Saturday, May 3, 2008

MUI, Humor dan Sindiran

Ruzbihan Hamazani

Alkisah, suatu hari Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah dan Sekjen MUI, mengatakan bahwa menurut fatwa MUI, umat Islam dilarang mengawini gadis sekantor. Pernyataan ini langsung menyulut kontroversi luas. Media massa tergoda untuk mengadakan wawancara eksklusif dengan Pak Din untuk mengklarifikasi fatwa yang membingungkan ini. Bagaimana mungkin seseorang dilarang menikahi gadis sekantor? Apakah ada dalilnya dalam Qur'an atau hadis?

Lalu terjadilah wawancara berikut ini:

Wartawan: Pak Din, apakah betul MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam dilarang menikahi gadis sekantor?

Din Syamsuddin: Betul.

Wartawan: Apa dasarnya? Apakah ada dalilnya dalam Qur'an dan hadis?

Din Syamsuddin: Dasarnya sederhana saja. Wong kawin dengan satu gadis saja sudah repot, apalagi mengawini gadis sekantor. Bayangkan, kalau di kantor ada 100 gadis, apakah kita mampu menikahi mereka semua. Lagi pula, itu kan jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Islam hanya membolehkan kawin dengan empat orang perempuan, maksimal.

*****

Kisah di atas itu saya peroleh baru-baru ini dari seorang teman via email. Judul email itu membuat saya terangsang membaca: "MUI mengharamkan nikah dengan gadis sekantor". Saya berkata dalam hati: wah, berita ini menarik. Setelah membaca keseluruhan email itu, saya akhirnya tahu, isinya hanyalah "joke" atau guyonan semata. Pesannya sangat jelas: menyindir MUI yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang rajin dan bersemangat memproduksi fatwa. Sebagai guyonan, tentu isi email itu hanyalah rekaan belaka. Tak ada fatwa "konyol" seperti itu dalam dunia riil. Dan tentu, MUI tak akan sembrono mengeluarkan fatwa semacam itu, kecuali jika mau menjadi sasaran damprat dan kritik.

Guyonan-guyonan semacam ini bukan barang baru. Kita seringkali menjumpai plesetan, parodi, dan sindiran (baik kasar atau halus) yang diarahkan kepada lembaga "resmi", entah lembaga politik atau lembaga agama. Pada zaman rezim Orde Baru dulu masih berkuasa, kita kerap menjumpai anekdot-anekdot lucu tentang pemerintah Orba: ada anekdot tentang Soeharto dan keluarga Cendana, ada anekdot lain tentang Harmoko --menteri Penerangan yang dikenal karena sisiran rambutnya yang rapi dan licin, serta ucapannya "menurut petunjuk Bapak Presiden" itu--, ada anekdot lain tentang Golkar, dan seterusnya. Kalangan aktivis mahasiswa yang menentang kediktatoran rezim Soeharto dulu paling suka menular-nyebarkan anekdot-anekdot lucu semacam ini melalui penerbitan bawah tanah (dikenal dengan "samizdat"--istilah yang dulu dikenal di kalangan oposisi bawah tanah di Rusia zaman Partai Komunis masih berjaya di sana). Dengan penuh semangat sekali, masyarakat saat itu menyambut buku saku berjudul "Mati Ketawa Cara Rusia" yang berisi kisah-kisah lucu dari Rusia. Hampir sebagian besar guyonan dari Rusia itu adalah berisi sindiran halus terhadap rezim totaliter komunis yang berkuasa di sana. Kalangan aktivis penentang pemerintah pada masa Soeharto dulu menerbitkan versi Indonesia dari anekdot-anekdot serupa dengan judul "Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto".

Humor dan guyonan memang memiliki banyak fungsi dalam masyarakat. Secara umum, humor dibutuhkan untuk mengendurkan otot yang tegang karena rutinitas pekerjaan atau tekanan hidup. Setelah kerja seminggu penuh, masyarakat dulu menikmati acara Aneka Ria Safari yang disiarkan di TVRI, satu-satunya kanal TV yang ada pada zaman dulu. Pada kesempatan itulah masyarakat bisa menikmati guyonan Bagio cs, Jojon dkk, dan belakangan tokoh Gepeng dalam Srimulat. Hingga saat ini, kelompok Srimulat masih bertahan dan menghibur masyarakat setiap minggu. Jenis humor dan komedi melalui media elektronik sekarang malah makin bervariasi, antara lain dengan munculnya figur Tukul Arwana melalui acara "Empat Mata" yang menghebohkan itu.

Tetapi, humor juga bisa memiliki fungsi politis, yakni sebagai cara untuk menyindir "the power that be", atau kekuasaan yang ada pada saat itu. Kekuasaan di sini bisa merupakan kekuasaan politik, ekonomi, budaya atau agama. Tentu sindiran lewat komedi tidak akan membuat suatu kekuasaan akan rubuh secara mendadak. Komedi hanyalah strategi berkomunikasi. Dia bukanlah "hard power" atau kekuasaan material yang bisa melukai fisik obyek yang menjadi sasaran komedi itu. Dia hanya cara masyarakat menyampaikan kritik tak langsung terhadap kekuasaan. Biasanya, humor dipakai sebagai alat menyampaikan pesan manakala saluran-saluran yang ada macet atau mampet. Karena rezim Soeharto dulu menerapkan kebijakan komunikasi yang serba menutup segala bentuk kritik, maka cara lain untuk menerobos blokade itu adalah dengan "strategi halus" a la Punokawan, yakni guyonan.

Yang menarik buat saya adalah masyarakat mulai memakai "strategi humor" untuk menyindir MUI, lembaga yang mewakili kepentingan kaum Islam ortodoks di Indonesia saat ini. Kenapa strategi ini ditempuh? Apakah saluran informasi di masyarakat kita sudah mulai mampet? Bukankah ini adalah zaman reformasi, zaman kebebasan berbicara? Bukankah sekarang kritik terhadap MUI bisa disampaikan secara terbuka? Jika bisa mengkritik secara terbuka, kenapa mesti memakai cara tersembunyi seperti itu? Apa makna guyonan seperti ini? Itulah sejumlah pertanyaan menarik yang menggelitik saya untuk menulis catatan pendek ini.

*****

Boleh jadi, anggapan bahwa kita sekarang sudah berada dalam era demokrasi dan kebebasan berbicara, tidaklah sepenuhnya tepat menggambarkan kenyataan yang ada. Secara umum, memang kebebasan berbicara sudah menjadi norma dalam masyarakat. Media massa kita sudah tak lagi menghadapi ancaman bredel seperti pada zaman Soeharto dulu. Departemen Penerangan yang sempat "diistirahatkan" sebentar lalu hidup kembali menjadi "Kominfo" (Kementerian Komunikasi dan Informatika) itu tidak lagi seperkasa pada zaman Harmoko dahulu kala. Tetapi, hancurnya rezim "blokade informasi" ini bukan berarti hilangnya seluruh halangan komunikasi yang ada dalam masyarakat. Yang hancur dalam era reformasi saat ini adalah blokade informasi yang berasal dari pemerintah atau rezim politik yang berkuasa. Blokade informasi bisa datang dari pemerintah, tetapi juga bisa berasal dari masyarakat sipil atau kalangan masyarakat bisnis.

Saat ini, tampaknya mulai muncul "kekuasaan-kebenaran" baru di luar pemerintah. Salah satu sumber kekuasaan-kebenaran yang potensial menyebabkan tersumbat dan terdistorsinya saluran komunikasi adalah dua pihak: kalangan bisnis dan kalangan agama. Kalangan bisnis bisa mendistorsikan komunikasi melalui "mesin uang" yang mereka miliki. Ini adalah cerita yang sudah sering kita dengar di mana-mana, bukan hanya di Indonesia, tetapi terutama di negeri-negeri maju. Begitu pula, kalangan agama bisa memainkan simbol agama untuk memobilisasi ketakutan masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang dari agama.

Bukan rahasia lagi, setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, kita menyaksikan maraknya politik agama, terutama yang diinspirasikan oleh identitas Islam. Dalam konteks inilah, MUI, lembaga yang semula dibikin oleh Soeharto untuk menjadi "corong pemerintah" untuk menaklukkan perlawanan sebagian kalangan Islam yang "mbalelo" itu, kini menemukan momentum kembali. Cara yang ditempuhnya sangat menarik: memobilisasi simbol agama untuk merehabilitasi nama-baiknya yang tercemar dulu. Salah satu sarana paling efektif adalah mendaya-gunakan "fatwa". Pada 29 Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa secara "ombyokan" yang kemudian menimbulkan kontroversi luas. Ada sebelas fatwa, antara lain fatwa yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Juga fatwa yang melarang ajaran Ahmadiyah. Hingga sekarang, fatwa-fatwa ini masih menjadi bahan perbincangan yang riuh di kalangan umat Islam dan non-Islam sekaligus.

Yang menarik dicatat adalah bahwa dengan fatwa-fatwa ini, MUI seperti "menemukan kembali suaranya". MUI seperti mendapatkan peran yang tepat di tengah-tengah perubahan sosial-politik yang deras akhir-akhir ini. Umat Islam yang kebingungan berhadapan dengan "situasi panta rei" ini, tentu dengan senang hati menyambut kehadiran MUI yang memberikan semacam "kompas budaya" kepada mereka itu. Pelan-pelan, MUI hadir sebagai kiblat baru di mata sebagian kalangan Islam.

Tetapi, bersamaan dengan naik daunnya MUI sebagai lembaga yang mewakili aspirasi kalangan Islam ortodoks, muncul pula kelompok-kelompok lain dalam masyarakat yang menganggap kehadiran MUI sebagai "versi baru" dari rezim Orba dulu dalam bidang agama. Dengan kata lain, MUI dianggap pula sebagai ancaman bagi keragaman aspirasi dalam masyarakat Islam. Apalagi kaum penentang MUI ini melihat bahwa lembaga itu mulai menampung suara-suara kalangan "radikal" dalam Islam. Sudah menjadi rahasia umum, dalam kepengurusan MUI saat ini ada unsur dari kelompok radikal, yakni HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang memperjuangkan khilafah Islamiyyah itu. Sementara itu, MUI sama sekali tak memberi ruang kepada kalangan "sekte" minoritas seperti Syi'ah, misalnya. Kalangan Islam yang berpikiran "kritis" juga selalu dipojokkan oleh lembaga ini, entah melalui fatwa atau pernyataan para tokoh MUI. Dengan kata lain, MUI hendak menegakkan ortodoksi Islam di tanah air. Bahkan kalau bisa, MUI juga hendak mewakili satu-satunya suara umat Islam.

Dengan makin kuatnya reputasi MUI sekarang ini, timbul pula semacam suasana "ketakutan" saat isu-isu menyangkut Islam dibicarakan secara terbuka dan kritis. Orang mulai khawatir jika suara-suara kritik itu dikemukakan secara publik, MUI akan "intervensi" dengan sebuah fatwa penyesatan. Bahasa "sesat" sekarang ini dengan piawai dipakai oleh MUI untuk memobilisasi suara umat Islam awam. Menghadapi situasi semacam inilah, kita bisa memahami munculnya guyonan seperti di atas. Guyonan itu hanyalah isyarat kecil bahwa sekarang masyarakat mulai merasakan kekhawatiran akan terkena "cekal" ketika menyuarakan gagasan yang kritis mengenai Islam. Guyonan itu adalah semacam kritik atas situasi yang timbul karena adanya "fatwa-speak" (jika boleh memodifikasi istilah terkenal dari George Orwell itu--newspeak).

Memang fatwa untuk melarang nikah dengan gadis sekantor tidak akan dikeluarkan oleh MUI. Tetapi, sindiran yang terkandung dalam guyonan yang dikirim oleh teman saya itu, pada hemat saya, sangat mengena pada keadaan yang kita hadapi saat ini. Jangan kaget, jika di masa-masa mendatang kita akan menjumpai lagi sindiran-sindiran serupa mengenai MUI, apalagi jika lembaga ini makin "sembrono" memakai senjata fatwanya dalam menanggapi kasus-kasus yang berkembang dalam masyarakat.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Thursday, May 1, 2008

Preman Berjubah, Ahmadiyah dan Pemerintah

Ade Armando

”Bunuh, bunuh, bunuh, BUNUH! PERANGI AHMADIYAH, BUNUH AHMADIYAH, BERSIHKAN AHMADIYAH DARI INDONESIA! Ahmadiyah halal darahnya! Persetan HAM! Tai kucing HAM! Allahu Akbar”

Kalimat-kalimat penuh kebencian itu dilontarkan Sobri Lubis. Dia adalah seorang tokoh Front Pembela Islam (FPI) yang berpidato dalam tabligh akbar di Banjar, Jawa Barat, 14 Februari 2008.

Saya memiliki rekaman pidatonya saat Sobri tampil dengan didampingi beberapa tokoh lainnya di hadapan ribuan umat Islam. Selain Sobri, ada pula Ir. M. Khattath, pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia, yang dengan lebih tenang -- dan dengan senyum dinginnya -- menyatakan bila pengikut Ahmadiyah tidak mau bertobat, hukumannya mati. Juga ada Abu Bakar Baasyir yang juga dengan tenang menyatakan hukuman bagi nabi palsu sederhana: kalau ditemukan, tangkap, potong leher.

Kutipan-kutipan di atas sengaja diangkat untuk menunjukkan bahwa pembicaraan mengenai masih adanya gerakan-gerakan radikal yang menghalalkan kekerasan dalam umat Islam di Indonesia bukanlah omong kosong. Inilah kalangan yang atas nama agama merasa berhak menghabisi mereka yang berada di luar kelompoknya. Dalam kasus terakhir ini, mereka secara bergelombang berusaha memaksa pemerintah untuk tunduk pada keyakinan mereka: bubarkan Ahmadiyah, nyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang, paksa mereka tobat!

Kalau pemerintah tidak mau membubarkan, bagaimana? Di sini, pantas lagi dikutip pernyataan seorang aktivis yang menyebut dirinya Panglima Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII). Bernama asli Abdul Haris Umarela, orang yang sekarang mengubah namanya menjadi Abdurrahman Assegaf itu berfatwa: ”Darah Ahmadiyah halal,” Lalu, Umarela ini berkata pula: ”Insya Allah, dalam waktu dekat, bila pemerintah tidak menutup Ahmadiyah, jangan kami disalahkan bila kami akan memberantas mereka ...”

Saya bukan penganut Ahmadiyah. Saya duga sebagian besar dari pembaca artikel ini bukanlah penganut Ahmadiyah. Tapi saya ingin mengingatkan Anda semua untuk melihat ancaman yang sangat nyata dari kelompok-kelompok preman berjubah – dengan menggunakan istilah Ahmad Syafii Maarif – tersebut terhadap pertama-tama, Ahmadiyah, dan juga pada gilirannya nanti, pada keragaman dalam Islam dan juga kebhinekaan di negara ini.

Dalam kasus Ahmadiyah ini, suasananya menjadi lebih menakutkan karena gerakan radikal ini Islam memanfaatkan MUI yang memang kerap dijadikan rujukan dalam soal-soal keislaman. Dan lebih menakutkan lagi kemudian karena mereka sudah memanfaatkan tangan-tangan negara seperti Bakorpakem, yang melalui sebuah proses pemantauan yang tak memiliki pertanggungjawaban publik yang jelas, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah memang ajaran yang sesat.

Saat ni, pemerintah belum mengeluarkan kata akhir. Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditunggu-tunggu kaum radikal itu belum lagi disahkan. Tapi, dalam waktu yang sempit ini, mari kita mengingatkan bahwa bila pembubaran Ahmadiyah terwujud maka sebenarnya kita sedang membiarkan terjadinya penzaliman terhadap jutaan warga Indonesia serta mmbiarkan kekuatan anti-demokrasi berkedok agama unjuk gigi mengarahkan politik di negara ini.

Adalah sangat penting bahwa seluruh bangsa di negara ini diyakini bahwa ini adalah negara hukum yang tidak bersikap diskriminatif. Kaum preman berjubah itu memang bisa saja berteriak, “Tai kucing itu HAM!” Masalahnya, mereka harus sadar bahwa, terlepas dari senang atau tidak, Indonesia adalah sebuah negara hukum yang percaya pada perlindungan HAM sebagaimana tertuang dalm deklarasi Universal HAM dan UUD 1945. Banyak dari para ulama itu juga berargumen bahwa di negara-negara seperti Pakistan dan Saudi Arabia, Ahmadiyah dilarang. Para ulama yang buicara seperti itu lupa dua negara itu adalah negara Islam. Indonesia bukan.

Karena itu alasan untuk membubarkan sebuah ajaran – kalau itu memang bisa dilakukan – haruslah merujuk pada konstitusi. Dalam hal ini, terlepas dari para ulama MUI bilang apa, tak ada alasan untuk membubarkan Ahmadiyah. Kalau saja Ahmadiyah adalah sebuah gerakan yang memprovokasi kekerasan dan mendorong para pengikutnya menyerang pihak lain, organisasi itu sebaiknya memang dibubarkan. Masalahnya, Ahmadiyah tidak bergaya begitu.

Ahmadiyah itu sudah ada di Indonesia sejak 1920an. Pernahkah kita mendengar mereka melakukan aksi kekerasan dan menyerang pihak lain? Tidak. Dan ini bisa dijelaskan dengan merujuk pada salah satu dasar ajaran Ahmadiyah. Mereka memang anti menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan Islam. Istilah jihad dalam komunitas Ahmadiyah dipercaya sebagai penyebaran ajaran dengan cara dakwah dan persuasif. Justru karena sikap anti-kekerasan inilah, Ahmadiyah dulu kerap dituduh sebagai gerakan pro kaum penjajah Barat.

Secara ironis harus ditunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, umat Ahamdiyah justru menjadi korban penindasan oleh kekuatan-kekuatan yang melecehkan hukum dan pemerintah. Permukiman mereka dihancurkan, mereka diusir dan sebagian sampai sekarang harus ditempat pengungsian, masjid-masjid mereka diluluhlantakkan, secara fisik warga Ahmadiyah dipukuli, diteror. Dalam hal ini, sangat tidak masuk di akal bila dikatakan bahwa Ahmadiyah meresahkan masyarakat karena tindakan-tindakan mereka.

Karena itu, satu-satunya alasan untuk mempersoalkan kehadiran Ahmadiyah adalah soal penafsiran Islam. MUI memang sudah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Dalam konteks demokrasi, mereka tentu berhak untuk mengeluarkan pernyataan semacam itu. Tapi itu tentu saja sebatas penilaian sejumlah ulama yang selalu mungkin salah. Bukankah untuk menentukan kapan Iedul Fitri saja, ulama bisa berbeda pendapat?

Celakanya, sebagian pihak berusaha meyakinkan orang bahwa karena MUI sudah berkesimpulan begitu, itulah kebenaran absolut. Ini menggelikan. Seandainya kita sempat membaca beragam ensiklopedi otoritatif di berbagai negara, terbaca jelas bahwa Ahmadiyah senantiasa dianggap sebagai sebuah aliran dalam Islam. Ensiklopedi Islam yang disusun Prof. Dr. Azyumardi Azra saja jelas-jelas menulis Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam. Kalau Ahmadiyah memang sebuah aliran yang mengada-ada, masakan di dunia ada puluhan juta umat Ahamdiyah?

Perdebatan soal Ahmadiyah adalah murni soal penafsiran. Ahmadiyah sepenuhnya mengakui rukun Islam dan rukun iman, sebagaimana diyakini mayoritas umat Islam lainnya. Ahmadiyah mengakui Muhammad SAW sebagai rasul terakhir dan Al-Qur’an sebagai kitab suci mereka. Namun penganut Ahmadiyah juga meyakini bahwa di abad 19 lalu, lahir Mirza Ghulam Ahmad yang kemudian menerima wahyu dari Allah untuk merevitalisasi ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad itu untuk menyelamatkan dunia Islam yang saat itu sedang terpuruk. Karena itulah, umat Ahmadiyah meyakini Gulam Ahmad sebagai penyelamat yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an.

Semua penganut Ahmadiyah tidak percaya bahwa Ghulam Ahmad sejajar dengan Nabi Muhammad dan rasul-rasul lainnya. Mereka hanya percaya bahwa 6-7 abad setelah Nabi Muhamad wafat, Allah menununjuk seorang terpilih – yakni Ghulam Ahmad – untuk memimpin umat Islam meraih kembali kejayaan Islam.

Para ulama di MUI itu bisa saja tidak percaya dengan segenap klaim itu. Tapi di sini kita masuk dalam tataran penafsiran dan keyakinan. Selama seabad terakhir debat tentang kesahihan klaim Ghulam Ahmad merupakan salah satu isu yang penting dan terus hidup dalam dunia Islam. Tidak pernah ditemukan
titik temu. Sekarang pertanyaannya, kalau ada perselisihan penafsiran dalam sebuah agama, pantaskah pemerintah campur tangan dan menentukan panafsiran mana yang benar?

Eropa pernah memberi pelajaran yang sangat baik soal ini. Sekitar sepuluh abad yang lalu, para pemuka gereja diberi kewenangan seperti yang dimiliki MUI dalam kasus Ahmadiyah ini. Para petinggi gereja saat itu memiliki kewenangan untuk memfatwakan siapa yang disebut sebagai menyimpang dari ajaran Kristen dan dengan itu dapat menggunakan negara untuk menghukum mereka yang dinyatakan para petinggi agama itu sebagai murtad, kafir, dan sesat.

Karena hubungan negara dan agama yang mesra dan saling memanfaatkan ini Eropa mengalami abad-abad kegelapan terburuknya, yang diwarnai dengan penindasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penzaliman mereka yang berada di luar ajaran Kristen resmi. Eropa terpuruk ketika petinggi agama berkuasa.

Kita tahu semua, abad kegelapan itu juga sekaligus adalah abad keterbelakangan Eropa. Di bawah para petinggi agama yang dengan yakin merasa menjalankan amanat Tuhan untuk menjaga kesucian dunia, rakyat hidup dalam ketakutan – takut berpikir, berbicara, mencari ilmu pengetahuan, berkarya. Lebih buruknya lagi, tatkala tahu bahwa tidak ada kontrol terhadap mereka, para petinggi agama itu justru kemudian menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengangkangi berbagai kenikmatan duniawi. Mereka menjadi korup!

Karena konteks itulah, setelah abad itu dilalui, Eropa tidak pernah lagi memberikan ruang bagi para petinggi agama untuk mengambil keputusan dalam kehidupan politik. Dalam demokrasi, agama adalah agama, negara adalah negara. Agama disingkirkan karena dianggap tidak memberi ruang bagi hak untuk memiliki keragaman pendapat – sesuatu yang justru sangat esensial dalam demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia.

Ini yang sekarang persis terlihat dalam kasus gerombolan ’preman berjubah’ di Indonesia ini. Mereka nampaknya percaya bisa menyetir negara ini sesuai dengan tafsiran sempit mereka. Mereka seperti bermimpi bisa menempati kedudukan menakutkan para petinggi gereja abad kegelapan yang justru adalah pangkal keterbelakangan Eropa.

Sekarang, semua bergantung kepada pemerintah. Secara sederhana, ada kubu pilihan. Yang satu adalah kubu yang menghalalkan kekerasan atas nama agama, yang percaya pada gagasan yang menolak keberagaman, gagasan bahwa hanya ada satu tafsiran tunggal seraya meniadakan yang lain. Di sisi lain,
ada kubu yang percaya pada arti penting hak asasi manusia, pada hak berbeda pendapat dan keyakinan, serta hidup dalam suasana yang tidak merestui kekerasan.

Semoga pemerintah mengambil pilihan yang benar.

Catatan:

Tulisan ini semula dimuat di Majalah Madina. Ade Armando adalah anggota redaksi majalah tersebut. Artikel ini dimuat di blog ini tanpa sepengetahuan penulis. Pemberitahuan dan permintaan izin sedang dalam proses.

Monday, April 28, 2008

Membela Ahmadiyah yang Dizalimi


Imam Ghazali Said *

Satu jam setelah Forum Lintas Agama (FLA) memilih saya menjadi jubir dalam konferensi pers 24 April 2008, telepon dan ponsel saya terus berdering; mempertanyakan mengapa saya membela aliran sesat? Karena itu, perkenankan saya memberikan penjelasan berikut.

Pertama, Ahmadiyah, baik aliran Lahore, di Indonesia populer dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun aliran Qodiyan, yang populer dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), telah berkiprah dan berinteraksi dengan tokoh nasionalis Indonesia, baik yang muslim maupun yang sekuler sejak 1920-an sampai 1980-an.

Dalam rentang waktu itu GAI dan JAI telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam mencerdaskan bangsa. Sayid Syah M. Muballig (ketua panitia pemulihan Pemerintahan RI dan penyusun program bahasa Urdu RRI Jakarta, 1950), Erfan Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan), Abu Bakar Ayub, Abd. Wahid, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh GAI dan JAI yang punya jasa besar dalam perjuangan dan mengisi kemerdekaan RI dengan cara bergabung dalam BKR, TKR, Kowani, dan KNI.

Dalam rentang waktu tersebut, mereka intens berinteraksi, baik sosial, politik, ekonomi, dan teologis dengan tokoh-tokoh dan organisasi Islam terpopuler di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Bahkan, dialog teologis pernah terjadi antara wakil GAI-JAI dengan A. Hassan (Persis) dan KH A. Wahid Hasyim (NU). Hasilnya? GAI dan JAI adalah saudara kita sesama muslim yang tinggal di negara tercinta Indonesia.

Lebih dari itu, tokoh GAI R. Sudewo Parto Kusumo (1905-1970) sangat berjasa secara intelektual dan spritual dalam mengader kaum muda muslim terpelajar yang tergabung dalam Jong Islamitenbond (JIB). Juga masih banyak tokoh GAI dan JAI yang kemudian berjuang dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Beranikah kita menilai mereka itu "aliran sesat" dan "bukan muslim" hanya karena mereka punya teologi yang sedikit berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia?

Kedua, setelah melakukan kajian mendalam, membaca dan memahami kitab-kitab tentang aliran-aliran dalam Islam, di antaranya al-Farq Baina al-Firaq (al-Baghdadi), al-Milal wa al-Nihal (Syahrastani), al- Fishal Baina al-Milal wa al-Nihal (Ibn Hazm), al-Iqtishad fi al-I’tiqad (al-Ghazali), Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin (al-Asy’ari), dan lain-lain, bersama kiai pesantren yang mewakili seluruh provinsi di Indonesia yang difasilitasi Komunitas Mata Air pimpinan Gus Mus dan Wahid Institute pimpinan Gus Dur, pada 22-25 Maret 2008 di Jakarta menyimpulkan, "bahwa manusia yang berucap dua kalimah syahadat, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, sekaligus tidak menentang satu pun dari dua rukun iman dan Islam itu, wajib dianggap dan dinilai sebagai saudara kita sesama muslim, yang hak-hak sipilnya harus kita lindungi".

GAI dan JAI, setelah saya melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, saya konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk "Membela JAI" tanpa mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah atau tidak.

Ketiga, fatwa penyesatan dan penilaian di luar Islam oleh MUI terhadap Ahmadiyah Qodiyan, 1 Juni 1980, dan diperkuat fatwa MUI 15 Juli 2005, itu muncul setelah aliran tertentu yang mengaku paling Islam, menyerang kantor pusat JAI di Parung, Bogor.

Selanjutnya, tindak kekerasan menyebar ke berbagai daerah, kantor-kantor JAI diserang, sehingga menimbulkan korban. Saya menilai fatwa MUI tersebut telah memberi legitimasi diperkenankannya tindak kekerasan terhadap JAI yang tak pernah mengganggu secara fisik -apalagi menyerang- kelompok Islam lain yang berbeda.

Realita ini menggugah nurani saya untuk menyatakan bahwa JAI telah dizalimi dan hak-hak sipilnya digangu. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita UUD ’45 pasal 29, ayat 1 dan 2, di samping mengabaikan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Keempat, status ormas JAI yang sudah berbadan hukum dengan SK Menkeh RI No JA 5/23, tanggal 13-3-1953 tidak dengan mudah akan dibatalkan melalui SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, hanya berdasarkan tekanan kelompok yang merasa "paling Islam" dan rekomendasi fatwa MUI dan Bakorpakem. Sebab, eksistensi MUI dan JAI itu sejajar dan keberadaan Bakorpakem tidak punya landasan hukum dan konstitusi yang kuat.

Kelima, MUI mestinya mengeluarkan fatwa bagi penyerang (pelaku pidana), bukan menyesatkan pihak yang diserang (korban pidana). Hemat penulis, MUI tidak adil dalam klarifikasi data. Yang menjadi pedoman MUI banyak berdasarkan yang dikemukakan Amin Jamaluddin (LPII) dalam bukunya: Ahmadiyah Membajak Alquran, dan buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ahmadiyah Punya Nabi dan Kitab Suci Baru.

Mengapa MUI -sebelum mengeluarkan fatwa- tidak mengklarifikasi tentang isi dan substansi dua judul buku tersebut pada PB JAI?

Keenam, MUI dan organisasi-organisasi Islam yang lain mestinya menyadari bahwa vonis "luar Islam" akan berakibat tindak kekerasan dan mengurangi secara drastis persentase umat Islam Indonesia.

Menurut data JAI, jumlah pengikutnya secara nasional antara 2-3 juta jamaah, yang di sensus KTP tertulis Islam. Itu selain umat Konghucu yang dalam KTP-nya juga mencantumkan Islam. MUI-lah yang paling bertanggung jawab atas penurunan persentase umat Islam Indonesia.

Ketujuh, pembatalan badan hukum JAI hanya bisa diterima lewat keputusan pengadilan. Karena itu, jika SKB pembubaran JAI terbit, saya menganjurkan agar JAI menempuh jalur hukum. Menggugat SKB tersebut ke pengadilan. Dengan demikian, SKB itu belum punya kekuatan hukum tetap.

Kasus JAI ini akan menjadi tolok ukur tahannya konstitusi kita menghadapi gelombang makin menguatnya kelompok muslim "Kanan" yang menginginkan formalisme syariah dalam kehidupan negara. Menurut saya hal itu menjadi ancaman serius bagi eksistensi NKRI dengan semua perangkat konstitusinya.

*. Imam Ghazali Said, pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) "An-Nur" dan ketua FKUB Surabaya.


Catatan:

Tulisan ini semula dimuat di Jawa Pos, 28 April 2008. Sedikit suntingan dilakukan atas ejaan judul sejumlah buku yang dikutip di sana. (Ruzbihan Hamazani)

Saturday, April 26, 2008

Abu Ishaq al-Shirazi: Apakah Nabi Mungkin Berbuat Salah?

Ruzbihan Hamazani

Apakah Nabi Muhammad boleh melakukan ijtihad? Jika boleh, apakah ijtihadnya selalu benar, atau mungkin salah? Jika ijithad Nabi mungkin salah, apakah ini tak bertentangan dengan doktrin "infalibilitas" ('ishmah), yakni doktrin tentang kesucian dan kesempurnaan Nabi, atau ketidakmungkinannya melakukan kesalahan?

Ini adalah salah satu tema yang pernah didiskusikan dengan ramai di kalangan sarjana Islam di masa lampau. Esei pendek ini akan mencoba melihat diskursus kesarjanaan Islam klasik mengenai tema ini dan apa yang bisa kita pelajari dari sana. Secara spesifik, esei ini akan mengulas pendapat Abu Ishaq al-Shirazi, salah satu juris atau sarjana hukum yang sangat dihormati di kalangan mazhab Shafii yang luas diikuti oleh umat Islam di Indonesia.

Saya akan mulai dengan keterangan biografis pendek mengenai al-Shirazi dan kedudukannya di lingkungan mazhab Shafii. Setelah itu, saya akan mengulas pendapatnya mengenai ijtihad Nabi dalam kitabnya yang terkenal, al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh (secara harafiah: Penjelasan tentang Ushul Fiqh). Ini adalah karya al-Shirazi yang cukup penting di bidang ushul fiqh (teori hukum Islam) selain karyanya yang lain yang lebih dikenal di Indonesia, yaitu al-Luma' (secara harafiah: Kilatan-Kilatan Cahaya). Esei ini akan saya tutup dengan ulasan pendek tentang apa yang bisa kita pelajari dari perdebatan ini.

Siapakah dia?

Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn 'Ali ibn Yusuf al-Firuzabadi al-Shirazi, atau dikenal luas sebagai Abu Ishaq al-Shirazi. Ia adalah seorang sarjana fikih besar yang berasal dari kota Shiraz, Persia (sekarang Iran). Ia lahir pada tahun 393 H/1003 M dari keluarga yang sangat sederhana. Ia memulai studinya dalam bidang hukum Islam (fiqh) di kota kelahirannya sendiri, Shiraz, dan kemudian Basrah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di dua kota itu untuk belajar hukum Islam dan cabang-cabang pengetahuan Islam yang lain. Ia kemudian melanjutkan studinya ke Baghdad, ibu kota pengetahuan dan politik pada saat itu. Di sana, ia menjadi murid seorang sarjana besar, al-Qadhi Abu al-Thayyib al-Thabari (w. 450 H/1058 M), dan belakangan menjadi "mu'id" atau asistennya. Ia juga berguru pada sarjana lain yang cukup penting dalam mazhab Shafii, yakni al-Qazwini.

Karir al-Shirazi sebagai sarjana menanjak cepat. Sejak 459 H/1066 M dan seterusnya, dia mengajar di sebuah institusi sangat penting dalam sejarah perkembangan sekte Sunni, yakni Universitas Nizamiyya, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Inilah universitas yang didirikan oleh perdana menteri dinasti Saljuk yang sangat cinta ilmu itu untuk menyebarkan doktrin Sunni, terutama Ash'ariyyah. Di universitas itu, beberapa ulama besar yang sudah kita kenal namanya sempat melewatkan waktu untuk mengajar, seperti Imam Ghazali dan gurunya, Imam al-Juwayni. Al-Shirazi wafat pada 21 Jumada al-Akhir, 476/4 November, 1083 M.

Sumbangan penting Abu Ishaq al-Shirazi dalam pengembangan mazhab Shafii tercermin melalui dua karyanya yang sangat penting. Yang pertama adalah al-Muhazzab (secara harafiah: Inti Sari), karya yang bisa dianggap sebagai salah satu rujukan paling penting di lingkungan mazhab Shafii. Kedudukan penting karya ini tidak bisa kita apresiasi dengan baik kalau kita tak mengetahui konteks perkembangan mazhab Shafii pada masa itu, yakni pada periode abad kedua, ketiga dan keempat Hijriyah. Sebagaimana kita tahu, dalam setiap mazhab selalu kita jumpai pendapat yang bermacam-macam, entah yang dikeluarkan oleh pendiri mazhab itu sendiri, atau murid-muridnya yang sering disebut sebagai "ashhab". Setiap mazhab selalu mengenal situasi "pluralisme juristik" yang kadang-kadang sangat ekstrim. Seorang penganut mazhab Shafii, misalnya, akan dibuat repot oleh perbedaan pendapat seperti ini. Pertanyaan yang harus dia hadapi adalah: mana pendapat yang harus diikuti. Karya al-Shirazi ini dianggap penting karena berusaha untuk "menyaring" berbagai ragam pendapat yang ada dalam mazhab Shafii, dan kemudian memilih mana yang dianggap paling kuat argumennya (al-ashahh atau al-azhar) menurut para sarjana dalam mazhab tersebut. Dengan kata lain, karya al-Shirazi ini berusaha melakukan semacam standardisasi dan "kanonisasi" mazhab Shafii. Karena kedudukannya yang begitu penting, banyak sarjana yang menulis komentar (sharh) atas karya al-Shirazi ini, antara lain yang paling terkenal adalah komentar yang ditulis oleh Sharaf al-Din al-Nawawi (w. 676 H/1277 M) berjudul al-Majmu' (secara harafiah: Kompendium). Bersama al-Muhazzab, komentar al-Nawawi ini dianggap sebagai dua karya penting dalam mazhab Shafii. Bagi mereka yang ingin mempelajari mazhab ini, dua karya tersebut merupakan "kanon wajib" yang tak bisa dilompati begitu saja.

Karya kedua adalah al-Luma' yang sudah saya sebut di atas, tentang ushul fiqh. Sebagaimana sudah saya singgung di atas pula, al-Shirazi memiliki dua karya penting dalam bidang teori hukum Islam: al-Luma' dan al-Tabshirah yang akan menjadi bahan kajian dalam esei ini. Al-Luma' lebih luas dikenal karena ditulis setelah al-Tabshirah, sehingga ia bisa dianggap mencerminkan pendapat al-Shirazi yang sudah mapan. Dalam al-Luma', al-Shirazi kerapkali mengoreksi pendapatnya sendiri yang pernah dikemukakan dalam karya sebelumnya, al-Tabshirah. Al-Shirazi juga menulis sendiri komentar atas al-Luma'. Karena sifatnya yang ringkas dan padat, al-Luma' beserta komentarnya menjadi "teks kuliah wajib" di madrasah-madrasah di seluruh dunia Islam yang mengajarkan mazhab Shafii sejak abad ke-11, bahkan hingga sekarang.

Sekedar catatan kecil: mungkin perlu ada suatu penelitian terpisah tentang kurikulum madrasah/pesantren saat ini untuk melihat apakah karya-karya klasik seperti al-Luma' ini masih tetap diajarkan. Penelitian ini tentu menarik untuk melihat aspek kontinuitas dan diskontinuitas dalam perkembangan pemikiran di lingkungan umat Islam pada era modern, terutama pemikiran hukum.

Bolehkah Nabi ber-ijitihad?

Pertanyaan yang menarik perhatian al-Shirazi adalah: apakah Nabi boleh melakukan ijtihad atau penalaran rasional sendiri di luar wahyu yang ia terima dari Tuhan? Pertanyaan ini sangat relevan karena mempertimbangkan kenyataan bahwa Nabi telah mendapatkan wahyu. Jika sudah ada wahyu, apakah masih relevan bagi Nabi untuk melakukan ijtihad? Bukankah wahyu sudah cukup?

Dalam al-Luma' (hal. 266-277), al-Shirazi menyebut dua pendapat di kalangan sarjana Islam, terutama di lingkungan mazhab Shafii, mengenai masalah ini. Ada kalangan yang mengatakan bahwa Nabi boleh berijtihad, tetapi ada kalangan lain yang berpendapat: tidak. Argumen kelompok yang pertama menarik untuk kita telaah. Mereka mengatakan: jika para sahabat boleh berijtihad pada saat Nabi masih hidup (ingat hadis Mu'adz ibn Jabal yang dikenal dengan pernyataanya, "ajtahidu ra'yi wa la alu", saya akan ber-ijtihad dengan memakai akal saya, dan saya akan berusaha sekuat tenaga), maka Nabi tentu jauh lebih berhak untuk berijtihad. Dengan kata lain: jika sahabat yang merupakan pengikut Nabi boleh melakukan ijtihad, kenapa Nabi tidak? Al-Shirazi lebih berpihak pada pendapat ini. Beberapa murid Imam Shafii yang lain (al-Razi menyebutnya sebagai "ashhabuna") berpendapat bahwa Nabi tak boleh berijtihad, sebab wahyu sudan mencukupi.

Jika Nabi mungkin dan boleh melakukan penalaran rasional atau ijtihad sendiri, pertanyaan berikutnya adalah: apakah ijtihadnya itu selalu benar atau mungkin salah? Di sini, para sarjana Islam di lingkungan mazhab Shafii juga memiliki beberapa pendapat.

Sekurang-kurangnya ada dua pendapat mengenai masalah ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Shirazi dalam al-Tabshirah (hal. 524-525). Pendapat pertama lebih disokong oleh al-Shirazi, yakni Nabi mungkin melakukan kesalahan dalam ijtihad. Hanya saja, kesalahan itu akan dikoreksi oleh wahyu, dan tidak mungkin kesalahan itu berlalu begitu saja tanpa koreksi ("illa annahu la yuqarru 'alaihi, bal yunabbahu 'alaihi"; artinya: tetapi dia [Nabi] tak akan dibiarkan tetap berada dalam kesalahan itu, sebaliknya dia akan diingatkan [oleh Tuhan melalui wahyu] atas kesalahannya itu).

Pendapat pertama ini disokong oleh banyak sarjana lain di luar mazhab Shafii, seperti sarjana-sarjana di lingkungan mazhab Hanbali, para sarjana hadis, al-Jubba'i (salah satu tokoh penting dalam sekte Mu'tazilah) dan beberapa tokoh Mu'tazilah yang lain.

Pendapat kedua mengatakan bahwa Nabi tak mungkin melakukan kesalahan dalam ijtihad. Agumen kelompok ini tak asing di telinga kita saat ini karena sudah sering kita dengar dari beberapa kelompok Islam yang berpandangan serupa. Mereka mengatakan: jika Nabi mungkin melakukan kesalahan dalam ijtihad, maka hal itu akan memaksa kita untuk "tawaqquf", artinya diam, serba tidak menentu. Jika hal itu mungkin terjadi, maka kita akan menghadapi keragu-raguan (al-shakk) saat menerima suatu ajaran tertentu dari Nabi, sebab bukan tak mustahil ajaran itu berasal dari ijtihad Nabi yang mungkin salah. Jika tak ada jaminan bahwa apa yang dikatakan Nabi adalah mutlak benar, bukankah ini akan menimbulkan situasi ketidakpastian dalam agama?

Tanggapan kelompok pertama menarik untuk kita simak: secara faktual Nabi pernah melakukan kesalahan, bahkan sangat fatal, sehingga mendapat peringatan yang keras dari Tuhan. Sekurang-kurangnya ada dua kebijaksanaan penting di mana Nabi melakukan kesalahan yang langsung dikoreksi melalui wahyu. Yang pertama adalah saat Nabi memutuskan untuk mengambil tebusan untuk sejumlah pasukan Mekah yang ditawan oleh pasukan Islam saat perang Badar (berlangsung pada 17 Ramadan, 2 H/17 Maret, 624 M). Kedua, saat Nabi memberi izin kepada beberapa orang "munafik" yang minta izin untuk tak ikut dalam ekspedisi Tabuk (tahun ke-9 Hijriyah) dengan berbagai-bagai alasan yang dibuat-buat. Ijtihad Nabi dalam dua momen itu dianggap sebagai kurang tepat atau salah oleh Tuhan, dan mendapatkan peringatan yang cukup keras (baca misalnya QS 9:43).

Kemungkinan Nabi melakukan kesalahan dalam ijtihad tidak berarti menimbulkan situasi ketidak-menentuan atau "tawaqquf" seperti dikira oleh kelompok kedua. Jawaban balik kelompok pertama sangat menarik karena membuat analogi dengan kedudukan seorang mufti atau pemberi fatwa. Mereka mengatakan: Bukankah kita tak harus ragu menerima fatwa seorang mufti, padahal kita semua tahu bahwa dia mungkin salah? Jika kita tak ragu menerima fatwa seorang mufti, padahal dia mungkin salah, maka begitu pula kita tak boleh ragu menerima ajaran dari Nabi hanya karena kemungkinan adanya kesalahan dalam ijtihadnya. Apalagi, ada jaminan bahwa Nabi akan mendapatkan koreksi langsung saat melakukan ijtihad yang salah.

Bertentangan dengan doktrin kesucian?

Apakah pendapat tentang kemungkinan adanya kesalahan dalam ijithad Nabi ini tidak bertentangan dengan doktrin tentang "kesucian" Nabi yang dikenal dengan 'ishmah? Sebagaimana kita tahu, umat Islam memiliki doktrin yang hampir serupa dengan doktrin kesucian Paus ("papal infallibility") yang dikenal luas oleh umat Katolik. Dalam pandangan umat Islam, Nabi tidak mungkin berbuat kesalahan atau perbuatan lain yang bisa dianggap dosa dalam pandangan agama. Doktrin ini dikenal sebagai doktrin 'ishmah (secara harafiah berarti: keterjagaan atau keterhindaran Nabi dari perbuatan dosa dan salah). Doktrin ini dianut secara luas oleh banyak sekte Islam, terutama Sunni dan Mu'tazilah. Kalangan Shi'ah bahkan memperluas doktrin kesucian ini sehingga mencakup imam-imam yang mereka anggap sebagai penerus Nabi. Bagi kalangan Shi'ah, yang ma'shum atau terjaga dari kesalahan bukan hanya Nabi, tetapi juga para imam dua belas (dalam konteks Shi'ah Itsna 'Ashariyyah).

Doktrin ini sendiri tak disebutkan dengan jelas dan terus terang, baik dalam Qur'an maupun koleksi hadis yang "kanonik". Doktrin ini dirumuskan belakangan oleh para sarjana Islam, terutama oleh kalangan Syi'ah pada paroh pertama abad kedua Hijriyah, dan belakangan diikuti oleh kalangan Mu'tazilah dan diteruskan oleh kalangan teolog Ash'ariyyah. Di kalangan Mu'tazilah, orang yang pertama merumuskan doktrin ini adalah al-Nazzam (w. 220 H/835 M-230 H/845 M) pada akhir abad kedua Hijriyah. Dengan kata lain, ini adalah doktrin yang dirumuskan sendiri oleh sarjana Islam belakangan, antara lain untuk mengatasi kemelut doktrinal-cum-politik yang timbul karena perbedaan sektarian pada masa perdana Islam.

Sekali lagi: apakah pendapat yang diikuti oleh al-Shirazi tentang kemungkinan kesalahan dalam ijtihad Nabi itu tidak bertentangan dengan doktrin 'ishmah tersebut?

Al-Shirazi sendiri tidak mengulas masalah ini secara jelas, baik dalam al-Luma' atau al-Tabshirah. Tetapi, pertanyaan ini bisa jadi kurang relevan, ataupun, kalau relavan, tidak terlalu sulit untuk dijawab, kalau kita menelaah pendapat yang berkembang di kalangan sarjana Islam sendiri tentang apa yang dimaksud dengan doktrin 'ishmah itu.

Pandangan sarjana Islam klasik tentang masalah ini sama sekali tidak tunggal, tidak seperti dikira oleh kebanyakan umat Islam saat ini. Dalam lingkungan sekte Ash'ariyah yang banyak diikuti oleh umat Islam saat ini (di Indonesia, pengikut sekte ini adalah warga Nahdlatul Ulama, Perti, dan beberapa kelompok lain), terdapat banyak perbedaan. Pertama, terdapat diskusi yang panjang, apakah Nabi terjaga dari kesalahan hanya setelah resmi menjadi Nabi, atau juga sebelum itu (ba'da al-nubuwwah aw qablaha). Kedua, apakah Nabi terjaga dari seluruh dosa, baik kecil atau besar, baik disengaja atau tak disengaja, ataukah hanya terjaga dari dosa besar saja, atau dosa-dosa yang disengaja? Ketiga, apakah Nabi terjaga dari kesalahan dalam segala hal, atau hanya saat menyampaikan wahyu saja? Dalam tiga masalah itu, para teolog atau sarjana Islam secara umum mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

Al-Baqillani (w. 403 H/1012 M), salah satu teolog penting dalam sekte Asha'riyyah, berpendapat bahwa Nabi terjaga dari kesalahan hanya sebatas dalam menyampaikan wahyu. Di luar itu, ada kemungkinan Nabi berbuat kesalahan, terutama kesalahan yang tak disengaja atau lupa. Pandangan Al-Baqillani ini diikuti oleh beberapa teolog belakangan. Ibn Furak (w. 406 H/1015 M), salah satu teolog Ash'ariyyah lain, berpendapat bahwa Nabi mungkin melakukan dosa kecil secara sengaja, tetapi bukan dosa besar. Pendapat ini juga diafirmasi oleh Al-Juwaini (w. 478 H/1085M), seorang teolog penting dalam sekte Ash'ariyyah dan guru dari Imam Ghazali (w. 1111).

Di lingkungan mazhab Hanbali, yang berkembang justeru pendapat yang justru kurang bersahabat dengan doktrin ini. Ibn Battah (w. 387 H/997 M) berpendapat bahwa Nabi mungkin berbuat dosa. Ibn Taymiyah (w. 728/1328 M) dan muridnya, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M), berpendapat bahwa Nabi hanya terjaga dari kesalahan sebatas menyangkut tugas penyampaian wahyu. Di luar itu, Nabi mungkin berbuat kesalahan.

Dengan melihat perbedaan yang sangat beragam ini, kita bisa dengan mudah menjelaskan pendapat yang diikuti oleh al-Shirazi di atas. Pendapat itu sama sekali tidak bertentangan dengan doktrin kesucian Nabi yang dianut oleh mayoritas umat Islam, sebab doktrin itu dimengerti secara berbeda-beda. Kebalikan dari apa yang disangkakan sebagian besar umat Islam saat ini, doktrin itu juga sama sekali tak memustahilkan adanya kesalahan pada Nabi, atau kemungkinan Nabi melakukan tindakan yang bisa dipandang dosa dalam kaca mata agama. Dalam pandangan al-Shirazi, Nabi memang mungkin berbuat salah, tetapi Tuhan akan langsung "turun tangan" untuk memberikan koreksi.

Pandangan semacam ini, dalam padangan saya, jauh lebih konsisten dengan pandangan yang dikemukakan dalam Qur'an. Dalam QS 18:110, terdapat sebuah ayat yang sangat menarik, "qul innama ana basyarun mitslukum yuha ilayya...". Artinya: Katakan (wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanya seorang manusia seperti kalian yang diberikan wahyu. Seluruh nabi dan rasul selain Nabi Muhammad juga digambarkan dengan cara serupa seperti terbaca dalam QS 14:11. Dengan kata lain, seluruh nabi adalah manusia biasa yang menjadi "perantara linguistik" antara Tuhan dan manusia. Mereka bukanlah suatu genus yang lain sama sekali. Sebagai manusia, mereka tak terbebas dari segala kelemahan yang melekat pada manusia pada umumnya. Sebagai manusia pula, mereka juga tunduk pada keterbatasan sejarah dan konteks sosial yang melingkupi mereka. Mereka adalah aktor sejarah yang hidup dalam batas-batas konteks yang jelas. Mereka, dengan kata lain, adalah "agen yang kontingen", subyek sejarah yang terbatas dan terbatasi.

Tentu Nabi memiliki kualitas yang membedakannya dengan manusia pada umumnya. Seperti dikatakan al-Shirazi, Nabi selalu dalam arahan Tuhan. Meskipun ia bisa dan mungkin bertindak salah, tetapi ia akan langsung mendapat teguran dari Tuhan.

Pelajaran apa yang dapat kita peroleh?

Diskusi yang begitu ramai serta perbedaan sarjana Islam klasik yang begitu beragam mengenai masalah ini memperlihatkan bahwa apa yang disebut sebagai diskursus pemikiran Islam tidaklah sesederhana seperti dikira oleh kebanyakan orang pada saat ini. Dalam diskursus Islam modern, Nabi digambarkan sebagai subyek yang suci dan tak mungkin berbuat salah, begitu rupa sehingga Nabi nyaris mengalami proses "deifikasi" atau penuhanan. Ini bisa kita lihat misalnya dalam reaksi-reaksi yang ditunjukkan oleh banyak golongan umat Islam berkenaan dengan figur Nabi. Sebagaimana sudah saya tunjukkan dengan baik dalam esei ini, penggambaran seperti itu sama sekali tidak tepat. Dalam perdebatan di kalangan sarjana Islam klasik, masalah ini didiskusikan dengan cukup intensif, dan pendapat para ulama sama sekali tidak monolitik atau tunggal.

Tampaknya umat Islam perlu menengok kembali khazanah Islam klasik yang begitu kaya untuk belajar tentang keragaman pendapat di kalangan para ulama di masa lampau. Kalangan Islam konservatif selalu ingin menggambarkan Islam secara monolitik, seolah-olah hanya ada satu pendapat saja dalam segala hal; seolah-olah hanya ada satu model Islam saja. Penggambaran semacam ini selain tidak tepat, juga berbahaya karena akan menutup diskusi.

Wa 'l-Lahu a'lam bi al-shawab.

Catatan bibliografis:

Dalam esei ini, saya memakai sejumlah rujukan. Rujukan utama adalah dua karya Abu Ishaq al-Shirazi, al-Luma' fi Ushul al-Fiqh (diedit oleh Muhyiddin Dib Masto dan Yusuf Ali Badiwi, terbit 1995) dan al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh (diedit oleh Muhammad Hasan Hito, terbit 1983). Selain itu, saya merujuk kepada tafsir Jami' al-Bayan karya al-Tabari melalui situs al-Tafsir. Saya juga memakai sejumlah artikel yang relevan dalam Encyclopaedia of Islam.

Kenapa Seseorang Memeluk atau Pindah Agama?

Ruzbihan Hamazani

Kenapa seseoang memeluk agama tertentu, dan bukan agama lain? Kenapa seseorang menjadi Muslim, yang lain Kristen, yang lain lagi Hindu, yang lainnya lagi Budha, dan seterusnya? Apakah keanggotaan seseoang dalam agama tertentu adalah hasil keputusan yang bersangkutan, atau karena "kebetulan sosial"? Kalau seseorang lahir dalam keluarga Muslim, apakah tidak dengan sendirinya ia akan menjadi Muslim pula? Jika orang yang sama lahir dalam keluarga Kristen, bukankah kemungkinan besar dia akan menjadi Kristen? Jika benar demikian, apakah agama adalah sesuatu yang "diberikan" oleh masyarakat, bukan sesuatu yang kita pilih sendiri secara bebas?

Esei pendek ini akan mencoba menjawab masalah ini. Isu ini sebetulnya telah menjadi bahan studi tersendiri di kalangan sarjana dalam rubrik besar yang disebut dengan "konversi" atau gejala pindah agama. Konversi bukan saja fenomena individual, tetapi juga komunal, sosial, dan bahkan memiliki implikasi lebih luas lagi pada level "pembentukan sebuah peradaban". Studi-studi mengenai masalah ini bisa dibaca melalui beberapa buku seperti Conversion to Christianity: Historical and Anthropological Perspectives on a Great Transformation (1993) yang disunting oleh Prof. Robert Hefner. Buku lain yang lebih menyoroti aspek konversi dalam konteks Islam adalah Conversion to Islam (1979) suntingan Nehemia Levtzion.

Kenapa seseorang memeluk atau pindah ke agama tertentu bisa dijawab dengan dua pendekatan. Yang pertama adalah pendekatan dari "dalam", dan kedua pendekatan dari "luar". Pendekatan dari dalam maksudnya adalah melihat masalah ini dari sudut pandang pemeluk agama tertentu; sementara pendekatan dari luar mencoba melihatnya dari kaca-mata sosiologis, yakni meletakkan masalah ini sebagai gejala sosial yang dapat kita amati bersama, tanpa memperdulikan bagaimana sudut pandang pemeluk agama itu.

Saya akan mulai dari sudut pandang dari dalam. Dilihat dari "dalam", fakta bahwa seseorang memeluk agama tertentu biasanya dijelaskan dengan berbagai cara. Dalam konteks Islam, misalnya, hal itu dijelaskan dengan konsep "hidayah" atau petunjuk. Dalam pandangan seorang Muslim, seseorang menjadi Muslim, entah sejak lahir atau sesudah dewasa, karena yang bersangkutan mendapat petunjuk (hidayah) dari Tuhan. Konsep ini mengandaikan bahwa yang bersangkutan, sebelum masuk Islam, berada dalam keadaan tersesat (dlalal). Dalam Islam dikenal konsep tentang "jalan yang lurus" (al-sirat al-mustaqim). Meskipun istilah ini sering dipakai oleh umat Islam dalam konteks eskatologi (doktrin atau ajaran tentang hari akhir--yaum al-qiyama), tetapi konsep tersebut juga sering dipakai untuk menunjuk agama Islam itu sendiri. "Jalan yang lurus", dengan demikian, bukan saja merujuk kepada "jembatan ujian" ("titian serambut dibelah tujuh", meminjam judul film arahan Asrul Sani dulu) yang terbentang di atas neraka kelak untuk menguji iman seseorang, tetapi juga merujuk kepada agama Islam. Islam adalah jalan yang lurus. Seseorang yang tidak mengikuti jalan ini dianggap sebagai berada dalam jalur yang sesat, menyimpang. Jika seseorang masuk Islam, ia mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang lempang dan benar.

Konsep serupa, meskipun tidak mirip sama, kita temukan dalam agama Kristen. Di sana, misalnya, dikenal konsep tentang keselamatan. Seseorang yang memeluk agama Kristen dilihat sebagai orang yang terselamatkan. Manusia sering digambarkan sebagai domba-domba (sheep), sementara para pendeta dan pelayan Tuhan disebut sebagai gembala (sheperd). Dalam Injil Yohanes 10:11, misalnya, Yesus menyebut dirinya sebagai "gembala yang baik" (I am the good sheperd, demikian dikatakan dalam John 10:11). Oleh karena itu, dalam kalangan Kristen lazim kita kenal ungkapan "domba-domba yang tersesat", yakni manusia yang belum mengikuti jalan Kristus. Jika seseorang mengikuti jalan itu, maka ia disebut sebagai "domba yang terselamatkan". Konsep ini kurang lebih mirip dengan konsep "hidayah" dalam Islam. Keduanya melihat mereka yang bergabung dalam komunitas agama sebagai orang-orang yang berada dalam jalan lurus, jalan keselamatan menuju sorga. Mereka yang ada di luar itu adalah tersesat.

Dalam konsep hidayah sebagaimana dikenal dalam Islam, terkandung suatu gagasan tentang "intervensi Tuhan". Seseorang masuk dalam Islam bukan semata-mata karena keputusan dia sendiri, tetapi juga intervensi Tuhan. Seseorang bisa saja mengetahui dengan baik bahwa Islam adalah agama yang benar, tetapi belum tentu ia mau masuk ke dalamnya. Contoh yang sering dipakai oleh kalangan Islam adalah kaum orientalis, yakni sarjana non-Muslim yang dengan tekun dan simpatik (atau boleh juga non-simpatik) mempelajari Islam, tetapi ia tidak menjadi Muslim. Oleh umat Islam, gejala seperti ini dijelaskan dengan konsep "hidayah": karena orientalis bersangkutan belum mendapat petunjuk dari Tuhan, maka dia tak mau masuk Islam, walau dia telah belajar tentang ajaran Islam secara mendalam.

Berkaitan dengan soal "hidayah" ini, ada sebuah anekdot yang menarik. Seorang antropolog "bule" dari Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian lapangan di pesantren Darut Tauhid asuhan da'i kondang, KH. Abdullah Gymnastiar atau dikenal sebagai Aa Gym. Melihat si bule dengan simpatik melakukan penelitian tentang pesantren, kegiatan dakwah Aa Gym, dan Islam secara umum, salah seorang santri di sana terheran-heran: kalau si bule itu meneliti kegiatan dakwah Islam dengan penuh simpatik, kenapa dia tak masuk Islam saja. Lalu si santri itu memberanikan diri bertanya, "Tuan, kenapa anda tak masuk Islam saja, toh anda kelihatan begitu simpatik pada agama kami, dan mengetahui dengan baik tentang agama kami?" Si bule rupanya tak pernah berpikir akan menghadapai pertanyaan seperti itu. Dia datang ke Pesantren Darut Tauhid untuk melakukan penelitian ilmiah. Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang dakwah Islam, dia harus masuk ke dalam komunitas yang menyelenggarakan dakwah, dan mencoba memahaminya secara simpatik, bukan menilainya menurut standar nilai yang berasal dari luar. Itulah sikap ilmiah yang dikenal dalam kajian antropologi. Karena bingung mencari jawaban, si bule punya ide agak "nakal". Dia bilang, "Saya belum mendapatkan hidayah, sehingga saya tidak masuk Islam". Si santri langsung diam. Jawaban si bule, rupanya, tepat mengenai sasaran dan dapat dimengerti oleh si santri yang memahami dengan baik hubungan antara konsep hidayah dengan keputusan seseorang untuk masuk Islam.

Bagaimana penjelasan dari luar? Bagaimana menjelaskan seseorang masuk suatu agama tertentu dari sudut pandangan sosiologis?

Kalau kita menelaah dengan cermat bagaimana sesearang masuk kedalam komunitas agama tertentu, akan kelihatan pola-pola berikut ini. Pertama, umumnya seseorang masuk atau pindah agama karena faktor keluarga atau masyarakat sekitar. Seorang yang lahir dalam keluarga Muslim dengan sendirinya akan menjadi Muslim. Begitu pula yang lahir dalam keluarga Kristen, Hindu, Budha, atau yang lain, ia akan mengikuti agama keluarga itu. Dengan kata lain, seseorang menjadi, katakanlah, Muslim bukan karena faktor "kebetulan sosial". Umumnya orang-orang Muslim memeluk agam Islam bukan karena pilihan yang bebas, tetapi karena faktor eksternal, yakni keluarga dan masyarakat.

Kedua, konversi atau pindah agama karena keputusan dan pilihan yang bebas adalah gejala yang jarang terjadi. Kalau kita lihat sejarah perkembangan Islam sendiri pada masa Nabi, pola serupa bisa kita temukan pula. Setelah Nabi berhasil menaklukkan kota Mekah pada 8 Ramadan, 10 H atau Januari 630 M, puluhan ribu orang Arab berbondong-bondong masuk Islam. Umumnya, mereka masuk Islam bukan karena "pilihan yang bebas", tetapi karena melihat suatu kenyataan yang tak bisa mereka tolak, yakni Islam menjadi agama yang secara "politik" menang di tanah Arab. Bergabung dalam agama "baru" itu tentu akan lebih menguntungkan ketimbang bertahan dalam "agama lama" yang sudah kalah dan merosot. Dengan kata lain, mereka yang masuk Islam karena alasan politik pada saat itu jauh lebih banyak ketimbang masyarakat Arab yang masuk Islam karena "kesadaran intrinsik" seperti kasus yang terjadi pada sejumlah sahabat utama yang masuk Islam pada era awal. Contoh yang terkenal adalah Umar ibn Khattab yang masuk Islam karena suatu "momen puitis" yang mengharukan. Sebagaimana kita tahu, Umar masuk Islam setelah mendengar lantunan ayat Qur'an yang dibacakan oleh saudara perempuannya. Mendengar ayat-ayat Qur'an yang "tak lazim", Umar seperti terserang "setrum" karena takjub atas ayat-ayat itu. Ia langsung memeluk agama baru itu. Menjadi Muslim a la Umar ini sudah jarang terjadi pada masa-masa dakwah Nabi paska-penaklukan Mekah. Itulah yang menjelaskan kenapa begitu Nabi wafat, ribuan orang-orang Arab meninggalkan Islam dan kembali ke agama mereka yang lama. Mereka masuk Islam lebih karena alasan politik, dan karena itu Islam tidaklah masuk dan menghunjam dalam jiwa mereka. Dalam masyarakat pra-modern, pindah agama karana alasan politik, komunal, atau hubungan-hubungan sosial yang lain sangat lazim.

Pada masa lampau, masyarakat biasanya mengikuti agama sang raja. Dalam Eropa abad pertengahan, dikenal suatu ungkapan Latin, cuius regio eius religio, siapa memliki wilayah, ia memiliki agama pula. Dengan kata lain, siapapun yang berkuasa dalam suatu negara, maka ia berhak menentukan agama yang harus dipeluk oleh seluruh penduduk dalam negara itu. Inilah yang menjelaskan kenapa pada zaman pra-modern dulu, seorang raja yang pindah ke agama baru akan diikuti oleh sebagian besar penduduknya. Bagi kaum misionaris, hal ini tentu menguntungkan sekali. Jika seorang misionaris atau da'i berhasil meyakinkan sang raja untuk masuk ke agama tertentu, maka keuntungan yang diperoleh bisa berlipat-lipat: bukan hanya raja saja yang akan pindah agama, tetapi juga seluruh, atau sekurang-kurangnya sebagian besar, penduduk. Selain, agama itu akan mendapat pengaruh politik yang lebih luas.

Ini adalah contoh pindah agama karena faktor politik yang lazim dan sering terjadi dalam sejarah pra-modern, bukan hanya dalam kasus Islam, tetapi juga agama-agama lain.

Gejala pindah agama karena keputusan yang bebas makin sering kita lihat dalam era modern sekarang ini. Ini tentu berkaitan dengan makin kuatnya konsep individualisme, selain konsep hak asasi yang cenderung memandang agama dan keyakinan sebagai pilihan pribadi. Gejala ini makin luas terjadi di negeri-negeri Barat. Ribuan orang di Amerika, misalnya, menjadi Muslim setiap tahun, bukan karena paksaan keluarga atau masyarakat, tetapi karena pilihan pribadi yang bebas. Begitu juga kita melihat ribuan orang Amerika yang meminati ajaran Budha dan ajaran-ajaran spiritualitas dari Timur; semuanya itu karena pilihan yang bebas.

Tetapi, gejala pindah agama secara sukarela itu tetap lebih kecil dan terbatas jika dibandingkan dengan pola beragama yang konvensional yang sudah kita kenal selama ini, yakni beragama karena mengikuti tradisi keluarga atau masyarakat yang ada. Dengan kata lain, secara sosiologis, umumnya seseorang menjadi Muslim, Kristen, Hindu, Budha atau yang lainnya bukan karena hidayah, petunjuk, pencerahan yang datang dari Tuhan, karena intervensi dari "atas", tetapi karena lingkungan sosial. Kalau mau, anda bisa mengatakan: karena "kebetulan sosial".

Ketiga, seseorang yang memeluk agama karena faktor komunal atau lingkungan sosial bukan berarti ia memeluk agama itu dengan terpaksa. Ia memang menerima agama dari keluarga atau lingkungan sosial di sekitarnya, dan untuk itu dia tak bisa memilih. Tetapi, setelah dewasa, ia pelan-pelan mempelajari agama itu dan melakukan internalisasi atau pembatinan atas doktrin-doktrinnya. Agama yang semula ia terima secara "alamiah", kemudian mengalami internalisasi. Setelah dewasa, ia bisa memilih tetap dalam agamanya, atau keluar. Ketika memilih tetap berada dalam agama yang ia peroleh dari lingkungan sekitar, maka di situ dia telah mengambil suatu keputusan. Dengan kata lain,setelah yang bersangkutan beranjak dewasa, agama yang semula "diberikan" oleh lingkungan, menjadi agama yang ia "pilih" dengan bebas.

Tetapi, gejala lain juga layak kita perhitungkan. Banyak pula kita saksikan orang-orang yang menerima agama dari keluarga dan lingkungan sekitar sejak kecil, dan ia tak berusaha lebih lanjut untuk mempelajari dengan baik agama itu, sehingga dengan demikian ia mampu mengubah agama yang semula "terberi" menjadi agama yang dipilih dengan bebas. Dalam konteks Islam, kita mengenal istilah "Muslim nominal", misalnya, yakni seseorang yang memeluk Islam dari segi nama saja, tanpa memahami ajaran agama itu dengan baik. Muslim nominal adalah bentuk dari keberagamaan komunal yang lazim kita lihat dalam masyarakat. Bagi mereka, agama bukan merupakan "tindakan rohaniah" yang melibatkan keputusan yang bebas dan penuh kesadaran, tetapi identitas komunal belaka. Mereka bisa marah luar biasa saat simbol-simbol agama yang ia peluk dicederai oleh orang lain, terutama "orang lain" yang dianggap musuh, walaupun ia tak pernah menjalankan ibadah dengan baik.

Wa al-Lahu a'lam bi al-Shawab.


Friday, April 25, 2008

Apakah Masalahnya Selesai Jika Ahmadiyah Menjadi Agama Baru?

Ruzbihan Hamazani

Keberatan sejumlah kelompok Islam terhadap Ahmadiyah, antara lain, adalah bahwa sekte ini menganut ajaran yang berlawanan dengan akidah Islam, terutama kepercayaan tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Ini berlawanan dengan doktrin standar Islam tentang finalitas kenabian Muhammad. Mereka mengatakan: jika Ahmadiyah mau tetap diakaui sebagai bagian dari umat Islam, maka sekte itu harus kembali ke ajaran Islam yang benar. Dengan kata lain, harus meninggalkan doktrin kenabian mereka. Jika tidak, mereka harus mendirikan agama baru di luar Islam.

Banyak tokoh Islam yang berpandangan bahwa masalah Ahmadiyah akan selesai jika kelompok ini mau memisahkan diri dengan baik-baik dari Islam, dan mendirikan agama baru. Pandangan ini tampaknya mendapat banyak pengikut di kalangan tokoh-tokoh Islam. Mulai dari Ketua MPR, anggota DPR, menteri agama, sejumlah tokoh dalam MUI, dan tokoh-tokoh Islam lain pernah mengemukakan hal ini secara publik lewat media massa.

Pertanyaannya: apakah betul jika Ahmadiyah menjadi agama baru, masalahnya akan selesai? Apakah benar, jika kelompok ini menyatakan diri sebagai agama baru di luar Islam, dia tidak dimusuhi lagi oleh sejumlah kelompok dalam Islam sebagaimana kita lihat saat ini?

Saya, terus terang, ragu sama sekali. Argumen ini dikemukakan oleh banyak kalangan Islam (terutama yang konservatif dan fundamentalis) sebagai "taktik sementara" untuk melumpuhkan Ahmadiyah sebagai sebuah jamaah. Saya tidak yakin, kalangan Islam yang memakai argumen ini benar-benar memiliki komitmen untuk tidak mengganggu Ahmadiyah setelah sekte itu benar-benar memisahkan diri sebagai agama baru. Sejak awal, kelompok ini memusuhi ide toleransi dan anti pluralisme. Bagaimana mungkin kita bisa berharap mereka akan bersikap "pluralis" dan toleran terhadap Ahmadiyah setelah sekte ini benar-benar menjadi agama baru? Bagaimana mungkin kita berharap orang-orang seperti Khalil Ridlwan, Sobri Lubis, Al-Khattat, FPI, FUI, MMI, HTI bisa bersikap pluralis? Mengharap mereka bersikap demikian sama saja berharap "dua ditambah dua sama dengan lima", alias mustahil.

Taruhlah Ahmadiyah benar-benar menjadi agama baru, meskipun pengandaian ini sangat sulit terjadi, maka sejumlah masalah baru akan tetap muncul kembali. Sebagaimana kita tahu, Ahmadiyah masih memakai Qur'an dan hadis sebagai dua sumber utama dalam kepercayaan mereka. Mereka juga masih beribadah persis dengan umat Islam yang lain. Mereka masih menjadikan Nabi Muhammad sebagai panutan utama. Seluruh akidah mereka di luar masalah kenabian sama persis dengan akidah umat Islam yang lain. Kalau pun ada perbedaan, paling jauh hanya menyangkut interpretasi mengenai beberapa hal yang kurang terlalu penting (misalnya soal kematian Nabi Isa di mana mereka memiliki interpretasi sendiri yang berbeda dari umumnya kalangan Islam dan Kristen).

Jika Ahmadiyah menjadi agama baru, umat Islam "ortodoks" bisa jadi akan mengangkat masalah baru yang tak kalah rumitnya. Mereka bisa saja mempersoalkan penggunaan doktrin, ajaran, simbol dan atribut Islam oleh Ahmadiyah yang sudah menjadi "agama" baru itu. Ingat protes sejumlah kalangan Islam beberapa waktu lalu atas komunitas Kristen di Jakarta yang memakai simbol Islam dalam ibadah natal, seperti baju koko dan peci, dua jenis pakaian yang dianggap sebagai milik khas umat Islam. Jika umat Kristen memakai baju koko saja diprotes karena dianggap "mencuri" simbol Islam, apa yang terjadi nanti jika Ahmadiyah menjadi agama baru, sementtara jamaahnya masih beribadah dan berkeyakinan sama persis dengan umat Islam yang lain?

Pertanyaan yang sulit dijawab oleh kalangan Islam adalah: bagaimana mungkin "agama baru" (yakni Ahmadiyah) memiliki akidah, ajaran, dan ibadah yang sama persis dengan Islam? Bagaimana mungkin seorang Ahmadiyah yang melaksanakan salat, puasa, zakat, dan haji sama persis dengan umat Islam yang lain dianggap mengikuti agama lain hanya gara-gara perkara kecil, yakni interpretasi soal kenabian?

Masalah lain: jika Ahmadiyah menjadi agama baru, apakah mereka masih diperbolehkan mendirikan masjid dan beribadah dengan cara yang sama dengan umat Islam yang lain? Apakah jamaah Ahmadiyah masih diperbolehkan memakai Qur'an dan hadis sebagaimana umat Islam yang lain? Apakah mereka masih diperbolehkan melaksanakan haji yang masih mereka anggap sebagai kewajiban agama, sebagaimana keyakinan umat Islam yang lain?

Jika tuntuntan agar Ahmadiyah menjadi agama baru adalah meminta jamaah Ahmadiyah meninggalkan seluruh doktrin dan atribut Islam, dan sebaliknya menciptakan agama baru yang sama sekali beda dengan Islam dalam segala hal, maka ini permintaan yang konyol. Sebaliknya, jika permintaan itu hanya sebatas Ahmadiyah mendeklarasikan diri sebagai agama baru karena persoalan doktrin kenabian, pertanyaannya: apakah setelah itu ada jaminan tak ada gangguan lagi pada mereka di masa mendatang?

Jaminan itu jelas tak ada sama sekali. Sebagaimana kita tahu, agama resmi yang jelas-jelas sudah diakui negara seperti Kristen saja masih mengalami banyak kesulitan untuk mendirikan tempat ibadah, misalnya, dengan alasan melanggar SKB (Surat Keputusan Bersama) yang dibuat begitu rupa sehingga menguntungkan umat Islam yang mayoritas; jika Kristen saja mengalami banyak kesulitan, apalagi Ahmadiyah yang tentunya jauh lebih kecil ketimbang agama Kristen. Saya menduga, jikapun Ahmadiyah menjadi agama baru nantinya, mereka akan mengalami tekanan yang jauh lebih berat daripada yang mereka hadapi saat ini. Mereka kemungkinan besar akan dihalangi untuk membangun masjid karena dianggap akan bisa menyesatkan kalangan awam. Mereka akan dilarang untuk berdakwah, dengan alasan bahwa dengan memakai doktrin dan ajaran Islam yang sama dengan ajaran yang dianut oleh umat Islam yang lain, dakwah itu bisa menyesatkan masyarakat luas. Ingat, Ahmadiyah di Pakistan yang dipaksa menjadi kelompok di luar Islam, hingga saat ini masih mengalami masalah dengan kolompok Islam arus utama yang lain.

Dengan kata lain, dengan menjadi agama baru, Ahmadiyah menjadi lebih mudah dijadikan sasaran empuk untuk diserang oleh kalangan Islam. Selama Ahmadiyah masih berada di dalam Islam, kalangan Islam konsevatif-fundamentalis itu masih mengalami kesulitan untuk melancarkan "serangan penuh" atas Ahmadiyah. Begitu Ahmaidyah resmi keluar dari Islam dan menjadi agama baru, mereka bisa diserang dengan lebih leluasa.

Harus kita ingat, kebencian kelompk Islam konservatif-fundamentalis Islam tidak terbatas pada Ahmadiyah. Saya melihat, Ahmadiyah hanya sasaran antara saja. Jika mereka berhasil "melumpuhkan" sekte kecil ini, mereka akan melancarkan eksperimen serupa untuk menyerang kelompok-kelomok lain yang mudah dijadikan sasaran tembak, seperti sekte Syi'ah, atau kalangan pemikir Islam yang berpikir kritis yang selama ini juga sudah sering mereka benci.

Tujuan kalangan konservatif adalah: mereka mau menjadi pemilik tunggal merek "Islam". Mereka mau menjadi "diktator keyakinan".

Allahumma inna na'udhu bika min al-ghuluwwi fi al-din, wa na'udhu bika min al-mutasyadidin wa al-mutatharrifin.


Tuesday, April 22, 2008

Raja Abdullah dan Dialog Antaragama

Ruzbihan Hamazani

Kerajaan Saudi Arabia selalu dikenal oleh dunia luar karena orientasi keagamaannya yang sangat konservatif, kaku, dan eksklusif, antara lain karena ideologi resmi negeri itu, yakni Wahabisme. Tetapi kali ini, kita mendengar berita yang sama sekali lain dari kerajaan yang "menaungi" dua tanah suci Islam itu.

Pada 24 Maret 2008 yang lalu, Raja Abdullah ibn Abdul Aziz, mengemukakan ajakan tentang tentang pentingnya dialog antaragama, terutama antara Islam, Yahudi dan Kristen. Ajakan ini disampaikan oleh Raja Abdullah dalam sebuah seminar tentang "Budaya dan Penghargaan Atas Agama-Agama" yang diadakan di Ryadh pada bulan Maret lalu. Ia, antara lain, mengemukakan tentang perlunya tokoh-tokoh antaragama untuk duduk dalam satu meja untuk mendiskusikan tantangan bersama yang dihadapi oleh agama-agama besar dunia saat ini, antara lain merosotnya institusi keluarga dan maraknya ateisme. Ajakan Raja Abdullah ini menarik, karena di sana ia menyebut tokoh-tokoh antaragama mereka yang percaya pada Tuhan yang sama. Raja Abdullah juga berkunjung ke Vatikan pada November tahun lalu, dan berdiskusi dengan Paus Benediktus XIV tentang isu serupa.

Langkah Raja Abdullah ini mungkin tidak terlalu istimewa jika dilakukan oleh kepala negara Islam yang lain, misalnya Indonesia, Malaysia, atau Mesir. Ide tentang dialog antaragama bukan sesuatu yang asing dalam beberapa negara dengan penduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Tetapi, bobot ajakan ini menjadi sama sekali lain ketika keluar dari kerajaan Saudi, karena beberapa alasan.

Pertama, sikap ortodoksi agama di Saudi terhadap agama-agama lain di luar Islam masih sangat keras dan penuh kebencian. Jangankan bersikap positif terhadap agama lain di luar Islam, bahkan terhadap sesama sekte dalam Islam sendiri, para ulama Saudi masih sangat keras dan kaku. Ulama Saudi dikenal paling sengit melancarkan kampanye melawan sekte Syi'ah yang dianggap sesat. Penganut Syi'ah tidak bisa melaksanakan keyakinannya dengan bebas di Saudi hingga sekarang. Mereka tak diperbolehkan mendirikan masjid, madrasah, atau lembaga-lemabaga lain secara otonom. Simbol-simbol Syi'ah dilarang keras untuk muncul ke permukaan. Fatwa mengenai sesatnya sekte Ahmadiyah juga bermula dari negeri ini. Fatwa itu dikeluarkan pada 1974 dalam sebuah konferensi yang diadakan oleh Liga Dunia Muslim (Rabitha al-'Alam al-Islami, World Muslim League), sebuah lembaga internasional yang didirikan oleh Kerajaan Saudi pada 1962 sebagai "angkutan" untuk mengekspor ideologi Wahabi ke seluruh dunia, terutama dunia Islam. Fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah kemungkinan besar diilhami oleh, dan merujuk pada fatwa "internasional" yang muncul di Saudi itu.

Hingga sekarang, di seluruh kerajaan Saudi berlaku larangan untuk mendirikan gereja atau tempat ibadah agama lain. Padahal, dengan makin banyaknya orang asing yang bekerja di negeri itu, kebutuhan masyarakat non-Muslim untuk memiliki tempat ibadanya sendiri makin meningkat.

Meski kedengaran lucu, hingga saat ini negeri Saudi menerapkan larangan bagi perempuan untuk menyetir mobil. Tentu larangan ini didasarkan pada ajaran Islam sebagaimana diinterpretasikan oleh ulama di sana. Perempuan juga tidak bisa melakukan perjalanan jika tidak ditemani oleh seorang lelaki kerabat dekatnya (muhrim). Pembatasan atas perempuan di ruang publik berlaku begitu luas, sehingga mereka nyaris kehilangan kebebasan sipil yang selayaknya mereka nikmati sebagai seorang warga negara.

Kedua, negara Saudi memiliki tempat yang sangat istimewa di mata dunia Islam. Negeri Saudi, bagaimanapun, tetap dilihat oleh umat Islam di seluruh dunia sebagai tanah kelahiran agama mereka; juga negeri di mana dua tanah suci Islam, Mekah dan Madinah, berada. Ke negeri inilah, jutaan umat Islam menghambur setiap tahun untuk melaksanakan ibadah haji. Di negeri ini pula terdapat sejumlah institusi pendidikan Islam yang menjadi tujuan ribuan mahasiswa Islam dari seluruh dunia untuk belajar bahasa Arab dan, tentu, Islam. Meskipun tidak seluruhnya persis, Saudi Arabia adalah semacam "Vatikan" bagi dunia Islam. Oleh karena itu, perubahan-perubahan di negeri itu akan dipantau dengan penuh minat dan semangat oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Jika terjadi reformasi pemikiran keagamaan di negeri Saudi menuju kepada arah yang lebih terbuka dan toleran, maka dapat diduga bahwa hal ini akan memiliki pengaruh yang cukup penting di dunia Islam secara umum.

Ajakan Raja Abdullah untuk dialog antaragama ini menandakan terjadinya perubahan yang sangat penting dalam diskursus keagamaan di negeri Saudi. Yang menarik, Raja Abdullah juga menyebut bahwa beberapa ulama di Saudi telah memberikan "lampau hijau" untuk gagasannya yang sangat tak lazim dalam konteks pemikiran keagamaan di Saudi itu. Jika hal ini benar, maka inisiatif dialog ini bukan semata-mata merupakan pikiran pribadi Raja Abdullah, tetapi juga menggambarkan suatu semangat baru yang berkembang di kalangan ulama Saudi. Tentu, kita tak bisa berharap banyak akan terjadi perubahan "revolusioner" di kalangan ulama Saudi yang sudah berpuluh-puluh tahun tumbuh dalam indoktrinasi Wahabisme. Tetapi, setiap ide tentu bisa berubah. Konteks sosial baru saat ini memaksa para ulama dan sarjana Islam di Saudi untuk memikirkan ulang sejumlah tafsiran Islam yang sudah mapan selama ini.

Jika kita ikuti media Saudi saat ini, kita akan menjumpai suatu perdebatan yang menarik di kalangan para intelektual, sarjana dan ulama Saudi. Perdebatan ini menandai adanya semacam opsisi terhadap sejumlah pandangan keagamaan yang telah mapan. Dengan kata lain, angin perubahan dalam wacana agama mulai bertiap kencang di negeri itu. Perdebatan ini sebetulnya sudah berlangsung lama, tetapi karena media dan lingkungan intelektual sama sekali represif, perubahan wacana itu tidak bisa muncul ke permukaan. Momentum perubahan terjadi karena konstelasi dunia internasional yang berubah sama sekali setelah peristiwa 11 September. Tekanan dari dunia luar begitu keras atas negeri Saudi untuk melakukan perubahan dalam kebijakan politik dan arah pendidikan keagamaan. Kritik dari dunia luar juga sangat deras terarah kepada ideologi resmi kerajaan Saudi, Wahabisme, yang dianggap sebagai "biang kerok" sikap-sikap keagamaan yang eksklusif dan benci kolompok lain.

Tentu perubahan dalam diskursus keagamaan di Saudi itu bukan semata-mata diakibatkan oleh tekanan dari dunia luar. Tekanan itu hanyalah pemicu saja. Yang lebih penting adalah bahwa generasi baru di Saudi mulai berani mengkritik otoritas keagamaan di sana, serta mengemukakan pendapat yang berbeda. Kita bisa membaca suara-suara "disonan" atau oposisi ini dalam koran-koran terkemuka, seperti Al-Wathan, misalnya. Sejumlah situs juga bertebaran di dunia virtual untuk menyuarakan perubahan ini. Salah satu situs yang menarik adalah Aafaq (secara harafiah artinya: horison) dan Tanweer (secara harafiah: pencerahan). Di sana kita bisa melihat perubahan yang signifikan dalam pemikiran keagamaan di kalangan generasi baru Arab.

Sebagaimana di Indonesia, angin perubahan berkenaan dengan pemikiran keagamaan bertiup kencang saat ini di Arab Saudi. Raja Abdullah dikenal karena sikapnya yang cenderung kepada perubahan dan reformasi (ishlah) ini. Ajakan Raja Abdullah untuk dialog antaragama adalah cerminan dari iklim pemikiran yang sudah mulai berubah itu.

Sebagaimana di Indonesia pula, perubahan ini harus menghadapi perlawanan para ulama ortodoks yang memandang diri mereka sebagai "penjaga kebanaran". Tuduhan yang mereka kemukakan selalu klise di mana-mana: ide-ide baru menyimpang dari konsensus ulama (ijma'; atau meminjam istilah kaum ortodoks selama ini "ma'lum min al-din bi al-darurah"), melawan ajaran Islam, menghina Allah dan RasulNya, membahayakan akidah, dst. Ajakan Raja Abdullah untuk dialog ini juga ditentang olah banyak kalangan ulama Saudi yang konservatif.

Kita berharap kerajaan Saudi berubah pelan-pelan, baik dari segi politik dan budaya, sehingga pemikiran keagamaan yang baru dan lebih terbuka yang muncul di kalangan generasi belakangan ini pelan-pelan muncul ke permukaan. Jika Saudi bisa memberi contoh kepada dunia Islam tentang corak Islam yang moderat, toleran, pluralis, dan terbuka, tentu hal ini akan sangat besar pengaruhnya bagi umat Islam di luar Saudi.

Selama ini, ketika mendengar kata "Saudi Arabia", kesan cepat yang langsung terbit di benak sebagian besar umat Islam di Indoensia adalah hal-hal berikut: tanah suci, air zamzam, kurma, salat tarawih yang selalu ditayangkan langsung setiap bulan puasa, padang pasir, unta, pekerja TKI (berikut pelecehan terhadap mereka), dst. Di masa mendatang, kita berhadap, saat mendengar kata "Saudi Arabia", umat Islam akan membayangkan sejumlah gagasan penting: toleransi, dialog antaragama, penghormatan atas hak-hak perempuan, demokrasi, kebebasan berpikir, dst.

Wa al-Lahu a'lam bi al-shawab.