan bahwa zaman sekarang ini adalah salah satu indikasi pembenar dari hadis itu, sebab saat ini orang-orang mulai menjauhi Islam seperti keadaan pertama saat agama itu lahir ke dunia.

Saya mengajukan tafsir lain atas hadis itu. Menurut saya, makna hadis itu adalah bahwa pada perkembangannya Islam memang benar-benar akan menjadi sesuatu yang asing kembali. Tetapi "keasingan" di sana terjadi bukan karena orang-orang menjauhi kebenaran yang dibawa oleh Islam. Keasingan itu terjadi karena umat Islam (dhi. sarjana dan pemikir Islam) gagal melakukan penafsiran kembali atas Islam begitu rupa sehingga agama itu terus kontekstual dan sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Karena Islam "dibekukan" pada jenis-jenis penafsiran tertentu yang sudah kedaluwarsa, maka Islam akan menjadi benda asing dan aneh dalam masyarakat.

Contoh yang paling baik adalah praktek Islam seperti pernah dicontohkan oleh Taliban di Afghanistan dulu. Kelompok Taliban ingin menerapkan corak penafsiran Islam zaman pertengahan yang sudah sama sekali kedaluwarsa: misalnya, melarang perempuan kerja, menghukum orang yang mencukur jenggot, memotong tangan pencuri, dan melaksanakan hukum bunuh atau qishas di depan publik, menghancurkan patung Budha di Bamiyan karena dianggap sebagai "berhala" (meniru tindakan Nabi menghancurkan berhala saat penaklukan Mekah dahulu), dst. Tindakan-tindakan Taliban itu diproyeksikan seolah-olah sebagai tindakan yang dibenarkan Islam. Sebagaimana kita tahu, tindakan Taliban itu menyebabkan Islam menjadi agama yang diolok-olok dunia, menjadi benda asing. Sebabnya sederhana: karena kaum Taliban gagal menafsirkan kembali ajaran Islam secara kontekstual.

Keadaan seperti ini bukan khas Taliban, tetapi gejala yang umum di mana-mana, sehingga kita bisa menyebutnya sebagai "talibanisme". Sejarah ide, gagasan, aliran, dan mazhab besar di dunia selalu menunjukkan hal ini. Setelah suatu gagasan berhasil memapankan diri sebagai sebuah mazhab atau agama yang dikawal ketat oleh kaum "ortodoks", maka gagasan itu mengalami apa yang oleh George Lukacs, teoritisi Marksis, sebagai "reifikasi" atau pembendaan dan pembekuan. Ketika gagasan membeku, ia menjadi reaksioner dan anti kepada kemajuan. Pelan-pelan, gagasan itu menjadi asing bagi masyarakat. Jika suatu mazhab ingin terus bertahan, maka tak ada cara lain kecuali melakukan pembaharuan diri dan meninggalkan cara pandang "talibanisme".

Dengan demikian, jika Islam hendak menjadi agama yang tak asing bagi masyarakat, maka usaha pembaharuan (tajdid) adalah niscaya setiap saat. Dan pembaharuan, sebagaimana kata al-Khuli, adalah dengan cara membunuh "yang lama". Tentu yang lama dibunuh untuk kemudian dihidupkan kembali dengan cara lain, yakni dengan cara ditafsirkan ulang.

Wa al-Lahu a'lam bi al-shawab.

No comments: